Sambil berkata demikian, Delon menunjuk Syifa yang duduk di samping.Lina terkejut. "Hah?""Hah apanya? Seratus orang, setiap orang 400 cc. Itu sudah cukup banyak, 'kan? Biasanya kalian harus keluar berapa kali untuk mengumpulkan 100 orang pendonor?""Sebuah nomor kontak ditukar dengan darah sebanyak itu. Bukankah ini transaksi yang menguntungkan?"Lina masih agak ragu-ragu, "Tapi ... ini nggak baik, 'kan?""Kenapa nggak baik? Kalau nggak bisa, 200 atau 300 orang juga boleh."Lina tersenyum hambar menatap Syifa. "Bu Syifa ...."Syifa bertanya, "Belakangan ini stok darah di rumah sakit benar-benar kekurangan ya?"Lina mengangguk dengan cepat. "Sangat kurang. Akhir-akhir ini di departemen kandungan ada beberapa ibu hamil yang berisiko tinggi, kemungkinan besar mereka akan butuh transfusi darah.""Yang kami khawatirkan, kalau stok nggak cukup, kami harus kirim permintaan ke rumah sakit lain dan waktu perjalanan bisa menunda penyelamatan."Syifa tahu persis siapa para pasien berisiko ting
"Apa ini?""Nomor kontakku."Delon membalik kertas itu dengan kesal. "Akun Tinder?!"Syifa mengangguk. "Ya.""Kamu nggak punya nomor ponsel, WhatsApp, atau e-mail? Memangnya kamu hubungi teman dan rekan kerjamu pakai Tinder?"Syifa berkata dengan pelan, "Kamu nggak bilang dengan jelas mau kontak apaan. Tapi aku bisa jamin, aku akan balas pesanmu kalau aku buka aplikasinya."....Delon hampir meledak saking kesalnya. Sementara itu, Billy sudah terbiasa dengan kehadiran tamu tak diundang ini. Delon lebih muda beberapa tahun darinya. Meski Delon punya kakak di rumah, kakak kandungnya itu belajar ke luar negeri sejak masih kecil dan jarang sekali pulang.Sejak masih bersekolah, Delon selalu mengikuti Billy. Karena itu, dia lebih dekat dengan Billy daripada Dylan.Setelah mendengar ceritanya, Billy tertawa sambil menggeleng. "Bertahun-tahun kamu melukai perasaan wanita. Sekarang akhirnya ketemu wanita yang bisa menaklukkanmu. Bagus sekali.""Bagus apanya? Dia mempermainkanku!"Billy berkat
"Maksudmu berbeda dengan waktu masih SMP dulu?""Bukan, berbeda dengan seperti waktu masih sangat muda dulu." Billy melanjutkan, "Mungkin sekitar waktu umur 7 atau 8 tahun, dia itu gadis kecil yang sangat pemalu, tapi sangat baik hati.""Waktu pertama kali aku pulang dengan orang tuaku untuk persembahan leluhur, aku terpisah dengan pengasuhku dan tersesat. Dia yang membawaku keluar dari hutan dan menemukan jalan."Delon membelalakkan matanya mendengar hal itu. "Ternyata Kak Shifa sudah punya hubungan sedalam itu denganmu sejak masih kecil?""Ya." Billy membalas, "Waktu itu aku bersumpah akan memperlakukannya dengan baik seumur hidup.""Kamu sudah tepati janjimu sekarang.""Tapi ....""Tapi apa?"Billy menggeleng. "Nggak apa-apa."Setelah hidup bersama Shifa belakangan ini, Billy baru perlahan-lahan menyadari bahwa menjadi teman dan kekasih adalah dua hal yang berbeda. Saat menjadi teman, Billy bisa kembali ke posisinya semula. Asalkan Shifa bahagia, dia juga akan merasa bahagia.Shifa
Setelah pulang kerja malam harinya, Billy langsung pulang ke rumah orang tuanya. Pembantu yang membukakan pintu untuknya. "Tuan Muda sudah pulang ya," sapa pembantu itu."Ya, mana ibuku?""Nyonya sedang menyalin kitab.""Nyalin kitab?" tanya Billy."Iya."Billy berjalan ke ruang kerja dan terkejut melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Baru sebulan lebih tidak bertemu, wajah ibunya tampak seolah-olah telah menua selama puluhan tahun.Dulu, ibunya selalu menjaga kesehatan dengan baik, menjalani pola hidup yang teratur, sehingga terlihat lebih muda dibandingkan orang-orang seusianya. Namun sekarang, ibunya hanya mengenakan pakaian rumah yang sederhana, rambutnya terlihat lebih banyak uban, dan wajahnya tampak kuyu."Ibu."Erica mendongak sekilas. Melihat orang yang datang adalah Billy, dia juga tidak tampak terlalu bersemangat. Erica hanya membalas dengan nada datar, "Kenapa kamu pulang?""Ibu bilang Ibu kurang sehat, jadi aku datang untuk menjemputmu ke rumah sakit."Erica
Ketika membahas tentang anak itu, hati Billy terasa sakit. Tebersit kesedihan pada ekspresinya.Erica menatapnya dengan dingin dan bertanya, "Untuk apa kamu pura-pura sedih begini?""Ibu, itu anakku," ucap Billy setelah menarik napas dalam-dalam."Hehe, rupanya kamu bisa berpikir begitu juga," sindir Erica."Aku ... waktu aku sampai di sana, semuanya sudah terlambat. Kalau aku sampai lebih awal, mungkin anak itu masih hidup ...," ujar Billy."Nggak mungkin. Syifa telanjur kecewa padamu, makanya membuat keputusan seperti itu. Dia ingin memutuskan hubungan denganmu. Kalau nggak, mana mungkin tindakannya selugas ini," jelas Erica.Billy merasa hatinya seolah-olah diremas dan dicabik-cabik oleh sebuah tangan besar. Dia meninju dadanya untuk menenangkan diri, lalu mengembuskan napas panjang.Ibunya benar. Syifa telah memperjelas semuanya waktu di rumah sakit. Syifa tidak ingin melihatnya lagi, makanya membuat keputusan semacam itu. Sekalipun Billy tiba lebih awal dan menghentikan semuanya,
Sejujurnya, Billy memang agak menyesali keputusannya sekarang."Shifa, setelah bersama, ternyata kehidupan kita nggak seperti yang kubayangkan. Ibuku lagi sakit. Untuk sementara ini, aku bakal menemaninya. Kita berdua juga harus menenangkan diri sekaligus merenungkan jalan yang harus kita lewati kelak," ucap Billy."Jadi, kamu di rumah lama?" tanya Shifa."Ya.""Kamu bawa Bu Syifa?""Aku sendirian."Shifa merasa puas. "Kalau begitu, kenapa kamu berbohong tadi? Kamu ingin membuatku cemburu?""Terserah kamu mau berpikir apa." Billy terkekeh-kekeh."Ya, cemburu adalah bumbu-bumbu cinta. Tapi, Billy, biar kuperingatkan dulu. Jangan berhubungan dengan wanita lain atau jangan salahkan aku bersikap kejam," ancam Shifa."Kamu sampai menukar asistenku. Memangnya aku bisa punya hubungan dengan wanita mana lagi?" tanya Billy."Mantan istrimu dong. Selama kalian belum ambil akta cerai, aku nggak bakal bisa tenang. Billy, aku sangat posesif. Sekarang kamu milikku. Siapa pun nggak boleh merebutmu d
Meriam segera melepaskan celemeknya, lalu pergi ke kamar Erica untuk berkemas. Billy menatap ibunya. Erica duduk di sofa sambil memejamkan mata dan memegang tasbih. Ibunya tidak ingin meladeninya lagi. Lantaran tidak berdaya, Billy hanya bisa mencari Meriam. Meriam melakukan pekerjaannya dengan cekatan. Dia sudah hampir selesai berkemas. "Bibi," panggil Billy. "Ya, Tuan?" sahut Meriam. "Biar kubantu," ujar Billy. "Nggak perlu, aku bisa sendirian," tolak Meriam. Tangan Billy membeku di udara untuk sesaat. Pada akhirnya, dia menarik tangannya kembali sambil bertanya, "Bibi, kenapa kamu ... sepertinya takut sekali pada Shifa?" "Eh? Nggak kok." Ekspresi Meriam tampak kaku. "Beri tahu saja aku kalau ada masalah," ucap Billy. Meriam menunduk dan tersenyum tipis. "Tuan, aku sudah jadi pengasuh bertahun-tahun. Aku telah melayani banyak keluarga. Cuma Nyonya yang memperlakukanku seperti keluarga. Bahkan, aku telah menganggapmu sebagai putra angkatku." "Aku tahu." Billy mengangguk. "
Ketika masih mengobrol, Meriam sudah selesai berkemas. "Tuan, aku dan Nyonya pergi dulu. Suasana hati Nyonya kurang baik. Kalau dia bertemu Nona Shifa, takutnya dia bakal insomnia untuk beberapa hari." Terdengar desakan Erica dari luar. "Bibi Meriam, nggak usah bawa terlalu banyak barang. Yang cepat sedikit. Kita bisa beli kalau kekurangan nanti." "Ya, Nyonya. Aku sudah siap," respons Meriam. Kemudian, dia berkata dengan lirih, "Tuan, mungkin aku bicara terlalu banyak hari ini. Tapi ... kamu renungkan saja sendiri." Meriam membawa koper keluar dan berujar, "Nyonya, ayo kita pergi." "Ayo, ayo." Erica tampak terburu-buru. Billy berbalik untuk menyusul. Dia hendak mengambil koper dari tangan Meriam, lalu berkata, "Biar kuantar kalian." Erica menolak, "Nggak usah repot-repot. Bibi Meriam bisa panggil taksi." Namun, Billy sudah mengambil koper mereka dan membuka bagasi mobil. Hanya saja ... ada sesuatu di bagasi mobil. Itu barang Syifa. Erica mengejar dan melihatnya. Dia langsung me