Bude Rima dan Syena masih termenung memandangi kepergian mobil yang membawa Ratih, padahal mobil itu sudah sedari tadi menghilang dari pandangan.
Dit dit
Suara klakson motor itu menyadarkan mereka.
“Mau sampai kapan disini? Toh yang dilihat juga sudah jauh.” Kata pengendara motor yang tak lain adalah Sarah.
Bude Rima dan Syena menurut saja, mereka masuk ke dalam rumah. Syena bersiap-siap berangkat ke sekolah. Sedangkan Gladys terlihat sudah siap dan hendak berangkat.
“Bu, Syena berangkat bareng kita tidak?” Tanya Gladys pada Sarah.
“Untuk apa? Bikin dia manja saja. Dia kan sudah terbiasa jalan kaki. Ya biar jalan kaki saja. Ayolah cepat, nanti kau terlambat.” Katanya sambil memanasi motor barunya.
Ya, motor itu adalah motor baru yang ia minta dari suaminya dari uang hasil panen kemarin. Rahman memang selalu menuruti semua kemauan istrinya, ia bisa dibilang suami yang takut istri.
“Mengapa tak kau ajak Syena bersamamu, Sarah. Toh kalian juga punya tujuan yang sama,bukan?” Kata Bude Rima. Menghentikan Sarah yang hendak melajukan motornya.
“Sudahlah, nek. Toh sekolahnya juga dekat. Jalan kaki pun tak akan memakan waktu lama.” Jawab Syena yang juga sudah siap berangkat ke sekolah.
Bude Rima hanya mengangguk dan tersenyum mendengar jawaban Syena.
“Kau dengar sendiri kan, Bu? Anak itu memang lebih pantas jalan kaki.” Jawab Sarah kemudian melajukan motornya dengan Gladys yang sedari tadi juga sudah naik ke atas motor.
Bude Rima hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan menantunya itu.
“Biar ku adukan pada Rahman, biar motornya itu diminta kembali.” Kata Bude Rima menggerutu.
“Sudahlah, nek. Jangan terlalu dipikirkan. Syena berangkat dulu ya. Doakan Syena bisa belajar dengan tenang. Doakan juga semoga Ibu selamat sampai tujuan.” Kata Syena sambil mencium tangan Bude Rima.
Bude Rima mendaratkan ciuman ke kening Syena.
“Kau memang mewarisi semua sifat Ibumu. Semoga kelak kalian mendapatkan kebahagiaan yang seharusnya menjadi hak kalian.” Kata Bude Rima mengelus rambut Syena.
“Aamiin, nek. Syena berangkat dulu.” Jawab Syena kemudian beranjak pergi ke sekolah.
Ya, setiap hari memang Syena selalu berjalan kaki ke sekolah. Jarak rumah ke sekolah sangat dekat, karena sekolah Syena berada di ujung gang. Biasanya ia juga diboncengkan sepeda oleh temannya yang naik sepeda ke sekolah.
Di tempat lain,
Detik berganti menit, menit berganti jam. Jam demi jam berlalu, kini mobil yang membawa Ratih sudah sampai di Bandara. Ratih terbangun dari tidurnya. Ah, rasanya seperti mimpi. Bahkan dalam mimpi pun ia tak pernah membayangkan akan meninggalkan Negara kelahirannya dan merantau ke Negri orang.
“Bismillah, semoga dimudahkan segala urusan.” Kata rima pelan lebih pada dirinya sendiri.
“Aamiin, Ratih. Semakin cepat kita pergi, semakin cepat kita kembali.” Kata orang di sebelah Ratih yang mendengar ucapan Ratih, namanya Diana.
Ratih hanya membalasnya dengan senyuman.
Bu Siska menyuruh semua calon TKW itu keluar dari mobil dan bergegas masuk ke Bandara. Semua calon TKW itu mempersiapkan barang bawaannya dan segera mengikuti Bu Siska masuk ke Bandara.
“Ratih, rencana kau akan berapa tahun merantau? Hanya dua tahun atau mau memperpanjang kontrak?” Tanya Diana yang berjalan di samping Ratih.
“Lihat nanti saja, mbak. Biar semua berjalan apa adanya dulu. Kalau memang kelak harus memperpanjang ya aku lakukan. Jika ada hal lain ya entahlah, lihat nanti saja. Kalau kamu, mbak?” Tanya Ratih balik.
“Aku juga sama sepertimu. Tapi rencananya aku ingin merantau saja. Daripada di kampung Cuma jadi gunjingan dan bahan fitnah warga. Lebih baik aku merantau jauh, kan?” Jawab Diana.
Ya, Diana adalah janda tanpa anak di kampung tempat tinggal Ratih. Karena parasnya yang cantik dan tubuhnya yang indah ditambah lagi selalu dibalut dengan pakaian yang terbuka membuat ibu-ibu di Kampung menjadi geram dan sering menggunjing Diana. Pantas saja kalau ia tak betah tinggal di kampung. Meskipun demikian, sebenarnya Diana adalah orang yang baik. Katanya, ia memang sengaja menunjukkan keindahan tubuhnya untuk membuat mantan suaminya menyesal telah meninggalkannya. Diana memang ditinggal selingkuh oleh suaminya. Selingkuh dengan perempuan yang masih memiliki hubungan kerabat dengannya.
“Saya hanya bisa mengantar kalian sampai disini. Kalian silakan masuk dengan menunjukkan identitas yang sudah kalian bawa kepada petugas. Kalian semua tetap hati-hati. Semoga kalian semua sukses.” Kata Bu Siska kepada calon TKW yang ia berangkatkan.
“Aamiin.” Jawab mereka serentak.
Mereka segera menuju ke pesawat yang akan membawa mereka ke Luar Negri .
Di sekolah Syena
“Syena,” panggil seseorang tepat ketika Syena melangkahkan kakinya memasuki gerbang sekolah.
Syena menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati Bu Andin berjalan ceoat ke arahnya. Bu Andin adalah guru matematika di sekolah Syena. Bu Andin juga teman kuliah Ratih ketika menempuh pendidikan di Jakarta. Bisa dibilang Bu Andin adalah sahabat Ratih.
“Ada apa, bu?” tanya Syena ketika Bu Andin sudah berdiri tepat di hadapannya.
“Ibu dengar dari Bude mu Sarah, katanya Ibumu pergi merantau sebagai TKW ke Hongkong. Apa itu benar?” Tanya Bu Andin sambil membenarkan posisi kacamatanya.
“Benar, Bu.” Jawab Syena.
“Kenapa Ibumu sama sekali tidak memberitahuku.” Kata Bu Andin sambil berjalan dan diikuti oleh Syena.
“Ibu baru berangkat tadi pagi, Bu. Entah sudah sampai mana dia sekarang. Mungkin dia lupa memberitahu Bu Andin.” Jawab Syena sopan.
“Bagaimana bisa dia melupakanku seperti itu?” tanya Bu Andin lebih pada dirinya sendiri.
Syena hanya diam karena dia juga tidak tahu harus menjawab apa.
“Sudahlah, semoga dimana pun berada, dia akan selalu mendapat kebahagiaan dan keberuntungan. Dan kau Syena, jika dalam sekolah kau mendapatkan kesulitan apa pun. Jangan sungkan untuk memberitahu Bu Andin ya. Aku akan membantumu. Kau juga jangan sedih, Ibu ada disini untukmu. Kalaupun kamu tidak diperlakukan baik oleh Bude mu, masih ada pak de mu juga nenekmu yang akan membelamu. Pokoknya kamu harus tetap semangat, Syena. Kamu anak yang pintar dan mandiri. Ibu yakin kamu pasti bisa.” Kata Bu Andin panjang lebar.
“Iya bu, terima kasih.” Jawab Syena.
Kini mereka sudah sampai di depan ruang guru.
“Bu Andin masuk dulu ya, kamu juga segera masuk kelas. 5 menit lagi bel masuk akan segera berbunyi.” Kata Bu Andin memperingatkan.
“Baik bu, Syena permisi dulu.” Jawab Syena kemudian berjalan menuju kelasnya.
Bu Andin memandangi Syena dengan rasa iba. Ia tidak tega melihat keadaan Syena saat ini. Tapi Syena yang mengalami berbagai hal sulit justru selalu terlihat riang. Ya, Syena memang selalu berusaha terlihat riang gembira. Ia tidak pernah menunjukkan kesedihan kepada siapa pun.
Membahas tentang Ayah, Syena sebenarnya juga memikirkan siapa Ayahnya. Selalu mendoakan yang terbaik untuk Ayahnya meskipun ia sendiri tidak pernah tahu dimana Ayahnya sekarang. Entah masih hidup atau sudah meninggal. Ia juga selalu iri ketika melihat teman-teman yang lain main bersama Ayahnya, bercanda dan bersenda gurau dengan Ayahnya. Namun ia memang selalu menutupi apa yang ia rasakan dengan senyuman dan riang gembira. Bukan apa-apa, ia hanya ingin menjaga perasaan wanita yang sudah merawatnya sejak kecil dan sangat menyayanginya yang tak lain adalah Ibunya. Ia selalu ingin kelak bisa memiliki sifat seperti Ibunya, baik, optimistik, baik kepada siapa pun bahkan kepada yang membencinya sekalipun. Di usianya yang baru menginjak kelas 3 SD, memang itu pemikiran yang luar biasa. Jarang ada anak yang berpikiran seperti Syena.
Di sekolah, Syena memiliki prestasi yang bagus. Syena juga selalu menjadi bintang kelas. Selain itu, Syena juga berbakat dalam non akademik seperti menari. Syena sangat pandai menari tarian tradisional. Ia mendapatkan banyak piala dari lomba-lomba yang pernah ia ikuti, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Syena adalah anak yang luar biasa.
Teet teet teet
Bel masuk sudah berbunyi, Syena sudah sampai dari tadi di kelasnya dan duduk di tempat paling depan. Berbeda dengan Gladys yang selalu memilih tempat paling belakang dengan alasan akan lebih aman karena tidak akan ditunjuk oleh guru.
Pelajaran pertama hari ini adalah Matematika, pelajaran yang disukai oleh Syena tetapi tidak dengan Gladys.
Guru Matematika yang tak lain adalah Bu Andin sudah masuk ke dalam kelas.
“Selamat pagi anak-anak.” Sapa Bu Andin kepada semua murid di kelas.
“Pagi, Bu.” Jawab mereka serentak.
“Hari ini kita akan adakan ulangan dadakan. Saya ingin melihat siapa yang rajin belajar dan siapa yang hanya belajar ketika ada PR dan ulangan saja.” Kata Bu Andin membuat semua murid menggerutu kecuali Syena.
Syena memang selalu belajar, baik ada PR atau ulangan maupun tidak. Berbeda dengan Gladys yang hanya belajar ketika ada PR dan ketika keesokan harinya akan ada ulangan saja.
“Syena, beri tahu aku jawabannya nanti. Kalau tidak, akan ku adukan kaupada Ibuku dan kau akan dimarahi.” Kata Gladys yang duduk di dua bangku di belakang Syena sambil berbisik-bisik.
Syena tidak menanggapi, ia hanya diam.
“Jika ada yang menyontek maupun memberi contekan akan langsung saya beri nilai nol.” Kata Bu Andin lagi membuat semua murid kembali menggerutu.
Bu Andin membagikan kertas soal dan semua murid segera mengerjakan dalam diam dan tidak berani menoleh sedikit pun karena takut mendapat nilai nol. Keadaan di kelas itu menjadi tenang dan hening.
Di Bandara
Kini, Ratih dan para calon TKW sudah duduk di bangku pesawat masing-masing. Beberapa menit lagi, pesawat akan lepas landas. Ratih hanya diam, dia masih tidak menyangka akan mengalami masa ini. Meskipun begitu, ia akan tetap melakukannya dengan sepenuh hati. Demi anaknya, demi putri kesayangannya yang tak lain adalah Syena.
“Selamat tinggal Negri kelahiranku, selamat tinggal Syena. Ibu akan segera kembali. Semoga semua akan berjalan lancar dan tanpa halangan sedikit pun. Aku kuat, aku bisa menghadapi semua ini.” Kata Ratih dalam hati, lebih meyakinkan pada dirinya sendiri.
Kini saatnya pesawat itu lepas landas, membawa Ratih dan para calon TKW terbang menuju Negri orang.
“Kiiing kriiing kriiing”Dering ponsel itu membangunkan Sarah dari tidurnya. Ia melirik jam sekilas yang sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Sambil menggerutu ia meraih ponselnya yang masih terus berdering.“Siapa sih telpon malam-malam begini. Ganggu orang istirahat saja.” Katanya kemudian mengangkat telpon.“Halo, siapa disana?” tanyanya dengan nada kasar.“Halo Mbak Sarah. Ini aku, Ratih. Aku hanya ingin mengabarkan kalau aku sudah sampai, mbak.” Jawab orang dari sambungan telponnya yang tak lain adalah Ratih.“Kamu memang paling suka mengganggu ya. Kenapa tidak telpon besok saja? Malam itu waktunya orang istirahat. Tahu waktu dong. Dasar.” Katanya kemudian menutup telponnya dengan kasar padahal belum mendapat jawaban.Ratih disana hanya bisa mengelus dada mendengar kata-kata Sarah. Ia tidak kaget, memang begitulah watak Sarah. Sedangkan Sarah kembali melanjutkan tidurnya, tak lup
Di HongkongRatih melirik sekilas jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia baru sampai di rumah majikannya, rumah yang besar dan mewah. Ia hanya bisa berdoa semoga semua akan baik-baik saja. Ia adalah wanita yang selalu optimis, meskipun kadang terkendala oleh keadaan.Ratih melangkahkan kakinya menuju pintu masuk rumah itu, perlahan ia mengetuk pintu rumah itu. Berkali-kali ia mengetuk pintu rumah dan memencet bel namun tak ada yang membukakan pintu. Cukup lama ia menunggu. Sampai akhirnya masuk sebuah mobil ke halaman rumah. Mungkin itu adalah mobil calon majikannya yang baru saja pulang dari bepergian. Dan benar saja, keluar seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi dari mobil itu, diikuti oleh dua anak laki-laki berparas tampan. Rupanya mereka anak kembar.Perempuan itu menuju ke rumah dan menghampiri Ratih yang sedari tadi memperhatikannya. Ratih melemparkan senyuman yang juga dibalas dengan senyuman
Ratih mengerjapkan matanya berkali-kali, suara alarm yang semakin lama semakin kencang membangunkannya dari tidurnya. Ya, tidak ada suara azan yang lantang seperti biasanya. Ia sudah mengatur waktu di ponselnya sesuai dengan tempatnya sekarang yang selisih waktu sekitar satu jam dari Indonesia. Ia bergegas bangun, mengambil air wudhu dan melaksanakan Shalat di kamarnya sendiri. Setelah Shalat, Ratih tak lupa melakukan kebiasaan rutinnya yaitu tadarus Al Quran. Ratih memang perempuan yang agamis. Setelah selesai, waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 waktu Hongkong. Ratih keluar dari kamar dan siap melakukan pekerjaannya. Ia terkejut saat membuka pintu dan melihat Vero dan Very sedang berdiri berjajar di depan kamarnya.“Halo, perkenalkan nama kami Vero dan Very. Kami anak kembar.” Kata salah satunya.“Bibi sudah tau dari oma dan tante kalian, tuan muda.” Jawab Ratih.“Hey, jangan memanggil kami seperti itu. Panggil saja Vero dan Very.
Hening, tidak ada percakapan sama sekali selama perjalanan menuju rumah. Ratih melirik Vania yang terlihat masih sangat terpukul. Sesekali ia bahkan melihat Vania masih sesenggukan sambil menyeka air matanya. Apa Vania juga memiliki masalah yang besar seperti yang ia miliki? Mobil sudah memasuki halaman rumah. Setelah mobil berhenti, Vania langsung saja berlari masuk ke dalam rumah. Ratih hanya memandanginya dengan tatapan iba. Ratih lalu mengambil barang-barang belanjaannya dan dibantu oleh Pak Hadi untuk membawanya masuk ke rumah.“Neng Ratih tadi lihat apa yang terjadi pada Non Vania?” Tanya Pak Hadi pada Ratih.Ratih hanya mengangguk, enggan menanggapi karena dia sendiri masih bingung menelaah apa yang baru saja dilihatnya.Saat masuk ke dalam rumah, Ratih mendengar Vania menangis dengan keras. Lalu melihat Vania menangis dalam dekapan Ibunya.“Dia datang, Bu. Dia kembali. Apa yang harus aku lakukan? Dia menemukanku, dia pasti akan m
Suara ayam berkokok bersahut-sahutan berhasil mengganggu tidur Sarah. Pagi itu, Sarah bangun pukul 05.00 WIB. Buka apa-apa, ia hanya malas berdebat dengan suaminya. Meski bagaimana pun, sebagai istri ia tetap harus menghormati suami. Rahman memang terlalu memanjakan Sarah, bisa dibilang ia takut istri. Namun jika menyangkut tentang Ratih, Bude Rima dan juga Syena, Rahman tak pernah tinggal diam. Ia tidak suka bila ada yang mengusik mereka. Pagi itu, Sarah melakukan tugas yang biasa dilakukan oleh Ratih. Membuatkan minuman hangat dan juga sarapan pagi untuk semua orang.“Tumben.” Kata Rahman ketika hendak ke kamar mandi dan melihat istrinya sudah sibuk di dapur.“Aku bangun pagi salah, tidak bangun pagi pun salah. Memang serba salah aku ini.” Jawab Sarah asal.Rahman hanya tersenyum, lalu meninggalkan istrinya dan pergi mandi.Seperti biasa, Syena sudah sibuk dengan pekerjaannya mencuci piring. Bude Rima sedang menyapu halaman depan
BrakkkOjek motor yang ditumpangi Ratih mendadak roboh karena menghindari seseorang yang menyeberang jalan tanpa melihat kanan dan kiri dulu. Untung saja Ratih tidak apa-apa. Ratih melihat ke arah orang yang berlari. Ia ingat betul, ciri-ciri orang itu sama persis dengan laki-laki-laki yang memarahi Vania di pasar waktu itu. Karena rasa penasarannya, Ratih memberikan selembar uang pada tukang ojek kemudian berlari mengejar orang tersebut sampai lupa apa tujuannya kembali ke rumah. Sebenarnya ia lupa membawakan bekal untuk si kembar, ia berinisiatif untuk pulang naik ojek untuk mengambilkan bekal makanan si kembar sedangkan Pak Hadi tetap melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah. Namun ia tidak menyangka akan melihat hal ini, ia ingin mengungkap semuanya. Jarak mereka cukup jauh, laki-laki itu berlari amat kencang, namun ketika di pertigaan jalan, lagi-lagi laki-laki itu hampir ditabrak oleh motor. Ia berhasil menghindar namun justru terjatuh.“Sial.” Ucap o
Sekitar 15 menit perjalanan yang ditempuh oleh Rahman dari tempat kerja sampai rumah sakit. Rumah sakit itu berada di daerah yang sudah memasuki perkotaan. Banyak pertanyaan yang muncul di benak Rahman. Namun yang paling ia khawatirkan adalah keadaan istri dan anaknya saat ini. Rahman menuju ruang IGD, masih ada beberapa polisi disana. Ia mendekat dan hendak menanyakan keberadaan kedua orang yang dia sayangi pada beberapa polisi itu. Ia yakin kalau istri dan anaknya masih ada di ruang IGD. Namun baru beberapa langkah, ia melihat Sarah tengah menggandeng Gladys yang kepalanya diperban. Melihat hal itu Rahman segera mempercepat langkahnya. Sarah melihat kedatangan Rahman, ia takut Rahman akan memarahinya. Setelah begitu dekat, tanpa kata Rahman langsung memeluk Sarah dan Gladys. Beberapa saat mereka hanya saling diam satu sama lain, polisi dan beberapa perawat yang ada disana hanya diam menyaksikan.“Kalian masih sakit kenapa disini?” Tanya Rahman, mat
Hari ini, Ratih langsung kembali ke rumah setelah mengantar si kembar ke sekolah. Ia harus ke pasar karena semua bahan makanan di rumah sudah habis.“Kamu mau kemana, Ratih?” Tanya Vania dengan riang seakan tak pernah terjadi sesuatu padanya.“Aku hendak ke pasar, Vania.” Jawab Ratih sambil mengambil tas belanja.“Aku ikut.” Kata Vania memohon.Ratih hanya diam, jika menolak maka dia akan dianggap tidak sopan karena berani menentang keinginan majikan, namun jika ia mengizinkan Vania ikit, ia takut jika hal yang sama akan terjadi lagi.“Kamu tetap diam di rumah, jika kamu ingin membeli jajanan pasar seperti biasa cukup titip saja pada Ratih. Ini uangnya.” Kata Oma Rahma sembari memberikan uang belanja untuk Ratih.“Ma, aku yakin aku bisa jaga diri. Dia tidak akan berani menemuiku lagi.” Kata Vania meyakinkan Oma Rahma.“Atas dasar apa kamu berkata demikian? Laki-laki bre