Share

Bab 0008

Degup jantungku bertalu-talu saat Mbak Lilik mengatakan akan lapor polisi.

“Mbak yakin pelakunya akan segera ditangkap.” Ucapan Lilik membuat aku menggigit bibir bawah.

Tenang Amira, tenang. Jangan panik.

Kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya. Berharap bisa sedikit tenang setelah ini.

“Memangnya Mbak ada bukti mau melaporkan polisi? Laporan pada polisi itu nggak bisa asal lho, Mbak. Harus ada bukti. Lagian, untuk mengurus ini dan itu Mbak ada uang?” Sebisa mungkin aku menahannya agar tidak laporan pada pihak kepolisian. Meskipun benar, tetap saja nanti aku disalahkan kalau ketahuan. Dan pasti akan panjang urusannya.

Dia terdiam. Pikirannya kacau di sini. Takut-takut dia memiliki bukti. Aku bisa saja masuk penjara dan urusannya akan panjang kalau dia memiliki bukti. Sungguh, aku tidak mau itu terjadi. Bagaimana nasib ibuku nanti?

“Kamu benar, De. Mbak nggak punya bukti. Nggak ada yang tahu siapa yang merampok. Tadi udah nanya-nanya ke tetangga, mereka nggak ada yang tahu apa yang terjadi malam itu. Memang, ada yang sempat mendengar deru kendaraan di depan rumah Mbak. Tapi, tidak ada yang keluar karena dia pikir itu Mbak sendiri. Tidak ada kegaduhan di rumah waktu itu. Sehingga tidak ada yang tahu apa yang terjadi. Mereka semua kaget saat mendengar rumah Mbak kerampokan.”

Lega, itu yang aku rasakan saat ini. Hamdalah kulafazkan di dalam hati.

“Sedih memang Mbak. Tapi mau gimana lagi, anggap saja itu bukan rezekimu, Mbak.” Aku pura-pura menghiburnya.

“Kok kamu kayak pasrah gitu, De? Padahal, itu semua aset kakakmu yang hilang.” Lilik seolah tak rela.

“Memangnya harus gimana, Mbak? Sekarang apa yang bisa dilakukan selain pasrah? Mau lapor ke polisi pun nggak punya bukti.”

“Mbak mau mencari orang pintar. Mau lihat siapa yang telah merampok.” Suara Lilik menggebu-gebu.

Ini tidak boleh dibiarkan.

“Mbak, dengarkan aku. Jangan melakukan hal yang membuat murka Allah. Mendatangi orang pintar alias dukun itu adalah perbuatan syirik. Hal yang paling Allah benci. Tahukah kamu, Mbak, Allah akan mengampuni segala dosa kecuali syirik. Ngeri nggak, Mbak. Jadi, jangan pernah main-main dengan murka Allah. Sudah cukuplah dosa-dosa besar mu selama ini, jangan ditambah lagi dengan perbuatan syirik.”

Lilik terdiam lagi.

“Mbak, aku izin mau ngurusin ibu dulu ya. Satu pesanku jangan ceritakan semua di depan Ibu. Tolong pengertiannya.” Klik sambungan telepon pun aku putus setelah mengucapkan salam.

Sekarang urusannya tinggal menjual kendaraanku sendiri. Harus secepatnya aku jual biar tidak menjadi rebutan di kemudian hari. Dengan gerakkan cepat ku mencari nomor mbak Mayang.

“Assalamualaikum, Mbak. Gimana, udah ada yang mau beli motornya?” tanyaku begitu sambungan telepon kami terhubung.

Ya, aku meminta Mbak Mayang untuk mengiklankan motorku.

“Waalaikumsalam, kebetulan banget, De, baru saja Mbak mau menghubungi kamu. Tadi ada yang nanyain motornya.”

Alhamdulillah … lebih cepat lebih baik.

“Kalau begitu bawa saja orangnya ke rumah sakit, Mbak. Kan motornya di sini. Aku udah nggak mungkin ninggalin Ibu lagi, takut ada kejadian yang lainnya bila dititipkan pada orang lain.”

“Memangnya ada apa?” tanya Mbak Mayang yang memang belum tahu apa-apa.

Aku pun menceritakan semua apa yang diucapkan oleh ibu, semua perkataan mamaknya Tama.

“Dasar besan nggak punya otak.” Mbak Mayang mengumpat, “Ya udah, kalau itu Mbak sama Masmu nanti ke sana sekalian jenguk Bulik Sumi.” Mbak Mayang mengakhiri obrolan.

Dua jam kemudian Mbak Mayang datang dengan suaminya. Kakak sepupuku itu sibuk menghibur Ibu. Meminta wanita yang telah melahirkan aku itu tidak lagi memikirkan hal-hal tidak penting. Mbak Mayang pun meminta pada Ibu untuk tidak memikirkan masalah anak-anaknya. Pun dengan suaminya Mbak Mayang — Mas Sigit — dia minta ibu untuk percaya pada anak-anaknya.

“Tapi, namanya orang tua pasti kepikiran kalau anaknya ada apa-apa.” Ibu menjawab dengan nada lemah. Pasti, Ibu masih kepikiran ucapannya Mamaknya Tama waktu itu.

“Bulik, kalaupun Amira ataupun Fikri punya masalah pasti mereka bisa mengatasinya sendiri. Mereka sudah dewasa, sudah tahu mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Jadi, Bulik jangan terus memikirkan masalah mereka. Toh, Bulik tidak bisa menyelesaikan masalahnya yang ada malah sakit.” Mas Sigit memberikan nasihat untuk Ibu.

“Bulik, kita di sini sayang sama Bulik. Jadi Bulik pun harus menyayangi diri sendiri. Dengan cara jangan memikirkan omongan orang yang belum tentu kebenarannya, ya, Bulik.” Mbak Mayang ikut memberikan wejangan.

Detik berikutnya handphone Mbak Mayang berdering. Ia pun segera pamit ke parkiran. Matanya berkedip sebelah, kode agar aku segera menyusul.

Sepuluh menit kemudian aku pun bisa keluar dari ruangan dengan izin mau salat Dhuhur di masjid rumah sakit.

Di parkiran rumah sakit.

“Oke, saya suka. Semuanya terlihat masih bagus. Mesinnya juga masih enak. Tidak ada masalah. Harga sesuai kesepakatan kemarin ya, Mbak Mayang?”

Seorang bapak-bapak mereview motorku. Iya baru saja selesai mengelilingi jalan sekitar rumah sakit, mencoba motorku ditemani oleh suaminya Mbak Mayang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status