Azan subuh sudah berkumandang, Syena terbangun dan melihat Ibunya masih tidur pulas.
“Ibu pasti sangat kelelahan.” Pikirnya.
Ia memandangi wajah Ibunya, kemudian menunduk. Ia memiliki pemikiran melebihi anak seusianya. Ia selalu paham dengan segala situasi dan kondisi yang ada.
“Bu, Syena sayang Ibu. Maafkan Syena hanya bisa menyusahkan Ibu. Ibu harus banting tulang, memeras keringat dan memutar otak hanya demi melihat Syena bisa hidup bahagia seperti anak lainnya. Terima kasih Ibu, Syena tidak akan pernah mengecewakan Ibu.” Katanya, kemudian mencium pipi Ibunya dengan lembut.
Ciuman itu membangunkan Ratih, ia tersenyum melihat putrinya sudah bangun tanpa ia bangunkan.
“Syena akan selalu mendengarkan nasihat Ibu. Syena ingin menjadi anak yang sholeha seperti doa Ibu.” Jawab Syena seperti bisa membaca pikiran Ibunya.
Mereka berdua beranjak dari kamar. Segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat berjamaah. Bude Rima dan Rahman juga sudah bangun. Mereka berempat memang selalu melaksanakan Shalat berjamaah. Sedangkan Istri Rahman, Sarah Wijayanti memang sedikit susah bila dibangunkan untuk Shalat subuh. Katanya ia lelah mengurus rumah sendirian dan butuh tidur yang cukup. Begitu pula dengan Gladys, ia juga sangat susah dibangunkan. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan Syena yang bahkan bisa bangun sendiri juga membangunkan Ibunya.
Setelah selesai Shalat berjamaah
“Kau jadi pergi hari ini, Ratih?” Tanya Rahman yang usianya 3 tahun lebih tua darinya.
“Jadi mas.” Jawab Ratih sambil melipat mukena yang tadi dibawanya.
Bude Rima dan Syena juga masih disana, menyimak percakapan mereka.
“Ingat Ratih, kau harus hati-hati disana. Semoga kau mendapat majikan yang baik. Seharusnya nasibmu tidak seperti ini.” Kata Rahman pelan.
“Sudahlah mas, yang terjadi biarlah terjadi.” Jawab Ratih.
“Satu lagi yang perlu kau ingat, ketika mendapat gaji nanti jangan semuanya kau kirim ke kampung. Sisakan untuk kau tabung sendiri. Kau tahu sendiri kan, semua keuangan rumah ini Sarah yang handle. Aku takut dia menyalahgunakan uangmu nanti.” Kata Rahman mengingatkan.
“Aku tahu itu, mas.” Jawab Ratih lagi.
Mereka semua keluar dari kamar yang dijadikan mushola itu. Jam sudah menunjukkan pukul 04.30 WIB. Syena bergegas ke dapur, membantu mencuci piring. Ya, Syena memang biasa melakukan pekerjaan itu. Setiap hari, ia bangun setelah mendengar azan subuh, Shalat berjamaah kemudian membantu mencuci piring. Jika masih cukup waktu, ia juga membantu menyapu rumah. Kemudian bersiap berangkat sekolah. Sekolahnya dekat dari rumah, hanya cukup ditempuh dengan berjalan kaki.
“Sudah kau siapkan semua barangmu, Ratih?” Tanya Bude Rima.
“Semalam sudah ku siapkan, Bude. Nanti biar ku periksa lagi setelah menyiapkan minuman hangat dan sarapan untuk semuanya.” Jawab Ratih.
“Kau siapkan minuman hangatnya saja. Biar Bude yang menyiapkan sarapan. Kau nanti berangkat pukul 06.00 WIB kan?” Tanya Bude memastikan.
“Iya, Bude.” Jawab Ratih lagi.
Tanpa mereka ketahui, Syena yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka meneteskan air mata. Tetap saja akan terasa berbeda jika Ratih tidak ada di sisinya. Mereka sangat dekat, hampir tak terpisahkan. Dan sekarang mereka harus berpisah untuk waktu yang tidak diketahui. Syena langsung menyeka air matanya ketika menyadari air matanya mulai menetes. Ia tidak ingin terlihat cengeng dan lemah di depan Ibunya. Ia ingin selalu menjadi anak kebanggaan Ibunya, anak yang selalu ceria.
“Bu?” Panggil Syena lirih.
“Iya, nak?” jawab Ratih sambil menuangkan air panas ke gelas yang sudah disiapkan.
“Ibu jaga diri baik-baik ya. Selalu mengabari Syena. Syena akan selalu merindukan Ibu.” Kata Syena sambil menata piring-piring yang sudah dicuci ke rak.
“Kemarilah, nak.” Panggil Ratih.
Syena menghentikan aktivitasnya dan mendekati Ibunya. Ratih menghamburkan pelukan kepada putri kesayangannya. Mereka akan berpisah selama dua tahun. Ya, sesuai kontrak kerja TKW sekarang, yaitu 2 tahun dan bisa memperpanjang lagi 2 tahun jika memang menginginkan demikian.
Syena kali ini tidak bisa membendung air matanya, air matanya mengalir begitu saja.
“Jangan menangis nak, kita hanya berpisah secara fisik. Hati kita tetap bersatu, bukan?” Tanya Ratih sambil mengusap air mata di pipi tembam putrinya.
“Iya, bu. Ibu selalu ada di hati Syena. Di tempat terdalam di hati Syena.” Jawab Syena kembali memeluk Ibunya.
Bude Rima juga menyeka air matanya.
“Hoam, drama yang sangat mengharukan.” Kata seseorang tiba-tiba dari pintu dapur.
Rupanya itu adalah suara Sarah, istri Rahman. Mungkin aroma nasi goreng Bude berhasil membangunkannya.
“Mana minuman hangatku?” tanyanya pada Ratih.
“Ini kak.” Jawab Ratih sambil menunjuk minuman hangat yang sudah ia siapkan.
“Esok kau harus bangun lebih pagi lagi, Sarah. Kau harus menyiapkan minuman hangat dan sarapan untuk suamimu. Karena hari ini Ratih akan berangkat.” Kata Bude pada menantunya.
“Kan masih ada Ibu dan Syena. Bukankah anak kecil ini juga anak yang rajin?” Jawab Sarah, kembali meneguk minumannya sambil duduk santai.
Syena bergegas mandi, Ratih kembali ke kamar untuk memeriksa kembali barang-barangnya. Sudah lengkap. Setelah Syena selesai mandi, Ratih pun segera mandi dan bersiap. Syena dan yang lainnya sudah duduk di meja makan saat Ratih selesai mandi. Setelah ganti pakaian dan rapi-rapi, Ratih segera bergabung. Jam sudah menunjukkan pukul 05.30 WIB. Setengah jam lagi mobil jemputan akan datang. Mereka sarapan pagi dalam diam. Hanya Sarah dan Gladys yang belum menyentuh air. Mereka bilang akan terasa dingin bila mandi terlalu pagi. Sementara Rahman juga sudah bersiap untuk berangkat kerja. Rahman kerja di pabrik konveksi sebagai mandor. Ya, dia juga seorang sarjana meskipun anak dari seorang single parents. Bude Rima memang selalu mengusahakan yang terbaik untuk putranya itu. Sementara ladang persawahan milik Bude Rima yang cukup luas diperkerjakan pada penduduk setempat yang tidak punya ladang sendiri.
Kebanyakan penduduk di desa itu memang golongan ekonomi menengah ke bawah. Bude Rima termasuk orang kaya dikampungnya. Hampir seperempat ladang persawahan yang ada di desa itu adalah miliknya. Meskipun begitu, Ratih tetap memilih menjadi TKW karena tidak ingin menjadi beban untuk Bude Rima.
“Kau cepatlah mandi, Gladys. Nanti terlambat sekolah.” Kata Rahman beranjak dari tempat duduknya.
Dia berangkat lebih pagi hari ini, ada beberapa urusan yang harus dia atasi.
“Kau hati-hati Ratih. Jaga dirimu baik-baik. Tentang Syena tak perlu kau risaukan. Aku dan Ibu akan menjaganya.” Kata Rahman kemudian berpamitan pada Ibunya.
“Baik, mas. Terima kasih. Kau juga hati-hati.” Jawab Ratih.
Rahman keluar rumah. Terdengar suara vespa yang merupakan kendaraan kesayangannya, dan suara itu terdengar semakin jauh. Tertanda Rahman sudah jauh dari rumah.
“Mulai sekarang kau tidak boleh manja, Syena. Kau harus mandiri. Tidak ada lagi Ibumu di rumah ini.” Kata Sarah di sela-sela makannya.
Semuanya hanya diam. Sarah memang suka seenaknya kalau bicara. Padahal bila dipikir, Syena bukanlah anak yang manja bahkan meskipun Ratih ada di rumah.
Ratih dan Syena kembali ke kamar. Ratih membawa koper yang berisi barang-barang yang akan dibawanya keluar rumah. Syena mengikutinya dari belakang. Begitu juga dengan Bude Rima. Gladys bersiap ke sekolah, sementara Sarah asyik main ponsel sambil menonton TV. Sarah memang tidak begitu menyukai Ratih dan anaknya. Bahkan ia pernah berkata bahwa keberadaan Ratih dan Syena hanya membuat rumah itu menjadi sesak.
Suara deru mobil terdengar dan semakin dekat. Itu adalah mobil jemputan Sarah. Setelah mobil berhenti, keluarlah seorang perempuan dari mobil itu. Dia adalah Bu Siska, tetangga mereka yang menjadi agen TKW. Di dalam mobil terlihat ada beberapa perempuan lain yang juga tetangga mereka yang akan berangkat ke Luar Negri.
“Sudah siap, Ratih?” Tanya Bu Siska memperlihatkan senyum manisnya.
“Sudah, Bu.” Jawab Ratih kemudian membawa kopernya mendekat ke mobil diikuti dengan Syena dan Bude Rima di belakangnya. Sementara Sarah hanya mengintip dari balik jendela.
“Ibu.” Panggil Syena berlari memeluk Ibunya. Kali ini ia kembali menangis di hadapan Ibunya.
Mereka berpelukan. Hal yang sama sekali tidak pernah ter bayangkan oleh Ratih. Harus pergi jauh meninggalkan putri kesayangannya. Tapi tak apa, semua ini juga demi putrinya itu. Ia akan berusaha melakukan apa pun yang terbaik untuk membuat putrinya bahagia.
Ratih juga memeluk Bude Rima setelah melepas pelukan Syena.
“Kamu jaga diri baik-baik. Jangan lupa hubungi kami.” Kata Bude.
Ratih mengangguk kemudian masuk ke dalam mobil bergabung dengan yang lain. Pintu mobil ditutup kemudian mulai berjalan. Ratih melambaikan tangan pada Syena dan Bude. Mobil semakin jauh dari rumah. Syena dan Bude sudah tidak terlihat. Ratih membenarkan posisi duduknya.
“Bismillah, semoga semuanya berjalan sebagaimana mestinya.” Pintanya dalam hati.
Perjalanan ke Bandara itu memakan waktu yang cukup lama, membuatnya mengantuk. Sementara beberapa teman yang lain sudah tertidur sedari tadi. Ia juga memutuskan untuk tidur.
Hari ini ia masih di Negara kelahirannya, mulai esok ia sudah harus menyesuaikan diri di Negri orang. Ia hanya berharap semoga keadaan bersahabat dengannya.
Bude Rima dan Syena masih termenung memandangi kepergian mobil yang membawa Ratih, padahal mobil itu sudah sedari tadi menghilang dari pandangan.Dit ditSuara klakson motor itu menyadarkan mereka.“Mau sampai kapan disini? Toh yang dilihat juga sudah jauh.” Kata pengendara motor yang tak lain adalah Sarah.Bude Rima dan Syena menurut saja, mereka masuk ke dalam rumah. Syena bersiap-siap berangkat ke sekolah. Sedangkan Gladys terlihat sudah siap dan hendak berangkat.“Bu, Syena berangkat bareng kita tidak?” Tanya Gladys pada Sarah.“Untuk apa? Bikin dia manja saja. Dia kan sudah terbiasa jalan kaki. Ya biar jalan kaki saja. Ayolah cepat, nanti kau terlambat.” Katanya sambil memanasi motor barunya.Ya, motor itu adalah motor baru yang ia minta dari suaminya dari uang hasil panen kemarin. Rahman memang selalu menuruti semua kemauan istrinya, ia bisa dibilang suami yang takut istri.“Menga
“Kiiing kriiing kriiing”Dering ponsel itu membangunkan Sarah dari tidurnya. Ia melirik jam sekilas yang sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Sambil menggerutu ia meraih ponselnya yang masih terus berdering.“Siapa sih telpon malam-malam begini. Ganggu orang istirahat saja.” Katanya kemudian mengangkat telpon.“Halo, siapa disana?” tanyanya dengan nada kasar.“Halo Mbak Sarah. Ini aku, Ratih. Aku hanya ingin mengabarkan kalau aku sudah sampai, mbak.” Jawab orang dari sambungan telponnya yang tak lain adalah Ratih.“Kamu memang paling suka mengganggu ya. Kenapa tidak telpon besok saja? Malam itu waktunya orang istirahat. Tahu waktu dong. Dasar.” Katanya kemudian menutup telponnya dengan kasar padahal belum mendapat jawaban.Ratih disana hanya bisa mengelus dada mendengar kata-kata Sarah. Ia tidak kaget, memang begitulah watak Sarah. Sedangkan Sarah kembali melanjutkan tidurnya, tak lup
Di HongkongRatih melirik sekilas jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia baru sampai di rumah majikannya, rumah yang besar dan mewah. Ia hanya bisa berdoa semoga semua akan baik-baik saja. Ia adalah wanita yang selalu optimis, meskipun kadang terkendala oleh keadaan.Ratih melangkahkan kakinya menuju pintu masuk rumah itu, perlahan ia mengetuk pintu rumah itu. Berkali-kali ia mengetuk pintu rumah dan memencet bel namun tak ada yang membukakan pintu. Cukup lama ia menunggu. Sampai akhirnya masuk sebuah mobil ke halaman rumah. Mungkin itu adalah mobil calon majikannya yang baru saja pulang dari bepergian. Dan benar saja, keluar seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi dari mobil itu, diikuti oleh dua anak laki-laki berparas tampan. Rupanya mereka anak kembar.Perempuan itu menuju ke rumah dan menghampiri Ratih yang sedari tadi memperhatikannya. Ratih melemparkan senyuman yang juga dibalas dengan senyuman
Ratih mengerjapkan matanya berkali-kali, suara alarm yang semakin lama semakin kencang membangunkannya dari tidurnya. Ya, tidak ada suara azan yang lantang seperti biasanya. Ia sudah mengatur waktu di ponselnya sesuai dengan tempatnya sekarang yang selisih waktu sekitar satu jam dari Indonesia. Ia bergegas bangun, mengambil air wudhu dan melaksanakan Shalat di kamarnya sendiri. Setelah Shalat, Ratih tak lupa melakukan kebiasaan rutinnya yaitu tadarus Al Quran. Ratih memang perempuan yang agamis. Setelah selesai, waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 waktu Hongkong. Ratih keluar dari kamar dan siap melakukan pekerjaannya. Ia terkejut saat membuka pintu dan melihat Vero dan Very sedang berdiri berjajar di depan kamarnya.“Halo, perkenalkan nama kami Vero dan Very. Kami anak kembar.” Kata salah satunya.“Bibi sudah tau dari oma dan tante kalian, tuan muda.” Jawab Ratih.“Hey, jangan memanggil kami seperti itu. Panggil saja Vero dan Very.
Hening, tidak ada percakapan sama sekali selama perjalanan menuju rumah. Ratih melirik Vania yang terlihat masih sangat terpukul. Sesekali ia bahkan melihat Vania masih sesenggukan sambil menyeka air matanya. Apa Vania juga memiliki masalah yang besar seperti yang ia miliki? Mobil sudah memasuki halaman rumah. Setelah mobil berhenti, Vania langsung saja berlari masuk ke dalam rumah. Ratih hanya memandanginya dengan tatapan iba. Ratih lalu mengambil barang-barang belanjaannya dan dibantu oleh Pak Hadi untuk membawanya masuk ke rumah.“Neng Ratih tadi lihat apa yang terjadi pada Non Vania?” Tanya Pak Hadi pada Ratih.Ratih hanya mengangguk, enggan menanggapi karena dia sendiri masih bingung menelaah apa yang baru saja dilihatnya.Saat masuk ke dalam rumah, Ratih mendengar Vania menangis dengan keras. Lalu melihat Vania menangis dalam dekapan Ibunya.“Dia datang, Bu. Dia kembali. Apa yang harus aku lakukan? Dia menemukanku, dia pasti akan m
Suara ayam berkokok bersahut-sahutan berhasil mengganggu tidur Sarah. Pagi itu, Sarah bangun pukul 05.00 WIB. Buka apa-apa, ia hanya malas berdebat dengan suaminya. Meski bagaimana pun, sebagai istri ia tetap harus menghormati suami. Rahman memang terlalu memanjakan Sarah, bisa dibilang ia takut istri. Namun jika menyangkut tentang Ratih, Bude Rima dan juga Syena, Rahman tak pernah tinggal diam. Ia tidak suka bila ada yang mengusik mereka. Pagi itu, Sarah melakukan tugas yang biasa dilakukan oleh Ratih. Membuatkan minuman hangat dan juga sarapan pagi untuk semua orang.“Tumben.” Kata Rahman ketika hendak ke kamar mandi dan melihat istrinya sudah sibuk di dapur.“Aku bangun pagi salah, tidak bangun pagi pun salah. Memang serba salah aku ini.” Jawab Sarah asal.Rahman hanya tersenyum, lalu meninggalkan istrinya dan pergi mandi.Seperti biasa, Syena sudah sibuk dengan pekerjaannya mencuci piring. Bude Rima sedang menyapu halaman depan
BrakkkOjek motor yang ditumpangi Ratih mendadak roboh karena menghindari seseorang yang menyeberang jalan tanpa melihat kanan dan kiri dulu. Untung saja Ratih tidak apa-apa. Ratih melihat ke arah orang yang berlari. Ia ingat betul, ciri-ciri orang itu sama persis dengan laki-laki-laki yang memarahi Vania di pasar waktu itu. Karena rasa penasarannya, Ratih memberikan selembar uang pada tukang ojek kemudian berlari mengejar orang tersebut sampai lupa apa tujuannya kembali ke rumah. Sebenarnya ia lupa membawakan bekal untuk si kembar, ia berinisiatif untuk pulang naik ojek untuk mengambilkan bekal makanan si kembar sedangkan Pak Hadi tetap melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah. Namun ia tidak menyangka akan melihat hal ini, ia ingin mengungkap semuanya. Jarak mereka cukup jauh, laki-laki itu berlari amat kencang, namun ketika di pertigaan jalan, lagi-lagi laki-laki itu hampir ditabrak oleh motor. Ia berhasil menghindar namun justru terjatuh.“Sial.” Ucap o
Sekitar 15 menit perjalanan yang ditempuh oleh Rahman dari tempat kerja sampai rumah sakit. Rumah sakit itu berada di daerah yang sudah memasuki perkotaan. Banyak pertanyaan yang muncul di benak Rahman. Namun yang paling ia khawatirkan adalah keadaan istri dan anaknya saat ini. Rahman menuju ruang IGD, masih ada beberapa polisi disana. Ia mendekat dan hendak menanyakan keberadaan kedua orang yang dia sayangi pada beberapa polisi itu. Ia yakin kalau istri dan anaknya masih ada di ruang IGD. Namun baru beberapa langkah, ia melihat Sarah tengah menggandeng Gladys yang kepalanya diperban. Melihat hal itu Rahman segera mempercepat langkahnya. Sarah melihat kedatangan Rahman, ia takut Rahman akan memarahinya. Setelah begitu dekat, tanpa kata Rahman langsung memeluk Sarah dan Gladys. Beberapa saat mereka hanya saling diam satu sama lain, polisi dan beberapa perawat yang ada disana hanya diam menyaksikan.“Kalian masih sakit kenapa disini?” Tanya Rahman, mat