Di Hongkong
Ratih melirik sekilas jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia baru sampai di rumah majikannya, rumah yang besar dan mewah. Ia hanya bisa berdoa semoga semua akan baik-baik saja. Ia adalah wanita yang selalu optimis, meskipun kadang terkendala oleh keadaan.
Ratih melangkahkan kakinya menuju pintu masuk rumah itu, perlahan ia mengetuk pintu rumah itu. Berkali-kali ia mengetuk pintu rumah dan memencet bel namun tak ada yang membukakan pintu. Cukup lama ia menunggu. Sampai akhirnya masuk sebuah mobil ke halaman rumah. Mungkin itu adalah mobil calon majikannya yang baru saja pulang dari bepergian. Dan benar saja, keluar seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi dari mobil itu, diikuti oleh dua anak laki-laki berparas tampan. Rupanya mereka anak kembar.
Perempuan itu menuju ke rumah dan menghampiri Ratih yang sedari tadi memperhatikannya. Ratih melemparkan senyuman yang juga dibalas dengan senyuman oleh perempuan tersebut. Sedangkan dua anak tadi justru sudah berebut menggandeng tangan Ratih. Kedua anak itu sepertinya baru berusia sekitar 3 tahun.
“Selamat datang. Jangan kaget ketika melihat dua anak ini. Mereka memang agak nakal namun begitu menggemaskan.” Kata perempuan itu.
Ratih sedikit terkejut mendengar majikannya lancar sekali berbahasa indonesia.
“Jangan terkejut mendengarku berbahasa Indonesia. Aku dan keluargaku memang asli orang Indonesia. Aku baru menetap di sini sekitar satu tahun lalu. Dulu aku tinggal di Jakarta. Dan kedua anak ini adalah cucuku.” Kata perempuan itu lagi.
“Iya, nyonya.” Jawab Ratih sopan.
“Mari masuk, kita lanjutkan mengobrol di dalam saja.” Kata perempuan itu sambil membuka pintu. Kini kedua anak laki-laki itu sudah melepas tangan Ratih dan berlari menuju kamar.
Ratih kembali mengamati rumah itu. Besar dan mewah namun dengan desain yang simpel dan elegan. Sebenarnya selain itu, sedari tadi Ratih juga memperhatikan wajah majikannya yang ia rasa tidak asing baginya. Terlihat sangat familiar. Namun ia tidak terlalu memikirkan hal itu, ia hanya menganggap bahwa mungkin hanya mirip, karena memang majikannya itu juga berasa dari Indonesia.
“Suamiku dan orang tua kedua anak itu juga tinggal di Jakarta. Di sini hanya ada aku, kedua anak tadi dan anakku yang paling bungsu. Nah itu dia.” Katanya sambil menunjuk seorang anak perempuan yang kemungkinan usianya tidak terpaut jauh di bawah Ratih.
“Namanya Anindita Vania Sukma. Biasa dipanggil Vania. Bahkan aku lupa tidak memperkenalkan namaku. Namaku, Rahma. Panggil saja Oma Rahma ya, tidak perlu memanggilku dengan sebutan lain. Namamu sendiri siapa?” Tanya Oma Rahma.
“Namaku, Ratih. Terima kasih sudah menerimaku dengan baik.” Kata Ratih.
“Jangan sungkan, kami tidak pernah menganggap ART sebagai bawahan kami. Kami menganggap mereka adalah anggota keluarga baru. ART kami sebelumnya sakit dan harus kembali ke kampung halamannya. Semoga kamu nyaman disini. Baiklah, Vania akan memperkenalkan kamu pada pekerjaanmu juga pada rumah ini.” Kata Oma Rahma.
Sebenarnya, Oma Rahma tidak begitu tua juga sampai harus dipanggil Oma oleh Ratih. Dilihat dari wajahnya, kelihatannya sepantaran dengan Ibunya Ratih.
Sekarang Ratih sudah mengikuti Vania dari belakang. Vania terlihat sedikit pendiam, entah hanya perasaannya saja.
“Sepertinya dua keponakanku menyukaimu. Jarang sekali mereka mau akrab dengan ART. Bahkan dengan ART sebelumnya pun mereka tidak begitu akrab. Oh ya, sepertinya usia kita tidak beda jauh. Apa kamu sudah menikah?” Tanya Vania pada Ratih. Sepertinya orang di rumah ini memang suka bersikap ramah pada siapa pun.
“Iya, aku sudah menikah dan punya satu anak perempuan Non Vania.” Jawab Ratih sopan.
“Seperti Ibuku, aku juga risih mendengar kata Nona, Nyonya, Tuan dan sebagainya. Panggil saja aku Vania. Sepertinya kita bisa menjadi teman.” Kata Vania.
“Baik.” Jawab Ratih sopan.
“Mungkin kamu tidak akan percaya jika mengetahui bahwa aku belum menikah. Akan kukatakan padamu sebelum kamu bertanya. Aku tidak tertarik dengan yang namanya pernikahan. Entahlah, dan aku mohon kamu jangan membicarakan tentang pernikahan padaku ya. Karena bicara tentang hal itu selalu membuat mood ku memburuk.” Kata Vania lagi.
Ratih hanya mengangguk, sebenarnya ia heran melihat gadis secantik Vania belum menikah di usianya yang bisa dibilang cukup matang. Gadis itu cantik, gigi gingsulnya juga membuat manis parasnya. Ditambah lagi dengan lesung pipi di kedua pipinya yang akan langsung terlihat meskipun hanya tersenyum sedikit saja.
Sekarang, Ratih sedang memperhatikan arahan yang disampaikan Vania mengenai pekerjaannya dan juga memperhatikan bagian dari setiap sisi rumah itu.
“Sudah selesai. Saatnya istirahat. Kamu bisa mulai bekerja besok. Oh ya, itu kamarmu ada di sana. Dekat dengan kamar Vero dan Very, kedua keponakanku tadi.” Kata Vania setelah hampir setengah jam menjelaskan.
“Terima kasih banyak, Vania. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Tanya Ratih.
“Kamu boleh istirahat sekarang, kalau mau menghubungi keluargamu pun boleh. Tenang, disini kamu tidak dilarang menggunakan ponsel. Asal pekerjaanmu beres saja.” Kata Vania lagi kemudian berjalan kembali menuju Ibunya yang sedari tadi masih duduk di ruang tamu.
Ratih berjalan menuju kamar yang tadi ditunjuk oleh Vania dan terkejut saat membukanya. Sama sekali tidak terlihat seperti kamar pembantu, bahkan kamar itu berkali lipat lebih baik dari kamarnya di kampung. Ya, ia sudah lama melupakan kehidupan serba mewahnya di Jakarta dulu. Ratih masuk dan merebahkan tubuhnya ke kasur empuk yang tersedia disana. Ia teringat oleh Syena, Putrinya. Ia belum mendengar suara putri kecilnya itu.
Kriiing kriiing kriiing
Dering telepon rumah membangunkan Sarah dari tidur siangnya. Ia langsung tidur sepulang dari mengantar Gladys. Sama sekali tidak mengerjakan pekerjaan rumah yang tadi diperintahkan oleh mertuanya.
“Halo, siapa sih? Mengganggu tidur siangku saja.” Kata Sarah.
“Halo Sarah, ini aku Ratih. Apa Syena sudah pulang dari sekolah?” Tanya Ratih.
“Kamu lagi, kenapa selalu mengganggu sih? Syena, ini Ibumu mau bicara.” Panggil Sarah pada Syena.
Syena bergegas menuju telepon rumah saat mendengar panggilan Sarah, diikuti oleh Bude Rima di belakangnya.
“Halo Ibu.” Sapa Syena dengan riang, kini ia sudah meneteskan air mata.
“Halo Syena, Ibu sangat merindukanmu. Kamu baik-baik saja, kan?” Tanya Ratih risau dengan keadaan anaknya.
“Aku baik-baik saja, Bu. Sepulang sekolah aku membantu Nenek mengerjakan pekerjaan rumah. Bude Sarah tidak mau sama sekali mengerjakan pekerjaan rumah.” Jawab Syena.
“Mengadu, awas saja berani mengadu pada suamiku.” Sahut Sarah kembali menuju kamarnya.
Syena dan Bude Rima yang sedari tadi berdiri di dekat telepon hanya bisa menggelengkan kepala.
“Ibu, ceritakan bagaimana keadaan Ibu di sana. Apa majikan Ibu baik?” Tanya Syena lagi.
“Kamu tidak perlu khawatir, nak. Majikan Ibu sangat baik. Dia dan keluarganya juga dari Indonesia, baru satu tahun menetap disini.” Jawab Ratih.
“Baguslah Ratih, jaga dirimu baik-baik ya. Kami akan mendoakan yang terbaik untukmu.” Kata Bude Rima ikut bicara.
“Bude Rima jaga kesehatan ya, jangan terlalu capek. Syena, kamu bantu Nenekmu ya, jaga dia baik-baik.” Kata Ratih pada Syena.
“Baik, Bu.” Jawab Syena patuh.
Mereka berbincang-bincang sampai sekitar 15 menit, sampai akhirnya Ratih sadar bahwa hari sudah siang dan ia harus membuatkan makan siang untuk majikannya.
“Sudah dulu ya, Sayang. Ibu harus masak dulu.” Kata Ratih.
“Iya, Bu. Semoga Ibu selalu bahagia.” Kata Syena.
“Semoga kalian juga selalu bahagia.” Jawab Ratih.
Setelah sambungan telepon tertutup, Ratih bergegas menuju ke dapur. Ia melihat Oma Rahma sedang menyiapkan makanan bersama dengan Vania.
“Apa yang kamu lakukan disini?” Tanya Vania pada Ratih.
“Maaf, seharusnya saya yang menyiapkan makan siang.” Kata Ratih.
Vania dan Oma Rahma hanya tersenyum.
“Kamu baru boleh bekerja besok. Bukankah sudah kukatakan tadi?” Tanya Vania.
“Iya, tapi?” belum sampai selesai bicara, Vania kembali berbicara.
“Kembalilah ke kamarmu, akan kupanggil saat makan siang sudah siap.” Kata Vania lagi.
Ratih hanya mengangguk, tentu saja ia sangat canggung. Ia bersyukur mendapat majikan seperti mereka.
“Semoga ini adalah awal yang baik.” Pikirnya dalam hati.
Ratih mengerjapkan matanya berkali-kali, suara alarm yang semakin lama semakin kencang membangunkannya dari tidurnya. Ya, tidak ada suara azan yang lantang seperti biasanya. Ia sudah mengatur waktu di ponselnya sesuai dengan tempatnya sekarang yang selisih waktu sekitar satu jam dari Indonesia. Ia bergegas bangun, mengambil air wudhu dan melaksanakan Shalat di kamarnya sendiri. Setelah Shalat, Ratih tak lupa melakukan kebiasaan rutinnya yaitu tadarus Al Quran. Ratih memang perempuan yang agamis. Setelah selesai, waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 waktu Hongkong. Ratih keluar dari kamar dan siap melakukan pekerjaannya. Ia terkejut saat membuka pintu dan melihat Vero dan Very sedang berdiri berjajar di depan kamarnya.“Halo, perkenalkan nama kami Vero dan Very. Kami anak kembar.” Kata salah satunya.“Bibi sudah tau dari oma dan tante kalian, tuan muda.” Jawab Ratih.“Hey, jangan memanggil kami seperti itu. Panggil saja Vero dan Very.
Hening, tidak ada percakapan sama sekali selama perjalanan menuju rumah. Ratih melirik Vania yang terlihat masih sangat terpukul. Sesekali ia bahkan melihat Vania masih sesenggukan sambil menyeka air matanya. Apa Vania juga memiliki masalah yang besar seperti yang ia miliki? Mobil sudah memasuki halaman rumah. Setelah mobil berhenti, Vania langsung saja berlari masuk ke dalam rumah. Ratih hanya memandanginya dengan tatapan iba. Ratih lalu mengambil barang-barang belanjaannya dan dibantu oleh Pak Hadi untuk membawanya masuk ke rumah.“Neng Ratih tadi lihat apa yang terjadi pada Non Vania?” Tanya Pak Hadi pada Ratih.Ratih hanya mengangguk, enggan menanggapi karena dia sendiri masih bingung menelaah apa yang baru saja dilihatnya.Saat masuk ke dalam rumah, Ratih mendengar Vania menangis dengan keras. Lalu melihat Vania menangis dalam dekapan Ibunya.“Dia datang, Bu. Dia kembali. Apa yang harus aku lakukan? Dia menemukanku, dia pasti akan m
Suara ayam berkokok bersahut-sahutan berhasil mengganggu tidur Sarah. Pagi itu, Sarah bangun pukul 05.00 WIB. Buka apa-apa, ia hanya malas berdebat dengan suaminya. Meski bagaimana pun, sebagai istri ia tetap harus menghormati suami. Rahman memang terlalu memanjakan Sarah, bisa dibilang ia takut istri. Namun jika menyangkut tentang Ratih, Bude Rima dan juga Syena, Rahman tak pernah tinggal diam. Ia tidak suka bila ada yang mengusik mereka. Pagi itu, Sarah melakukan tugas yang biasa dilakukan oleh Ratih. Membuatkan minuman hangat dan juga sarapan pagi untuk semua orang.“Tumben.” Kata Rahman ketika hendak ke kamar mandi dan melihat istrinya sudah sibuk di dapur.“Aku bangun pagi salah, tidak bangun pagi pun salah. Memang serba salah aku ini.” Jawab Sarah asal.Rahman hanya tersenyum, lalu meninggalkan istrinya dan pergi mandi.Seperti biasa, Syena sudah sibuk dengan pekerjaannya mencuci piring. Bude Rima sedang menyapu halaman depan
BrakkkOjek motor yang ditumpangi Ratih mendadak roboh karena menghindari seseorang yang menyeberang jalan tanpa melihat kanan dan kiri dulu. Untung saja Ratih tidak apa-apa. Ratih melihat ke arah orang yang berlari. Ia ingat betul, ciri-ciri orang itu sama persis dengan laki-laki-laki yang memarahi Vania di pasar waktu itu. Karena rasa penasarannya, Ratih memberikan selembar uang pada tukang ojek kemudian berlari mengejar orang tersebut sampai lupa apa tujuannya kembali ke rumah. Sebenarnya ia lupa membawakan bekal untuk si kembar, ia berinisiatif untuk pulang naik ojek untuk mengambilkan bekal makanan si kembar sedangkan Pak Hadi tetap melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah. Namun ia tidak menyangka akan melihat hal ini, ia ingin mengungkap semuanya. Jarak mereka cukup jauh, laki-laki itu berlari amat kencang, namun ketika di pertigaan jalan, lagi-lagi laki-laki itu hampir ditabrak oleh motor. Ia berhasil menghindar namun justru terjatuh.“Sial.” Ucap o
Sekitar 15 menit perjalanan yang ditempuh oleh Rahman dari tempat kerja sampai rumah sakit. Rumah sakit itu berada di daerah yang sudah memasuki perkotaan. Banyak pertanyaan yang muncul di benak Rahman. Namun yang paling ia khawatirkan adalah keadaan istri dan anaknya saat ini. Rahman menuju ruang IGD, masih ada beberapa polisi disana. Ia mendekat dan hendak menanyakan keberadaan kedua orang yang dia sayangi pada beberapa polisi itu. Ia yakin kalau istri dan anaknya masih ada di ruang IGD. Namun baru beberapa langkah, ia melihat Sarah tengah menggandeng Gladys yang kepalanya diperban. Melihat hal itu Rahman segera mempercepat langkahnya. Sarah melihat kedatangan Rahman, ia takut Rahman akan memarahinya. Setelah begitu dekat, tanpa kata Rahman langsung memeluk Sarah dan Gladys. Beberapa saat mereka hanya saling diam satu sama lain, polisi dan beberapa perawat yang ada disana hanya diam menyaksikan.“Kalian masih sakit kenapa disini?” Tanya Rahman, mat
Hari ini, Ratih langsung kembali ke rumah setelah mengantar si kembar ke sekolah. Ia harus ke pasar karena semua bahan makanan di rumah sudah habis.“Kamu mau kemana, Ratih?” Tanya Vania dengan riang seakan tak pernah terjadi sesuatu padanya.“Aku hendak ke pasar, Vania.” Jawab Ratih sambil mengambil tas belanja.“Aku ikut.” Kata Vania memohon.Ratih hanya diam, jika menolak maka dia akan dianggap tidak sopan karena berani menentang keinginan majikan, namun jika ia mengizinkan Vania ikit, ia takut jika hal yang sama akan terjadi lagi.“Kamu tetap diam di rumah, jika kamu ingin membeli jajanan pasar seperti biasa cukup titip saja pada Ratih. Ini uangnya.” Kata Oma Rahma sembari memberikan uang belanja untuk Ratih.“Ma, aku yakin aku bisa jaga diri. Dia tidak akan berani menemuiku lagi.” Kata Vania meyakinkan Oma Rahma.“Atas dasar apa kamu berkata demikian? Laki-laki bre
Pak Hadi segera mengantar Ratih pulang. Ratih masih sangat kaget dengan kejadian yang dia alami tadi. Sama sekali tidak terpikirkan olehnya jika orang itu punya keinginan untuk membunuh Ratih. Jika memang demikian, bisa dipastikan bahwa orang itu adalah orang tidak baik dari masa lalu Ratih. Lalu siapa yang bisa memberitahu pada Ratih tentang orang itu? Ya, Vania dan Oma Rahma pasti tahu siapa laki-laki itu. Ratih akan berusaha mencari tahu. Sesampainya di rumah, terlihat Oma Rahma dan Vania sudah menunggu di depan. Pasti mereka tahu apa yang baru saja menimpa Ratih. Ratih turun dari mobil, hendak mengambil barang belanjaan namun dihentikan oleh Vania.“Ratih, kamu masih sangat lemas. Ikut aku. Biar Pak Hadi yang membawa masuk semua barang belanjaannya.” Kata Vania sambil menggandeng tangan Ratih.Tanpa disuruh pun, Pak Hadi dengan sigap mengambil barang-barang dari bagasi dan segra membawanya masuk.Ratih masuk ke rumah digandeng oleh Oma Rahma dan
Sang mentari telah menampakkan semburat sinarnya, Sarah sudah bangun sedari tadi. Sejak kecelakaan itu, ia memang berusaha untuk terlihat rajin di hadapan suaminya. Bukan karena memang berubah, hanya sementara agar suaminya mau mengurus dan mengambil motornya di kantor polisi. Sarah bosan jika setiap hari harus kembali seperti dulu, kemana-mana harus berjalan kaki.“Mas, ayolah. Kenapa tidak segera mengambil motorku di kantor polisi? Kalau motorku kelamaan tidak diambil nanti malah diambil alih sama polisi lho.” Bujuk Sarah, sama sekali tidak digubris oleh Rahman.Rahman masih melanjutkan kesibukannya memandikan burung kesayangannya, akhir-akhir ini Rahman punya hobi baru yaitu memelihara burung berkicau. Akhir-akhir ini dia juga berangkat agak siang untuk mengantar Gladys dan Syena ke sekolah. Rahman selalu mengajak Syena turut serta naik motor ketika hendak mengantar Gladys. Meskipun Syena menolak, Rahman tetap akan memaksa. Berbeda dengan Sarah.&