Hening, tidak ada percakapan sama sekali selama perjalanan menuju rumah. Ratih melirik Vania yang terlihat masih sangat terpukul. Sesekali ia bahkan melihat Vania masih sesenggukan sambil menyeka air matanya. Apa Vania juga memiliki masalah yang besar seperti yang ia miliki? Mobil sudah memasuki halaman rumah. Setelah mobil berhenti, Vania langsung saja berlari masuk ke dalam rumah. Ratih hanya memandanginya dengan tatapan iba. Ratih lalu mengambil barang-barang belanjaannya dan dibantu oleh Pak Hadi untuk membawanya masuk ke rumah.
“Neng Ratih tadi lihat apa yang terjadi pada Non Vania?” Tanya Pak Hadi pada Ratih.
Ratih hanya mengangguk, enggan menanggapi karena dia sendiri masih bingung menelaah apa yang baru saja dilihatnya.
Saat masuk ke dalam rumah, Ratih mendengar Vania menangis dengan keras. Lalu melihat Vania menangis dalam dekapan Ibunya.
“Dia datang, Bu. Dia kembali. Apa yang harus aku lakukan? Dia menemukanku, dia pasti akan membunuhku .” Kata Vania sambil menangis tersedu-sedu.
Ibunya terlihat sangat kebingungan melihat anaknya yang mendadak histeris seperti itu. Oma Rahma hanya berusaha menenangkan Vania dengan mengelus punggungnya, berharap tangis anaknya sedikit mereda dan menjadi tenang. Melihat kejadian itu, Ratih segera mengambilkan segelas air dan memberikannya pada Vania.
“Permisi, minum dulu ya. Biar lebih tenang.” Kata Ratih.
Vania menurut, ia menggapai gelas yang ada di tangan Ratih dengan gemetar.
Air satu gelas itu habis, tangisnya juga sudah sedikit mereda. Ratih kembali ke dapur untuk melaksanakan pekerjaannya.
Vania terlihat sedang bercerita pada Ibunya, Ratih hanya berharap semoga kejadian serupa tidak akan terulang lagi. Ia kasihan melihat perempuan sebaik Vania harus mendapatkan perlakuan seperti itu.
Di kampung halaman Ratih
“Syena, sini kamu.” Panggil Sarah dengan suara penuh emosi.
“Iya Bude.” Jawab Syena kemudian mendekat ke arah sumber suara.
Syena melihat Sarah berdiri di depan kamarnya dengan pandangan penuh emosi saat melihat Syena. Saat Syena mendekat, Sarah justru menjewer telinga Syena. Sontak Syena berteriak kesakitan.
“Aduh, sakit Bude. Kenapa Bude menjewer telingaku? Apa salahku?” Tanya Syena sambil menangis. Ia tak tahan merasakan sakit di telinganya.
Cukup lama Syena berusaha melepaskan tangan Sarah namun tak berhasil. Sampai Sarah sendiri yang melepaskannya.
“Kamu bertanya apa kesalahanmu?” Tanya Sarah dengan nada tingginya.
Syena hanya mengangguk sambil menangis sesenggukan. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya karena baru saja pulang dari sekolah dan hendak makan siang.
“Lihat. Apa saja yang kamu lakukan? Kamarku masih berantakan, rumah masih kotor. Apa tugasmu disini? Mau ongkang-ongkang kaki kamu disini?” Kata Sarah lagi.
“Aku kan baru saja pulang dari sekolah, Bude. Aku bahkan belum melepas seragamku, juga belum makan siang.” Jawab Syena.
“Berani membantah ya kamu, sekarang kamu cepat ganti baju dan lakukan pekerjaan yang aku katakan tadi. Tidak ada makan siang sampai kamu menyelesaikan semuanya dengan baik dan rapi.” Kata Sarah kemudian meninggalkan Syena yang masih menangis.
Rumah memang terlihat sepi, bahkan sejak pulang sekolah Syena sama sekali tidak melihat keberadaan Neneknya.
“Gladys, mari makan siang dulu. Setelah itu kita istirahat.” Panggil Sarah pada Gladys dari meja makan.
Syena kemudian bergegas ganti pakaian dan melaksanakan pekerjaan yang tadi dikatakan oleh Sarah. Ia tidak ingin Sarah kembali memarahinya atau bersikap kasar padanya. Telinganya saja masih terasa panas akibat jeweran tangan Sarah tadi.
Syena merasakan perutnya sangat lapar dan ia mulai kehabisan tenaga. Namun ia masih terus melanjutkan pekerjaan rumah. Ia berharap Bude Rima segera kembali dan menyelamatkannya dari amukan Sarah. Semakin lama ia merasa tenaganya semakin terkuras, tubuhnya gemetar dan matanya berkunang-kunang. Sedetik kemudian Syena sudah jatuh pingsan. Sarah dan Gladys yang mendengar sesuatu terjatuh segera menghentikan makannya dan berlari menuju sumber suara.
“Aduh, kenapa pakai pingsan segala. Bisa bahaya kalau sampai Ibu atau Rahman melihat hal ini. Apa yang akan kukatakan pada mereka nanti.” Tanya Sarah lebih pada dirinya sendiri sambil menggaruk kasar rambutnya. Sarah panik.
“Bagaimana ini Ibu? Kenapa Syena tiba-tiba pingsan?” Tanya Gladys membuat Sarah semakin frustasi.
Suara motor Vespa semakin mendekat dan berhenti tepat di depan rumah. Mendengar itu, Sarah semakin panik, itu adalah suara motor Rahman. Rahman datang bersama Bude Rima. Mereka masuk rumah dan terkejut mendapati Syena pingsan. Rahman berlari ke arah Syena dan mengguncang-guncangkan tubuh Syena, namun Syena tak juga sadar. Rahman mengangkat Syena dan menidurkannya di sofa. Bude Rima mengipasi Syena dan memberinya minyak angin. Beberapa menit kemudian, Syena baru sadar. Wajahnya pucat pasi, tiba-tiba suara perut Syena terdengar.
“Kamu belum makan sepulang sekolah, Nak?” Tanya Bude Rima pada Syena.
Syena hanya menggeleng, tubuhnya masih sangat lemah.
“Apa yang kamu lakukan dengan sapu itu? Apa ada yang menyuruhmu melakukan pekerjaan rumah sebelum makan siang?” Tanya Bude Rima mulai curiga.
Rahman bahkan sudah melotot ke arah istrinya.
“Gladys, tolong ambilkan makan siang untuk Syena. Biar Nenek suapi dia.” Perintah Bude Rima pada Gladys.
Gladys hanya menurut, sebenarnya Gladys hanyalah anak kecil yang masih polos. Sesuatu yang masih polos akan menjadi seperti apa? Itu tergantung dari yang membentuknya. Jika Gladys terus-menerus berada dekat dengan Ibunya dan melihat Ibunya melakukan berbagai hal yang kasar, maka bisa jadi Gladys akan menjadi seperti itu. Menjadi anak yang kasar. Namun untuk saat ini, Gladys belum menunjukkan hal itu.
“Aku perlu bicara denganmu.” Kata Rahman sambil menarik tangan Sarah menuju ke kamar mereka.
Bude Rima mengelus lembut rambut Sarah. Beberapa saat kemudian, Gladys datang membawa sepiring nasi beserta lauk dan juga segelas air putih.
“Terima kasih, Gladys.” Kata Syena masih terdengar sangat lemah.
Gladys mengangguk, ia kemudian duduk di samping Syena dan mengipasi Syena yang sedang disuapi oleh Bude Rima.
“Makan yang banyak, Syena. Biar cepat pulih.” Kata Gladys.
Syena mengangguk, tersenyum. Bude Rima mengelus lembut rambut Gladys. Bude Rima masih tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Bude Rima baru saja datang dari terapi dan diantar oleh Rahman. Rahman sengaja tidak berangkat kerja karena ingin mengantar Bude Rima. Bude Rima memang rutin melakukan terapi karena akhir-akhir ini sering merasakan sakit di persendiannya.
Ketika mereka diam, tiba-tiba dari kamar Rahman terdengar suara gebrakan meja. Beberapa menit kemudian, Rahman dan Sarah keliar dari dalam kamar. Rahman menarik tangan Sarah dengan kasar.
“Minta maaf kamu sama Syena sekarang. Kamu sudah melakukan kesalahan besar. Tidak seharusnya kamu melakukan itu pada Syena.” Kata Rahman membuat Bude Rima bertambah bingung.
Saràh mengulurkan tangannya pada Syena, “Aku minta maaf Syena.” Katanya.
Syena membalas ukuran tangan Sarah dan mengangguk. Tubuhnya masih belum benar-benar pulih.
Setelah itu, Sarah kembali ke kamar dengan wajah cemberut. Ia tidak pernah berpikir kalau Rahman akan sangat marah padanya.
“Ibu tahu apa yang baru saja Sarah lakukan pada Syena?” Tanya Rahman pada Ibunya.
Bude Rima menggeleng tanda tidak tahu.
“Sarah mengaku bahwa dia telah menyuruh Syena melakukan pekerjaan rumah bahkan sebelum Syena mendapat makan siangnya. Itulah yang membuat Syena pingsan. Mungkin Syena kelelahan dan juga kelaparan. Itulah mengapa aku sangat marah padanya tadi.” Kata Rahman.
“Astaghfirullah. Kenapa dia tega melakukan itu pada anak ini? Maafkan Bude mu, Nak.” Kata Bude Rima, kini Syena berada dalam dekapannya.
“Gladys, yang dilakukan Ibumu itu sangat tidak baik. Kamu jangan sampai menirunya. Kamu harus jauh lebih baik dari Ibumu.” Kata Rahman pada Gladys, putrinya.
Gladys mengangguk, ia sendiri juga tidak tahu apa yang terjadi. Karena ketika Sarah memarahi Syena, ia masih berada di dalam kamar.
Rahman melihat telinga Syena yang masih memerah. Rahman mendekati Syena untuk memastikan. Emosinya kembali berkobar.
“Bahkan dia berani menjewermu, Syena?” Tanya Rahman pada Syena.
Syena mengangguk ragu. Bude Rima yang duduk di sebelah Syena mengamati telinga Syena dam benar saja, telinga Syena masih memerah.
Rahman kembali ke kamar dan memarahi Sarah. Kini, suaranya sangat keras dan bisa didengar oleh seisi rumah.
“Kamu keterlaluan, Sarah. Selama ia aku selaku mendiamkan apa pun yang kamu lakukan. Bukannya aku takut, aku masih menghargaimu. Tapi yang kamu lakukan hari ini sangat keterlaluan. Tidak seharusnya kamu melakukan hal itu pada Syena. Syena dan Gladys, seharusnya kamu memperlakukan mereka dengan sikap yang sama.” Kata Rahman dari dalam kamar.
“Maafkan aku, Mas. Aku terbawa emosi.” Jawabnya sambil menangis, ia terkejut karena baru kali ini suaminya benar-benar marah padanya.
“Jangan pernah kamu lakukan hal bodoh seperti ini lagi. Kamu seharusnya lebih rajin lagi, karena sekarang tidak ada Ratih yang akan membantu Ibu melakukan segala pekerjaan rumah. Kamu seharusnya sadar dan melakukan pekerjaan itu, bukan malah memerintah anak kecil.” Kata Rahman lagi, emosinya masih memuncak.
“Iya Mas, maafkan aku. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi.” Mohon Sarah sambil memegang tangan Rahman.
“Kalau kamu sampai mengulangi hal yang sama, aku bisa saja melakukan hal yang tidak pernah kamu bayangkan sama sekali. Aku tidak suka wanita yang kasar.” Kata Rahman kemudian keluar dari kamar meninggalkan Sarah yang kini benar-benar dongkol.
“Lain kali, bilang pada Nenek maupun pada Pakde mu dengan apa pun yang terjadi padamu. Jangan takut.” Kata Bude Rima pada Ratih. “Sekarang pergi ke kamarmu dan istirahat.” Sambungnya lagi.
Syena menurut, ia kembali ke kamarnya dibantu oleh Gladys. Mereka kemudian tidur diang bersama di kamar Syena.
Di Hongkong
Tangis Vania sudah mulai reda. Ratih masih memantaunya dari kejauhan karena ia harus menyelesaikan pekerjaannya. Bisa ia lihat dari kejauhan, Vania berjalan pelan menuju kamarnya. Setelah itu, ia juga melihat Oma Rahma berjalan menghampirinya.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi, Ratih? Apa kamu melihat sesuatu?” Tanya Oma Rahma pada Ratih.
“Setelah selesai berbelanja, aku mencari keberadaan Vania karena ia tak kunjung kembali. Padahal ia hanya bilang ingin membeli jajanan pasar.” Jawab Ratih.
“Lalu?” Tanya Oma Rahma.
“Lalu aku melihat Vania bersama seorang laki-laki di gang sempit dekat WC umum. Vania sudah terduduk dan laki-laki itu marah padanya, mengucapkan kata-kata kasar bahkan hendak memukulnya. Tapi aku tidak dapat melihat wajahnya sama sekali, karena ia memakai penutup wajah. Dan begitu melihat keberadaanku, dia langsung berlari begitu saja.” Cerita Ratih.
Oma Rahma mengangguk-angguk. Sepertinya ia paham dengan apa yang telah terjadi.
“Vania sudah tidak aman. Kemana aku harus mengamankannya sekarang?” Kata Oma Rahma pelan, namun masih bisa didengar oleh Ratih.
Oma Rahma kemudian pergi meninggalkan Ratih yang masih kebingungan dan di kepalanya terisi banyak pertanyaan. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa laki-laki itu? Dan mengapa Oma Rahma sepertinya mengenal laki-laki itu?
Suara ayam berkokok bersahut-sahutan berhasil mengganggu tidur Sarah. Pagi itu, Sarah bangun pukul 05.00 WIB. Buka apa-apa, ia hanya malas berdebat dengan suaminya. Meski bagaimana pun, sebagai istri ia tetap harus menghormati suami. Rahman memang terlalu memanjakan Sarah, bisa dibilang ia takut istri. Namun jika menyangkut tentang Ratih, Bude Rima dan juga Syena, Rahman tak pernah tinggal diam. Ia tidak suka bila ada yang mengusik mereka. Pagi itu, Sarah melakukan tugas yang biasa dilakukan oleh Ratih. Membuatkan minuman hangat dan juga sarapan pagi untuk semua orang.“Tumben.” Kata Rahman ketika hendak ke kamar mandi dan melihat istrinya sudah sibuk di dapur.“Aku bangun pagi salah, tidak bangun pagi pun salah. Memang serba salah aku ini.” Jawab Sarah asal.Rahman hanya tersenyum, lalu meninggalkan istrinya dan pergi mandi.Seperti biasa, Syena sudah sibuk dengan pekerjaannya mencuci piring. Bude Rima sedang menyapu halaman depan
BrakkkOjek motor yang ditumpangi Ratih mendadak roboh karena menghindari seseorang yang menyeberang jalan tanpa melihat kanan dan kiri dulu. Untung saja Ratih tidak apa-apa. Ratih melihat ke arah orang yang berlari. Ia ingat betul, ciri-ciri orang itu sama persis dengan laki-laki-laki yang memarahi Vania di pasar waktu itu. Karena rasa penasarannya, Ratih memberikan selembar uang pada tukang ojek kemudian berlari mengejar orang tersebut sampai lupa apa tujuannya kembali ke rumah. Sebenarnya ia lupa membawakan bekal untuk si kembar, ia berinisiatif untuk pulang naik ojek untuk mengambilkan bekal makanan si kembar sedangkan Pak Hadi tetap melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah. Namun ia tidak menyangka akan melihat hal ini, ia ingin mengungkap semuanya. Jarak mereka cukup jauh, laki-laki itu berlari amat kencang, namun ketika di pertigaan jalan, lagi-lagi laki-laki itu hampir ditabrak oleh motor. Ia berhasil menghindar namun justru terjatuh.“Sial.” Ucap o
Sekitar 15 menit perjalanan yang ditempuh oleh Rahman dari tempat kerja sampai rumah sakit. Rumah sakit itu berada di daerah yang sudah memasuki perkotaan. Banyak pertanyaan yang muncul di benak Rahman. Namun yang paling ia khawatirkan adalah keadaan istri dan anaknya saat ini. Rahman menuju ruang IGD, masih ada beberapa polisi disana. Ia mendekat dan hendak menanyakan keberadaan kedua orang yang dia sayangi pada beberapa polisi itu. Ia yakin kalau istri dan anaknya masih ada di ruang IGD. Namun baru beberapa langkah, ia melihat Sarah tengah menggandeng Gladys yang kepalanya diperban. Melihat hal itu Rahman segera mempercepat langkahnya. Sarah melihat kedatangan Rahman, ia takut Rahman akan memarahinya. Setelah begitu dekat, tanpa kata Rahman langsung memeluk Sarah dan Gladys. Beberapa saat mereka hanya saling diam satu sama lain, polisi dan beberapa perawat yang ada disana hanya diam menyaksikan.“Kalian masih sakit kenapa disini?” Tanya Rahman, mat
Hari ini, Ratih langsung kembali ke rumah setelah mengantar si kembar ke sekolah. Ia harus ke pasar karena semua bahan makanan di rumah sudah habis.“Kamu mau kemana, Ratih?” Tanya Vania dengan riang seakan tak pernah terjadi sesuatu padanya.“Aku hendak ke pasar, Vania.” Jawab Ratih sambil mengambil tas belanja.“Aku ikut.” Kata Vania memohon.Ratih hanya diam, jika menolak maka dia akan dianggap tidak sopan karena berani menentang keinginan majikan, namun jika ia mengizinkan Vania ikit, ia takut jika hal yang sama akan terjadi lagi.“Kamu tetap diam di rumah, jika kamu ingin membeli jajanan pasar seperti biasa cukup titip saja pada Ratih. Ini uangnya.” Kata Oma Rahma sembari memberikan uang belanja untuk Ratih.“Ma, aku yakin aku bisa jaga diri. Dia tidak akan berani menemuiku lagi.” Kata Vania meyakinkan Oma Rahma.“Atas dasar apa kamu berkata demikian? Laki-laki bre
Pak Hadi segera mengantar Ratih pulang. Ratih masih sangat kaget dengan kejadian yang dia alami tadi. Sama sekali tidak terpikirkan olehnya jika orang itu punya keinginan untuk membunuh Ratih. Jika memang demikian, bisa dipastikan bahwa orang itu adalah orang tidak baik dari masa lalu Ratih. Lalu siapa yang bisa memberitahu pada Ratih tentang orang itu? Ya, Vania dan Oma Rahma pasti tahu siapa laki-laki itu. Ratih akan berusaha mencari tahu. Sesampainya di rumah, terlihat Oma Rahma dan Vania sudah menunggu di depan. Pasti mereka tahu apa yang baru saja menimpa Ratih. Ratih turun dari mobil, hendak mengambil barang belanjaan namun dihentikan oleh Vania.“Ratih, kamu masih sangat lemas. Ikut aku. Biar Pak Hadi yang membawa masuk semua barang belanjaannya.” Kata Vania sambil menggandeng tangan Ratih.Tanpa disuruh pun, Pak Hadi dengan sigap mengambil barang-barang dari bagasi dan segra membawanya masuk.Ratih masuk ke rumah digandeng oleh Oma Rahma dan
Sang mentari telah menampakkan semburat sinarnya, Sarah sudah bangun sedari tadi. Sejak kecelakaan itu, ia memang berusaha untuk terlihat rajin di hadapan suaminya. Bukan karena memang berubah, hanya sementara agar suaminya mau mengurus dan mengambil motornya di kantor polisi. Sarah bosan jika setiap hari harus kembali seperti dulu, kemana-mana harus berjalan kaki.“Mas, ayolah. Kenapa tidak segera mengambil motorku di kantor polisi? Kalau motorku kelamaan tidak diambil nanti malah diambil alih sama polisi lho.” Bujuk Sarah, sama sekali tidak digubris oleh Rahman.Rahman masih melanjutkan kesibukannya memandikan burung kesayangannya, akhir-akhir ini Rahman punya hobi baru yaitu memelihara burung berkicau. Akhir-akhir ini dia juga berangkat agak siang untuk mengantar Gladys dan Syena ke sekolah. Rahman selalu mengajak Syena turut serta naik motor ketika hendak mengantar Gladys. Meskipun Syena menolak, Rahman tetap akan memaksa. Berbeda dengan Sarah.&
Waktu demi waktu berlalu, rasanya seperti tiba-tiba saja. Kini, Syena dan Gladys tengah menjalani ulangan kenaikan kelas. Itu artinya sudah hampir satu tahun Ratih merantau di Negri orang. Ratih selalu menghubungi anaknya via telepon, melepas rindu lewat suara. Syena, gadis kecil yang sama sekali tidak pernah bertemu dengan Ayahnya dan bahkan tak pernah mengetahui siapa nama Ayahnya itu kini sudah tumbuh menjadi gadis kecil yang sangat baik dan berpikiran dewasa jika dibandingkan dengan anak seusianya. Namun tak bisa dipungkiri, setiap kenaikan kelas dan para wali murid mengambil rapor dan tepat saat itu juga diadakan pementasan yang disaksikan oleh para wali murid juga pengumuman juara dan kedua orang tua para juara disuruh ikut naik ke atas panggung, ia selalu sedih. Dan kesedihan itu kini akan semakin terasa karena Ibunya bahkan tidak ada di sampingnya sekarang. Entah siapa yang akan menjadi walinya nanti, jika bukan kedua orang tua Gladys maka Neneknya yang akan mewakili.
“Aw.” Ratih menekik kesakitan.Darah segar mengalir dari jari telunjuknya, segera ia mengambil tisu untuk membersihkan darah dari jarinya dan juga yang sudah menetes di meja. Pikirannya sejak tadi memang tidak enak, biasanya jika demikian sedang terjadi sesuatu pada putrinya. Ia jadi tidak fokus melakukan pekerjaannya.“Ada apa ini sebenarnya?” Tanya Ratih pada dirinya sendiri.Oma Rahma yang baru saja masuk ke dapur hendak mengambil minuman dingin terkejut saat melihat Ratih yang masih menggenggam tisu penuh darah. Ia segera mendekati Ratih.“Ada apa Ratih? Tanganmu kena pisau? Kenapa tidak hati-hati. Obati saja dulu, masaknya dilanjut lagi nanti.” Perintah Oma Rahma.Ratih hanya mengangguk lalu keluar dari dapur untuk mencari alat P3K di kotak dekat ruang keluarga. Vania sedang duduk santai sambil menonton televisi disana.“Ada apa Ratih?” Tanya Vania masih belum mengalihkan pandangannya dari
Sepulang dari jalan-jalan, waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Tepat saat sampai di rumah, terdengar azan magrib berkumandang. Dari kejauhan Romi dapat melihat Rahman yang sedang mengambil air wudu di samping rumahnya. Saat mobil mulai memasuki halaman rumah, Rahman yang hendak masuk ke dalam rumah menghentikan langkahnya sejenak. Dia melihat ke arah mobil dengan dahi berkerut, penasaran dengan siapa yang ada di dalam mobil. Setelah melihat Romi, Gladys dan Syena turun dati mobil, Rahman terlihat tersenyum. Rahman menghampiri Romi dan mereka pun saling berpelukan. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu, bagaimana keadaanmu?” tanya Rahman sambil melepas pelukan. “Maaf atas kesibukanku, aku baik-baik saja seperti dirimu.” Jawab Romi memperlihatkan senyumnya. Mendengar mereka bercakap-cakap, Gladys dan Syena memilih untuk masuk ke dalam rumah. “Mari masuk, kita salat magrib berjamaah dulu.” Kata Rahman. Romi hanya mengangguk, ia mengambil air
Frans sedang duduk di toko depan sekolah Syena, dia sebenarnya belum tahu nama anak itu. Jadi dia ingin tahu lebih banyak tentang keponakannya itu. Menurut perkiraannya, anak sekolah sebentar lagi akan pulang. Dan benar saja, baru dia meneguk air dari minuman dingin yang dia beli di toko itu terlihat satpam sudah membuka pintu gerbang dan diikuti oleh beberapa anak di belakangnya. Dia segera menyeberang jalan, dia sudah mengatur rencana agar seolah-olah pertemuannya dengan Syena tanpa disengaja. “Eh, maaf.” Ucap Syena ketika merasa menabrak seseorang, dia sedang berjalan sambil memeriksa isi tasnya. Frans memanfaatkan momen itu sehingga seolah tidak disengaja. “Iya, tidak apa-apa. Kamu anak yang tadi pagi, kan?” Tanya Frans menunjuk Syena. Syena mengangguk sambil tersenyum. “Syena, tunggu. Kita pulang bareng ya.” Ucap Gladys dari belakang. Frans terkejut melihat Gladys, jantungnya berdetak kencang. Entah mengapa dia seperti menemukan seseorang
Pagi itu Syena berangkat ke sekolah seorang diri seperti biasanya. Masih dengan buku di tangannya, ia berjalan sambil belajar. Ulangan susulan hari ini adalah pelajaran biologi. Pelajaran yang kurang disenangi oleh Syena karena penuh dengan hafalan dan juga nama-nama latin. Pelajaran ini adalah satu-satunya yang selalu mendapat nilai di bawah 8. Saat sedang sibuk menghafal, tiba-tiba ada dua anak laki-laki berlarian dari belakang Syena. Salah satu dari mereka menyenggol bahu Syena sampai buku yang dari tadi dipegangnya terjatuh. Tanpa melihat kiri kanan, Syena langsung saja mengambil buku itu. “Awas !” teriak seseorang sambil menarik lengan Syena. Syena dan orang yang menolongnya sama-sama terjatuh ke pinggir jalan yang dipenuhi rerumputan. Syena terkejut, hampir saja sebuah mobil menabraknya hanya karena ia ingin mengambil bukunya yang terjatuh. Jantungnya masih berdetak sangat kencang, untung saja setelah ia mengambil buku itu orang tadi sigap menarik lengannya.
Pagi ini, Rahman menengok ke kamar ibunya sebelum berangkat kerja. Dia juga membawakan sarapan dan teh hangat untuk ibunya. Ibunya terlihat masih sangat pucat. “Bu, ini Rahman bawakan bubur ayam untuk sarapan. Dimakan ya, Bu. Rahman mau pamit kerja dulu.” Pamit Rahman dengan nada setengah berbisik, tidak mau membangunkan ibunya yang terlihat masih tertidur lelap. Setelah itu Rahman keluar dari kamar ibunya, anak-anak sudah berangkat sekolah sejak tadi. Sedangkan Sarah tengah pergi belanja. Drrrt drrrt drrrt “Siapa telepon pagi-pagi begini?” Gumam Rahman sambil merogoh sakunya dan mengambil benda yang bergetar itu. Ratih, melihat nama yang terpampang jelas di ponselnya itu Rahman segera mengangkat telepon tersebut. “Pagi, Mas Rahman,” Sapa Ratih dari sambungan telepon. “Iya, Ratih. Ada apa telepon pagi-pagi begini?” tanya Rahman penasaran. “Maaf mengganggu, Mas. Aku hanya ingin menanyakan kabar Syena. Apa dia sudah pulan
“Nenek,” teriak Syena berlari ke arah Bude Rima untuk melihat keadaannya. Mendengar teriakan Syena, Rahman, Sarah serta Gladys berlari menuju sumber suara. Rahman sangat terkejut ketika mendapati ibunya sudah pingsan dengan Syena di sampingnya. “Apa yang telah terjadi pada ibuku?” tanya Rahman panik, segera mengangkat tubuh ibunya dan menidurkannya ke sofa ruang tamu. Sarah segera mengambilkan minyak angin sedangkan Gladys kini duduk di samping neneknya. Bude Rima terlihat sangat pucat dan badannya lemas. “Nenek kenapa, Pakde?” tanya Syena khawatir. “Pakde juga tidak tahu, Syena.” Jawab Rahman sambil meletakkan minyak angin yang telah diberikan oleh Sarah di dekat hidung ibunya. Sampai sekitar 10 menit, Bude Rima tak juga sadarkan diri. Rahman semakin panik. Dia menghubungi temannya yang memiliki mobil, hendak meminjam mobilnya untuk membawa Bude Rima ke rumah sakit. Selama menunggu kedatangan mobil yang akan membawa Bude Rima
Frans sedang bersantai di tempat persembunyiannya di Hongkong. Hari ini, dia sedang malas melakukan sesuatu. Apalagi dengan tugas yang baru saja diberikan oleh ibunya. Bukannya semangat untuk segera mengerjakan, dia justru malas-malasan. Dia bosan harus selalu menuruti keinginan ibunya untuk mengerjakan segala urusan yang ia anggap penting. Hal seperti itu selalu membuat Frans sibuk dan akhirnya urusannya sendiri dalam mencari tahu keberadaan anaknya sendiri selalu tersisihkan. Ya, motif Frans selalu mengintai Vania adalah ingin mengetahui keberadaan anaknya. Frans dan Vania dulu adalah sepasang kekasih yang saling mencintai, hingga suatu hari Vania memperkenalkan Frans pada keluarganya. Semua menyambut Frans dengan baik. Hingga kemudian Frans menceritakan siapa ibunya dan membuat keluarga Vania menolaknya mentah-mentah. Marlina adalah saingan terbesar bisnis keluarga Vania. Marlina memang pebisnis perempuan yang hebat namun memiliki banyak musuh. Keluarga Vania mengusir Fra
“Sudah siap semua, Syena? Pastikan tidak ada satu pun barang yang tertinggal.” Kata Rahman kepada Syena. Hari ini, Syena sudah dinyatakan sembuh oleh dokter. Jadi mereka akan segera pulang. “Sudah, Pakde.” Jawab Syena. Kemudian Rahman mengambilkan kursi roda untuk Syena. Namun justru Syena menolak. “Untuk apa kursi roda itu, Pakde? Aku sudah sehat, sudah sembuh. Aku bisa berjalan sendiri.” Kata Syena sambil menyunggingkan senyuman kepada pakdenya. “Oh, baiklah. Mari kita pulang.” Kata Rahman menggandeng tangan Syena. Bahkan pulang pun mereka naik motor. Syena sudah sembuh, meskipun perban di kepalanya juga belum dilepas. Rencananya akan dilepas ketika kontrol nanti dam jika memang semua lukanya sudah sembuh total. Perjalanan dari rumah sakit ke rumah tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu sekitar 2p menit. Akhirnya mereka sampai di rumah, dari kejauhan sudah terlihat Bude Rima yang sedang menyapu halaman
Vania tengah menyiram tanaman di halaman rumah sekarang, dia bahkan terdengar bersenandung. “Vania, biar saya saja yang menyiram tanamannya. Masak majikan menyiram tanaman sedangkan ada pembantu di rumah.” Kata Ratih pada Vania. Vania tertawa kecil mendengar ucapan Ratih. “Sudahlah, kamu masak saja sana di dapur. Lagi pula ini juga bukan pekerjaanmu. Ini pekerjaan tukang kebun yang kebetulan izin karena istrinya hendak melahirkan.” Jawab Vania masih asyik dengan kesibukannya tanpa begitu menghiraukan keberadaan Ratih. “Baiklah kalau begitu saya permisi, dulu.” Kata Ratih. “Eh, Ratih. Kapan jadwal pergi ke pasar? Rasanya aku rindu sekali dengan jajanan pasar.” Kata Vania, kini dia berhenti menyiram tanaman dan mengajak Ratih berbincang. “Dua hari lagi. Tapi Oma Rahma tidak akan mengizinkanmu pergi ke pasar lagi. Aku juga takut akan terjadi apa-apa padamu seperti waktu itu.” Jawab Ratih menunjukkan kekhawatirannya. “Iya, aku tahu
Syena mengerjapkan matanya perlahan, sinar matahari yang masuk melalui celah jendela berhasil membangunkannya. Ia melihat pakdenya berdiri di ambang jendela, penglihatannya mengarah ke taman. Begitu menyadari Syena sudah terbangun, Rahman segera mendekat ke arah Syena.“Mau jalan-jalan ke taman?” tanya Rahman dengan senyum semringah.Syena mengangguk, tapi terlebih dulu Rahman membersihkan wajah Syena dengan washlap yang telah dicelupkan pada air hangat yang telah ia siapkan. Setelah selesai, Rahman membawa kursi roda dan membantu Syena turun dari ranjang kemudian duduk ke kursi roda.“Mari kita jalan-jalan.” Kata Rahman pada Syena.Mereka menyusuri lorong rumah sakit yang masih terlihat sepi. Hanya ada beberapa keluarga penunggu pasien yang terlihat sedang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing. Mereka menuju taman yang berada tepat di belakang ruangan Syena dirawat. Sesampainya di sana, wajah Syena mulai berubah. Udara sej