Beranda / Lain / TAKDIR / Chapter 8

Share

Chapter 8

Suara ayam berkokok bersahut-sahutan berhasil mengganggu tidur Sarah. Pagi itu, Sarah bangun pukul 05.00 WIB. Buka apa-apa, ia hanya malas berdebat dengan suaminya. Meski bagaimana pun, sebagai istri ia tetap harus menghormati suami. Rahman memang terlalu memanjakan Sarah, bisa dibilang ia takut istri. Namun jika menyangkut tentang Ratih, Bude Rima dan juga Syena, Rahman tak pernah tinggal diam. Ia tidak suka bila ada yang mengusik mereka. Pagi itu, Sarah melakukan tugas yang biasa dilakukan oleh Ratih. Membuatkan minuman hangat dan juga sarapan pagi untuk semua orang.

“Tumben.” Kata Rahman ketika hendak ke kamar mandi dan melihat istrinya sudah sibuk di dapur.

“Aku bangun pagi salah, tidak bangun pagi pun salah. Memang serba salah aku ini.” Jawab Sarah asal.

Rahman hanya tersenyum, lalu meninggalkan istrinya dan pergi mandi.

Seperti biasa, Syena sudah sibuk dengan pekerjaannya mencuci piring. Bude Rima sedang menyapu halaman depan rumah. Memang harus dilaksanakan sepagi mungkin, karena jika dilakukan siang hari hanya akan membuat debu beterbangan kesana kemari.

“Kau sudah baikan, Syena?” Tanya Sarah pada Syena di sela-sela kesibukannya.

“Sudah, Bude.” Jawab Syena masih sambil melakukan pekerjaannya.

“Kamu memang anak yang manja. Lapar sedikit saja pingsan. Atau jangan-jangan kamu sengaja? Sengaja pura-pura pingsan dan menunggu sampai Pakdemu pulang agar bisa melihat semuanya dan Pakdemu bertengkar dengan Bude? Kalau itu keinginanmu, berarti kamu sudah berhasil. Tapi satu yang perlu kamu ingat, pekerjaan rumah tetap harus kamu lakukan. Jangan jadi anak manja, kamu disini hanya numpang. Harusnya kamu tahu diri.” Kata Sarah panjang lebar.

Syena tak berani menjawab sepatah kata pun. Ia hanya diam. Jauh di pikirannya, Bude nya menanyakan keadaannya karena menyesal dan hendak minta maaf. Namun ternyata ia salah, justru Sarah tetap saja menyuruh Syena untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah.

“Kamu dan Ibumu memang pembawa sial dalam hidupku. Sejak kehadiran kalian dalam rumah ini, aku tidak lagi dimanja oleh suamiku. Selalu saja Syena dan Ratih. Padahal kan kalian Cuma numpang. Harusnya kalian itu bayar, karena sekarang semuanya tidak ada yang gratis. Ya, semoga saja gajian bulan ini Ibumu memberikan semua gajinya padaku, itu juga kalau Ibumu tahu diri.” Kata Sarah lagi.

Sakit hati Syena mendengar semua perkataan Sarah, namun ia bisa apa? Hanya bisa diam dan mendengarkan. Ia juga berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan memberitahukan segala kejahatan dan kata-kata kasar yang dikatakan oleh Sarah pada Ibunya, karena hal itu hanya akan membuat Ibunya khawatir dan tidak tenang dalam pekerjaannya.

“Sarah.” Panggil Rahman ketika keluar dari kamar mandi.

Sarah kaget, untung saja dia sudah selesai bicara. Jika tidak, maka pertengkaran akan kembali terjadi.

“Apa?” Tanya Sarah acuh tak acuh.

“Jangan sampai kamu mengulangi lagi kejadian kemarin. Kamu seharusnya bisa menganggap Syena seperti putrimu sendiri. Apalagi dengan Ibunya yang merantau jauh, seharusnya kamu bisa bersikap sedikit lebih baik padanya. Intinya kamu tidak boleh menyiksa dia seperti kemarin.” Kata Rahman sambil mengusap-usap rambutnya yang baru saja dikeramas.

“Kamu terlalu berlebihan, Mas. Aku tidak menyiksa dia, mungkin dia sengaja melakukan itu hanya untuk menarik perhatianmu. Dari dulu kan memang begitu, sejak dia dan Ibunya hadir di tengah-tengah keluarga kita, kamu memang selalu menyalahkan aku atas apa pun yang terjadi pada mereka. Terserah kamu saja. Jika aku kuat, aku akan bertahan disini. Tapi jika kamu terus memperlakukan aku seperti itu, akan lebih baik jika aku pulang ke rumah orang tuaku saja bersama dengan Gladys. Dan setelah aku pergi, kamu tidak bisa memintaku kembali ataupun bertemu dengan Gladys lagi.” Jawab Sarah masih berkutat dengan masakannya.

Rahman hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lalu beranjak dai dapur menuju kamarnya untuk ganti pakaian. Ia tidak mampu berkata apa-apa lagi jika Sarah sudah mengancam seperti itu. Bagaimana pun juga, Sarah dan Gladys adalah dua orang yang sangat penting bagi Rahman. Tidak mungkin ia meremehkan tanggung jawabnya dalam pernikahan dengan membiarkan Sarah dan Gladys pergi. Apalagi jika harus ditinggalkan oleh Gladys dan tidak boleh bertemu dengannya, membayangkannya saja Rahman tidak sanggup.

Setelah selesai mencuci piring, Syena segera mandi. Sarah juga sudah selesai memasak dan segera menghidangkan makanannya ke meja makan. Setelah itu ia membangunkan Gladys agar segera mandi dan bersiap ke sekolah. Sarah melihat Bude Rima yang berjalan tertatih menuju dapur. Sarah segera mendekati Bude Rima dan menggandengnya menuju meja makan.

“Kaki Ibu masih sakit?” Tanya Sarah kasihan melihat mertuanya yang terlihat meringis menahan sakit.

Bude Rima mengangguk, ia memang masih merasakan sakit di lututnya. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, memang penyakit persendian adalah yang paling sering dirasakan.

“Kamu antar Ibu untuk terapi hari ini. Aku tidak bisa meminta libur lagi karena jatah cutiku sudah habis.” Kata Rahman yang sudah terlihat Rapi.

“Pasti lama sekali. Aku bisa bosan disana.” Jawab Sarah memutar bola matanya tanda ia malas.

“Kamu tidak perlu menunggu Ibu sampai selesai. Kamu bisa pulang setelah Ibu sampai disana dan membereskan rumah. Tinggalkan ponselmu untuk Ibu dan jika selesai ia akan menghubungimu lewat telepon rumah.” Kata Rahman lagi.

“Baiklah, akan aku lakukan sesuai permintaanmu, Tuan.” Jawab Sarah kemudian mengambilkan nasi dan lauk untuk suaminya sarapan.

Syena juga sudah bergabung di meja makan. Hanya Gladys yang memang selalu terlambat, karena selain bangun lambat, Gladys juga selalu lama dalam bersiap. Beberapa saat kemudian, Gladys sudah rapi dan ikut bergabung ke meja makan. Mereka makan dalam diam. Sama sekali tidak ada percakapan, karena Rahman memang tidak suka jika ada yang makan sambil bicara.

Di Hongkong

Ratih melihat Vania duduk di beranda rumah dengan tatapan kosong. Kejadian kemarin rupanya membuat Vania ketakutan. Tentu saja, siapapun yang ada di posisi Vania pasti akan ketakutan dan trauma. Ratih sedang menyapu di dekat beranda itu.

“Ratih.” Panggil Vania.

Mendengar namanya dipanggil, Ratih segera mendekat.

“Iya, Vania.” Jawab Ratih ketika sudah berdiri di samping Vania.

“Kamu pasti mendengar yang diucapkan oleh laki-laki itu kemarin.” Kata Vania, pandangannya tak beralih sama sekali. Masih menatap jauh dengan tatapan kosong. “Apa pun yang kamu dengar kemarin, tolong jangan kamu pikirkan. Kamu akan mengetahui semuanya nanti bila saatnya tiba.” Sambung Vania kemudian beranjak pergi meninggalkan beranda dan kembali menuju kamarnya.

Ratih menatap nanar ke arah Vania. Gadis sebaik Vania ternyata memiliki masalah yang begitu besar dalam hidupnya. Ratih terkejut ketika balik badan dan mendapati Vero dan Very sudah berdiri telat di belakangnya.

“Apa yang kamu lakukan disini?” Tanya Ratih pada kedua anak kembar itu.

“Tante kenapa? Apa ada sesuatu yang terjadi padanya?” Tanya Very.

“Kalian masih kecil, Sayang. Tidak akan paham dengan kondisinya sekarang. Kalian doakan saja semoga segala permasalahan yang dihadapi Tante Vania segera bisa diatasi dan Tante Vania bisa kembali ceria.” Jawab Ratih menenangkan si kembar.

Kedua anak kembar itu sudah bersiap dengan seragamnya.

“Antar mereka ke sekolah, Ratih. Mereka hanya sebentar saja hari ini. Untuk pekerjaan rumah bisa kamu selesaikan nanti sepulang dari mengantar mereka.” Kata Oma Rahma memerintah.

“Baik, Oma.” Jawab Ratih kemudian mengajak si kembar menuju kamar untuk mengambil tas dan segera menuju mobil untuk berangkat ke sekolah.

Sepeninggal Ratih, Oma Rahma menuju ke kamar Vania. Vania terlihat menangis.

“Jangan terlalu kamu pikirkan, kamu bisa drop jika terlalu memikirkan hal ini.” Kata Oma Rahma memegang kedua pundak anaknya dari belakang.

“Kenapa dia selalu mengikutiku? Kenapa dia selalu saja hadir dalam hidupku? Apa aku harus mati, baru ia tidak akan menemukanku?” Tanya Vania, tangisnya pecah.

“Sudahlah, Vania. Mama akan selalu melindungimu, begitu juga dengan Papamu dan kakakmu. Kakakmu tidak akan terima jika mendengar hal ini. Ia bisa saja mengerahkan anak buahnya untuk menangkap dia lagi.” Kata Oma Rahma berusaha menenangkan Vania.

“Percuma, dia akan tetap menemukanku jika aku masih ada di bumi ini.” Kata Vania lagi.

Vania benar-benar frustasi bahkan terlihat hampir putus asa.

“Mama akan memberitahu Papa dan kakakmu, agar mereka mengirimkan keamanan ke sini.” Kata Oma Rahma pada Vania.

“Tidak perlu, Ma. Aku hanya bisa merepotkan kalian semua. Seharusnya aku mati saja.” Kata Vania kembali menangis.

Oma Rahma memeluk anaknya sambil menangis, ia tidak tega melihat keadaan anaknya yang harus kembali seperti dulu lagi. Ya, ini bukan untuk pertama kalinya, namun sudah berulang kali Vania berurusan dengan laki-laki itu. Sudah berkali-kali Vania pergi berpindah tempat hanya untuk menghindari laki-laki itu, namun selalu saja laki-laki itu bisa menemukan Vania. Itulah yang membuat Vania berpikiran untuk mati saja, ia sudah lelah menghindar.

Tok tok tok

Suara pintu diketuk. Terdengar jelas karena kamar Vania berada dekat dengan ruang depan. Oma Rahma keluar untuk membukakan pintu. Tak ada satu orang pun disana. Melainkan hanya secarik kertas yang diselipkan di bawah pintu. Oma Rahma mengambil surat itu dan membacanya dengan hati-hati.

Aku kembali, Vania. Kemana pun kamu pergi aku akan selalu menemukanmu. Sekarang, saatnya kamu mati. Kamu akan mati, entah mati karena aku ataupun karena ketakutanmu sendiri. Orang sepertimu tak layak hidup.

Ttd. Yang selalu mencintaimu

Isi tulisan itu langsung membuat Oma Rahma geram. Ia menyobek surat itu dan membuangnya ke tempat sampah.

“Tidak akan aku biarkan tangan kotormu menyentuh putriku, Frans. Sudah cukup semuanya. Kamu yang akan mati, bukan Vania.” Kata Oma Rahma kemudian mengambil ponselnya dan mendial satu nomor di kontak ponselnya.

“Halo, aku minta kamu segera mencari seseorang dan menghabisinya. Dia sudah mengusik ketenangan keluargaku. Akan aku kirimkan fotonya padamu nanti.” Kata Oma Rahma, senyum sinis terukir di bibirnya.

“Jangan harap kamu bisa bebas kali ini, Frans.” Kata Oma Rahma kemudian masuk ke dalam rumah.

Tanpa dia ketahui, sedari tadi orang yang mengirim surat tersebut masih memantaunya dari kejauhan.

“Babak baru akan dimulai.” Kata orang itu kemudian berlari meninggalkan rumah kediaman keluarga Oma Rahma.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status