“Iya, Pak harganya sudah segitu. Cocoklah dengan kondisi motornya yang masih mulus dan suaranya yang masih halus.” Suami Mbak Mayang tersenyum ramah. Aku puas dengan cara penjualan Kakak sepupuku itu.Tidak butuh waktu lama kendaraan ku pun ini sudah beralih tangan dengan segala prosedurnya. Kebetul
Setengah sebelas siang kami sudah berada di rumah Ibu. Beliau sudah diizinkan pulang dengan beberapa catatan dokter yang harus aku perhatikan. Mbak Mayang menjemput kami. Dia masih di depan menunggu aku. Kami mau segera pergi untuk menjalankan misi selanjutnya.Saat ini, jarum jam di pergelangan tan
“Mbak Tv-nya nggak ada.” Aku memberi tahu Mbak Mayang yang sedang duduk di manis di ruang tamu. Debaran di dadaku sudah tidak menentu. Berbagai spekulasi bermunculan di ceruk kepala.“Yang bener, De?” Mbak Mayang menyusul aku di ruang tengah. “Iya, Mbak. Biasanya ditaruh situ.” Jari telunjukku meng
“Wong edan! Kembalikan televisiku!” Suara Bu Mumun melengking.“Suruh Mas Tama beliin sendiri, Bu. Jangan mengambil barang milik orang lain. Itu TV aku beli menggunakan uangku sendiri. Maaf, TVnya aku ambil karena sedang butuh.” Aku tak memberikan kesempatan perempuan itu untuk membantah.“Ada ini,
“Alhamdulillah, barangnya sudah habis. Rezekimu bagus, De. Tidak butuh waktu lama langsung laku.” Mbak Mayang menepuk pundakku yang sedang menatap truk pengangkut barang milikku pergi meninggalkan rumah Mbak Mayang.“Terima kasih banyak, ya, Mbak. Semua ini berkat jasa Mbak Mayang, barang langsung t
“Pertanyaan kedua, kenapa kamu mengambil seluruh barang-barang di rumah? Bahkan TV di di rumah ibuku pun kamu ambil tanpa perasaan. Aku benar-benar tidak mengenali kamu lagi, Amira.” Tama kembali meninggikan suaranya.“Karena aku butuh uang.” Jawabanku singkat, padat.“Kalau memang butuh uang itu ke
Jam tujuh malam, aku membawa ibu ke meja makan. Sebelum pulang, aku tadi sengaja mampir membeli beberapa lauk untuk makan malam. “Kamu kenapa, Mbak?” tanyaku saat melihat gelagat aneh Lilik. Di meja makan ia menutup mulut seperti hendak muntah saat aku membuka tutup penanak nasi. “Bau nasinya biki
Lilik tidak berani mengangkat kepala.“Terbuat dari apa hatimu sehingga bisa selingkuh di belakang anakku? Di sana dia berjuang mengumpulkan uang untuk membahagiakan kamu, tapindi sini kamu asyik goyang di ranjang dengan laki-laki lain! Astaghfirullah … apa dosa anakku sampai diselingkuhi seperti ini, ya, Allah? Ibu histeris.Tangisan ibu menyayat hati. Siapa pun pasti akan ikut menangis melihat beliau seperti ini. Tak terkecuali aku. Air mataku mengalir deras, pertahananku jebol.“Maafkan Lilik, Bu.” Lilik bersimpuh di depan ibu. Ia berusaha menggapai tangan mertuanya, tapi segera ditepis oleh perempuan yang telah melahirkan aku itu.Ibu sesenggukan. Lilik pun ikut menangis. Entah apa yang ia tangisi? “Katakan siapa laki-laki yang telah mengguncang ranjangmu?” Ibu kembali bersuara setelah sekian menit menangis, isakan masih ada.“Apa kamu lupa siapa dirimu, Lik? Anak yatim piatu yang tidak jelas asal usulnya. Diangkat derajatnya oleh anakku. Dulu, hidup dalam kekurangan. Kini dibuat
“Ini tempatnya, Mbak?” Tama menatap perempuan yang merupakan tetangga kontrakan Lilik tersebut dengan kening mengkerut. “Iya, ini, Mas. Beberapa hari yang lalu juga ada yang mencari Mbak Lilik. Perempuan. Bahkan dia menitipkan sesuatu untuk Zidane.” Tama terdiam, tapi otaknya berpikir menerka-nerk
Amira terdiam, menunggu jawaban Tama. Sebenarnya dia sendiri ragu, tidak yakin dengan idenya ini. Tapi, Amira merasa perlu melakukan itu demi kebaikan Zidane. [Jangan memintaku yang tidak-tidak, Mir! Mustahil aku kembali dengan Lilik. Itu tidak mungkin terjadi.] Tama mengirimkan pesan balasan pada
“Lilik?” Samar, Amira memanggil wanita yang sedang menuntun bocah cilik sambil menenteng tas yang terlihat berisi dagangan. “Pak tolong berhenti sebentar.” Amira meminta kepada sopir taksi. “Tapi argonya tetap jalan, ya, Mbak.” Sopir mengingatkan. “Nggak masalah, Pak. Nanti saya lebihkan untuk
“Kapan acara lamarannya, De?” tanya Fikri di negeri seberang sana. Amira baru saja menceritakan niat baik Reza yang ingin melamarnya kepada Fikri. “Rencananya empat hari lagi, Bang. Abang sekarang sudah merestui ‘kan?” tanya Amira yang belum begitu yakin sepenuhnya terhadap restu Fikri. “Insya
“Terima kasih banyak, ya, Mas. Maaf nggak bisa menyuruh mampir. Ini susah sangat malam.” Amira menghampiri pria yang berada di balik kemudi bulat setelah memarkirkan motornya di depan rumah. “Memang seharusnya aku tidak mampir, De. Kalau mampir nanti bahaya,” kelakar laki-laki di balik kemudi yang
“Mau sampai kapan kamu diam di situ, Lilik? Mau sampai kapan kamu membiarkan Zidane mengacak-acak permainannya? Cepat bereskan rumah ini! Aku muak melihat kamu yang seperti ini terus! Sudah berapa kali aku bilang? Jangan biarkan anakmu mengacak-acak ruang tamu atau ruang tengah dengan permainannya i
[Bi, tolong sampaikan ke Ibu, aku tidak bisa pulang sore ini. Mungkin, nanti malam baru pulang. Aira meninggal dunia, Bi. Aku bantu-bantu sekalian di sini.] Amira mengirimkan pesan pada Bi Marmi, bibinya. Amira baru sempat memberi tahu keluarganya. Derap langkah kaki yang memasuki ruang tamu membu
“Mas Tama, Mbak.” Amira menyodorkan ke handphone Santi yang baru kembali dari kamar ibunya. “Mungkin mau bicara sama kamu, Mir.” Santi kembali menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Amira. “Nggak, dia sengaja menelpon Mbak Santi, kok.” Tama sengaja menghubungi Santi melalui Amira, sebab handphon
Di depan pintu Santi menyambut Amira dengan penuh kesedihan. Sesuai permintaan Tama, Amira akhirnya pergi ke rumah Mumun. Memastikan bahwa keluarga mereka baik-baik saja. Tama sengaja mengutus Amira sebab nomor handphone Santi tidak bisa dihubungi. “Apa kabar, Mbak?” Amira mengulurkan tangan ke ar