Home / Lain / TAKDIR / Chapter 7

Share

Chapter 7

Hening, tidak ada percakapan sama sekali selama perjalanan menuju rumah. Ratih melirik Vania yang terlihat masih sangat terpukul. Sesekali ia bahkan melihat Vania masih sesenggukan sambil menyeka air matanya. Apa Vania juga memiliki masalah yang besar seperti yang ia miliki? Mobil sudah memasuki halaman rumah. Setelah mobil berhenti, Vania langsung saja berlari masuk ke dalam rumah. Ratih hanya memandanginya dengan tatapan iba. Ratih lalu mengambil barang-barang belanjaannya dan dibantu oleh Pak Hadi untuk membawanya masuk ke rumah.

“Neng Ratih tadi lihat apa yang terjadi pada Non Vania?” Tanya Pak Hadi pada Ratih.

Ratih hanya mengangguk, enggan menanggapi karena dia sendiri masih bingung menelaah apa yang baru saja dilihatnya.

Saat masuk ke dalam rumah, Ratih mendengar Vania menangis dengan keras. Lalu melihat Vania menangis dalam dekapan Ibunya.

“Dia datang, Bu. Dia kembali. Apa yang harus aku lakukan? Dia menemukanku, dia pasti akan membunuhku .” Kata Vania sambil menangis tersedu-sedu.

Ibunya terlihat sangat kebingungan melihat anaknya yang mendadak histeris seperti itu. Oma Rahma hanya berusaha menenangkan Vania dengan mengelus punggungnya, berharap tangis anaknya sedikit mereda dan menjadi tenang. Melihat kejadian itu, Ratih segera mengambilkan segelas air dan memberikannya pada Vania.

“Permisi, minum dulu ya. Biar lebih tenang.” Kata Ratih.

Vania menurut, ia menggapai gelas yang ada di tangan Ratih dengan gemetar.

Air satu gelas itu habis, tangisnya juga sudah sedikit mereda. Ratih kembali ke dapur untuk melaksanakan pekerjaannya.

Vania terlihat sedang bercerita pada Ibunya, Ratih hanya berharap semoga kejadian serupa tidak akan terulang lagi. Ia kasihan melihat perempuan sebaik Vania harus mendapatkan perlakuan seperti itu.

Di kampung halaman Ratih

“Syena, sini kamu.” Panggil Sarah dengan suara penuh emosi.

“Iya Bude.” Jawab Syena kemudian mendekat ke arah sumber suara.

Syena melihat Sarah berdiri di depan kamarnya dengan pandangan penuh emosi saat melihat Syena. Saat Syena mendekat, Sarah justru menjewer telinga Syena. Sontak Syena berteriak kesakitan.

“Aduh, sakit Bude. Kenapa Bude menjewer telingaku? Apa salahku?” Tanya Syena sambil menangis. Ia tak tahan merasakan sakit di telinganya.

Cukup lama Syena berusaha melepaskan tangan Sarah namun tak berhasil. Sampai Sarah sendiri yang melepaskannya.

“Kamu bertanya apa kesalahanmu?” Tanya Sarah dengan nada tingginya.

Syena hanya mengangguk sambil menangis sesenggukan. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya karena baru saja pulang dari sekolah dan hendak makan siang.

“Lihat. Apa saja yang kamu lakukan? Kamarku masih berantakan, rumah masih kotor. Apa tugasmu disini? Mau ongkang-ongkang kaki kamu disini?” Kata Sarah lagi.

“Aku kan baru saja pulang dari sekolah, Bude. Aku bahkan belum melepas seragamku, juga belum makan siang.” Jawab Syena.

“Berani membantah ya kamu, sekarang kamu cepat ganti baju dan lakukan pekerjaan yang aku katakan tadi. Tidak ada makan siang sampai kamu menyelesaikan semuanya dengan baik dan rapi.” Kata Sarah kemudian meninggalkan Syena yang masih menangis.

Rumah memang terlihat sepi, bahkan sejak pulang sekolah Syena sama sekali tidak melihat keberadaan Neneknya.

“Gladys, mari makan siang dulu. Setelah itu kita istirahat.” Panggil Sarah pada Gladys dari meja makan.

Syena kemudian bergegas ganti pakaian dan melaksanakan pekerjaan yang tadi dikatakan oleh Sarah. Ia tidak ingin Sarah kembali memarahinya atau bersikap kasar padanya. Telinganya saja masih terasa panas akibat jeweran tangan Sarah tadi.

Syena merasakan perutnya sangat lapar dan ia mulai kehabisan tenaga. Namun ia masih terus melanjutkan pekerjaan rumah. Ia berharap Bude Rima segera kembali dan menyelamatkannya dari amukan Sarah. Semakin lama ia merasa tenaganya semakin terkuras, tubuhnya gemetar dan matanya berkunang-kunang. Sedetik kemudian Syena sudah jatuh pingsan. Sarah dan Gladys yang mendengar sesuatu terjatuh segera menghentikan makannya dan berlari menuju sumber suara.

“Aduh, kenapa pakai pingsan segala. Bisa bahaya kalau sampai Ibu atau Rahman melihat hal ini. Apa yang akan kukatakan pada mereka nanti.” Tanya Sarah lebih pada dirinya sendiri sambil menggaruk kasar rambutnya. Sarah panik.

“Bagaimana ini Ibu? Kenapa Syena tiba-tiba pingsan?” Tanya Gladys membuat Sarah semakin frustasi.

Suara motor Vespa semakin mendekat dan berhenti tepat di depan rumah. Mendengar itu, Sarah semakin panik, itu adalah suara motor Rahman. Rahman datang bersama Bude Rima. Mereka masuk rumah dan terkejut mendapati Syena pingsan. Rahman berlari ke arah Syena dan mengguncang-guncangkan tubuh Syena, namun Syena tak juga sadar. Rahman mengangkat Syena dan menidurkannya di sofa. Bude Rima mengipasi Syena dan memberinya minyak angin. Beberapa menit kemudian, Syena baru sadar. Wajahnya pucat pasi, tiba-tiba suara perut Syena terdengar.

“Kamu belum makan sepulang sekolah, Nak?” Tanya Bude Rima pada Syena.

Syena hanya menggeleng, tubuhnya masih sangat lemah.

“Apa yang kamu lakukan dengan sapu itu? Apa ada yang menyuruhmu melakukan pekerjaan rumah sebelum makan siang?” Tanya Bude Rima mulai curiga.

Rahman bahkan sudah melotot ke arah istrinya.

“Gladys, tolong ambilkan makan siang untuk Syena. Biar Nenek suapi dia.” Perintah Bude Rima pada Gladys.

Gladys hanya menurut, sebenarnya Gladys hanyalah anak kecil yang masih polos. Sesuatu yang masih polos akan menjadi seperti apa? Itu tergantung dari yang membentuknya. Jika Gladys terus-menerus berada dekat dengan Ibunya dan melihat Ibunya melakukan berbagai hal yang kasar, maka bisa jadi Gladys akan menjadi seperti itu. Menjadi anak yang kasar. Namun untuk saat ini, Gladys belum menunjukkan hal itu.

“Aku perlu bicara denganmu.” Kata Rahman sambil menarik tangan Sarah menuju ke kamar mereka.

Bude Rima mengelus lembut rambut Sarah. Beberapa saat kemudian, Gladys datang membawa sepiring nasi beserta lauk dan juga segelas air putih.

“Terima kasih, Gladys.” Kata Syena masih terdengar sangat lemah.

Gladys mengangguk, ia kemudian duduk di samping Syena dan mengipasi Syena yang sedang disuapi oleh Bude Rima.

“Makan yang banyak, Syena. Biar cepat pulih.” Kata Gladys.

Syena mengangguk, tersenyum. Bude Rima mengelus lembut rambut Gladys. Bude Rima masih tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Bude Rima baru saja datang dari terapi dan diantar oleh Rahman. Rahman sengaja tidak berangkat kerja karena ingin mengantar Bude Rima. Bude Rima memang rutin melakukan terapi karena akhir-akhir ini sering merasakan sakit di persendiannya.

Ketika mereka diam, tiba-tiba dari kamar Rahman terdengar suara gebrakan meja. Beberapa menit kemudian, Rahman dan Sarah keliar dari dalam kamar. Rahman menarik tangan Sarah dengan kasar.

“Minta maaf kamu sama Syena sekarang. Kamu sudah melakukan kesalahan besar. Tidak seharusnya kamu melakukan itu pada Syena.” Kata Rahman membuat Bude Rima bertambah bingung.

Saràh mengulurkan tangannya pada Syena, “Aku minta maaf Syena.” Katanya.

Syena membalas ukuran tangan Sarah dan mengangguk. Tubuhnya masih belum benar-benar pulih.

Setelah itu, Sarah kembali ke kamar dengan wajah cemberut. Ia tidak pernah berpikir kalau Rahman akan sangat marah padanya.

“Ibu tahu apa yang baru saja Sarah lakukan pada Syena?” Tanya Rahman pada Ibunya.

Bude Rima menggeleng tanda tidak tahu.

“Sarah mengaku bahwa dia telah menyuruh Syena melakukan pekerjaan rumah bahkan sebelum Syena mendapat makan siangnya. Itulah yang membuat Syena pingsan. Mungkin Syena kelelahan dan juga kelaparan. Itulah mengapa aku sangat marah padanya tadi.” Kata Rahman.

“Astaghfirullah. Kenapa dia tega melakukan itu pada anak ini? Maafkan Bude mu, Nak.” Kata Bude Rima, kini Syena berada dalam dekapannya.

“Gladys, yang dilakukan Ibumu itu sangat tidak baik. Kamu jangan sampai menirunya. Kamu harus jauh lebih baik dari Ibumu.” Kata Rahman pada Gladys, putrinya.

Gladys mengangguk, ia sendiri juga tidak tahu apa yang terjadi. Karena ketika Sarah memarahi Syena, ia masih berada di dalam kamar.

Rahman melihat telinga Syena yang masih memerah. Rahman mendekati Syena untuk memastikan. Emosinya kembali berkobar.

“Bahkan dia berani menjewermu, Syena?” Tanya Rahman pada Syena.

Syena mengangguk ragu. Bude Rima yang duduk di sebelah Syena mengamati telinga Syena dam benar saja, telinga Syena masih memerah.

Rahman kembali ke kamar dan memarahi Sarah. Kini, suaranya sangat keras dan bisa didengar oleh seisi rumah.

“Kamu keterlaluan, Sarah. Selama ia aku selaku mendiamkan apa pun yang kamu lakukan. Bukannya aku takut, aku masih menghargaimu. Tapi yang kamu lakukan hari ini sangat keterlaluan. Tidak seharusnya kamu melakukan hal itu pada Syena. Syena dan Gladys, seharusnya kamu memperlakukan mereka dengan sikap yang sama.” Kata Rahman dari dalam kamar.

“Maafkan aku, Mas. Aku terbawa emosi.” Jawabnya sambil menangis, ia terkejut karena baru kali ini suaminya benar-benar marah padanya.

“Jangan pernah kamu lakukan hal bodoh seperti ini lagi. Kamu seharusnya lebih rajin lagi, karena sekarang tidak ada Ratih yang akan membantu Ibu melakukan segala pekerjaan rumah. Kamu seharusnya sadar dan melakukan pekerjaan itu, bukan malah memerintah anak kecil.” Kata Rahman lagi, emosinya masih memuncak.

“Iya Mas, maafkan aku. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi.” Mohon Sarah sambil memegang tangan Rahman.

“Kalau kamu sampai mengulangi hal yang sama, aku bisa saja melakukan hal yang tidak pernah kamu bayangkan sama sekali. Aku tidak suka wanita yang kasar.” Kata Rahman kemudian keluar dari kamar meninggalkan Sarah yang kini benar-benar dongkol.

“Lain kali, bilang pada Nenek maupun pada Pakde mu dengan apa pun yang terjadi padamu. Jangan takut.” Kata Bude Rima pada Ratih. “Sekarang pergi ke kamarmu dan istirahat.” Sambungnya lagi.

Syena menurut, ia kembali ke kamarnya dibantu oleh Gladys. Mereka kemudian tidur diang bersama di kamar Syena.

Di Hongkong

Tangis Vania sudah mulai reda. Ratih masih memantaunya dari kejauhan karena ia harus menyelesaikan pekerjaannya. Bisa ia lihat dari kejauhan, Vania berjalan pelan menuju kamarnya. Setelah itu, ia juga melihat Oma Rahma berjalan menghampirinya.

“Apa yang sebenarnya telah terjadi, Ratih? Apa kamu melihat sesuatu?” Tanya Oma Rahma pada Ratih.

“Setelah selesai berbelanja, aku mencari keberadaan Vania karena ia tak kunjung kembali. Padahal ia hanya bilang ingin membeli jajanan pasar.” Jawab Ratih.

“Lalu?” Tanya Oma Rahma.

“Lalu aku melihat Vania bersama seorang laki-laki di gang sempit dekat WC umum. Vania sudah terduduk dan laki-laki itu marah padanya, mengucapkan kata-kata kasar bahkan hendak memukulnya. Tapi aku tidak dapat melihat wajahnya sama sekali, karena ia memakai penutup wajah. Dan begitu melihat keberadaanku, dia langsung berlari begitu saja.” Cerita Ratih.

Oma Rahma mengangguk-angguk. Sepertinya ia paham dengan apa yang telah terjadi.

“Vania sudah tidak aman. Kemana aku harus mengamankannya sekarang?” Kata Oma Rahma pelan, namun masih bisa didengar oleh Ratih.

Oma Rahma kemudian pergi meninggalkan Ratih yang masih kebingungan dan di kepalanya terisi banyak pertanyaan. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa laki-laki itu? Dan mengapa Oma Rahma sepertinya mengenal laki-laki itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status