“Kiiing kriiing kriiing”
Dering ponsel itu membangunkan Sarah dari tidurnya. Ia melirik jam sekilas yang sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Sambil menggerutu ia meraih ponselnya yang masih terus berdering.
“Siapa sih telpon malam-malam begini. Ganggu orang istirahat saja.” Katanya kemudian mengangkat telpon.
“Halo, siapa disana?” tanyanya dengan nada kasar.
“Halo Mbak Sarah. Ini aku, Ratih. Aku hanya ingin mengabarkan kalau aku sudah sampai, mbak.” Jawab orang dari sambungan telponnya yang tak lain adalah Ratih.
“Kamu memang paling suka mengganggu ya. Kenapa tidak telpon besok saja? Malam itu waktunya orang istirahat. Tahu waktu dong. Dasar.” Katanya kemudian menutup telponnya dengan kasar padahal belum mendapat jawaban.
Ratih disana hanya bisa mengelus dada mendengar kata-kata Sarah. Ia tidak kaget, memang begitulah watak Sarah. Sedangkan Sarah kembali melanjutkan tidurnya, tak lupa ia mematikan ponselnya terlebih dahulu agar tidak ada lagi yang mengganggu tidurnya.
05.30 WIB
“Sarah, bangun. Siapkan sarapan dan minuman hangat untuk suamimu.” Panggil Bude Rima berhasil membangunkan menantunya yang masih asyik memeluk guling.
Dengan sangat terpaksa, Sarah menuruti panggilan itu. Sarah bangun dan berjalan ke dapur dengan langkah gontai.
“Tadi malam Ratih, sekarang Ibu. Kenapa sih orang-orang disini suka sekali mengganggu tidurku.” Gerutunya
“Apa Bude? Tadi malam Ibu telpon Bude? Kenapa tidak membangunkanku. Aku ingin bicara dengannya.” Kata Syena menyahut, senang mendengar nama Ibunya disebut.
“Sudahlah, dia hanya ingin mengabarkan kalau dia sudah sampai. Lagi pula sudah malam hari, mengapa aku harus membangunkanmu. Sana, lanjutkan pekerjaanmu.” Kata Sarah kasar kemudian duduk di kursi.
“Kamu ini bagaimana, Ibu membangunkanmu bukan untuk bersantai disini. Sana buat sarapan untuk suamimu. Biar Ibu bantu menyiapkan minuman hangatnya.” Suruh Bude Rima.
“Ah, malas sekali aku.” Kata Sarah lagi.
“Itu kewajibanmu sebagai seorang istri. Mau menyuruh Ratih? Dia tidak ada disini sekarang.” Kata Bude Rima sambil mengaduk minuman.
Lagi-lagi dengan terpaksa Sarah melakukan pekerjaan yang sudah lama tidak ia kerjakan. Ya, membuat sarapan pagi memang menjadi tugas Ratih selama ia tinggal di rumah Bude Rima. Sejak saat itu juga, Sarah tidak pernah melakukan pekerjaan itu. Selain itu, Sarah memang bukan istri yang rajin. Ia sangat malas bila disuruh mengerjakan pekerjaan rumah.
Sekitar 30 meni, sarapan sudah siap. Semua anggota keluarga berkumpul di meja makan.
“Bu, aku lupa mengerjakan tugas rumah kemarin. Dan hari ini aku harus mengumpulkannya.” Kata Gladys pada Ibunya.
“Bagaimana bisa lupa? Makanya kamu jangan Cuma main ponsel saja bisanya. Kalau sampai nilaimu jelek. Ayah akan menyita ponselmu sampai jangka waktu yang tidak ditentukan.” Jawab Rahman memarahi anaknya.
“Jangan, Ayah. Jangan lakukan itu.” Mohon Gladys hampir menangis.
“Segera habiskan sarapanmu dan kerjakan tugasmu sebelum berangkat ke sekolah.” Kata Rahman lagi, kemudian berdiri karena ia sudah selesai sarapan.
Rahman berpamitan pada Bude Rima, mencium tangannya. Juga berpamitan pada Istrinya, mengulurkan tangan kemudian Sarah menggapai tangan itu dan menciumnya. Setelah itu Rahman segera berangkat kerja.
Suara vespa sudah terdengar dan kemudian semakin menjauh, baru Sarah berani membuka mulut.
“Jangan khawatir, sayang. Kan masih ada Syena. Pasti dia sudah mengerjakan tugas rumahnya. Kamu bisa menyalin jawaban Syena.” Kata Sarah sambil mengelus rambut Gladys.
Gladys senang mendengar jawaban Ibunya, itu tandanya ia tidak harus bersusah payah mengerjakan tugas rumah itu.
“Menyontek pekerjaan teman jangan dijadikan kebiasaan. Tidak baik.” Kata Bude Rima sama sekali tidak dianggap oleh Sarah dan Gladys.
Setelah selesai sarapan, Gladys segera menuju ke kamar Syena untuk mengambil buku tugas Syena dan segera menyalinnya. Syena hanya bisa diam, dia merapikan piring-piring kotok dan membawanya ke wastafel.
Sarah dan Bude Rima masih duduk di meja makan. Sarah meneguk minumannya, sedangkan Bude Rima hanya duduk saja sambil memijit lututnya.
“Nenek kenapa?” Tanya Syena pada Bude Rima.
“Tidak apa-apa, nak. Biasa lah, penyakit orang tua.” Jawab Bude Rima sambil tersenyum.
“Mari kubantu, nek. Nenek mau kemana?” Tanya Syena lagi.
“Aku ingin lari-lari kecil di halaman rumah saja. Sambil menghirup udara segar.” Jawab Bude Rima.
Syena menggandeng Bude Rima, mengantarnya ke halaman rumah dan segera kembali ke kamar untuk merapikan buku-bukunya. Sedangkan Gladys, rupanya sudah selesai dengan tugasnya yang tak lain adalah menyalin pekerjaan Syena.
“Ibu, aku sudah selesai. Ayo berangkat.” Panggil Gladys pada Ibunya.
Segera setelah bersiap, Sarah mengantar anak kesayangannya itu ke sekolah. Tidak pernah sekali pun ia menawarkan pada Syena untuk berangkat bersama. Tidak masalah, Syena pun tidak pernah mengharapkan untuk diajak naik motor baru itu.
Setelah semua bukunya tertata rapi di dalam tas, Syena segera keluar rumah untuk berangkat ke sekolah. Tak lupa ia berpamitan pada Neneknya.
“Nek, Syena berangkat dulu. Nenek jaga diri baik-baik di rumah.” Kata Syena.
“Baik, nak. Kamu juga hati-hati di jalan.” Jawab Bude Rima.
Setelah mencium tangan Neneknya, Syena segera berangkat. Ada kehampaan yang ia rasakan, ia merindukan Ibunya. Ia berharap bisa segera mendengar suara Ibunya meskipun hanya dari sambungan telpon.
Sekolah terlihat sudah ramai, banyak orang tua yang mengantarkan anaknya ke sekolah. Syena bisa melihat Sarah masih ada disana. Seperti biasa, Sarah memang suka menggosip. Setelah mengantar Gladys pun ia tidak langsung kembali ke rumah. Sarah suka duduk di atas motor berjam-jam bersama beberapa ibu-ibu yang lainnya, yang tak lain adalah untuk bergosip.
“Dia keponakanmu, bukan?” Tanya seseorang pada Sarah saat melihat Syena lewat.
“Iya, keponakan yang numpang di rumah suamiku bersama dengan Ibunya. Membuat rumah suamiku yang luas terasa sesak saja.” Jawab Sarah sengaja bersuara keras agar Syena mendengarnya.
Syena tidak terlalu memikirkan omongan Sarah, ia mencoba mengabaikan semua omongan orang yang merendahkan dia maupun Ibunya. Menurutnya, nilai seseorang itu bisa dilihat dari perilaku dan cara bicaranya. Seseorang akan dinilai baik dan akan dihormati orang lain jika perilaku dan cara bicaranya juga baik terhadap orang lain. Sebaliknya, mau setua apa pun umur seseorang, jika tidak bisa menjaga perilaku dan ucapannya maka tidak akan pernah ada orang yang mau menghormatinya. Kalau pun dihormati, itu hanya karena usianya yang lebih tua. Pemikiran yang sangat luar biasa, bukan? Tentu sana itu adalah hasil didikan dari Ibunya, Ratih. Ratih memang sebisa mungkin selalu menanamkan hal-hal dan nasihat baik pada putrinya. Ia ingin meskipun mengurus anak seorang diri, tapi kelak bisa menjadikan anaknya menjadi luar biasa, baik dalam hal pemikiran maupun perilaku.
Di Rumah
Bude Rima rupanya sudah tidak kuat berlari meskipun sebentar saja, tulang persendiannya sangat sakit bila digerakkan.
“Kemana Sarah? Kenapa tidak pulang-pulang juga. Padahal pekerjaan rumah masih banyak.” Gumam Bude Rima.
Ia melihat rumahnya sangat berantakan, padahal baru sehari saja ditinggalkan oleh Ratih. Ya, yang biasa membereskan rumah adalah Ratih. Tapi kini Ratih tidak ada di rumah. Ia berharap menantunya bisa menggantikan Ratih mengerjakan semua pekerjaan rumah. Nantinya ia juga akan membantu mengerjakan pekerjaan yang tidak terlalu berat, karena memang di usianya yang sudah 60 tahun lebih, ia mulai merasakan bahwa tubuhnya tidak bisa lagi diajak kerja terlalu keras.
Beberapa saat kemudian terdengar suara motor, dan benar saja. Itu adalah suara motor Sarah.
“Akhirnya kamu pulang juga. Ayo kita bereskan rumah, Sarah. Lihatlah, rumah sangat berantakan. Pakaian juga belum ada yang tercuci.” Kata Bude Rima pada Sarah.
“Aduh Ibu, aku sudah lama tidak mengerjakan pekerjaan itu. Mendengarnya saja aku sudah lelah, apalagi harus mengerjakannya. Bagaimana kalau kita mencari pembantu saja? Biar aku minta pada Mas Rahman nanti.” Jawab Sarah menolak melakukan pekerjaan rumah.
“Kamu ini bagaimana? Kalau kita saja bisa melakukannya, kenapa harus pembantu.” Kata Bude Rima lagi.
“Ya, kalau Ibu bisa melakukan silakan lakukan. Sarah capek, mau istirahat.” Jawabnya sambil berjalan masuk ke dalam rumah meninggalkan mertuanya yang hanya bisa menggelengkan kepala mendengar ucapannya.
Sarah memang sudah berubah, dulu ia sangat rajin mengerjakan pekerjaan rumah, sangat patuh pada suami dan mertuanya. Tapi semenjak kedatangan Ratih yang memang sangat ia benci, ia jadi manja dan tidak mau mengerjakan pekerjaan apa pun. Dan rupanya itu berlanjut meskipun Ratih sudah pergi. Kasihan Bude Rima, ia harus menghadapi menantu yang sudah tidak menghiraukannya lagi.
Di Sekolah
Tugas rumah yang kemarin diberikan disuruh mengumpulkan oleh guru yang bersangkutan. Guru mengoreksi satu per satu pekerjaan rumahnya kemudian memberikan nilai pada tugas mereka. Setelah selesai, guru itu memanggil Gladys dan Syena.
“Siapa di antara kalian berdua yang sudah menyontek?” tanya guru itu.
Gladys dan Syena hanya terdiam, tidak tahu kalau guru akan menyadari hal itu. Sebelum Syena sempat menjawab, Gladys menjawabnya terlebih dahulu.
“Kami satu rumah, Pak. Jadi kami belajar bersama, Ibuku yang mengajarinya. Itulah mengapa jawaban kami sama dan nilai kami juga sama.” Jawab Gladys berbohong.
“Benar begitu, Syena?” Tanya Pak Guru meyakinkan.
“Be be betul, pak.” Jawab Syena ikut berbohong.
Pak Guru hanya mengangguk mendengar jawaban itu. Itu adalah pertama kalinya Syena berbohong, mau bagaimana lagi. Gladys sedari tadi juga sudah memberi isyarat untuk menyetujui apa pun yang ia katakan.
Sejak saat itu, Gladys jadi enggan mengerjakan tugas rumah. Lebih sering menyontek tugas milik Syena. Syena tidak berani menolak, karena pasti Gladys akan mengadu pada Ibunya. Syena hanya bisa berharap agar suatu hari nanti kebenaran akan terungkap.
Di HongkongRatih melirik sekilas jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia baru sampai di rumah majikannya, rumah yang besar dan mewah. Ia hanya bisa berdoa semoga semua akan baik-baik saja. Ia adalah wanita yang selalu optimis, meskipun kadang terkendala oleh keadaan.Ratih melangkahkan kakinya menuju pintu masuk rumah itu, perlahan ia mengetuk pintu rumah itu. Berkali-kali ia mengetuk pintu rumah dan memencet bel namun tak ada yang membukakan pintu. Cukup lama ia menunggu. Sampai akhirnya masuk sebuah mobil ke halaman rumah. Mungkin itu adalah mobil calon majikannya yang baru saja pulang dari bepergian. Dan benar saja, keluar seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi dari mobil itu, diikuti oleh dua anak laki-laki berparas tampan. Rupanya mereka anak kembar.Perempuan itu menuju ke rumah dan menghampiri Ratih yang sedari tadi memperhatikannya. Ratih melemparkan senyuman yang juga dibalas dengan senyuman
Ratih mengerjapkan matanya berkali-kali, suara alarm yang semakin lama semakin kencang membangunkannya dari tidurnya. Ya, tidak ada suara azan yang lantang seperti biasanya. Ia sudah mengatur waktu di ponselnya sesuai dengan tempatnya sekarang yang selisih waktu sekitar satu jam dari Indonesia. Ia bergegas bangun, mengambil air wudhu dan melaksanakan Shalat di kamarnya sendiri. Setelah Shalat, Ratih tak lupa melakukan kebiasaan rutinnya yaitu tadarus Al Quran. Ratih memang perempuan yang agamis. Setelah selesai, waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 waktu Hongkong. Ratih keluar dari kamar dan siap melakukan pekerjaannya. Ia terkejut saat membuka pintu dan melihat Vero dan Very sedang berdiri berjajar di depan kamarnya.“Halo, perkenalkan nama kami Vero dan Very. Kami anak kembar.” Kata salah satunya.“Bibi sudah tau dari oma dan tante kalian, tuan muda.” Jawab Ratih.“Hey, jangan memanggil kami seperti itu. Panggil saja Vero dan Very.
Hening, tidak ada percakapan sama sekali selama perjalanan menuju rumah. Ratih melirik Vania yang terlihat masih sangat terpukul. Sesekali ia bahkan melihat Vania masih sesenggukan sambil menyeka air matanya. Apa Vania juga memiliki masalah yang besar seperti yang ia miliki? Mobil sudah memasuki halaman rumah. Setelah mobil berhenti, Vania langsung saja berlari masuk ke dalam rumah. Ratih hanya memandanginya dengan tatapan iba. Ratih lalu mengambil barang-barang belanjaannya dan dibantu oleh Pak Hadi untuk membawanya masuk ke rumah.“Neng Ratih tadi lihat apa yang terjadi pada Non Vania?” Tanya Pak Hadi pada Ratih.Ratih hanya mengangguk, enggan menanggapi karena dia sendiri masih bingung menelaah apa yang baru saja dilihatnya.Saat masuk ke dalam rumah, Ratih mendengar Vania menangis dengan keras. Lalu melihat Vania menangis dalam dekapan Ibunya.“Dia datang, Bu. Dia kembali. Apa yang harus aku lakukan? Dia menemukanku, dia pasti akan m
Suara ayam berkokok bersahut-sahutan berhasil mengganggu tidur Sarah. Pagi itu, Sarah bangun pukul 05.00 WIB. Buka apa-apa, ia hanya malas berdebat dengan suaminya. Meski bagaimana pun, sebagai istri ia tetap harus menghormati suami. Rahman memang terlalu memanjakan Sarah, bisa dibilang ia takut istri. Namun jika menyangkut tentang Ratih, Bude Rima dan juga Syena, Rahman tak pernah tinggal diam. Ia tidak suka bila ada yang mengusik mereka. Pagi itu, Sarah melakukan tugas yang biasa dilakukan oleh Ratih. Membuatkan minuman hangat dan juga sarapan pagi untuk semua orang.“Tumben.” Kata Rahman ketika hendak ke kamar mandi dan melihat istrinya sudah sibuk di dapur.“Aku bangun pagi salah, tidak bangun pagi pun salah. Memang serba salah aku ini.” Jawab Sarah asal.Rahman hanya tersenyum, lalu meninggalkan istrinya dan pergi mandi.Seperti biasa, Syena sudah sibuk dengan pekerjaannya mencuci piring. Bude Rima sedang menyapu halaman depan
BrakkkOjek motor yang ditumpangi Ratih mendadak roboh karena menghindari seseorang yang menyeberang jalan tanpa melihat kanan dan kiri dulu. Untung saja Ratih tidak apa-apa. Ratih melihat ke arah orang yang berlari. Ia ingat betul, ciri-ciri orang itu sama persis dengan laki-laki-laki yang memarahi Vania di pasar waktu itu. Karena rasa penasarannya, Ratih memberikan selembar uang pada tukang ojek kemudian berlari mengejar orang tersebut sampai lupa apa tujuannya kembali ke rumah. Sebenarnya ia lupa membawakan bekal untuk si kembar, ia berinisiatif untuk pulang naik ojek untuk mengambilkan bekal makanan si kembar sedangkan Pak Hadi tetap melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah. Namun ia tidak menyangka akan melihat hal ini, ia ingin mengungkap semuanya. Jarak mereka cukup jauh, laki-laki itu berlari amat kencang, namun ketika di pertigaan jalan, lagi-lagi laki-laki itu hampir ditabrak oleh motor. Ia berhasil menghindar namun justru terjatuh.“Sial.” Ucap o
Sekitar 15 menit perjalanan yang ditempuh oleh Rahman dari tempat kerja sampai rumah sakit. Rumah sakit itu berada di daerah yang sudah memasuki perkotaan. Banyak pertanyaan yang muncul di benak Rahman. Namun yang paling ia khawatirkan adalah keadaan istri dan anaknya saat ini. Rahman menuju ruang IGD, masih ada beberapa polisi disana. Ia mendekat dan hendak menanyakan keberadaan kedua orang yang dia sayangi pada beberapa polisi itu. Ia yakin kalau istri dan anaknya masih ada di ruang IGD. Namun baru beberapa langkah, ia melihat Sarah tengah menggandeng Gladys yang kepalanya diperban. Melihat hal itu Rahman segera mempercepat langkahnya. Sarah melihat kedatangan Rahman, ia takut Rahman akan memarahinya. Setelah begitu dekat, tanpa kata Rahman langsung memeluk Sarah dan Gladys. Beberapa saat mereka hanya saling diam satu sama lain, polisi dan beberapa perawat yang ada disana hanya diam menyaksikan.“Kalian masih sakit kenapa disini?” Tanya Rahman, mat
Hari ini, Ratih langsung kembali ke rumah setelah mengantar si kembar ke sekolah. Ia harus ke pasar karena semua bahan makanan di rumah sudah habis.“Kamu mau kemana, Ratih?” Tanya Vania dengan riang seakan tak pernah terjadi sesuatu padanya.“Aku hendak ke pasar, Vania.” Jawab Ratih sambil mengambil tas belanja.“Aku ikut.” Kata Vania memohon.Ratih hanya diam, jika menolak maka dia akan dianggap tidak sopan karena berani menentang keinginan majikan, namun jika ia mengizinkan Vania ikit, ia takut jika hal yang sama akan terjadi lagi.“Kamu tetap diam di rumah, jika kamu ingin membeli jajanan pasar seperti biasa cukup titip saja pada Ratih. Ini uangnya.” Kata Oma Rahma sembari memberikan uang belanja untuk Ratih.“Ma, aku yakin aku bisa jaga diri. Dia tidak akan berani menemuiku lagi.” Kata Vania meyakinkan Oma Rahma.“Atas dasar apa kamu berkata demikian? Laki-laki bre
Pak Hadi segera mengantar Ratih pulang. Ratih masih sangat kaget dengan kejadian yang dia alami tadi. Sama sekali tidak terpikirkan olehnya jika orang itu punya keinginan untuk membunuh Ratih. Jika memang demikian, bisa dipastikan bahwa orang itu adalah orang tidak baik dari masa lalu Ratih. Lalu siapa yang bisa memberitahu pada Ratih tentang orang itu? Ya, Vania dan Oma Rahma pasti tahu siapa laki-laki itu. Ratih akan berusaha mencari tahu. Sesampainya di rumah, terlihat Oma Rahma dan Vania sudah menunggu di depan. Pasti mereka tahu apa yang baru saja menimpa Ratih. Ratih turun dari mobil, hendak mengambil barang belanjaan namun dihentikan oleh Vania.“Ratih, kamu masih sangat lemas. Ikut aku. Biar Pak Hadi yang membawa masuk semua barang belanjaannya.” Kata Vania sambil menggandeng tangan Ratih.Tanpa disuruh pun, Pak Hadi dengan sigap mengambil barang-barang dari bagasi dan segra membawanya masuk.Ratih masuk ke rumah digandeng oleh Oma Rahma dan
Sepulang dari jalan-jalan, waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Tepat saat sampai di rumah, terdengar azan magrib berkumandang. Dari kejauhan Romi dapat melihat Rahman yang sedang mengambil air wudu di samping rumahnya. Saat mobil mulai memasuki halaman rumah, Rahman yang hendak masuk ke dalam rumah menghentikan langkahnya sejenak. Dia melihat ke arah mobil dengan dahi berkerut, penasaran dengan siapa yang ada di dalam mobil. Setelah melihat Romi, Gladys dan Syena turun dati mobil, Rahman terlihat tersenyum. Rahman menghampiri Romi dan mereka pun saling berpelukan. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu, bagaimana keadaanmu?” tanya Rahman sambil melepas pelukan. “Maaf atas kesibukanku, aku baik-baik saja seperti dirimu.” Jawab Romi memperlihatkan senyumnya. Mendengar mereka bercakap-cakap, Gladys dan Syena memilih untuk masuk ke dalam rumah. “Mari masuk, kita salat magrib berjamaah dulu.” Kata Rahman. Romi hanya mengangguk, ia mengambil air
Frans sedang duduk di toko depan sekolah Syena, dia sebenarnya belum tahu nama anak itu. Jadi dia ingin tahu lebih banyak tentang keponakannya itu. Menurut perkiraannya, anak sekolah sebentar lagi akan pulang. Dan benar saja, baru dia meneguk air dari minuman dingin yang dia beli di toko itu terlihat satpam sudah membuka pintu gerbang dan diikuti oleh beberapa anak di belakangnya. Dia segera menyeberang jalan, dia sudah mengatur rencana agar seolah-olah pertemuannya dengan Syena tanpa disengaja. “Eh, maaf.” Ucap Syena ketika merasa menabrak seseorang, dia sedang berjalan sambil memeriksa isi tasnya. Frans memanfaatkan momen itu sehingga seolah tidak disengaja. “Iya, tidak apa-apa. Kamu anak yang tadi pagi, kan?” Tanya Frans menunjuk Syena. Syena mengangguk sambil tersenyum. “Syena, tunggu. Kita pulang bareng ya.” Ucap Gladys dari belakang. Frans terkejut melihat Gladys, jantungnya berdetak kencang. Entah mengapa dia seperti menemukan seseorang
Pagi itu Syena berangkat ke sekolah seorang diri seperti biasanya. Masih dengan buku di tangannya, ia berjalan sambil belajar. Ulangan susulan hari ini adalah pelajaran biologi. Pelajaran yang kurang disenangi oleh Syena karena penuh dengan hafalan dan juga nama-nama latin. Pelajaran ini adalah satu-satunya yang selalu mendapat nilai di bawah 8. Saat sedang sibuk menghafal, tiba-tiba ada dua anak laki-laki berlarian dari belakang Syena. Salah satu dari mereka menyenggol bahu Syena sampai buku yang dari tadi dipegangnya terjatuh. Tanpa melihat kiri kanan, Syena langsung saja mengambil buku itu. “Awas !” teriak seseorang sambil menarik lengan Syena. Syena dan orang yang menolongnya sama-sama terjatuh ke pinggir jalan yang dipenuhi rerumputan. Syena terkejut, hampir saja sebuah mobil menabraknya hanya karena ia ingin mengambil bukunya yang terjatuh. Jantungnya masih berdetak sangat kencang, untung saja setelah ia mengambil buku itu orang tadi sigap menarik lengannya.
Pagi ini, Rahman menengok ke kamar ibunya sebelum berangkat kerja. Dia juga membawakan sarapan dan teh hangat untuk ibunya. Ibunya terlihat masih sangat pucat. “Bu, ini Rahman bawakan bubur ayam untuk sarapan. Dimakan ya, Bu. Rahman mau pamit kerja dulu.” Pamit Rahman dengan nada setengah berbisik, tidak mau membangunkan ibunya yang terlihat masih tertidur lelap. Setelah itu Rahman keluar dari kamar ibunya, anak-anak sudah berangkat sekolah sejak tadi. Sedangkan Sarah tengah pergi belanja. Drrrt drrrt drrrt “Siapa telepon pagi-pagi begini?” Gumam Rahman sambil merogoh sakunya dan mengambil benda yang bergetar itu. Ratih, melihat nama yang terpampang jelas di ponselnya itu Rahman segera mengangkat telepon tersebut. “Pagi, Mas Rahman,” Sapa Ratih dari sambungan telepon. “Iya, Ratih. Ada apa telepon pagi-pagi begini?” tanya Rahman penasaran. “Maaf mengganggu, Mas. Aku hanya ingin menanyakan kabar Syena. Apa dia sudah pulan
“Nenek,” teriak Syena berlari ke arah Bude Rima untuk melihat keadaannya. Mendengar teriakan Syena, Rahman, Sarah serta Gladys berlari menuju sumber suara. Rahman sangat terkejut ketika mendapati ibunya sudah pingsan dengan Syena di sampingnya. “Apa yang telah terjadi pada ibuku?” tanya Rahman panik, segera mengangkat tubuh ibunya dan menidurkannya ke sofa ruang tamu. Sarah segera mengambilkan minyak angin sedangkan Gladys kini duduk di samping neneknya. Bude Rima terlihat sangat pucat dan badannya lemas. “Nenek kenapa, Pakde?” tanya Syena khawatir. “Pakde juga tidak tahu, Syena.” Jawab Rahman sambil meletakkan minyak angin yang telah diberikan oleh Sarah di dekat hidung ibunya. Sampai sekitar 10 menit, Bude Rima tak juga sadarkan diri. Rahman semakin panik. Dia menghubungi temannya yang memiliki mobil, hendak meminjam mobilnya untuk membawa Bude Rima ke rumah sakit. Selama menunggu kedatangan mobil yang akan membawa Bude Rima
Frans sedang bersantai di tempat persembunyiannya di Hongkong. Hari ini, dia sedang malas melakukan sesuatu. Apalagi dengan tugas yang baru saja diberikan oleh ibunya. Bukannya semangat untuk segera mengerjakan, dia justru malas-malasan. Dia bosan harus selalu menuruti keinginan ibunya untuk mengerjakan segala urusan yang ia anggap penting. Hal seperti itu selalu membuat Frans sibuk dan akhirnya urusannya sendiri dalam mencari tahu keberadaan anaknya sendiri selalu tersisihkan. Ya, motif Frans selalu mengintai Vania adalah ingin mengetahui keberadaan anaknya. Frans dan Vania dulu adalah sepasang kekasih yang saling mencintai, hingga suatu hari Vania memperkenalkan Frans pada keluarganya. Semua menyambut Frans dengan baik. Hingga kemudian Frans menceritakan siapa ibunya dan membuat keluarga Vania menolaknya mentah-mentah. Marlina adalah saingan terbesar bisnis keluarga Vania. Marlina memang pebisnis perempuan yang hebat namun memiliki banyak musuh. Keluarga Vania mengusir Fra
“Sudah siap semua, Syena? Pastikan tidak ada satu pun barang yang tertinggal.” Kata Rahman kepada Syena. Hari ini, Syena sudah dinyatakan sembuh oleh dokter. Jadi mereka akan segera pulang. “Sudah, Pakde.” Jawab Syena. Kemudian Rahman mengambilkan kursi roda untuk Syena. Namun justru Syena menolak. “Untuk apa kursi roda itu, Pakde? Aku sudah sehat, sudah sembuh. Aku bisa berjalan sendiri.” Kata Syena sambil menyunggingkan senyuman kepada pakdenya. “Oh, baiklah. Mari kita pulang.” Kata Rahman menggandeng tangan Syena. Bahkan pulang pun mereka naik motor. Syena sudah sembuh, meskipun perban di kepalanya juga belum dilepas. Rencananya akan dilepas ketika kontrol nanti dam jika memang semua lukanya sudah sembuh total. Perjalanan dari rumah sakit ke rumah tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu sekitar 2p menit. Akhirnya mereka sampai di rumah, dari kejauhan sudah terlihat Bude Rima yang sedang menyapu halaman
Vania tengah menyiram tanaman di halaman rumah sekarang, dia bahkan terdengar bersenandung. “Vania, biar saya saja yang menyiram tanamannya. Masak majikan menyiram tanaman sedangkan ada pembantu di rumah.” Kata Ratih pada Vania. Vania tertawa kecil mendengar ucapan Ratih. “Sudahlah, kamu masak saja sana di dapur. Lagi pula ini juga bukan pekerjaanmu. Ini pekerjaan tukang kebun yang kebetulan izin karena istrinya hendak melahirkan.” Jawab Vania masih asyik dengan kesibukannya tanpa begitu menghiraukan keberadaan Ratih. “Baiklah kalau begitu saya permisi, dulu.” Kata Ratih. “Eh, Ratih. Kapan jadwal pergi ke pasar? Rasanya aku rindu sekali dengan jajanan pasar.” Kata Vania, kini dia berhenti menyiram tanaman dan mengajak Ratih berbincang. “Dua hari lagi. Tapi Oma Rahma tidak akan mengizinkanmu pergi ke pasar lagi. Aku juga takut akan terjadi apa-apa padamu seperti waktu itu.” Jawab Ratih menunjukkan kekhawatirannya. “Iya, aku tahu
Syena mengerjapkan matanya perlahan, sinar matahari yang masuk melalui celah jendela berhasil membangunkannya. Ia melihat pakdenya berdiri di ambang jendela, penglihatannya mengarah ke taman. Begitu menyadari Syena sudah terbangun, Rahman segera mendekat ke arah Syena.“Mau jalan-jalan ke taman?” tanya Rahman dengan senyum semringah.Syena mengangguk, tapi terlebih dulu Rahman membersihkan wajah Syena dengan washlap yang telah dicelupkan pada air hangat yang telah ia siapkan. Setelah selesai, Rahman membawa kursi roda dan membantu Syena turun dari ranjang kemudian duduk ke kursi roda.“Mari kita jalan-jalan.” Kata Rahman pada Syena.Mereka menyusuri lorong rumah sakit yang masih terlihat sepi. Hanya ada beberapa keluarga penunggu pasien yang terlihat sedang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing. Mereka menuju taman yang berada tepat di belakang ruangan Syena dirawat. Sesampainya di sana, wajah Syena mulai berubah. Udara sej