Ratih mengerjapkan matanya berkali-kali, suara alarm yang semakin lama semakin kencang membangunkannya dari tidurnya. Ya, tidak ada suara azan yang lantang seperti biasanya. Ia sudah mengatur waktu di ponselnya sesuai dengan tempatnya sekarang yang selisih waktu sekitar satu jam dari Indonesia. Ia bergegas bangun, mengambil air wudhu dan melaksanakan Shalat di kamarnya sendiri. Setelah Shalat, Ratih tak lupa melakukan kebiasaan rutinnya yaitu tadarus Al Quran. Ratih memang perempuan yang agamis. Setelah selesai, waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 waktu Hongkong. Ratih keluar dari kamar dan siap melakukan pekerjaannya. Ia terkejut saat membuka pintu dan melihat Vero dan Very sedang berdiri berjajar di depan kamarnya.
“Halo, perkenalkan nama kami Vero dan Very. Kami anak kembar.” Kata salah satunya.
“Bibi sudah tau dari oma dan tante kalian, tuan muda.” Jawab Ratih.
“Hey, jangan memanggil kami seperti itu. Panggil saja Vero dan Very.” Jawabnya lagi.
“Baik Vero, baik Very.” Jawab Ratih menurut.
“Kamu pasti bingung mencari perbedaan antara kami ya.” Kata yang satunya lagi.
Ratih mengangguk, dua anak itu tertawa kecil. Mereka berdua memang kembar identik, dan seperti tak ada satu pun yang membedakan mereka.
“Kami tidak punya perbedaan, tapi kalau kamu dengarkan baik-baik suara kami maka kamu akan mengenal kami.” Kata mereka berdua bersamaan kemudian kembali tertawa.
Suara mereka memang terdengar berbeda, yang satu memiliki suara yang rendah dan halus sementara yang satunya memiliki suara yang sedikit lebih besar dan tegas.
“Apakah kamu sudah menemukan perbedaannya? Aku Very.” Kata salah satu yang memiliki suara halus.
“Sudah, aku sudah memahaminya.” Jawab Ratih sambil mengelus rambut kedua anak itu. Mengingatkannya pada Syena, anak yang selalu dia sayangi.
“Oh ya, aku dan Very mendengar kamu membaca sesuatu dan terdengar indah sekali. Apa itu? Aku tidak pernah mendengarnya dari Oma maupun Tante.” Kata Vero.
Ratih paham bahwa yang dimaksud adalah suaranya saat bertadarus, kamar mereka cukup dekat jadi wajar kalau mereka mendengarnya. Lagi pula, Ratih juga tidak terlalu kencang saat bertadarus tadi.
“Tadi saya mengaji. Bertadarus Al Quran.” Jawab Ratih lagi.
“Kami juga beragama Islam, melaksanakan shalat. Oma dan Tante juga, tapi tidak pernah mengaji sepertimu.” Kata Very.
“Kami menyukai suaramu tadi, terdengar indah dan menenangkan.” Kata Vero, Very mengangguk tanda setuju.
“Maukah kamu mengajari kami?” Tanya Very, giliran Vero yang mengangguk.
“Pasti, saya akan mengajari kalian.” Jawab Ratih.
“Horeee.” Kata mereka serentak.
Ratih hanya bisa tertawa melihat tingkah lucu mereka. Vero dan Very kembali ke kamarnya, sedangkan Ratih bergegas menuju dapur hendak menyiapkan sarapan. Tapi lagi-lagi ia melihat Vania sudah terlebih dahulu ada disana.
“Bersiaplah.” Kata Vania saat menyadari kehadiran Ratih.
Ratih mengernyitkan dahi, tak paham dengan maksud perkataan Vania.
“Iya, kamu bersiaplah. Kita akan ke pasar pagi ini. Semua bahan makanan sudsh habis. Soal sarapan, aku sudah memesannya. Nanti diantar. Nanti kita berdua sarapan di pasar.” Kata Vania lagi.
Ratih mengangguk kemudian kembali ke kamar untuk bersiap. Setelah selesai, ia keluar dan mendapati Vania menggunakan jilbab sepertinya dan bahkan memakai cadar. Mungkin Vania memang berpakaian seperti itu ketika hendak keluar rumah.
“Jangan terkejut begitu. Ayo kita pergi, aku sudah ijin pada Ibu.” Kata Vania.
Ratih lagi-lagi hanya mengangguk.
Mereka diantar oleh sopir. Jarak dari rumah ke pasar ternyata cukup dekat, hanya menempuh perjalanan sekitar 10 menit. Sekarang mereka sudah sampai di pasar.
“Kita sarapan dulu, aku sudah lapar. Mari Pak Hadi, ikut sarapan bersama kami.” Kata Vania pada sopir juga berasal dari Indonesia.
Setelah mobil terparkir dengan baik, mereka turun dan berjalan menuju warung makan yang terlihat sangat ramai.
“Pak Hadi ini sopir keluarga kami sejak di Indonesia. Dia kami tawarkan untum ikut ke Hongkong dan menjadi sopir kami lagi, dia bersedia.” Cerita Vania pada Ratih ketika mengantri di warung.
Pak Hadi tersenyum dan mengangguk. Ratih membalasnya dengan senyuman juga. Pak Hadi sudah terlihat tua, bahkan lebih tua dari Bude Rima di kampung.
Setelah mendapatkan makanan, mereka memilih tempat duduk dan menyantap sarapan pagi mereka. Untuk Ratih, makanan itu terasa aneh seperti kurang bumbu.
“Tidak enak ya?” Tanya Vania seperti paham dengan raut wajah Ratih.
Ratih tersenyum malu-malu.
“Dulu aku dan Mama juga sepertimu, mungkin Pak Hadi juga seperti itu. Tapi nanti pasti juga akan terbiasa.” Kata Vania.
Setelah itu mereka fokus menghabiskan makanan masing-masing. Setelah selesai dan sudah membayar, Pak Hadi kembali ke mobil sedangkan Ratih dan Vania masuk ke pasar untuk belanja.
“Kita akan belanja untuk makan satu minggu. Silakan kamu mau belanja apa saja, ini uangnya.” Kata Vania menyerahkan beberapa lembar uang pada Ratih.
“Baik, Vania. Kamu mau kemana?” Tanya Ratih.
“Aku mau beli jajanan pasar, setahun terakhir aku selalu ikut ke pasar setiap satu minggu sekali untuk beli jajanan pasar disini. Banyak macamnya dan rasanya juga enak. Kamu nanti coba ya. Sekarang kita berpisah disini dulu, nanti kita langsung ketemu di mobil saja.” Kata Vania kemudian pergi meninggalkan Ratih yang masih bingung mau memulai dari mana.
Ratih mencoba berjalan menyusuri pasar, sekarang ia berada di tempat jualan aneka perabot, ia masuk lagi dan menemukan tempat jualan pakaian, mencoba belok kanan dan menemukan tempat jualan sayuran. Ia belanja beberapa jenis sayuran untuk satu minggu. Sebenarnya sudah ada daftar belanja yang harus ia beli yang sudah ditulis di kertas yang diberikan bersamaan dengan uang tadi oleh Vania. Itu sedikit memudahkan Ratih karena ia belum tahu selera makanan yang disukai oleh para majikannya. Setelah belanja sayur, ia sempat bertanya tempat jualan ikan pada pedagang disana. Ia menuju ke tempat ikan dan membeli beberapa jenis ikan. Lebih banyak ikan yang harus ia beli daripada sayuran tadi.
“Hey.” Sapa seseorang sambil menepuk bahu Ratih membuatnya terkejut.
Saat menoleh ia mendapati Diana dengan dandanan menor dan pakaian minim sedang berdiri dan tersenyum padanya.
“Ternyata kamu, Diana. Kukira siapa. Mengagetkan saja.” Kata Ratih sambil mengelus dadanya.
Diana tertawa terbahak-bahak.
“Bagaimana majikanmu? Apa mereka baik?” Tanya Diana pada Ratih, kini mereka berjalan bersama sambil berbelanja.
“Sangat baik. Mereka orang Indonesia.” Jawab Ratih.
“Apa? Beruntung sekali kamu.” Kata Diana.
Ratih hanya tersenyum. Masih ada beberapa jenis ikan lagi yang harus ia beli.
“Bagaimana denganmu? Majikanmu juga baik kan?” Tanya Ratih balik bertanya.
“Baik sih, tapi ternyata keluarga mereka sangat banyak. Aku pusing, pasti aku harus masak sangan banyak. Mencuci sangat banyak. Pokoknya pasti harus bekerja ekstra.” Kata Diana mulai meracau.
Ratih hanya senyum-senyum melihat Diana yang memang banyak bicara.
“Aku sudah selesai beli ikan. Harus ke tempat bumbu dan buah sekarang. Kamu ikut?” Tanya Ratih pada Diana.
“Nanti aku kesana. Kamu duluan saja. Masih banyak ikan yang harus aku beli.” Jawab Diana.
“Baiklah, kamu hati-hati ya.” Kata Ratih.
“Iya, kamu juga hati-hati.” Jawab Diana sambil menepuk bahu Ratih.
Ratih bergegas menuju ke penjual aneka bumbu dan juga buah. Sudah cukup lama ia berbelanja. Masih ada beberapa daftar belanjaan yang belum ia beli.
Setelah sekitar lima menit, akhirnya ia selesai dan bergegas kembali ke mobil. Takut Vania menunggu lama. Namun sesampainya di mobil, ia tidak melihat Vania disana.
“Vania belum kembali, Pak?” Tanya Ratih pada Pak Hadi.
“Belum, kan tadi belanjanya sama Neng Ratih.” Jawab Pak Hadi.
“Tolong masukkan belanjaan ini ya, Pak Hadi. Aku akan mencari Vania.” Kata Ratih kemudian pergi mencari Vania.
Seperti yang ia katakan, ia mencari Vania ke tempat jualan jajanan pasar namun Vania tak ada disana. Ratih mulai khawatir. Ratih mencoba mencari di tempat sekitarnya namun tak juga menemukannya. Ratih mulai kebingungan. Ia menyusuri setiap bagian dari pasar. Beberapa menit mencari ia tak kunjung menemukan Vania. Ratih kembali ke mobil dan meminta Pak Hadi ikut mencari. Mereka berpencar mencari Vania. Kini Ratih berada di bagian sepi dari pasar itu, dekat WC umum. Tak terlihat ada orang disana, namun saat hendak meninggalkan tempat itu ia samar-samar mendengar perdebatan dan suara tangis. Ia mendekat ke sumber suara dan melihat Vania disana dengan seorang laki-laki yang berbicara kasar padanya. Vania terduduk di tanah, sedangkan laki-laki itu marah-marah sambil menunjuk-nunjuk wajah Vania. Sepertinya laki-laki itu juga orang Indonesia.
“Kamu pembunuh. Kamu sudah membunuh anakku.” Kata laki-laki itu.
Vania hanya menangis. Gang itu sangat sepi, orang lewat pun tak ada.
“Keluargamu kejam. Kamu pengkhianat.” Kata laki-laki itu lagi.
Tangis Vania makin kencang. Ratih tidak berani mendekat, sepertinya laki-laki itu bukan orang sembarangan..
“Wanita keji, wanita munafik.” Kata laki-laki itu lagi.
Melihat laki-laki misterius yang wajahnya juga tertutup itu mengangkat tangan dan hendak memukul Vania, Ratih spontan berteriak minta tolong dan berlari ke arah dua orang itu. Melihat keberadaan Ratih yang masih terus berteriak, laki-laki itu berlari tunggang langgang. Ratih memeluk dan menenangkan Vania. Terlihat beberapa orang mulai berdatangan karena mendengar teriakan Ratih, begitu juga dengan Pak Hadi. Mereka bertanya-tanya tentang apa yang terjadi namun tak mendapatkan jawaban. Pak Hadi mendekat. Tubuh Vania gemetar, ia masih menangis ketakutan.
“Bantu aku membawa Vania ke mobil, Pak.” Kata Ratih pada Pak Hadi.
Pak Hadi mengangguk dan membantu Ratih. Jajanan yang tadi dibeli Vania berceceran di sekitar sana. Entah apa yang sudah terjadi dan entah apa yang akan terjadi jika Ratih tidak ada disana. Ratih tidak berani bertanya apa pun. Vania terlihat masih sangat terguncang. Dia ketakutan. Kerumunan sudah mulai menghilang sepeninggal Ratih dan Vania.
Sesampainya di mobil, Vania menangis lagi. Ratih meminta Pak Hadi untuk segera melajukan mobilnya dan pulang ke rumah.
“Terima kasih sudah menyelamatkan aku, Ratih.” Ucap Vania setelah terlihat agak tenang namun air matanya masih mengalir.
Ratih hanya mengangguk dan mengelus pundak Vania. Ratih masih bingung dengan apa yang baru saja ia saksikan. Ia bertanya-tanya dalam hati. “Siapa sebenarnya laki-laki tadi? Kenapa ia sangat marah pada Vania? Dan mengapa ia mengatakan bahwa Vania adalah pembunuh ?
Hening, tidak ada percakapan sama sekali selama perjalanan menuju rumah. Ratih melirik Vania yang terlihat masih sangat terpukul. Sesekali ia bahkan melihat Vania masih sesenggukan sambil menyeka air matanya. Apa Vania juga memiliki masalah yang besar seperti yang ia miliki? Mobil sudah memasuki halaman rumah. Setelah mobil berhenti, Vania langsung saja berlari masuk ke dalam rumah. Ratih hanya memandanginya dengan tatapan iba. Ratih lalu mengambil barang-barang belanjaannya dan dibantu oleh Pak Hadi untuk membawanya masuk ke rumah.“Neng Ratih tadi lihat apa yang terjadi pada Non Vania?” Tanya Pak Hadi pada Ratih.Ratih hanya mengangguk, enggan menanggapi karena dia sendiri masih bingung menelaah apa yang baru saja dilihatnya.Saat masuk ke dalam rumah, Ratih mendengar Vania menangis dengan keras. Lalu melihat Vania menangis dalam dekapan Ibunya.“Dia datang, Bu. Dia kembali. Apa yang harus aku lakukan? Dia menemukanku, dia pasti akan m
Suara ayam berkokok bersahut-sahutan berhasil mengganggu tidur Sarah. Pagi itu, Sarah bangun pukul 05.00 WIB. Buka apa-apa, ia hanya malas berdebat dengan suaminya. Meski bagaimana pun, sebagai istri ia tetap harus menghormati suami. Rahman memang terlalu memanjakan Sarah, bisa dibilang ia takut istri. Namun jika menyangkut tentang Ratih, Bude Rima dan juga Syena, Rahman tak pernah tinggal diam. Ia tidak suka bila ada yang mengusik mereka. Pagi itu, Sarah melakukan tugas yang biasa dilakukan oleh Ratih. Membuatkan minuman hangat dan juga sarapan pagi untuk semua orang.“Tumben.” Kata Rahman ketika hendak ke kamar mandi dan melihat istrinya sudah sibuk di dapur.“Aku bangun pagi salah, tidak bangun pagi pun salah. Memang serba salah aku ini.” Jawab Sarah asal.Rahman hanya tersenyum, lalu meninggalkan istrinya dan pergi mandi.Seperti biasa, Syena sudah sibuk dengan pekerjaannya mencuci piring. Bude Rima sedang menyapu halaman depan
BrakkkOjek motor yang ditumpangi Ratih mendadak roboh karena menghindari seseorang yang menyeberang jalan tanpa melihat kanan dan kiri dulu. Untung saja Ratih tidak apa-apa. Ratih melihat ke arah orang yang berlari. Ia ingat betul, ciri-ciri orang itu sama persis dengan laki-laki-laki yang memarahi Vania di pasar waktu itu. Karena rasa penasarannya, Ratih memberikan selembar uang pada tukang ojek kemudian berlari mengejar orang tersebut sampai lupa apa tujuannya kembali ke rumah. Sebenarnya ia lupa membawakan bekal untuk si kembar, ia berinisiatif untuk pulang naik ojek untuk mengambilkan bekal makanan si kembar sedangkan Pak Hadi tetap melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah. Namun ia tidak menyangka akan melihat hal ini, ia ingin mengungkap semuanya. Jarak mereka cukup jauh, laki-laki itu berlari amat kencang, namun ketika di pertigaan jalan, lagi-lagi laki-laki itu hampir ditabrak oleh motor. Ia berhasil menghindar namun justru terjatuh.“Sial.” Ucap o
Sekitar 15 menit perjalanan yang ditempuh oleh Rahman dari tempat kerja sampai rumah sakit. Rumah sakit itu berada di daerah yang sudah memasuki perkotaan. Banyak pertanyaan yang muncul di benak Rahman. Namun yang paling ia khawatirkan adalah keadaan istri dan anaknya saat ini. Rahman menuju ruang IGD, masih ada beberapa polisi disana. Ia mendekat dan hendak menanyakan keberadaan kedua orang yang dia sayangi pada beberapa polisi itu. Ia yakin kalau istri dan anaknya masih ada di ruang IGD. Namun baru beberapa langkah, ia melihat Sarah tengah menggandeng Gladys yang kepalanya diperban. Melihat hal itu Rahman segera mempercepat langkahnya. Sarah melihat kedatangan Rahman, ia takut Rahman akan memarahinya. Setelah begitu dekat, tanpa kata Rahman langsung memeluk Sarah dan Gladys. Beberapa saat mereka hanya saling diam satu sama lain, polisi dan beberapa perawat yang ada disana hanya diam menyaksikan.“Kalian masih sakit kenapa disini?” Tanya Rahman, mat
Hari ini, Ratih langsung kembali ke rumah setelah mengantar si kembar ke sekolah. Ia harus ke pasar karena semua bahan makanan di rumah sudah habis.“Kamu mau kemana, Ratih?” Tanya Vania dengan riang seakan tak pernah terjadi sesuatu padanya.“Aku hendak ke pasar, Vania.” Jawab Ratih sambil mengambil tas belanja.“Aku ikut.” Kata Vania memohon.Ratih hanya diam, jika menolak maka dia akan dianggap tidak sopan karena berani menentang keinginan majikan, namun jika ia mengizinkan Vania ikit, ia takut jika hal yang sama akan terjadi lagi.“Kamu tetap diam di rumah, jika kamu ingin membeli jajanan pasar seperti biasa cukup titip saja pada Ratih. Ini uangnya.” Kata Oma Rahma sembari memberikan uang belanja untuk Ratih.“Ma, aku yakin aku bisa jaga diri. Dia tidak akan berani menemuiku lagi.” Kata Vania meyakinkan Oma Rahma.“Atas dasar apa kamu berkata demikian? Laki-laki bre
Pak Hadi segera mengantar Ratih pulang. Ratih masih sangat kaget dengan kejadian yang dia alami tadi. Sama sekali tidak terpikirkan olehnya jika orang itu punya keinginan untuk membunuh Ratih. Jika memang demikian, bisa dipastikan bahwa orang itu adalah orang tidak baik dari masa lalu Ratih. Lalu siapa yang bisa memberitahu pada Ratih tentang orang itu? Ya, Vania dan Oma Rahma pasti tahu siapa laki-laki itu. Ratih akan berusaha mencari tahu. Sesampainya di rumah, terlihat Oma Rahma dan Vania sudah menunggu di depan. Pasti mereka tahu apa yang baru saja menimpa Ratih. Ratih turun dari mobil, hendak mengambil barang belanjaan namun dihentikan oleh Vania.“Ratih, kamu masih sangat lemas. Ikut aku. Biar Pak Hadi yang membawa masuk semua barang belanjaannya.” Kata Vania sambil menggandeng tangan Ratih.Tanpa disuruh pun, Pak Hadi dengan sigap mengambil barang-barang dari bagasi dan segra membawanya masuk.Ratih masuk ke rumah digandeng oleh Oma Rahma dan
Sang mentari telah menampakkan semburat sinarnya, Sarah sudah bangun sedari tadi. Sejak kecelakaan itu, ia memang berusaha untuk terlihat rajin di hadapan suaminya. Bukan karena memang berubah, hanya sementara agar suaminya mau mengurus dan mengambil motornya di kantor polisi. Sarah bosan jika setiap hari harus kembali seperti dulu, kemana-mana harus berjalan kaki.“Mas, ayolah. Kenapa tidak segera mengambil motorku di kantor polisi? Kalau motorku kelamaan tidak diambil nanti malah diambil alih sama polisi lho.” Bujuk Sarah, sama sekali tidak digubris oleh Rahman.Rahman masih melanjutkan kesibukannya memandikan burung kesayangannya, akhir-akhir ini Rahman punya hobi baru yaitu memelihara burung berkicau. Akhir-akhir ini dia juga berangkat agak siang untuk mengantar Gladys dan Syena ke sekolah. Rahman selalu mengajak Syena turut serta naik motor ketika hendak mengantar Gladys. Meskipun Syena menolak, Rahman tetap akan memaksa. Berbeda dengan Sarah.&
Waktu demi waktu berlalu, rasanya seperti tiba-tiba saja. Kini, Syena dan Gladys tengah menjalani ulangan kenaikan kelas. Itu artinya sudah hampir satu tahun Ratih merantau di Negri orang. Ratih selalu menghubungi anaknya via telepon, melepas rindu lewat suara. Syena, gadis kecil yang sama sekali tidak pernah bertemu dengan Ayahnya dan bahkan tak pernah mengetahui siapa nama Ayahnya itu kini sudah tumbuh menjadi gadis kecil yang sangat baik dan berpikiran dewasa jika dibandingkan dengan anak seusianya. Namun tak bisa dipungkiri, setiap kenaikan kelas dan para wali murid mengambil rapor dan tepat saat itu juga diadakan pementasan yang disaksikan oleh para wali murid juga pengumuman juara dan kedua orang tua para juara disuruh ikut naik ke atas panggung, ia selalu sedih. Dan kesedihan itu kini akan semakin terasa karena Ibunya bahkan tidak ada di sampingnya sekarang. Entah siapa yang akan menjadi walinya nanti, jika bukan kedua orang tua Gladys maka Neneknya yang akan mewakili.
Sepulang dari jalan-jalan, waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Tepat saat sampai di rumah, terdengar azan magrib berkumandang. Dari kejauhan Romi dapat melihat Rahman yang sedang mengambil air wudu di samping rumahnya. Saat mobil mulai memasuki halaman rumah, Rahman yang hendak masuk ke dalam rumah menghentikan langkahnya sejenak. Dia melihat ke arah mobil dengan dahi berkerut, penasaran dengan siapa yang ada di dalam mobil. Setelah melihat Romi, Gladys dan Syena turun dati mobil, Rahman terlihat tersenyum. Rahman menghampiri Romi dan mereka pun saling berpelukan. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu, bagaimana keadaanmu?” tanya Rahman sambil melepas pelukan. “Maaf atas kesibukanku, aku baik-baik saja seperti dirimu.” Jawab Romi memperlihatkan senyumnya. Mendengar mereka bercakap-cakap, Gladys dan Syena memilih untuk masuk ke dalam rumah. “Mari masuk, kita salat magrib berjamaah dulu.” Kata Rahman. Romi hanya mengangguk, ia mengambil air
Frans sedang duduk di toko depan sekolah Syena, dia sebenarnya belum tahu nama anak itu. Jadi dia ingin tahu lebih banyak tentang keponakannya itu. Menurut perkiraannya, anak sekolah sebentar lagi akan pulang. Dan benar saja, baru dia meneguk air dari minuman dingin yang dia beli di toko itu terlihat satpam sudah membuka pintu gerbang dan diikuti oleh beberapa anak di belakangnya. Dia segera menyeberang jalan, dia sudah mengatur rencana agar seolah-olah pertemuannya dengan Syena tanpa disengaja. “Eh, maaf.” Ucap Syena ketika merasa menabrak seseorang, dia sedang berjalan sambil memeriksa isi tasnya. Frans memanfaatkan momen itu sehingga seolah tidak disengaja. “Iya, tidak apa-apa. Kamu anak yang tadi pagi, kan?” Tanya Frans menunjuk Syena. Syena mengangguk sambil tersenyum. “Syena, tunggu. Kita pulang bareng ya.” Ucap Gladys dari belakang. Frans terkejut melihat Gladys, jantungnya berdetak kencang. Entah mengapa dia seperti menemukan seseorang
Pagi itu Syena berangkat ke sekolah seorang diri seperti biasanya. Masih dengan buku di tangannya, ia berjalan sambil belajar. Ulangan susulan hari ini adalah pelajaran biologi. Pelajaran yang kurang disenangi oleh Syena karena penuh dengan hafalan dan juga nama-nama latin. Pelajaran ini adalah satu-satunya yang selalu mendapat nilai di bawah 8. Saat sedang sibuk menghafal, tiba-tiba ada dua anak laki-laki berlarian dari belakang Syena. Salah satu dari mereka menyenggol bahu Syena sampai buku yang dari tadi dipegangnya terjatuh. Tanpa melihat kiri kanan, Syena langsung saja mengambil buku itu. “Awas !” teriak seseorang sambil menarik lengan Syena. Syena dan orang yang menolongnya sama-sama terjatuh ke pinggir jalan yang dipenuhi rerumputan. Syena terkejut, hampir saja sebuah mobil menabraknya hanya karena ia ingin mengambil bukunya yang terjatuh. Jantungnya masih berdetak sangat kencang, untung saja setelah ia mengambil buku itu orang tadi sigap menarik lengannya.
Pagi ini, Rahman menengok ke kamar ibunya sebelum berangkat kerja. Dia juga membawakan sarapan dan teh hangat untuk ibunya. Ibunya terlihat masih sangat pucat. “Bu, ini Rahman bawakan bubur ayam untuk sarapan. Dimakan ya, Bu. Rahman mau pamit kerja dulu.” Pamit Rahman dengan nada setengah berbisik, tidak mau membangunkan ibunya yang terlihat masih tertidur lelap. Setelah itu Rahman keluar dari kamar ibunya, anak-anak sudah berangkat sekolah sejak tadi. Sedangkan Sarah tengah pergi belanja. Drrrt drrrt drrrt “Siapa telepon pagi-pagi begini?” Gumam Rahman sambil merogoh sakunya dan mengambil benda yang bergetar itu. Ratih, melihat nama yang terpampang jelas di ponselnya itu Rahman segera mengangkat telepon tersebut. “Pagi, Mas Rahman,” Sapa Ratih dari sambungan telepon. “Iya, Ratih. Ada apa telepon pagi-pagi begini?” tanya Rahman penasaran. “Maaf mengganggu, Mas. Aku hanya ingin menanyakan kabar Syena. Apa dia sudah pulan
“Nenek,” teriak Syena berlari ke arah Bude Rima untuk melihat keadaannya. Mendengar teriakan Syena, Rahman, Sarah serta Gladys berlari menuju sumber suara. Rahman sangat terkejut ketika mendapati ibunya sudah pingsan dengan Syena di sampingnya. “Apa yang telah terjadi pada ibuku?” tanya Rahman panik, segera mengangkat tubuh ibunya dan menidurkannya ke sofa ruang tamu. Sarah segera mengambilkan minyak angin sedangkan Gladys kini duduk di samping neneknya. Bude Rima terlihat sangat pucat dan badannya lemas. “Nenek kenapa, Pakde?” tanya Syena khawatir. “Pakde juga tidak tahu, Syena.” Jawab Rahman sambil meletakkan minyak angin yang telah diberikan oleh Sarah di dekat hidung ibunya. Sampai sekitar 10 menit, Bude Rima tak juga sadarkan diri. Rahman semakin panik. Dia menghubungi temannya yang memiliki mobil, hendak meminjam mobilnya untuk membawa Bude Rima ke rumah sakit. Selama menunggu kedatangan mobil yang akan membawa Bude Rima
Frans sedang bersantai di tempat persembunyiannya di Hongkong. Hari ini, dia sedang malas melakukan sesuatu. Apalagi dengan tugas yang baru saja diberikan oleh ibunya. Bukannya semangat untuk segera mengerjakan, dia justru malas-malasan. Dia bosan harus selalu menuruti keinginan ibunya untuk mengerjakan segala urusan yang ia anggap penting. Hal seperti itu selalu membuat Frans sibuk dan akhirnya urusannya sendiri dalam mencari tahu keberadaan anaknya sendiri selalu tersisihkan. Ya, motif Frans selalu mengintai Vania adalah ingin mengetahui keberadaan anaknya. Frans dan Vania dulu adalah sepasang kekasih yang saling mencintai, hingga suatu hari Vania memperkenalkan Frans pada keluarganya. Semua menyambut Frans dengan baik. Hingga kemudian Frans menceritakan siapa ibunya dan membuat keluarga Vania menolaknya mentah-mentah. Marlina adalah saingan terbesar bisnis keluarga Vania. Marlina memang pebisnis perempuan yang hebat namun memiliki banyak musuh. Keluarga Vania mengusir Fra
“Sudah siap semua, Syena? Pastikan tidak ada satu pun barang yang tertinggal.” Kata Rahman kepada Syena. Hari ini, Syena sudah dinyatakan sembuh oleh dokter. Jadi mereka akan segera pulang. “Sudah, Pakde.” Jawab Syena. Kemudian Rahman mengambilkan kursi roda untuk Syena. Namun justru Syena menolak. “Untuk apa kursi roda itu, Pakde? Aku sudah sehat, sudah sembuh. Aku bisa berjalan sendiri.” Kata Syena sambil menyunggingkan senyuman kepada pakdenya. “Oh, baiklah. Mari kita pulang.” Kata Rahman menggandeng tangan Syena. Bahkan pulang pun mereka naik motor. Syena sudah sembuh, meskipun perban di kepalanya juga belum dilepas. Rencananya akan dilepas ketika kontrol nanti dam jika memang semua lukanya sudah sembuh total. Perjalanan dari rumah sakit ke rumah tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu sekitar 2p menit. Akhirnya mereka sampai di rumah, dari kejauhan sudah terlihat Bude Rima yang sedang menyapu halaman
Vania tengah menyiram tanaman di halaman rumah sekarang, dia bahkan terdengar bersenandung. “Vania, biar saya saja yang menyiram tanamannya. Masak majikan menyiram tanaman sedangkan ada pembantu di rumah.” Kata Ratih pada Vania. Vania tertawa kecil mendengar ucapan Ratih. “Sudahlah, kamu masak saja sana di dapur. Lagi pula ini juga bukan pekerjaanmu. Ini pekerjaan tukang kebun yang kebetulan izin karena istrinya hendak melahirkan.” Jawab Vania masih asyik dengan kesibukannya tanpa begitu menghiraukan keberadaan Ratih. “Baiklah kalau begitu saya permisi, dulu.” Kata Ratih. “Eh, Ratih. Kapan jadwal pergi ke pasar? Rasanya aku rindu sekali dengan jajanan pasar.” Kata Vania, kini dia berhenti menyiram tanaman dan mengajak Ratih berbincang. “Dua hari lagi. Tapi Oma Rahma tidak akan mengizinkanmu pergi ke pasar lagi. Aku juga takut akan terjadi apa-apa padamu seperti waktu itu.” Jawab Ratih menunjukkan kekhawatirannya. “Iya, aku tahu
Syena mengerjapkan matanya perlahan, sinar matahari yang masuk melalui celah jendela berhasil membangunkannya. Ia melihat pakdenya berdiri di ambang jendela, penglihatannya mengarah ke taman. Begitu menyadari Syena sudah terbangun, Rahman segera mendekat ke arah Syena.“Mau jalan-jalan ke taman?” tanya Rahman dengan senyum semringah.Syena mengangguk, tapi terlebih dulu Rahman membersihkan wajah Syena dengan washlap yang telah dicelupkan pada air hangat yang telah ia siapkan. Setelah selesai, Rahman membawa kursi roda dan membantu Syena turun dari ranjang kemudian duduk ke kursi roda.“Mari kita jalan-jalan.” Kata Rahman pada Syena.Mereka menyusuri lorong rumah sakit yang masih terlihat sepi. Hanya ada beberapa keluarga penunggu pasien yang terlihat sedang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing. Mereka menuju taman yang berada tepat di belakang ruangan Syena dirawat. Sesampainya di sana, wajah Syena mulai berubah. Udara sej