“Nenek,” teriak Syena berlari ke arah Bude Rima untuk melihat keadaannya.
Mendengar teriakan Syena, Rahman, Sarah serta Gladys berlari menuju sumber suara. Rahman sangat terkejut ketika mendapati ibunya sudah pingsan dengan Syena di sampingnya.
“Apa yang telah terjadi pada ibuku?” tanya Rahman panik, segera mengangkat tubuh ibunya dan menidurkannya ke sofa ruang tamu.
Sarah segera mengambilkan minyak angin sedangkan Gladys kini duduk di samping neneknya. Bude Rima terlihat sangat pucat dan badannya lemas.
“Nenek kenapa, Pakde?” tanya Syena khawatir.
“Pakde juga tidak tahu, Syena.” Jawab Rahman sambil meletakkan minyak angin yang telah diberikan oleh Sarah di dekat hidung ibunya.
Sampai sekitar 10 menit, Bude Rima tak juga sadarkan diri. Rahman semakin panik. Dia menghubungi temannya yang memiliki mobil, hendak meminjam mobilnya untuk membawa Bude Rima ke rumah sakit.
Selama menunggu kedatangan mobil yang akan membawa Bude Rima
Apa yang sebenarnya terjadi pada Bude Rima? Apakah ada penyakit yang serius dalam dirinya? Lalu apakah Syena bisa menjadi juara umum lagi tahun ini? Simak terus kisahnya, yaaa.
Pagi ini, Rahman menengok ke kamar ibunya sebelum berangkat kerja. Dia juga membawakan sarapan dan teh hangat untuk ibunya. Ibunya terlihat masih sangat pucat. “Bu, ini Rahman bawakan bubur ayam untuk sarapan. Dimakan ya, Bu. Rahman mau pamit kerja dulu.” Pamit Rahman dengan nada setengah berbisik, tidak mau membangunkan ibunya yang terlihat masih tertidur lelap. Setelah itu Rahman keluar dari kamar ibunya, anak-anak sudah berangkat sekolah sejak tadi. Sedangkan Sarah tengah pergi belanja. Drrrt drrrt drrrt “Siapa telepon pagi-pagi begini?” Gumam Rahman sambil merogoh sakunya dan mengambil benda yang bergetar itu. Ratih, melihat nama yang terpampang jelas di ponselnya itu Rahman segera mengangkat telepon tersebut. “Pagi, Mas Rahman,” Sapa Ratih dari sambungan telepon. “Iya, Ratih. Ada apa telepon pagi-pagi begini?” tanya Rahman penasaran. “Maaf mengganggu, Mas. Aku hanya ingin menanyakan kabar Syena. Apa dia sudah pulan
Pagi itu Syena berangkat ke sekolah seorang diri seperti biasanya. Masih dengan buku di tangannya, ia berjalan sambil belajar. Ulangan susulan hari ini adalah pelajaran biologi. Pelajaran yang kurang disenangi oleh Syena karena penuh dengan hafalan dan juga nama-nama latin. Pelajaran ini adalah satu-satunya yang selalu mendapat nilai di bawah 8. Saat sedang sibuk menghafal, tiba-tiba ada dua anak laki-laki berlarian dari belakang Syena. Salah satu dari mereka menyenggol bahu Syena sampai buku yang dari tadi dipegangnya terjatuh. Tanpa melihat kiri kanan, Syena langsung saja mengambil buku itu. “Awas !” teriak seseorang sambil menarik lengan Syena. Syena dan orang yang menolongnya sama-sama terjatuh ke pinggir jalan yang dipenuhi rerumputan. Syena terkejut, hampir saja sebuah mobil menabraknya hanya karena ia ingin mengambil bukunya yang terjatuh. Jantungnya masih berdetak sangat kencang, untung saja setelah ia mengambil buku itu orang tadi sigap menarik lengannya.
Frans sedang duduk di toko depan sekolah Syena, dia sebenarnya belum tahu nama anak itu. Jadi dia ingin tahu lebih banyak tentang keponakannya itu. Menurut perkiraannya, anak sekolah sebentar lagi akan pulang. Dan benar saja, baru dia meneguk air dari minuman dingin yang dia beli di toko itu terlihat satpam sudah membuka pintu gerbang dan diikuti oleh beberapa anak di belakangnya. Dia segera menyeberang jalan, dia sudah mengatur rencana agar seolah-olah pertemuannya dengan Syena tanpa disengaja. “Eh, maaf.” Ucap Syena ketika merasa menabrak seseorang, dia sedang berjalan sambil memeriksa isi tasnya. Frans memanfaatkan momen itu sehingga seolah tidak disengaja. “Iya, tidak apa-apa. Kamu anak yang tadi pagi, kan?” Tanya Frans menunjuk Syena. Syena mengangguk sambil tersenyum. “Syena, tunggu. Kita pulang bareng ya.” Ucap Gladys dari belakang. Frans terkejut melihat Gladys, jantungnya berdetak kencang. Entah mengapa dia seperti menemukan seseorang
Sepulang dari jalan-jalan, waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Tepat saat sampai di rumah, terdengar azan magrib berkumandang. Dari kejauhan Romi dapat melihat Rahman yang sedang mengambil air wudu di samping rumahnya. Saat mobil mulai memasuki halaman rumah, Rahman yang hendak masuk ke dalam rumah menghentikan langkahnya sejenak. Dia melihat ke arah mobil dengan dahi berkerut, penasaran dengan siapa yang ada di dalam mobil. Setelah melihat Romi, Gladys dan Syena turun dati mobil, Rahman terlihat tersenyum. Rahman menghampiri Romi dan mereka pun saling berpelukan. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu, bagaimana keadaanmu?” tanya Rahman sambil melepas pelukan. “Maaf atas kesibukanku, aku baik-baik saja seperti dirimu.” Jawab Romi memperlihatkan senyumnya. Mendengar mereka bercakap-cakap, Gladys dan Syena memilih untuk masuk ke dalam rumah. “Mari masuk, kita salat magrib berjamaah dulu.” Kata Rahman. Romi hanya mengangguk, ia mengambil air
Hujan baru saja reda, meninggalkan udara dingin yang serasa menusuk hingga ke tulang. Ratih Mardiana Rahayu, belum memejamkan mata sama sekali, padahal jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Sedari tadi memang ia duduk termenung mengamati hujan dari balik jendela kamarnya. Sesekali ia memandang sisa-sisa tetesan air hujan yang jatuh dari atap rumah. Sesekali ia memandang wajah manis putrinya yang sedang tertidur pulas di pangkuannya. Mendadak air matanya menetes, dadanya menjadi sesak. Bayangan suram dari masa lalunya muncul kembali. Masa lalu yang membuatnya berada dalam berbagai keadaan yang tidak menyenangkan saat ini. Ia menyeka air matanya, mengelus lembut putrinya.“Tidur nyenyak, Nak. Kamu putri kecil Ibu. Ibu tidak akan membiarkanmu mendapatkan kesulitan apapun dalam hidup.” Kata Ratih kemudian menutup mulutnya sendiri.Bukan mereda, air matanya justru berontak. Ia menangis tanpa suara. Bagaimana tidak, ia mengatakan hal demikian. Namun kenyataannya
Azan subuh sudah berkumandang, Syena terbangun dan melihat Ibunya masih tidur pulas.“Ibu pasti sangat kelelahan.” Pikirnya.Ia memandangi wajah Ibunya, kemudian menunduk. Ia memiliki pemikiran melebihi anak seusianya. Ia selalu paham dengan segala situasi dan kondisi yang ada.“Bu, Syena sayang Ibu. Maafkan Syena hanya bisa menyusahkan Ibu. Ibu harus banting tulang, memeras keringat dan memutar otak hanya demi melihat Syena bisa hidup bahagia seperti anak lainnya. Terima kasih Ibu, Syena tidak akan pernah mengecewakan Ibu.” Katanya, kemudian mencium pipi Ibunya dengan lembut.Ciuman itu membangunkan Ratih, ia tersenyum melihat putrinya sudah bangun tanpa ia bangunkan.“Syena akan selalu mendengarkan nasihat Ibu. Syena ingin menjadi anak yang sholeha seperti doa Ibu.” Jawab Syena seperti bisa membaca pikiran Ibunya.Mereka berdua beranjak dari kamar. Segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat berja
Bude Rima dan Syena masih termenung memandangi kepergian mobil yang membawa Ratih, padahal mobil itu sudah sedari tadi menghilang dari pandangan.Dit ditSuara klakson motor itu menyadarkan mereka.“Mau sampai kapan disini? Toh yang dilihat juga sudah jauh.” Kata pengendara motor yang tak lain adalah Sarah.Bude Rima dan Syena menurut saja, mereka masuk ke dalam rumah. Syena bersiap-siap berangkat ke sekolah. Sedangkan Gladys terlihat sudah siap dan hendak berangkat.“Bu, Syena berangkat bareng kita tidak?” Tanya Gladys pada Sarah.“Untuk apa? Bikin dia manja saja. Dia kan sudah terbiasa jalan kaki. Ya biar jalan kaki saja. Ayolah cepat, nanti kau terlambat.” Katanya sambil memanasi motor barunya.Ya, motor itu adalah motor baru yang ia minta dari suaminya dari uang hasil panen kemarin. Rahman memang selalu menuruti semua kemauan istrinya, ia bisa dibilang suami yang takut istri.“Menga
“Kiiing kriiing kriiing”Dering ponsel itu membangunkan Sarah dari tidurnya. Ia melirik jam sekilas yang sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Sambil menggerutu ia meraih ponselnya yang masih terus berdering.“Siapa sih telpon malam-malam begini. Ganggu orang istirahat saja.” Katanya kemudian mengangkat telpon.“Halo, siapa disana?” tanyanya dengan nada kasar.“Halo Mbak Sarah. Ini aku, Ratih. Aku hanya ingin mengabarkan kalau aku sudah sampai, mbak.” Jawab orang dari sambungan telponnya yang tak lain adalah Ratih.“Kamu memang paling suka mengganggu ya. Kenapa tidak telpon besok saja? Malam itu waktunya orang istirahat. Tahu waktu dong. Dasar.” Katanya kemudian menutup telponnya dengan kasar padahal belum mendapat jawaban.Ratih disana hanya bisa mengelus dada mendengar kata-kata Sarah. Ia tidak kaget, memang begitulah watak Sarah. Sedangkan Sarah kembali melanjutkan tidurnya, tak lup