Hujan baru saja reda, meninggalkan udara dingin yang serasa menusuk hingga ke tulang. Ratih Mardiana Rahayu, belum memejamkan mata sama sekali, padahal jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Sedari tadi memang ia duduk termenung mengamati hujan dari balik jendela kamarnya. Sesekali ia memandang sisa-sisa tetesan air hujan yang jatuh dari atap rumah. Sesekali ia memandang wajah manis putrinya yang sedang tertidur pulas di pangkuannya. Mendadak air matanya menetes, dadanya menjadi sesak. Bayangan suram dari masa lalunya muncul kembali. Masa lalu yang membuatnya berada dalam berbagai keadaan yang tidak menyenangkan saat ini. Ia menyeka air matanya, mengelus lembut putrinya.
“Tidur nyenyak, Nak. Kamu putri kecil Ibu. Ibu tidak akan membiarkanmu mendapatkan kesulitan apapun dalam hidup.” Kata Ratih kemudian menutup mulutnya sendiri.
Bukan mereda, air matanya justru berontak. Ia menangis tanpa suara. Bagaimana tidak, ia mengatakan hal demikian. Namun kenyataannya, hidup yang dia alami saat ini memang serba susah. Bahkan esok, ia harus berangkat ke Luar Negri untuk mencari nafkah sebagai Tenaga Kerja Wanita. Seharusnya ia bisa mendapatkan perkerjaan yang lebih layak dengan ijazah sarjana yang ia miliki dan tidak perlu pergi ke Luar Negri. Namun ijazah itu tertinggal di rumah mertuanya di Jakarta. Menjadi orang tua tunggal memang tidak mudah, ia harus kerja keras banting tulang demi menghidupi diri sendiri dan buah hatinya. Lalu dimana suaminya? Ya, suami Ratih masih hidup. Ia tinggal di Jakarta bersama ibunya. Lalu mengapa mereka berpisah? Mereka belum berpisah, namun dalam akta putrinya tetap tidak memiliki ayah, karena mereka hanya menikah siri. Sah secara agama namun belum tercatat di dokumen manapun oleh negara. Mereka berpisah bukan karena kehendak mereka, mereka berpisah karena mertua Ratih tidak menyukai Ratih dengan alasan yang bisa dibilang tidak jelas. Ia mengusir Ratih ketika suaminya tidak di rumah. Satu yang membuat Ratih heran, mengapa suaminya sama sekali tidak mencari keberadaannya dan sang anak? Padahal saat itu Ratih tengah hamil tua. Jika diingat, hanya akan menyakiti hati.
Ratih tidak pernah menyebutkan nama sang ayah maupun menceritakan hal itu pada anaknya. Bahkan anaknya, Arsyena Mikayla Hapsari juga tidak pernah menanyakan tentang ayahnya. Entah ia belum paham atau memang tidak ingin menanyakan hal itu. Yang pasti, di usianya yang masih sangat kecil karena baru menginjak kelas tiga SD, Syena memang lebih dewasa dalam pola pikir dan juga mandiri. Hal yang juga membuat Ratih bersyukur memilikinya.
Lalu siapa yang akan menjaga dan merawat Syena ketika nanti Ratih merantau ke Luar Negri? Itu tidak lagi menjadi kekhawatiran Ratih. Karena ia tinggal bersama keluarga budenya yaitu Bude Rima. Ya, sejak kembali dari Jakarta karena diusir oleh mertuanya, Ratih memang pulang ke kampung halaman ibunya dan tinggal bersama Bude Rima yang merupakan kakak dari ibunya. Bunda Riana, itulah panggilan Ratih pada ibunya. Masih terngiang jelas di ingatannya, ketika Bunda Riana berpamitan hendak pulang ke kampung halamannya bersama sang suami dan meninggalkan Ratih bersama beberapa pembantu di rumah mewahnya di Jakarta.
“Ratih, jaga dirimu baik-baik. Bunda hanya pergi sebentar bersama Ayah. Doakan saja semoga kami lekas kembali untukmu. Kami akan pergi ke kampung halaman, menyelesaikan beberapa proyek penting disana. Sekaligus Bunda ingin melepas rindu pada budemu. Kamu sudah besar, sebentar lagi kamu jadi sarjana. Ketahuilah, Nak. Ibu selalu menganggapmu sebagai putri kecil ibu. Ibu selalu menyayangimu. Tetap jadi anak yang baik meskipun dunia bersikap buruk padamu. Tetap jadi pemaaf, jangan jadi pendendam meski bagaimana pun keadaannya. Kalau ada apa-apa dengan kami, temuilah budemu. Dia adalah wakil Ibu.” Kata Bunda Riana dengan nada sendu dan mata yang berkaca-kaca.
Entahlah, saat itu Ratih memang punya perasaan yang tidak enak. Ia hanya menjawab, “Bunda bicara apa? Seperti akan pergi jauh saja. Kemarilah Bunda, peluk putri kecilmu ini.” Bunda Riana menghamburkan pelukan pada putrinya. Hangat, sangat hangat. Kehangatan yang tidak akan pernah ia dapatkan lagi. Karena itu ternyata menjadi kepergian Bundanya untuk selama-lamanya. Bersama sang ayah, Bara Abimanyu. Sakit, sungguh sakit bila diingat. Sebenarnya, Ratih ingin pergi bersama kedua orang tuanya ke kampung halaman. Namun apa daya, esok hari Ratih harus sidang skripsi. Dan tepat setelah sidang selesai, ia melihat di ponselnya terdapat banyak sekali missed call. Beberapa detik setelahnya ada panggilan masuk, ia segera mengangkat ponselnya. Perasaannya tidak karuan, antara senang lulus sidang dan khawatir dengan keadaan saat itu.
“Halo, dengan Nona Ratih?” Suara orang dari sambungan telponnya.
“Iya, saya sendiri. Ada apa ya, dan dengan siapa saya bicara?” Tanya Ratih hati-hati.
“Nona, saya dari kepolisian. Saya hanya ingin mengabarkan bahwa kedua orang tua Nona mengalami kecelakaan. Mobilnya masuk ke jurang kemudian terbakar. Semua korban meninggal.” Kata orang itu sangat jelas.
Bagai tersambar petir di siang bolong, Ratih menjatuhkan ponselnya dan kemudian Ia pun jatuh terduduk. Firasatnya benar, nasihat bundanya kemarin adalah nasihat terakhir. Kedua orang tuanya pergi untuk selamanya. Ratih menangis sejadi-jadinya, semua orang di sekitarnya mendekati dan menenangkannya, namun sesaat kemudian kepalanya terasa pusing dan matanya berkunang-kunang. Ia tidak mampu menerima kenyataan ini. Ia kehilangan kesadaran.
Krek
Suara derit pintu yang dibuka membuyarkan lamunannya. Ia melihat budenya sudah berdiri di ambang pintu. Bergegas ia menyeka air matanya.
“Ini sudah larut malam, Ratih. Mengapa belum tidur? Apa yang sedang kamu pikirkan?” Tanya Bude Rima sambil berjalan mendekat.
“Bukan apa-apa, Bude. Ratih baik-baik saja.” Jawabnya berbohong.
Bude Rima duduk di sebelah Ratih, mengelus pundak keponakannya itu.
“Ratih, Bude tahu hidupmu penuh dengan penderitaan. Namun ketahuilah, semua orang memiliki takdirnya masing-masing. Tidak semua orang diberi cobaan seperti kamu, Nak. Allah memilih kamu karena Dia tahu bahwa kamu orang yang kuat. Jika kamu mengkhawatirkan Syena karena hendak merantau jauh, tenanglah. Bude akan menjaganya dengan baik. Syena anak yang pintar dan mandiri. Dia akan bisa menerima semuanya dengan baik.” Kata Bude Rima dengan lemah lembut.
Bude Rima memang orang yang anggun dan sangat lemah lembut. Ia juga adalah single parents. Ia memiliki seorang anak laki-laki bernama Rahman Adi Wibowo yang juga sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan seusia Syena, yaitu Gladys Anindita Nuraini. Bude Rima juga memiliki nasib yang sama seperti Ratih, diusir oleh mertuanya karena dibilang pembawa sial.
Bude Rima menikah dengan seorang pengusaha kaya raya bernama Doni. Namun setelah menikah, berbagai cobaan mulai datang menghampiri. Ia ditipu oleh rekan kerjanya hingga milyaran rupiah kemudian bangrut. Pakde Doni stress dan putus asa karena bangrut. Ia berusaha mencoba kembali usahanya dari nol namun selalu gagal. Hingga Bude Rima memberikan kabar yang seharusnya membahagiakan, yaitu berita kehamilannya. Namun justru membuat Pakde Doni semakin stress. Yang ada di pikiran Pakde Doni adalah ia harus menghidupi istrinya dan anak dalam kandungannya namun justru usahanya bangrut. Pikiran itu membuatnya benar-benar putus asa dan memilih untuk mengakhiri hidupnya. Ya, Pakde Doni memilih untuk bunuh diri.
Setelah suaminya meninggal, Bude Rima diusir oleh mertuanya karena dibilang pembawa sial. Tentu hal itu membuatnya semakin terpukul. Namun hal itu tidak membuatnya patah semangat. Ia berjuang seorang diri. Menjalani berbagai profesi yang bisa ia lakoni. Bahkan menurut cerita Bude Rima, ia sempat menjadi kuli panggul di pasar.
Ratih belajar segalanya dari Bude Rima, termasuk belajar sabar dan ikhlas menerima takdir. Lalu takdir apa yang akan Ratih alami selanjutnya? Apakah ia akan kembali bertemu dengan suaminya dan hidup bahagia bersama suami dan anaknya? Atau takdir lain yang justru akan dia alami? Entahlah, ia hanya ingin menjalani segalanya seperti air yang mengalir. Dengan Syena yang selalu ada di sisinya, itu sudah cukup menjadi penyemangat baginya untuk menjalani hidup.
“Tidurlah, esok kau akan berangkat ke Luar Negri. Ini sudah lewat tengah malam.” Kata Bude Rima kemudian beranjak keluar dari kamar Ratih.
Benar saja, ia melirik jam di atas nakas yang sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB. Ratih menidurkan anaknya yang sedari tadi ia pangku dan kemudian tidur di sebelahnya. Ia memejamkan mata dengan harapan semoga hari yang ia jalani esok hari selalu lebih baik.
Azan subuh sudah berkumandang, Syena terbangun dan melihat Ibunya masih tidur pulas.“Ibu pasti sangat kelelahan.” Pikirnya.Ia memandangi wajah Ibunya, kemudian menunduk. Ia memiliki pemikiran melebihi anak seusianya. Ia selalu paham dengan segala situasi dan kondisi yang ada.“Bu, Syena sayang Ibu. Maafkan Syena hanya bisa menyusahkan Ibu. Ibu harus banting tulang, memeras keringat dan memutar otak hanya demi melihat Syena bisa hidup bahagia seperti anak lainnya. Terima kasih Ibu, Syena tidak akan pernah mengecewakan Ibu.” Katanya, kemudian mencium pipi Ibunya dengan lembut.Ciuman itu membangunkan Ratih, ia tersenyum melihat putrinya sudah bangun tanpa ia bangunkan.“Syena akan selalu mendengarkan nasihat Ibu. Syena ingin menjadi anak yang sholeha seperti doa Ibu.” Jawab Syena seperti bisa membaca pikiran Ibunya.Mereka berdua beranjak dari kamar. Segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat berja
Bude Rima dan Syena masih termenung memandangi kepergian mobil yang membawa Ratih, padahal mobil itu sudah sedari tadi menghilang dari pandangan.Dit ditSuara klakson motor itu menyadarkan mereka.“Mau sampai kapan disini? Toh yang dilihat juga sudah jauh.” Kata pengendara motor yang tak lain adalah Sarah.Bude Rima dan Syena menurut saja, mereka masuk ke dalam rumah. Syena bersiap-siap berangkat ke sekolah. Sedangkan Gladys terlihat sudah siap dan hendak berangkat.“Bu, Syena berangkat bareng kita tidak?” Tanya Gladys pada Sarah.“Untuk apa? Bikin dia manja saja. Dia kan sudah terbiasa jalan kaki. Ya biar jalan kaki saja. Ayolah cepat, nanti kau terlambat.” Katanya sambil memanasi motor barunya.Ya, motor itu adalah motor baru yang ia minta dari suaminya dari uang hasil panen kemarin. Rahman memang selalu menuruti semua kemauan istrinya, ia bisa dibilang suami yang takut istri.“Menga
“Kiiing kriiing kriiing”Dering ponsel itu membangunkan Sarah dari tidurnya. Ia melirik jam sekilas yang sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Sambil menggerutu ia meraih ponselnya yang masih terus berdering.“Siapa sih telpon malam-malam begini. Ganggu orang istirahat saja.” Katanya kemudian mengangkat telpon.“Halo, siapa disana?” tanyanya dengan nada kasar.“Halo Mbak Sarah. Ini aku, Ratih. Aku hanya ingin mengabarkan kalau aku sudah sampai, mbak.” Jawab orang dari sambungan telponnya yang tak lain adalah Ratih.“Kamu memang paling suka mengganggu ya. Kenapa tidak telpon besok saja? Malam itu waktunya orang istirahat. Tahu waktu dong. Dasar.” Katanya kemudian menutup telponnya dengan kasar padahal belum mendapat jawaban.Ratih disana hanya bisa mengelus dada mendengar kata-kata Sarah. Ia tidak kaget, memang begitulah watak Sarah. Sedangkan Sarah kembali melanjutkan tidurnya, tak lup
Di HongkongRatih melirik sekilas jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia baru sampai di rumah majikannya, rumah yang besar dan mewah. Ia hanya bisa berdoa semoga semua akan baik-baik saja. Ia adalah wanita yang selalu optimis, meskipun kadang terkendala oleh keadaan.Ratih melangkahkan kakinya menuju pintu masuk rumah itu, perlahan ia mengetuk pintu rumah itu. Berkali-kali ia mengetuk pintu rumah dan memencet bel namun tak ada yang membukakan pintu. Cukup lama ia menunggu. Sampai akhirnya masuk sebuah mobil ke halaman rumah. Mungkin itu adalah mobil calon majikannya yang baru saja pulang dari bepergian. Dan benar saja, keluar seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi dari mobil itu, diikuti oleh dua anak laki-laki berparas tampan. Rupanya mereka anak kembar.Perempuan itu menuju ke rumah dan menghampiri Ratih yang sedari tadi memperhatikannya. Ratih melemparkan senyuman yang juga dibalas dengan senyuman
Ratih mengerjapkan matanya berkali-kali, suara alarm yang semakin lama semakin kencang membangunkannya dari tidurnya. Ya, tidak ada suara azan yang lantang seperti biasanya. Ia sudah mengatur waktu di ponselnya sesuai dengan tempatnya sekarang yang selisih waktu sekitar satu jam dari Indonesia. Ia bergegas bangun, mengambil air wudhu dan melaksanakan Shalat di kamarnya sendiri. Setelah Shalat, Ratih tak lupa melakukan kebiasaan rutinnya yaitu tadarus Al Quran. Ratih memang perempuan yang agamis. Setelah selesai, waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 waktu Hongkong. Ratih keluar dari kamar dan siap melakukan pekerjaannya. Ia terkejut saat membuka pintu dan melihat Vero dan Very sedang berdiri berjajar di depan kamarnya.“Halo, perkenalkan nama kami Vero dan Very. Kami anak kembar.” Kata salah satunya.“Bibi sudah tau dari oma dan tante kalian, tuan muda.” Jawab Ratih.“Hey, jangan memanggil kami seperti itu. Panggil saja Vero dan Very.
Hening, tidak ada percakapan sama sekali selama perjalanan menuju rumah. Ratih melirik Vania yang terlihat masih sangat terpukul. Sesekali ia bahkan melihat Vania masih sesenggukan sambil menyeka air matanya. Apa Vania juga memiliki masalah yang besar seperti yang ia miliki? Mobil sudah memasuki halaman rumah. Setelah mobil berhenti, Vania langsung saja berlari masuk ke dalam rumah. Ratih hanya memandanginya dengan tatapan iba. Ratih lalu mengambil barang-barang belanjaannya dan dibantu oleh Pak Hadi untuk membawanya masuk ke rumah.“Neng Ratih tadi lihat apa yang terjadi pada Non Vania?” Tanya Pak Hadi pada Ratih.Ratih hanya mengangguk, enggan menanggapi karena dia sendiri masih bingung menelaah apa yang baru saja dilihatnya.Saat masuk ke dalam rumah, Ratih mendengar Vania menangis dengan keras. Lalu melihat Vania menangis dalam dekapan Ibunya.“Dia datang, Bu. Dia kembali. Apa yang harus aku lakukan? Dia menemukanku, dia pasti akan m
Suara ayam berkokok bersahut-sahutan berhasil mengganggu tidur Sarah. Pagi itu, Sarah bangun pukul 05.00 WIB. Buka apa-apa, ia hanya malas berdebat dengan suaminya. Meski bagaimana pun, sebagai istri ia tetap harus menghormati suami. Rahman memang terlalu memanjakan Sarah, bisa dibilang ia takut istri. Namun jika menyangkut tentang Ratih, Bude Rima dan juga Syena, Rahman tak pernah tinggal diam. Ia tidak suka bila ada yang mengusik mereka. Pagi itu, Sarah melakukan tugas yang biasa dilakukan oleh Ratih. Membuatkan minuman hangat dan juga sarapan pagi untuk semua orang.“Tumben.” Kata Rahman ketika hendak ke kamar mandi dan melihat istrinya sudah sibuk di dapur.“Aku bangun pagi salah, tidak bangun pagi pun salah. Memang serba salah aku ini.” Jawab Sarah asal.Rahman hanya tersenyum, lalu meninggalkan istrinya dan pergi mandi.Seperti biasa, Syena sudah sibuk dengan pekerjaannya mencuci piring. Bude Rima sedang menyapu halaman depan
BrakkkOjek motor yang ditumpangi Ratih mendadak roboh karena menghindari seseorang yang menyeberang jalan tanpa melihat kanan dan kiri dulu. Untung saja Ratih tidak apa-apa. Ratih melihat ke arah orang yang berlari. Ia ingat betul, ciri-ciri orang itu sama persis dengan laki-laki-laki yang memarahi Vania di pasar waktu itu. Karena rasa penasarannya, Ratih memberikan selembar uang pada tukang ojek kemudian berlari mengejar orang tersebut sampai lupa apa tujuannya kembali ke rumah. Sebenarnya ia lupa membawakan bekal untuk si kembar, ia berinisiatif untuk pulang naik ojek untuk mengambilkan bekal makanan si kembar sedangkan Pak Hadi tetap melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah. Namun ia tidak menyangka akan melihat hal ini, ia ingin mengungkap semuanya. Jarak mereka cukup jauh, laki-laki itu berlari amat kencang, namun ketika di pertigaan jalan, lagi-lagi laki-laki itu hampir ditabrak oleh motor. Ia berhasil menghindar namun justru terjatuh.“Sial.” Ucap o