Share

Bab 0006

“Kak Fikri susah dihubungi. Bahkan, kata Mbak Lilik nomornya sudah nggak aktif. Siapa yang mau membiayai rumah sakit Ibu kalau bukan aku? Rencananya motor itu mau aku jual.” Inilah alasannya yang paling masuk akal.

Padahal, aku tidak mengeluarkan seper pun uang untuk biaya Ibu. Sesungguhnya pengobatan Ibu sudah ditanggung sepenuhnya oleh Kak Fikri. Tadi pagi ia mentransfer sejumlah uang yang cukup besar ke rekeningku.

“Nggak bisa gitu dong, De. Kamu nggak boleh main jual-jual barang yang dibeli pada saat menikah.” Tama meninggikan suaranya. Aku tahu kenapa dia bilang seperti itu? Aku mendelik ke arahnya.

Seketika aku mengubah posisi duduk Menghadap ke arahnya dengan kedua kaki diangkat ke atas kursi. Duduk bersila adalah pilihanku saat ini.

Setelah kami sejajar dan saling berhadapan aku berucap, “Kalau begitu, kamu siap menanggung semua biaya rumah sakit ibuku?” Aku menantangnya.

Dia terdiam.

“Ibu sudah empat hari, lho. Kelas satu pula. Dibayar pake duit, bukan ditanggung BPJS. Kalau kamu siap menanggungnya, ya, monggo. Aku tak perlu menjual barang. Bisa, nggak?” Aku menatapnya lekat.

Dia terlihat kesusahan menelan ludah, jakunnya naik turun. Emang enak ditantang.

“Kenapa diam? Nggak sanggup kan menanggungnya? Kalau tidak sanggup biarkan aku melunasinya dengan menjual aset-aset aku.”

Senjata yang aku gunakan. Padahal, duitnya nanti akan aku tabungkan. Maafkan aku berbohong, Mas. Kamu yang membuat aku seperti ini. Seandainya, kamu tidak pernah berkhianat, aku pun tidak akan pernah berdusta kepadamu.

“Kamu bisa membayari rumah sakit Ibu tanpa menjual barang yang ada, De?” Tama menyanggah.

Aku membulatkan bola mata mendengar sanggahannya.

“Dengan cara apa, Mas? Kan aku sudah resign?”

“Aku bisa meminjamkan uang kepada atasan, tapi kamu harus membantu membayarnya. Dengan syarat kamu harus kembali bekerja. Jadi barang yang kita miliki tetap utuh.” Tama tidak kehabisan akal untuk menjeratku lebih lama lagi.

“Maaf, dari pada aku pinjam uang pada orang lain, lebih menjual barang yang ada. Lagian, ya, Mas itu duit, duit aku, lho, yang dipakai untuk membeli motor. Tapi, kenapa seolah kamu keberatan ketika mau aku jual? Kok, aneh ya kelakuanmu! Lagian, aku sudah memutuskan untuk berhenti bekerja. Aku mau merawat Ibu. Tidak tega membiarkan beliau hidup sendiri lagi.”

“Ya, tapi kan itu barang yang dibeli setelah menikah itu menjadi harta bersama, De. Jadi jangan seenaknya sendiri main jual-jual aja.” Suaranya pelan, tapi cukup terdengar di telingaku. Terus terang juga akhirnya.

Aku tersenyum miring mendengarnya.

“Saat ini kesehatan ibu jauh lebih penting daripada sekedar harta bersama.” Aku menjawab dengan cepat.

“Kalau kamu mau mencarikan uang untuk keperluan PKL Arin, lebih baik pinjam saja pada atasanmu tadi. Keputusanku tidak bisa diganggu gugat. Berani melarang, maka akan tahu akibatnya. Jangan macam-macam.” Aku berdiri dari posisi duduk, hendak meninggalkannya. Tapi, urung karena teringat sesuatu.

“Apa yang mamakmu katakan pada ibuku tadi malam?” Di bawah temaram lampu aku menatap lekat wajah Tama yang tampak terkejut. Tapi, detik berikutnya ia terlihat sudah bisa menguasai keadaan.

“Mamakku nggak ngomong apa-apa. Ngobrol biasa aja. Tidak ada hal yang aneh.” Tama berkilah. Lancar bener bohongnya.

Tangannya sibuk mengutak-atik handphone. Mungkin, sedang asyik berbalas pesan dengan selingkuhannya.

“Hanya ngobrol biasa?” Aku mengulang ucapannya. Ekor mataku dapat melihat kepalanya yang sedang mengangguk.

Aku terdiam sejenak. Percuma mencecarnya, dia tidak akan pernah mau mengaku. Kubetulkan posisi duduk agak miring menghadapnya. Kutegakkan punggung, kaki kiri kutumpangkan ke kaki kanan. Kedua tanah kulipat di depan dada. Dagu sedikit kuangkat ke atas.

“Kamu sengaja mengundang ibumu untuk menjenguk ibuku di saat aku nggak ada?”

Laki-laki itu terlihat tersentak. Namun, detik berikutnya bisa menguasai keadaan kembali.

“Kenapa kamu bicara seperti itu? Apa kamu pikir ibuku tidak punya perasaan, harus disuruh-suruh untuk menjenguk besannya yang sedang sakit?” Mas Tama menatapku dengan tajam.

“Barangkali. Bagaimana aku tidak nenuduhmu demikian. Karena kenyataannya ibumu yang pengangguran itu baru bisa menjenguk ibuku di rumah sakit setelah malam ke empat. Tepat di saat aku nggak ada di tempat. Mungkin, memang ibumu baru ada waktu. Tapi, kenapa serba kebetulan. Kebetulan yang direkayasa. Lucu memang.” Aku tersenyum miring.

“Kamu ngomong apa sih? Aku nggak ngerti, sayang?”

Mual, itu yang aku rasakan saat dia nyebut sayang. sungguh, aku merasa jijik mendengarnya. Dulu, aku kira itu sebutan hanya khusus untukku. Wanita yang ia cintai, tapi rupanya panggilan itu ia sematkan untuk siapa pun. Menjijikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status