Brakkk
Ojek motor yang ditumpangi Ratih mendadak roboh karena menghindari seseorang yang menyeberang jalan tanpa melihat kanan dan kiri dulu. Untung saja Ratih tidak apa-apa. Ratih melihat ke arah orang yang berlari. Ia ingat betul, ciri-ciri orang itu sama persis dengan laki-laki-laki yang memarahi Vania di pasar waktu itu. Karena rasa penasarannya, Ratih memberikan selembar uang pada tukang ojek kemudian berlari mengejar orang tersebut sampai lupa apa tujuannya kembali ke rumah. Sebenarnya ia lupa membawakan bekal untuk si kembar, ia berinisiatif untuk pulang naik ojek untuk mengambilkan bekal makanan si kembar sedangkan Pak Hadi tetap melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah. Namun ia tidak menyangka akan melihat hal ini, ia ingin mengungkap semuanya. Jarak mereka cukup jauh, laki-laki itu berlari amat kencang, namun ketika di pertigaan jalan, lagi-lagi laki-laki itu hampir ditabrak oleh motor. Ia berhasil menghindar namun justru terjatuh.
“Sial.” Ucap orang itu samar-samar terdengar oleh Ratih.
Kini jarak mereka sudah dekat, bahkan amat dekat. Ratih seperti mengenal suara orang tersebut. Seperti tak asing di telinganya. Ia pelan-pelan berjalan mendekati orang yang berusaha bangun dengan susah payah itu.
“Berhenti disana. Siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu ingin melukai Vania? Apa masalah kalian sebenarnya?” Tanya Ratih ragu, ia ingat betapa kasarnya laki-laki itu. Ia tidak bisa membayangkan jika dirinya bisa saja diperlakukan seperti Vania saat itu, apalagi suasananya cukup sepi.
“Apa maumu? Mengapa ikut campur? Dan mengapa mengejarku? Mau jadi jagoan?” Kata orang itu terlihat sangat kesal tanpa memandang ke arah Ratih sedikit pun.
“Aku hanya ingin tahu apa masalahmu dengan keluarga majikanku. Jika kau punya masalah, seharusnya kau bisa menyelesaikannya dengan baik-baik. Bukan dengan cara seperti itu. Dan tadi, apa yang hendak kamu lakukan? Mengapa kamu datang lagi ke rumah majikanku? Apa masih kurang kejadian kemarin di pasar?” Tanya Ratih bertubi-tubi mencoba memberanikan diri.
Mendengar Ratih yang banyak bicara membuat orang itu memandang ke arah Ratih dan terkejut melihat Ratih.
“Ra Ra Ratih. Kamu Ratih?” Tanya orang itu, sekarang ia sudah berdiri sejajar dengan Ratih.
Ratih sama terkejutnya, bagaimana bisa laki-laki itu mengenal Ratih?
“Siapa kamu sebenarnya? Dan dari mana kamu tahu namaku?” Tanya Ratih lagi, kali ini ia mulai gemetar.
“Bukannya kamu sudah meninggal bersama anak dalam kandunganmu dalam kecelakaan itu?” Tanya orang itu.
Jelas saja Ratih terkejut. Meninggal? Kecelakaan? Ia bahkan tidak paham dengan yang dikatakan oleh orang tersebut. Seingatnya, ia tidak pernah mengalami kecelakaan parah atau yang bisa menyebabkan kematian. Lalu mengapa orang itu berkata demikian?
“Apa maksudmu? Siapa kamu sebenarnya?” Tanya Ratih lagi.
Bukannya menjawab, orang itu justru berbalik badan dan berlari meninggalkan Ratih. Ratih tak kuasa lagi mengejar, ia masih bingung dengan yang dikatakan oleh orang tersebut. Jika ia mengenal Ratih, berarti ia adalah orang yang berasal dari masa lalu Ratih. Tapi siapa?
Drrrttt drrrttt drrrttt
Getaran ponsel menyadarkan Ratih dari lamunannya. Ia melihat nama yang terlihat di layar ponselnya. Pak Hadi. Ratih menepuk jidatnya, kemudian mengangkat ponselnya.
“Halo, Pak Hadi.” Sapa Ratih sambil berjalan cepat kembali ke rumah majikannya.
“Kamu dimana Ratih? Kenapa tidak kembali ke sekolah?” Tanya Pak Hadi.
“Iya, Pak. Sebentar lagi saya kesana. Mohon ditunggu, Pak. Anak-anak suruh masuk saja. Nanti saya yang antarkan bekalnya ke kelas.” Kata Ratih, kini ia sudah di depan rumah mewah itu.
Ratih bergegas masuk ke dalam rumah dan mendapati bekal makanan itu masih tergeletak di atas meja makan. Ia segera mengambilnya dan membawanya kembali ke sekolah. Saat melewati pintu kamar Vania, ia mendengar suara tangisan Vania yang samar-samar terdengar dari luar karena pintu kamar tidak tertutup rapat.
“Kenapa kamu harus kembali? Kemana lagi aku harus pergi untuk menghindarimu? Andai aku lebih percaya dengan orang tuaku, mungkin semua ini tak akan terjadi. Tapi cinta telah membutakan aku, aku keliru menilai dirimu.” Ucap Vania dalam tangisnya.
Ratih semakin bingung dengan yang dialami oleh Vania, Cinta? Vania mengatakan cinta telah membutakannya? Apakah di antara mereka berdua pernah terjalin kasih? Ah, entahlah. Ratih menyadari bahwa sepertinya ia terlalu hanyut dalam rasa penasarannya. Yang terpenting sekarang, ia harus segera mencari ojek atau apa pun yang bisa mengantarnya kembali ke sekolah untuk mengantar bekal.
Di kampung halaman
“Kita jalan-jalan yuk sayang.” Kata Sarah pada Gladys yang tengah belajar, terlihat benar bahwa anak itu kesusahan.
“Ibu, kenapa mengajakku jalan-jalan. Ibu lihat kan kalau Gladys sedang belajar. Pelajaran Matematika ini sangat susah. Lebih baik Ibu mengajariku.” Jawab Gladys masih berkutat dengan deretan angka yang berjajar rapi di bukunya.
Sarah mendengus mendengar jawaban putrinya, bagaimana bisa ia mengerjakan pelajaran matematika? Dari dulu ia sangat membenci pelajaran itu dan alhasil nilai di raportnya tidak pernah baik.
“Kenapa kamu tidak minta jawaban pada Syena saja. Ibu yakin dia pasti sudah mengerjakannya.” Kata Sarah dengan wajah sumringah.
“Ibu benar, Gladys akan meminta Syena untuk mengajari tugas ini.” Jawab Gladys hendak beranjak pergi ke kamar Syena namun ditahan oleh Sarah.
“Tidak perlu meminta diajari. Kamu salin saja jawabannya, itu lebih cepat. Dan kita bisa segera jalan-jalan. Ibu bosan di rumah.” Kata Sarah lagi.
“Tapi nanti Gladys jadi tidak paham kalau hanya menyalin? Nanti kalau ditanya Bu Guru di sekolah atau mendadak ulangan harian pasti Gladys dapat nilai jelek.” Jawab Gladys lagi.
“Sudahlah, sejak kapan kamu membantah perintah Ibu? Lakukan seperti yang Ibu minta. Masalah minta diajari itu bisa lain waktu. Yang penting sekarang kamu salin jawaban Syena dulu.” Kata Sarah.
Gladys hanya menurut saja. Ia tidak ingin berdebat dengan Ibunya. Gladys segera ke kamar Syena dan meminjam buku tugas matematika milik Syena.
“Aku pinjam buku tugas matematikamu sebentar, Syena.” Kata Gladys yang tengah berdiri di pintu kamar Syena.
“Aku baru saja selesai, mari aku ajari cara mengerjakannya. Kalau? hanya menyalin, nanti kamu tidak paham dengan pelajarannya.” Kata Syena sambil tersenyum.
“Jangan sok pintar kamu, Gladys sudah mengerjakannya sendiri. Dia hanya ingin mengoreksi tugasnya dengan tugasmu. Jika sudah benar, nanti juga bukumu akan dikembalikan. Jika ada yang Gladys tidak paham, tanpa kamu minta pun dia akan minta kamu untuk mengajarinya. Jadi berikan saja bukumu dan segera lakukan pekerjaanmu membereskan rumah.” Kata Sarah yang sudah bergabung bersama mereka.
Syena tidak berani membantah. Ia segera mengambil bukunya dan memberikannya pada Gladys, setelah itu ia keluar dari kamar untuk mengerjakan berbagai tugas rumah. Bude Rima sedang berada di tempat terapi, tadinya diantar oleh Sarah lalu kemudian ditinggal pulang dan akan kembali di jemput ketika terapi sudah selesai. Rahman masih kerja, ia selalu pulang malam. Jadi Sarah bisa dengan leluasa ingin berbuat apa saja. Termasuk menyuruh Syena untuk mengerjakan segala pekerjaan rumah yang seharusnya ia selesaikan.
“Sudah, Bu. Mari kita pergi jalan-jalan.” Kata Gladys pada Ibunya.
Sarah sangat gembira, sudah lama ia ingin jalan-jalan jauh naik motor barunya itu.
“Syena, Bude sama Gladys mau pergi dulu. Nanti kalau Nenekmu telepon, kamu datang saja ke pangkalan ojek depan gang dan minta salah satu dari mereka untuk menjemput nenekmu. Bude tidak sabar kalau harus menunggunya.” Kata Sarah yang sekarang sudah duduk di atas motornya bersama Gladys.
Tanpa menunggu jawaban dari Syena, Sarah langsung melajukan motornya. Entah kemana mereka akan pergi, padahal Sarah baru bisa naik motor dan belum begitu lancar dalam menjalankan motornya.
Banyak yang harus dikerjakan oleh Syena, mulai dari menyapu, mengepel lantai, menyapu halaman, menjemur pakaian, dan mengangkat pakaian yang sudah kering lalu melipat dan merapikannya.
Tok tok tok
Suara pintu di ketuk dari luar. Syena segera berlari menuju sumber suara dan segera membuka pintu. Ia terkejut mendapati Neneknya sudah sampai rumah, padahal ia sama sekali tidak mendengar suara telepon.
“Nenek pulang naik apa?” Tanya Syena pada neneknya yang terlihat sangat kelelahan.
“Jalan kaki. Charger handphone Nenek habis, jadi nenek tidak bisa menghubungi rumah. Selain itu, Nenek juga lupa membawa dompet jadi tidak bisa naik angkot maupun ojek. Di daerah sana angkutan umum maupun ojek juga sangat susah dicari. Jadi Nenek putuskan untuk jalan kaki saja.” Jawab Bude Rima yang berjalan tertatih menuju kursi.
Tanpa aba-apa, Syena langsung ke dapur untuk mengambilkan segelas air minum untuk Bude Rima.
“Minumlah, Nek. Setelah itu, Nenek istirahat.” Kata Syena yang sekarang sudah duduk di samping Bude Rima sambil memijat kaki Neneknya itu yang memang diselonjorkan.
“Dimana Sarah dan Gladys, dari tadi Nenek tidak melihat mereka.” Tanya Bude Rima karena sedari tadi tidak mendapati Sarah dan Gladys.
“Mereka pergi jalan-jalan, Nek. Bude Sarah bilang kalau ia bosan terus di rumah saja.” Jawab Syena jujur.
“Kemana mereka pergi? Nenek takut terjadi apa-apa dengan mereka. Sarah itu baru bisa naik motor dan biasa di jalan kampung yang sepi. Nenek Khawatir mereka pergi melewati jalan raya yang sangat ramai.” Kata Bude Rima terlihat amat khawatir.
“Sudahlah, Nek. Doakan saja semoga mereka baik-baik saja.” Kata Syena menenangkan, “ Sekarang, Nenek istirahat dulu.” Sambung Syena.
Bude Rima hanya mengangguk, ia istirahat di sofa ruang tamu. Syena kembali melanjutkan pekerjaannya. Bude Rima kasihan melihat Syena, di sisi lain ia bangga melihat Syena yang sangat mandiri dan tidak manja. Terukir senyuman di bibir Bude Rima.
Kriiing kriiing kriiing
Suara telepon rumah mengejutkan Bude Rima yang tengah istirahat. Ia bergegas menggapai telepon rumah yang berada tak jauh darinya dan segera mengangkatnya.
“Halo, selamat siang.” Sapa Bude Rima.
“Selamat siang. Benar ini rumah kediaman Pak Rahman?” Tanya seorang laki-laki di seberang sana.
“Iya benar, ada apa ya?” Tanya Bude Rima mulai khawatir.
“Kami ingin mengabarkan bahwa istri dari Pak Rahman mengalami kecelakaan. Tidak parah, namun mereka tidak bisa kembali ke rumah sendiri. Mereka ada di RS. Sehat Sentosa sekarang.” Kata orang itu lagi.
Bude Rima tak mampu berkata apa-apa, ia terlalu kaget sampai menjatuhkan telepon rumah. Syena yang mendengar suara benda jatuh segera menghampiri.
“Ada apa, Nek?” Tanya Syena panik.
“Sarah dan Gladys kecelakaan. Kamu tolong telepon Pakde mu.” Perintah Nenek.
Syena segera membuka buku telepon dan mencari nomor Rahman kemudian meneleponnya untuk mengabari bahwa Sarah dan Gladys kecelakaan.
“Halo, ada apa?” Tanya Rahman.
“Pakde, ini Syena. Bude dan Gladys mengalami kecelakaan.” Kata Syena.
“Apa?” Tanya Rahman memastikan.
Bude Rima meminta teleponnya dan bicara pada Rahman.
“Mereka tidak apa-apa. Kamu ke RS. Sehat Sentosa sekarang. Mereka tidak bisa pulang sendiri. Jangan terlalu panik ya, kamu juga hati-hati.” Kata Bude Rima.
Sambungan telepon mendadak terputus, Rahman langsung menuju ke Rumah Sakit. Pikirannya tidak karuan. Jika tidak apa-apa, mengapa ada di rumah sakit? Pikir Rahman secepat mungkin melajukan motor kesayangannya menuju ke Rumah Sakit.
Sekitar 15 menit perjalanan yang ditempuh oleh Rahman dari tempat kerja sampai rumah sakit. Rumah sakit itu berada di daerah yang sudah memasuki perkotaan. Banyak pertanyaan yang muncul di benak Rahman. Namun yang paling ia khawatirkan adalah keadaan istri dan anaknya saat ini. Rahman menuju ruang IGD, masih ada beberapa polisi disana. Ia mendekat dan hendak menanyakan keberadaan kedua orang yang dia sayangi pada beberapa polisi itu. Ia yakin kalau istri dan anaknya masih ada di ruang IGD. Namun baru beberapa langkah, ia melihat Sarah tengah menggandeng Gladys yang kepalanya diperban. Melihat hal itu Rahman segera mempercepat langkahnya. Sarah melihat kedatangan Rahman, ia takut Rahman akan memarahinya. Setelah begitu dekat, tanpa kata Rahman langsung memeluk Sarah dan Gladys. Beberapa saat mereka hanya saling diam satu sama lain, polisi dan beberapa perawat yang ada disana hanya diam menyaksikan.“Kalian masih sakit kenapa disini?” Tanya Rahman, mat
Hari ini, Ratih langsung kembali ke rumah setelah mengantar si kembar ke sekolah. Ia harus ke pasar karena semua bahan makanan di rumah sudah habis.“Kamu mau kemana, Ratih?” Tanya Vania dengan riang seakan tak pernah terjadi sesuatu padanya.“Aku hendak ke pasar, Vania.” Jawab Ratih sambil mengambil tas belanja.“Aku ikut.” Kata Vania memohon.Ratih hanya diam, jika menolak maka dia akan dianggap tidak sopan karena berani menentang keinginan majikan, namun jika ia mengizinkan Vania ikit, ia takut jika hal yang sama akan terjadi lagi.“Kamu tetap diam di rumah, jika kamu ingin membeli jajanan pasar seperti biasa cukup titip saja pada Ratih. Ini uangnya.” Kata Oma Rahma sembari memberikan uang belanja untuk Ratih.“Ma, aku yakin aku bisa jaga diri. Dia tidak akan berani menemuiku lagi.” Kata Vania meyakinkan Oma Rahma.“Atas dasar apa kamu berkata demikian? Laki-laki bre
Pak Hadi segera mengantar Ratih pulang. Ratih masih sangat kaget dengan kejadian yang dia alami tadi. Sama sekali tidak terpikirkan olehnya jika orang itu punya keinginan untuk membunuh Ratih. Jika memang demikian, bisa dipastikan bahwa orang itu adalah orang tidak baik dari masa lalu Ratih. Lalu siapa yang bisa memberitahu pada Ratih tentang orang itu? Ya, Vania dan Oma Rahma pasti tahu siapa laki-laki itu. Ratih akan berusaha mencari tahu. Sesampainya di rumah, terlihat Oma Rahma dan Vania sudah menunggu di depan. Pasti mereka tahu apa yang baru saja menimpa Ratih. Ratih turun dari mobil, hendak mengambil barang belanjaan namun dihentikan oleh Vania.“Ratih, kamu masih sangat lemas. Ikut aku. Biar Pak Hadi yang membawa masuk semua barang belanjaannya.” Kata Vania sambil menggandeng tangan Ratih.Tanpa disuruh pun, Pak Hadi dengan sigap mengambil barang-barang dari bagasi dan segra membawanya masuk.Ratih masuk ke rumah digandeng oleh Oma Rahma dan
Sang mentari telah menampakkan semburat sinarnya, Sarah sudah bangun sedari tadi. Sejak kecelakaan itu, ia memang berusaha untuk terlihat rajin di hadapan suaminya. Bukan karena memang berubah, hanya sementara agar suaminya mau mengurus dan mengambil motornya di kantor polisi. Sarah bosan jika setiap hari harus kembali seperti dulu, kemana-mana harus berjalan kaki.“Mas, ayolah. Kenapa tidak segera mengambil motorku di kantor polisi? Kalau motorku kelamaan tidak diambil nanti malah diambil alih sama polisi lho.” Bujuk Sarah, sama sekali tidak digubris oleh Rahman.Rahman masih melanjutkan kesibukannya memandikan burung kesayangannya, akhir-akhir ini Rahman punya hobi baru yaitu memelihara burung berkicau. Akhir-akhir ini dia juga berangkat agak siang untuk mengantar Gladys dan Syena ke sekolah. Rahman selalu mengajak Syena turut serta naik motor ketika hendak mengantar Gladys. Meskipun Syena menolak, Rahman tetap akan memaksa. Berbeda dengan Sarah.&
Waktu demi waktu berlalu, rasanya seperti tiba-tiba saja. Kini, Syena dan Gladys tengah menjalani ulangan kenaikan kelas. Itu artinya sudah hampir satu tahun Ratih merantau di Negri orang. Ratih selalu menghubungi anaknya via telepon, melepas rindu lewat suara. Syena, gadis kecil yang sama sekali tidak pernah bertemu dengan Ayahnya dan bahkan tak pernah mengetahui siapa nama Ayahnya itu kini sudah tumbuh menjadi gadis kecil yang sangat baik dan berpikiran dewasa jika dibandingkan dengan anak seusianya. Namun tak bisa dipungkiri, setiap kenaikan kelas dan para wali murid mengambil rapor dan tepat saat itu juga diadakan pementasan yang disaksikan oleh para wali murid juga pengumuman juara dan kedua orang tua para juara disuruh ikut naik ke atas panggung, ia selalu sedih. Dan kesedihan itu kini akan semakin terasa karena Ibunya bahkan tidak ada di sampingnya sekarang. Entah siapa yang akan menjadi walinya nanti, jika bukan kedua orang tua Gladys maka Neneknya yang akan mewakili.
“Aw.” Ratih menekik kesakitan.Darah segar mengalir dari jari telunjuknya, segera ia mengambil tisu untuk membersihkan darah dari jarinya dan juga yang sudah menetes di meja. Pikirannya sejak tadi memang tidak enak, biasanya jika demikian sedang terjadi sesuatu pada putrinya. Ia jadi tidak fokus melakukan pekerjaannya.“Ada apa ini sebenarnya?” Tanya Ratih pada dirinya sendiri.Oma Rahma yang baru saja masuk ke dapur hendak mengambil minuman dingin terkejut saat melihat Ratih yang masih menggenggam tisu penuh darah. Ia segera mendekati Ratih.“Ada apa Ratih? Tanganmu kena pisau? Kenapa tidak hati-hati. Obati saja dulu, masaknya dilanjut lagi nanti.” Perintah Oma Rahma.Ratih hanya mengangguk lalu keluar dari dapur untuk mencari alat P3K di kotak dekat ruang keluarga. Vania sedang duduk santai sambil menonton televisi disana.“Ada apa Ratih?” Tanya Vania masih belum mengalihkan pandangannya dari
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” Tanya Bude Rima pada dirinya sendiri karena ia begitu khawatir, sedari tadi Rahman tidak mau mengangkat telepon darinya.Beberapa menit kemudian, Gladys pulang bersama dengan Bu Andin. Bude Rima yang melihat hal itu segera menyambut mereka dengan beragam pertanyaan.“Selamat sore, Bu Andin. Apa yang sebenarnya terjadi? Seharusnya sekolah sudah selesai sejak siang, kan? Kenapa Gladys baru pulang sekarang? Dan dimana Syena? Rahman juga belum pulang sampai sekarang.” Tanya Bude Rima bertubi-tubi membuat Bu Andin bingung harus menjawab pertanyaan yang mana terlebih dahulu.“Begini, Bu. Mungkin Pak Rahman lupa tidak memberi tahu. Kebetulan saya yang menghubungi Pak Rahman jadi dia di rumah sakit menemani Syena sekarang. Telah terjadi kecelakaan di sekolah tadi. Gladys entah bagaimana dia tiba-tiba mendorong Syena sampai terjatuh dan kepalanya membentur tiang yang ada di depannya. Syena mengalami penda
Drrrt drrrt drrrtRahman merasakan ponselnya bergetar. Ia merogoh sakunya dan mengambil ponselnya di sana. Ia membaca sekilas nama yang tertulis di sana. Ratih, panggilan masuk dari Ratih.“Permisi Pak Bayu. Saya mau angkat telepon sebentar.” Pamit Rahman pada Pak Bayu yang sedari tadi berbincang dengannya.“Silakan.” Jawab Pak Bayu mempersilakan.Sementara Rahman mengangkat telepon, Pak Bayu masuk ke ruang rawat Syena. Dia melihat gadis kecil itu masih terbaring lemah. Pak Bayu tersenyum, entah mengapa ia merasa sangat menyayangi gadis kecil yang bahkan tidak pernah dikenalnya itu.“Hey.” Sapa Pak Bayu.Jantung Syena berdetak kencang. Ia bahkan sangat gugup ketika melihat Pak Bayu mendekatinya. Syena merasa ada perasaan aneh dalam dirinya. Namun ia mencoba bersikap biasa saja.“Sudah merasa lebih baik?” Tanya Pak Bayu. Kini ia duduk di kursi samping tempat tidur Syena.“I i