Share

Bab 0005

“De, nomor Kak Fikri tidak bisa dihubungi. Gimana ini?” Suara Lilik terdengar panik.

“Masak sih, Mbak? Mungkin sedang tidak ada sinyal. Mungkin juga l Kak Fikri sedang sibuk bekerja sehingga tidak sempat mengaktifkan nomornya.” Aku pura-pura menenangkannya. Padahal, di bibir mencebik.

“Tapi, ini sudah seharian lho, De. Sudah puluhan mungkin malah mungkin ratusan panggilan dari Mbak, tapi tetap sama, tidak aktif. Bagaimana ini?” Lilik kembali bersuara. Kali ini lebih sedih dari sebelumnya. Aku tersenyum miring alih-alih bersimpati kepadanya.

“Ya aku nggak tahu, Mbak. Doakan saja semoga Kak Fikri di sana baik-baik saja. Mbak tenang aja, nanti kalau sudah senggang Kak Fikri pasti menghubungi kita, kok. ”

“Bagaimana nasib Mbak kalau nggak ada Kak Fikri? Apalagi sudah tidak ada simpanan lagi. Seharusnya dua hari lagi ia kirim uang. Tapi, kalau nomornya nggak bisa dihubungi kayak gini gimana?”

Baru sadar dia? Saat selingkuh dan enak-enak dengan suamiku tidak kepikiran tentang perjuangan suaminya. Ke mana aja selama ini? Dasar manusia tidak pandai bersyukur.

Rasakan. Emang enak. Pembalasan baru dimulai. Ini belum seberapa, Lilik. Pelajaran yang diberikan oleh Kak Fikri tidak sebanding dengan pengkhianatanmu selama ini.

“Memang Mbak nggak ada simpanan lagi?” tanyaku pura-pura nggak tahu. Padahal, semua asetnya sudah kuambil semuanya. Kecuali ATMnya. Siapa tahu di dalamnya banyak saldo.

“Nggak ada, De. Di ATM sudah kosong. Hanya tinggal beberapa ratus ribu, tidak sampai satu juta. Selama ini, setiap bulannya Mbak tabungkan pada perhiasan. Dan itu semua raib dibawa perampoknya.”

Aku tersenyum di tempat duduk. Bahagia rasanya mendengar cerita Lilik. Kehancuran mu sudah di depan mata, pelakor! Siapa suruh selingkuh? Kamu siap menanam masalah, tapi lupa cara memanen hasilnya.

“Memangnya apa saja yang hilang selain motor, Mbak?” Aku pura-pura mencari tahu.

“Surat rumah, perhiasan dan kedua BPKB motor.”

“Ya Allah ... surat rumahnya hilang? Bagaimana bisa, Mbak? Semoga tidak disalah gunakan oleh perampoknya. Padahal, itu aset kakakku yang paling berharga. Hasil kerja kerasnya selama di perantauan. Ya Allah … kasihan sekali nasib Kak Fikri.” Aku pura-pura bersimpati, bersedih tepatnya. Tentu suaraku dibuat sesedih mungkin agar aktingnya menyakinkan.

“Ya, itu juga yang sedang Mbak pikirkan, De. Bagaimana cara Mbak ngomong sama Masmu? Pasti, dia sangat sedih dan kecewa.” Suara Lilik terisak. Entah sedih karena kehilangan harta atau karena yang lainnya.

Aku menyeringai sembari menggoyang-goyangkan kaki yang menjuntai ke lantai. Aku pun segera pamit dan mematikan sambungan telepon setelah merasa cukup mendengar curhatannya.

***

Malam harinya.

“De, Mas mau bicara,” ucap Mas Tama setelah masuk ruang rawat Ibu. Mimik mukanya penuh keseriusan. Ada apa?

“Oke, tapi tidak di sini. Ibu baru saja tidur. Jangan berisik.” Aku segera melangkahkan kaki, ke luar dari ruangan.

“Mau ngomong apa?” Aku bertanya setelah di luar kamar Ibu. Tama menutupnya secara perlahan.

“Mas mau pinjam BPKB motor milik mu, De.”

“Ikut aku.” Aku menyeret Mas Tama menuju taman yang tidak terlalu jauh dari ruang rawat Ibu.

Kujatuhan bobot tubuh ini di atas kursi taman rumah sakit. Di bawah lampu taman yang temaram.

“Mau buat apa mau pinjam BPKB motorku, Mas?” tanyaku tanpa menatap Mas Tama yang duduk di sampingku. Tatapanku Lurus ke depan. Enggan rasanya menatap wajah munafiknya.

Aku sengaja mengajak Mas Tama menjauh dari ruangan Ibu. Karena banyak hal yang ingin aku bahas. Bisa dipastikan nanti akan terjadi percekcokan, meninggikan suaranya pastinya. Tentu aku tidak mau ibu mendengarnya. Berbicara di tempat ini sepertinya pilihan terbaik. Ibu pun sedang terlelap di bawah pengaruh obat. Aman untuk ditinggalkan sementara waktu.

“Ibu butuh uang untuk biaya PKL Arin. Mas sedang tidak ada uang. Maka jalan cepat untuk mendapatkan uang adalah menggadaikan BPKB motor.”

“Maaf, aku nggak bisa ngasih pinjaman, Mas.” Dengan terang-terangan aku menolaknya.

Enak aja BPKBku untuk membiayai bocah yang nggak pernah sopan padaku. Sudah cukup selama ini membantu mereka. Tidak lagi mulai saat ini. Bodohnya aku selama ini. Membantu keluarga yang selalu main keroyokan. Ya, sedikit saja aku melakukan kesalahan maka seluruh anggota keluarga Mas Tama akan memusuhi aku, tak terkecuali si Arin, bocah ingusan.

“Kenapa nggak boleh pinjem, De? Nanti Mas yang akan membayar, tenang saja.” Dia mencoba merayu. Aku tersenyum kecut mendengar rayuannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status