Di Hongkong
Ratih melirik sekilas jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia baru sampai di rumah majikannya, rumah yang besar dan mewah. Ia hanya bisa berdoa semoga semua akan baik-baik saja. Ia adalah wanita yang selalu optimis, meskipun kadang terkendala oleh keadaan.
Ratih melangkahkan kakinya menuju pintu masuk rumah itu, perlahan ia mengetuk pintu rumah itu. Berkali-kali ia mengetuk pintu rumah dan memencet bel namun tak ada yang membukakan pintu. Cukup lama ia menunggu. Sampai akhirnya masuk sebuah mobil ke halaman rumah. Mungkin itu adalah mobil calon majikannya yang baru saja pulang dari bepergian. Dan benar saja, keluar seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi dari mobil itu, diikuti oleh dua anak laki-laki berparas tampan. Rupanya mereka anak kembar.
Perempuan itu menuju ke rumah dan menghampiri Ratih yang sedari tadi memperhatikannya. Ratih melemparkan senyuman yang juga dibalas dengan senyuman oleh perempuan tersebut. Sedangkan dua anak tadi justru sudah berebut menggandeng tangan Ratih. Kedua anak itu sepertinya baru berusia sekitar 3 tahun.
“Selamat datang. Jangan kaget ketika melihat dua anak ini. Mereka memang agak nakal namun begitu menggemaskan.” Kata perempuan itu.
Ratih sedikit terkejut mendengar majikannya lancar sekali berbahasa indonesia.
“Jangan terkejut mendengarku berbahasa Indonesia. Aku dan keluargaku memang asli orang Indonesia. Aku baru menetap di sini sekitar satu tahun lalu. Dulu aku tinggal di Jakarta. Dan kedua anak ini adalah cucuku.” Kata perempuan itu lagi.
“Iya, nyonya.” Jawab Ratih sopan.
“Mari masuk, kita lanjutkan mengobrol di dalam saja.” Kata perempuan itu sambil membuka pintu. Kini kedua anak laki-laki itu sudah melepas tangan Ratih dan berlari menuju kamar.
Ratih kembali mengamati rumah itu. Besar dan mewah namun dengan desain yang simpel dan elegan. Sebenarnya selain itu, sedari tadi Ratih juga memperhatikan wajah majikannya yang ia rasa tidak asing baginya. Terlihat sangat familiar. Namun ia tidak terlalu memikirkan hal itu, ia hanya menganggap bahwa mungkin hanya mirip, karena memang majikannya itu juga berasa dari Indonesia.
“Suamiku dan orang tua kedua anak itu juga tinggal di Jakarta. Di sini hanya ada aku, kedua anak tadi dan anakku yang paling bungsu. Nah itu dia.” Katanya sambil menunjuk seorang anak perempuan yang kemungkinan usianya tidak terpaut jauh di bawah Ratih.
“Namanya Anindita Vania Sukma. Biasa dipanggil Vania. Bahkan aku lupa tidak memperkenalkan namaku. Namaku, Rahma. Panggil saja Oma Rahma ya, tidak perlu memanggilku dengan sebutan lain. Namamu sendiri siapa?” Tanya Oma Rahma.
“Namaku, Ratih. Terima kasih sudah menerimaku dengan baik.” Kata Ratih.
“Jangan sungkan, kami tidak pernah menganggap ART sebagai bawahan kami. Kami menganggap mereka adalah anggota keluarga baru. ART kami sebelumnya sakit dan harus kembali ke kampung halamannya. Semoga kamu nyaman disini. Baiklah, Vania akan memperkenalkan kamu pada pekerjaanmu juga pada rumah ini.” Kata Oma Rahma.
Sebenarnya, Oma Rahma tidak begitu tua juga sampai harus dipanggil Oma oleh Ratih. Dilihat dari wajahnya, kelihatannya sepantaran dengan Ibunya Ratih.
Sekarang Ratih sudah mengikuti Vania dari belakang. Vania terlihat sedikit pendiam, entah hanya perasaannya saja.
“Sepertinya dua keponakanku menyukaimu. Jarang sekali mereka mau akrab dengan ART. Bahkan dengan ART sebelumnya pun mereka tidak begitu akrab. Oh ya, sepertinya usia kita tidak beda jauh. Apa kamu sudah menikah?” Tanya Vania pada Ratih. Sepertinya orang di rumah ini memang suka bersikap ramah pada siapa pun.
“Iya, aku sudah menikah dan punya satu anak perempuan Non Vania.” Jawab Ratih sopan.
“Seperti Ibuku, aku juga risih mendengar kata Nona, Nyonya, Tuan dan sebagainya. Panggil saja aku Vania. Sepertinya kita bisa menjadi teman.” Kata Vania.
“Baik.” Jawab Ratih sopan.
“Mungkin kamu tidak akan percaya jika mengetahui bahwa aku belum menikah. Akan kukatakan padamu sebelum kamu bertanya. Aku tidak tertarik dengan yang namanya pernikahan. Entahlah, dan aku mohon kamu jangan membicarakan tentang pernikahan padaku ya. Karena bicara tentang hal itu selalu membuat mood ku memburuk.” Kata Vania lagi.
Ratih hanya mengangguk, sebenarnya ia heran melihat gadis secantik Vania belum menikah di usianya yang bisa dibilang cukup matang. Gadis itu cantik, gigi gingsulnya juga membuat manis parasnya. Ditambah lagi dengan lesung pipi di kedua pipinya yang akan langsung terlihat meskipun hanya tersenyum sedikit saja.
Sekarang, Ratih sedang memperhatikan arahan yang disampaikan Vania mengenai pekerjaannya dan juga memperhatikan bagian dari setiap sisi rumah itu.
“Sudah selesai. Saatnya istirahat. Kamu bisa mulai bekerja besok. Oh ya, itu kamarmu ada di sana. Dekat dengan kamar Vero dan Very, kedua keponakanku tadi.” Kata Vania setelah hampir setengah jam menjelaskan.
“Terima kasih banyak, Vania. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Tanya Ratih.
“Kamu boleh istirahat sekarang, kalau mau menghubungi keluargamu pun boleh. Tenang, disini kamu tidak dilarang menggunakan ponsel. Asal pekerjaanmu beres saja.” Kata Vania lagi kemudian berjalan kembali menuju Ibunya yang sedari tadi masih duduk di ruang tamu.
Ratih berjalan menuju kamar yang tadi ditunjuk oleh Vania dan terkejut saat membukanya. Sama sekali tidak terlihat seperti kamar pembantu, bahkan kamar itu berkali lipat lebih baik dari kamarnya di kampung. Ya, ia sudah lama melupakan kehidupan serba mewahnya di Jakarta dulu. Ratih masuk dan merebahkan tubuhnya ke kasur empuk yang tersedia disana. Ia teringat oleh Syena, Putrinya. Ia belum mendengar suara putri kecilnya itu.
Kriiing kriiing kriiing
Dering telepon rumah membangunkan Sarah dari tidur siangnya. Ia langsung tidur sepulang dari mengantar Gladys. Sama sekali tidak mengerjakan pekerjaan rumah yang tadi diperintahkan oleh mertuanya.
“Halo, siapa sih? Mengganggu tidur siangku saja.” Kata Sarah.
“Halo Sarah, ini aku Ratih. Apa Syena sudah pulang dari sekolah?” Tanya Ratih.
“Kamu lagi, kenapa selalu mengganggu sih? Syena, ini Ibumu mau bicara.” Panggil Sarah pada Syena.
Syena bergegas menuju telepon rumah saat mendengar panggilan Sarah, diikuti oleh Bude Rima di belakangnya.
“Halo Ibu.” Sapa Syena dengan riang, kini ia sudah meneteskan air mata.
“Halo Syena, Ibu sangat merindukanmu. Kamu baik-baik saja, kan?” Tanya Ratih risau dengan keadaan anaknya.
“Aku baik-baik saja, Bu. Sepulang sekolah aku membantu Nenek mengerjakan pekerjaan rumah. Bude Sarah tidak mau sama sekali mengerjakan pekerjaan rumah.” Jawab Syena.
“Mengadu, awas saja berani mengadu pada suamiku.” Sahut Sarah kembali menuju kamarnya.
Syena dan Bude Rima yang sedari tadi berdiri di dekat telepon hanya bisa menggelengkan kepala.
“Ibu, ceritakan bagaimana keadaan Ibu di sana. Apa majikan Ibu baik?” Tanya Syena lagi.
“Kamu tidak perlu khawatir, nak. Majikan Ibu sangat baik. Dia dan keluarganya juga dari Indonesia, baru satu tahun menetap disini.” Jawab Ratih.
“Baguslah Ratih, jaga dirimu baik-baik ya. Kami akan mendoakan yang terbaik untukmu.” Kata Bude Rima ikut bicara.
“Bude Rima jaga kesehatan ya, jangan terlalu capek. Syena, kamu bantu Nenekmu ya, jaga dia baik-baik.” Kata Ratih pada Syena.
“Baik, Bu.” Jawab Syena patuh.
Mereka berbincang-bincang sampai sekitar 15 menit, sampai akhirnya Ratih sadar bahwa hari sudah siang dan ia harus membuatkan makan siang untuk majikannya.
“Sudah dulu ya, Sayang. Ibu harus masak dulu.” Kata Ratih.
“Iya, Bu. Semoga Ibu selalu bahagia.” Kata Syena.
“Semoga kalian juga selalu bahagia.” Jawab Ratih.
Setelah sambungan telepon tertutup, Ratih bergegas menuju ke dapur. Ia melihat Oma Rahma sedang menyiapkan makanan bersama dengan Vania.
“Apa yang kamu lakukan disini?” Tanya Vania pada Ratih.
“Maaf, seharusnya saya yang menyiapkan makan siang.” Kata Ratih.
Vania dan Oma Rahma hanya tersenyum.
“Kamu baru boleh bekerja besok. Bukankah sudah kukatakan tadi?” Tanya Vania.
“Iya, tapi?” belum sampai selesai bicara, Vania kembali berbicara.
“Kembalilah ke kamarmu, akan kupanggil saat makan siang sudah siap.” Kata Vania lagi.
Ratih hanya mengangguk, tentu saja ia sangat canggung. Ia bersyukur mendapat majikan seperti mereka.
“Semoga ini adalah awal yang baik.” Pikirnya dalam hati.
Ratih mengerjapkan matanya berkali-kali, suara alarm yang semakin lama semakin kencang membangunkannya dari tidurnya. Ya, tidak ada suara azan yang lantang seperti biasanya. Ia sudah mengatur waktu di ponselnya sesuai dengan tempatnya sekarang yang selisih waktu sekitar satu jam dari Indonesia. Ia bergegas bangun, mengambil air wudhu dan melaksanakan Shalat di kamarnya sendiri. Setelah Shalat, Ratih tak lupa melakukan kebiasaan rutinnya yaitu tadarus Al Quran. Ratih memang perempuan yang agamis. Setelah selesai, waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 waktu Hongkong. Ratih keluar dari kamar dan siap melakukan pekerjaannya. Ia terkejut saat membuka pintu dan melihat Vero dan Very sedang berdiri berjajar di depan kamarnya.“Halo, perkenalkan nama kami Vero dan Very. Kami anak kembar.” Kata salah satunya.“Bibi sudah tau dari oma dan tante kalian, tuan muda.” Jawab Ratih.“Hey, jangan memanggil kami seperti itu. Panggil saja Vero dan Very.
Hening, tidak ada percakapan sama sekali selama perjalanan menuju rumah. Ratih melirik Vania yang terlihat masih sangat terpukul. Sesekali ia bahkan melihat Vania masih sesenggukan sambil menyeka air matanya. Apa Vania juga memiliki masalah yang besar seperti yang ia miliki? Mobil sudah memasuki halaman rumah. Setelah mobil berhenti, Vania langsung saja berlari masuk ke dalam rumah. Ratih hanya memandanginya dengan tatapan iba. Ratih lalu mengambil barang-barang belanjaannya dan dibantu oleh Pak Hadi untuk membawanya masuk ke rumah.“Neng Ratih tadi lihat apa yang terjadi pada Non Vania?” Tanya Pak Hadi pada Ratih.Ratih hanya mengangguk, enggan menanggapi karena dia sendiri masih bingung menelaah apa yang baru saja dilihatnya.Saat masuk ke dalam rumah, Ratih mendengar Vania menangis dengan keras. Lalu melihat Vania menangis dalam dekapan Ibunya.“Dia datang, Bu. Dia kembali. Apa yang harus aku lakukan? Dia menemukanku, dia pasti akan m
Suara ayam berkokok bersahut-sahutan berhasil mengganggu tidur Sarah. Pagi itu, Sarah bangun pukul 05.00 WIB. Buka apa-apa, ia hanya malas berdebat dengan suaminya. Meski bagaimana pun, sebagai istri ia tetap harus menghormati suami. Rahman memang terlalu memanjakan Sarah, bisa dibilang ia takut istri. Namun jika menyangkut tentang Ratih, Bude Rima dan juga Syena, Rahman tak pernah tinggal diam. Ia tidak suka bila ada yang mengusik mereka. Pagi itu, Sarah melakukan tugas yang biasa dilakukan oleh Ratih. Membuatkan minuman hangat dan juga sarapan pagi untuk semua orang.“Tumben.” Kata Rahman ketika hendak ke kamar mandi dan melihat istrinya sudah sibuk di dapur.“Aku bangun pagi salah, tidak bangun pagi pun salah. Memang serba salah aku ini.” Jawab Sarah asal.Rahman hanya tersenyum, lalu meninggalkan istrinya dan pergi mandi.Seperti biasa, Syena sudah sibuk dengan pekerjaannya mencuci piring. Bude Rima sedang menyapu halaman depan
BrakkkOjek motor yang ditumpangi Ratih mendadak roboh karena menghindari seseorang yang menyeberang jalan tanpa melihat kanan dan kiri dulu. Untung saja Ratih tidak apa-apa. Ratih melihat ke arah orang yang berlari. Ia ingat betul, ciri-ciri orang itu sama persis dengan laki-laki-laki yang memarahi Vania di pasar waktu itu. Karena rasa penasarannya, Ratih memberikan selembar uang pada tukang ojek kemudian berlari mengejar orang tersebut sampai lupa apa tujuannya kembali ke rumah. Sebenarnya ia lupa membawakan bekal untuk si kembar, ia berinisiatif untuk pulang naik ojek untuk mengambilkan bekal makanan si kembar sedangkan Pak Hadi tetap melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah. Namun ia tidak menyangka akan melihat hal ini, ia ingin mengungkap semuanya. Jarak mereka cukup jauh, laki-laki itu berlari amat kencang, namun ketika di pertigaan jalan, lagi-lagi laki-laki itu hampir ditabrak oleh motor. Ia berhasil menghindar namun justru terjatuh.“Sial.” Ucap o
Sekitar 15 menit perjalanan yang ditempuh oleh Rahman dari tempat kerja sampai rumah sakit. Rumah sakit itu berada di daerah yang sudah memasuki perkotaan. Banyak pertanyaan yang muncul di benak Rahman. Namun yang paling ia khawatirkan adalah keadaan istri dan anaknya saat ini. Rahman menuju ruang IGD, masih ada beberapa polisi disana. Ia mendekat dan hendak menanyakan keberadaan kedua orang yang dia sayangi pada beberapa polisi itu. Ia yakin kalau istri dan anaknya masih ada di ruang IGD. Namun baru beberapa langkah, ia melihat Sarah tengah menggandeng Gladys yang kepalanya diperban. Melihat hal itu Rahman segera mempercepat langkahnya. Sarah melihat kedatangan Rahman, ia takut Rahman akan memarahinya. Setelah begitu dekat, tanpa kata Rahman langsung memeluk Sarah dan Gladys. Beberapa saat mereka hanya saling diam satu sama lain, polisi dan beberapa perawat yang ada disana hanya diam menyaksikan.“Kalian masih sakit kenapa disini?” Tanya Rahman, mat
Hari ini, Ratih langsung kembali ke rumah setelah mengantar si kembar ke sekolah. Ia harus ke pasar karena semua bahan makanan di rumah sudah habis.“Kamu mau kemana, Ratih?” Tanya Vania dengan riang seakan tak pernah terjadi sesuatu padanya.“Aku hendak ke pasar, Vania.” Jawab Ratih sambil mengambil tas belanja.“Aku ikut.” Kata Vania memohon.Ratih hanya diam, jika menolak maka dia akan dianggap tidak sopan karena berani menentang keinginan majikan, namun jika ia mengizinkan Vania ikit, ia takut jika hal yang sama akan terjadi lagi.“Kamu tetap diam di rumah, jika kamu ingin membeli jajanan pasar seperti biasa cukup titip saja pada Ratih. Ini uangnya.” Kata Oma Rahma sembari memberikan uang belanja untuk Ratih.“Ma, aku yakin aku bisa jaga diri. Dia tidak akan berani menemuiku lagi.” Kata Vania meyakinkan Oma Rahma.“Atas dasar apa kamu berkata demikian? Laki-laki bre
Pak Hadi segera mengantar Ratih pulang. Ratih masih sangat kaget dengan kejadian yang dia alami tadi. Sama sekali tidak terpikirkan olehnya jika orang itu punya keinginan untuk membunuh Ratih. Jika memang demikian, bisa dipastikan bahwa orang itu adalah orang tidak baik dari masa lalu Ratih. Lalu siapa yang bisa memberitahu pada Ratih tentang orang itu? Ya, Vania dan Oma Rahma pasti tahu siapa laki-laki itu. Ratih akan berusaha mencari tahu. Sesampainya di rumah, terlihat Oma Rahma dan Vania sudah menunggu di depan. Pasti mereka tahu apa yang baru saja menimpa Ratih. Ratih turun dari mobil, hendak mengambil barang belanjaan namun dihentikan oleh Vania.“Ratih, kamu masih sangat lemas. Ikut aku. Biar Pak Hadi yang membawa masuk semua barang belanjaannya.” Kata Vania sambil menggandeng tangan Ratih.Tanpa disuruh pun, Pak Hadi dengan sigap mengambil barang-barang dari bagasi dan segra membawanya masuk.Ratih masuk ke rumah digandeng oleh Oma Rahma dan
Sang mentari telah menampakkan semburat sinarnya, Sarah sudah bangun sedari tadi. Sejak kecelakaan itu, ia memang berusaha untuk terlihat rajin di hadapan suaminya. Bukan karena memang berubah, hanya sementara agar suaminya mau mengurus dan mengambil motornya di kantor polisi. Sarah bosan jika setiap hari harus kembali seperti dulu, kemana-mana harus berjalan kaki.“Mas, ayolah. Kenapa tidak segera mengambil motorku di kantor polisi? Kalau motorku kelamaan tidak diambil nanti malah diambil alih sama polisi lho.” Bujuk Sarah, sama sekali tidak digubris oleh Rahman.Rahman masih melanjutkan kesibukannya memandikan burung kesayangannya, akhir-akhir ini Rahman punya hobi baru yaitu memelihara burung berkicau. Akhir-akhir ini dia juga berangkat agak siang untuk mengantar Gladys dan Syena ke sekolah. Rahman selalu mengajak Syena turut serta naik motor ketika hendak mengantar Gladys. Meskipun Syena menolak, Rahman tetap akan memaksa. Berbeda dengan Sarah.&
Sepulang dari jalan-jalan, waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Tepat saat sampai di rumah, terdengar azan magrib berkumandang. Dari kejauhan Romi dapat melihat Rahman yang sedang mengambil air wudu di samping rumahnya. Saat mobil mulai memasuki halaman rumah, Rahman yang hendak masuk ke dalam rumah menghentikan langkahnya sejenak. Dia melihat ke arah mobil dengan dahi berkerut, penasaran dengan siapa yang ada di dalam mobil. Setelah melihat Romi, Gladys dan Syena turun dati mobil, Rahman terlihat tersenyum. Rahman menghampiri Romi dan mereka pun saling berpelukan. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu, bagaimana keadaanmu?” tanya Rahman sambil melepas pelukan. “Maaf atas kesibukanku, aku baik-baik saja seperti dirimu.” Jawab Romi memperlihatkan senyumnya. Mendengar mereka bercakap-cakap, Gladys dan Syena memilih untuk masuk ke dalam rumah. “Mari masuk, kita salat magrib berjamaah dulu.” Kata Rahman. Romi hanya mengangguk, ia mengambil air
Frans sedang duduk di toko depan sekolah Syena, dia sebenarnya belum tahu nama anak itu. Jadi dia ingin tahu lebih banyak tentang keponakannya itu. Menurut perkiraannya, anak sekolah sebentar lagi akan pulang. Dan benar saja, baru dia meneguk air dari minuman dingin yang dia beli di toko itu terlihat satpam sudah membuka pintu gerbang dan diikuti oleh beberapa anak di belakangnya. Dia segera menyeberang jalan, dia sudah mengatur rencana agar seolah-olah pertemuannya dengan Syena tanpa disengaja. “Eh, maaf.” Ucap Syena ketika merasa menabrak seseorang, dia sedang berjalan sambil memeriksa isi tasnya. Frans memanfaatkan momen itu sehingga seolah tidak disengaja. “Iya, tidak apa-apa. Kamu anak yang tadi pagi, kan?” Tanya Frans menunjuk Syena. Syena mengangguk sambil tersenyum. “Syena, tunggu. Kita pulang bareng ya.” Ucap Gladys dari belakang. Frans terkejut melihat Gladys, jantungnya berdetak kencang. Entah mengapa dia seperti menemukan seseorang
Pagi itu Syena berangkat ke sekolah seorang diri seperti biasanya. Masih dengan buku di tangannya, ia berjalan sambil belajar. Ulangan susulan hari ini adalah pelajaran biologi. Pelajaran yang kurang disenangi oleh Syena karena penuh dengan hafalan dan juga nama-nama latin. Pelajaran ini adalah satu-satunya yang selalu mendapat nilai di bawah 8. Saat sedang sibuk menghafal, tiba-tiba ada dua anak laki-laki berlarian dari belakang Syena. Salah satu dari mereka menyenggol bahu Syena sampai buku yang dari tadi dipegangnya terjatuh. Tanpa melihat kiri kanan, Syena langsung saja mengambil buku itu. “Awas !” teriak seseorang sambil menarik lengan Syena. Syena dan orang yang menolongnya sama-sama terjatuh ke pinggir jalan yang dipenuhi rerumputan. Syena terkejut, hampir saja sebuah mobil menabraknya hanya karena ia ingin mengambil bukunya yang terjatuh. Jantungnya masih berdetak sangat kencang, untung saja setelah ia mengambil buku itu orang tadi sigap menarik lengannya.
Pagi ini, Rahman menengok ke kamar ibunya sebelum berangkat kerja. Dia juga membawakan sarapan dan teh hangat untuk ibunya. Ibunya terlihat masih sangat pucat. “Bu, ini Rahman bawakan bubur ayam untuk sarapan. Dimakan ya, Bu. Rahman mau pamit kerja dulu.” Pamit Rahman dengan nada setengah berbisik, tidak mau membangunkan ibunya yang terlihat masih tertidur lelap. Setelah itu Rahman keluar dari kamar ibunya, anak-anak sudah berangkat sekolah sejak tadi. Sedangkan Sarah tengah pergi belanja. Drrrt drrrt drrrt “Siapa telepon pagi-pagi begini?” Gumam Rahman sambil merogoh sakunya dan mengambil benda yang bergetar itu. Ratih, melihat nama yang terpampang jelas di ponselnya itu Rahman segera mengangkat telepon tersebut. “Pagi, Mas Rahman,” Sapa Ratih dari sambungan telepon. “Iya, Ratih. Ada apa telepon pagi-pagi begini?” tanya Rahman penasaran. “Maaf mengganggu, Mas. Aku hanya ingin menanyakan kabar Syena. Apa dia sudah pulan
“Nenek,” teriak Syena berlari ke arah Bude Rima untuk melihat keadaannya. Mendengar teriakan Syena, Rahman, Sarah serta Gladys berlari menuju sumber suara. Rahman sangat terkejut ketika mendapati ibunya sudah pingsan dengan Syena di sampingnya. “Apa yang telah terjadi pada ibuku?” tanya Rahman panik, segera mengangkat tubuh ibunya dan menidurkannya ke sofa ruang tamu. Sarah segera mengambilkan minyak angin sedangkan Gladys kini duduk di samping neneknya. Bude Rima terlihat sangat pucat dan badannya lemas. “Nenek kenapa, Pakde?” tanya Syena khawatir. “Pakde juga tidak tahu, Syena.” Jawab Rahman sambil meletakkan minyak angin yang telah diberikan oleh Sarah di dekat hidung ibunya. Sampai sekitar 10 menit, Bude Rima tak juga sadarkan diri. Rahman semakin panik. Dia menghubungi temannya yang memiliki mobil, hendak meminjam mobilnya untuk membawa Bude Rima ke rumah sakit. Selama menunggu kedatangan mobil yang akan membawa Bude Rima
Frans sedang bersantai di tempat persembunyiannya di Hongkong. Hari ini, dia sedang malas melakukan sesuatu. Apalagi dengan tugas yang baru saja diberikan oleh ibunya. Bukannya semangat untuk segera mengerjakan, dia justru malas-malasan. Dia bosan harus selalu menuruti keinginan ibunya untuk mengerjakan segala urusan yang ia anggap penting. Hal seperti itu selalu membuat Frans sibuk dan akhirnya urusannya sendiri dalam mencari tahu keberadaan anaknya sendiri selalu tersisihkan. Ya, motif Frans selalu mengintai Vania adalah ingin mengetahui keberadaan anaknya. Frans dan Vania dulu adalah sepasang kekasih yang saling mencintai, hingga suatu hari Vania memperkenalkan Frans pada keluarganya. Semua menyambut Frans dengan baik. Hingga kemudian Frans menceritakan siapa ibunya dan membuat keluarga Vania menolaknya mentah-mentah. Marlina adalah saingan terbesar bisnis keluarga Vania. Marlina memang pebisnis perempuan yang hebat namun memiliki banyak musuh. Keluarga Vania mengusir Fra
“Sudah siap semua, Syena? Pastikan tidak ada satu pun barang yang tertinggal.” Kata Rahman kepada Syena. Hari ini, Syena sudah dinyatakan sembuh oleh dokter. Jadi mereka akan segera pulang. “Sudah, Pakde.” Jawab Syena. Kemudian Rahman mengambilkan kursi roda untuk Syena. Namun justru Syena menolak. “Untuk apa kursi roda itu, Pakde? Aku sudah sehat, sudah sembuh. Aku bisa berjalan sendiri.” Kata Syena sambil menyunggingkan senyuman kepada pakdenya. “Oh, baiklah. Mari kita pulang.” Kata Rahman menggandeng tangan Syena. Bahkan pulang pun mereka naik motor. Syena sudah sembuh, meskipun perban di kepalanya juga belum dilepas. Rencananya akan dilepas ketika kontrol nanti dam jika memang semua lukanya sudah sembuh total. Perjalanan dari rumah sakit ke rumah tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu sekitar 2p menit. Akhirnya mereka sampai di rumah, dari kejauhan sudah terlihat Bude Rima yang sedang menyapu halaman
Vania tengah menyiram tanaman di halaman rumah sekarang, dia bahkan terdengar bersenandung. “Vania, biar saya saja yang menyiram tanamannya. Masak majikan menyiram tanaman sedangkan ada pembantu di rumah.” Kata Ratih pada Vania. Vania tertawa kecil mendengar ucapan Ratih. “Sudahlah, kamu masak saja sana di dapur. Lagi pula ini juga bukan pekerjaanmu. Ini pekerjaan tukang kebun yang kebetulan izin karena istrinya hendak melahirkan.” Jawab Vania masih asyik dengan kesibukannya tanpa begitu menghiraukan keberadaan Ratih. “Baiklah kalau begitu saya permisi, dulu.” Kata Ratih. “Eh, Ratih. Kapan jadwal pergi ke pasar? Rasanya aku rindu sekali dengan jajanan pasar.” Kata Vania, kini dia berhenti menyiram tanaman dan mengajak Ratih berbincang. “Dua hari lagi. Tapi Oma Rahma tidak akan mengizinkanmu pergi ke pasar lagi. Aku juga takut akan terjadi apa-apa padamu seperti waktu itu.” Jawab Ratih menunjukkan kekhawatirannya. “Iya, aku tahu
Syena mengerjapkan matanya perlahan, sinar matahari yang masuk melalui celah jendela berhasil membangunkannya. Ia melihat pakdenya berdiri di ambang jendela, penglihatannya mengarah ke taman. Begitu menyadari Syena sudah terbangun, Rahman segera mendekat ke arah Syena.“Mau jalan-jalan ke taman?” tanya Rahman dengan senyum semringah.Syena mengangguk, tapi terlebih dulu Rahman membersihkan wajah Syena dengan washlap yang telah dicelupkan pada air hangat yang telah ia siapkan. Setelah selesai, Rahman membawa kursi roda dan membantu Syena turun dari ranjang kemudian duduk ke kursi roda.“Mari kita jalan-jalan.” Kata Rahman pada Syena.Mereka menyusuri lorong rumah sakit yang masih terlihat sepi. Hanya ada beberapa keluarga penunggu pasien yang terlihat sedang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing. Mereka menuju taman yang berada tepat di belakang ruangan Syena dirawat. Sesampainya di sana, wajah Syena mulai berubah. Udara sej