Setelah mengantar Erica dan Meriam ke kamar masing-masing, Billy pergi ke kamarnya. Dia tahu ada banyak tamu yang menginap di sini selama sebulan, tetapi hatinya terasa hampa teringat Syifa pernah menginap di sini sendirian. Apalagi ... Syifa menggugurkan kandungannya setelah membulatkan tekadnya di kamar ini. Hal ini membuat Billy merasa sesak. Billy memegang diari kehamilan itu. Dia tidak pernah melihat hal seperti ini. Dia dan Syifa bersama selama 3 tahun. Mereka makan dan tidur bersama, tetapi Billy tidak pernah melihat diari ini. Langit berangsur gelap. Layar ponsel Billy terus berkedip karena Shifa terus meneleponnya. Namun, Billy tidak peduli karena dia telah mengaktifkan mode hening. Billy tak kuasa tersenyum getir. Nama kedua wanita ini begitu mirip, tetapi sikap mereka malah jauh berbeda. Syifa sangat lembut dan dewasa, sedangkan Shifa seperti psikopat. Billy mengernyit. Dia tidak pernah tahu sikap Shifa seperti itu. Dulu, dia mengira Shifa hanya terlalu terbuka dan mend
Namun, tidak ada tulisan apa pun lagi di halaman selanjutnya. Billy memastikannya beberapa kali dan mendapati ada halaman yang disobek.Terlihat jelas bahwa Syifa menyobeknya dengan kasar tanpa memedulikan apa pun lagi. Dia pasti merasa sangat tersiksa saat itu.Billy ingin tahu apa yang ditulis Syifa. Dia mendekatkan diari itu ke lampu dan samar-samar terlihat goresan dangkal pada kertas belakangnya.Billy segera menelepon resepsionis dan memerintahkan, "Antarkan pensil ke kamarku. Yang cepat!"Resepsionis tidak berani lalai dan buru-buru mengantarkannya. Kemudian, Billy mulai menggores di atas halaman itu. Bukan tulisan yang intens, hanya kata maaf yang memenuhi seluruh halaman.Seketika, Billy diliputi oleh ketidakberdayaan dan kesakitan yang luar biasa. Syifa pasti menulis ini setelah membulatkan tekadnya untuk menggugurkan anak mereka, 'kan?Saat itu, Syifa pasti mendengar obrolannya dengan Shifa di balkon. Seperti yang dikatakan Syifa, sejak Shifa muncul, dia langsung merasakan
Segera, terdengar suara Shifa dari ujung telepon. "Billy, beraninya kamu mengabaikan teleponku! Kamu tahu berapa kali aku meneleponmu? Kenapa nggak kamu jawab?""Shifa, tunggu aku di lobi. Memang ada beberapa hal yang harus kita bicarakan," ujar Billy dengan dingin."Lobi? Aku lagi hamil dan kamu suruh aku tunggu di lobi? Kamu di kamar mana? Aku ke kamarmu," tolak Shifa."Aku akan turun mencarimu," balas Billy.Balkon di sini menghadap ke pegunungan. Ketika mengobrol dengan Shifa di lantai 8 waktu itu, Syifa mendengar semuanya. Kalau Shifa kemari, Billy khawatir ibunya merasa terganggu."Aku nggak mau! Aku nggak mau menunggu di lobi!" tolak Shifa."Kalau begitu, aku suruh resepsionis buka kamar baru," tutur Billy."Billy, apa ada sesuatu yang nggak boleh kulihat di kamarmu? Ada wanita di kamarmu?" tanya Shifa."Nggak ada," balas Billy dengan suara rendah."Kalau begitu, kenapa aku nggak boleh ke sana? Pasti ada sesuatu, 'kan?" Shifa langsung bertanya kepada resepsionis itu, "Bos kalia
Amarah Billy telah berkecamuk. "Shifa, cepat lepaskan tanganmu. Kita bisa bicarakan masalah ini nanti.""Aku nggak mau! Sekarang kamu sudah berani mengabaikan teleponku. Kalau nggak memberimu pelajaran, kamu bakal merajalela!" tolak Shifa.Meriam belum kembali ke lantai atas. Dia mencoba membujuk, "Nona, nyawa lebih penting dari apa pun. Nyonya kesakitan sekarang. Dulu Nyonya sangat baik padamu. Masa kamu tega menunda pengobatannya? Cepat lepaskan Tuan. Masalah kalian bisa dibicarakan nanti.""Diam! Ini masalahku dengan Billy! Pelayan sepertimu nggak pantas berbicara!" bentak Shifa.Wajah Meriam sontak memucat. Dia termasuk senior di rumah Keluarga Aditama. Billy dan seluruh anggota Keluarga Aditama begitu menghormatinya, tetapi Shifa malah membentaknya. Meriam pun tidak bisa berkata-kata dibuat wanita ini.Saat ini, terdengar sirene ambulans di luar. Resepsionis itu berseru, "Pak, ambulans sudah sampai!"Billy tentu merasa senang. Hanya saja, kakinya masih dipeluk oleh Shifa erat-era
Kondisi Erica cukup buruk. Syifa merentangkan tangannya dan berkata, "Senter." Seseorang segera menyerahkan senter. Syifa memeriksa pupil Erica, lalu bertanya dengan ekspresi serius, "Berapa tekanan darahnya?" "Lima puluh dan sembilan puluh, tapi terus menurun," timpal seorang dokter. "Pasang tabung oksigen," instruksi Syifa. "Baik." Meriam yang berdiri di samping merasa sangat panik. Setelah melihat Syifa memeriksa cukup lama, dia maju untuk bertanya, "Nyonya, gimana?" Syifa bangkit, lalu menginstruksi asistennya, "Hubungi UGD yang menangani stroke. Begitu kita tiba, mereka harus langsung menangani pasien. Hati-hati saat memindahkan pasien, kurangi guncangan sebisa mungkin." "Baik." Para dokter muda mulai bekerja sesuai instruksi Syifa. Mereka mengangkat Erica ke tandu dengan perlahan, lalu memasang tabung oksigen. Setelah semuanya beres, Syifa baru menjawab pertanyaan Meriam, "Menurut diagnosis pertama, ini stroke akut." "Apa sangat berbahaya?" tanya Meriam yang kurang meng
Meriam sudah naik ke mobil. Dia pun terkejut dan buru-buru bertanya, "Nyonya, kamu baik-baik saja?"Syifa menunduk dan melihat perban di kakinya menjadi merah. Para dokter itu juga terkejut. Mereka bertanya dengan cemas, "Bu, kamu nggak apa-apa?""Aku baik-baik saja. Bantu aku naik," ujar Syifa.Salah satu dokter itu menjulurkan tangan. Syifa hendak meraihnya, tetapi tubuhnya tiba-tiba terasa ringan.Billy menggendong Syifa ke ambulans, lalu menurunkannya di samping. Syifa menunduk dan berujar, "Terima kasih.""Seharusnya aku yang berterima kasih," timpal Billy.Karena waktu mendesak, Syifa tidak ingin berbasa-basi lagi. Dia langsung menginstruksi sopir, "Ke rumah sakit."Ambulans melaju dengan cepat meninggalkan resor. Karena ada guncangan, Syifa meletakkan tangannya di belakang kepala Erica untuk meredam guncangan.Meriam menawarkan diri, "Nyonya, biar aku saja.""Nggak apa-apa, dari posisiku lebih mudah." Syifa tersenyum untuk menghiburnya."Bu, tekanan darah pasien mulai normal,"
Suster tentu mengenal Syifa. Dia bertanya, "Bu, kamu keluarga pasien?" "Ya, pasien adalah mertuaku," sahut Syifa. Setelah menandatanganinya, dia berkata, "Sepertinya mertuaku sudah sakit kepala sebulan. Ini pertama kalinya dia mengalami stroke." "Waktu aku sampai, tekanan darahnya 50, 90. Setelah sampai di rumah sakit, tekanan darahnya 70, 110. Kadar oksigen 86% karena dia menghirup tabung oksigen selama 45 menit." Suster mengangguk. "Oke. Dokter memang membutuhkan informasi ini. Aku akan memberitahunya semua ini." "Terima kasih," ucap Syifa. Suster berbalik, lalu berlari masuk. Pintu kembali ditutup. Meriam tersenyum minta maaf dan berucap, "Nyonya, terima kasih. Untung ada kamu. Tuan benar-benar ... hais ...." Meriam memandang ke arah Billy dengan tidak berdaya. Syifa berkata, "Bibi, aku mau obati lukaku dulu. Kamu istirahat saja di sini. Aku akan segera kembali." Meriam baru memperhatikan kaki Syifa yang terluka. Dia berseru kaget, "Astaga! Kok bisa begini?" Perban Syifa su
Ekspresi Aulia menjadi masam. "Eh? Meninggalkan bekas? Pak Irvin, kamu harus pikirkan cara supaya nggak ada bekas luka di kaki Bu Syifa. Hidupnya sudah cukup berat belakangan ini. Jangan sampai ada bekas luka di kakinya."Irvin menyahut, "Sekarang sudah tahu takut? Sebagai dokter, kamu harus bisa menjaga diri sendiri dulu. Kamu sudah lupa semua ajaran di universitas?"Syifa menggertakkan gigi sambil menahan rasa perih. Kemudian, dia berujar, "Pasien terkena stroke. Lebih baik kakiku ada bekas luka daripada pasien kenapa-napa."Irvin baru memahami situasinya. Stroke memang berbahaya. Begitu mendengarnya, gerakan tangan Irvin baru menjadi lebih lembut supaya Syifa tidak kesakitan.Selesai membalut luka Syifa, Irvin berpesan dengan sungguh-sungguh, "Jangan melakukan aktivitas berat lagi. Paham?"Syifa tahu Irvin berbicara demikian demi kebaikannya. Dia mengangguk dengan patuh. "Ya, tenang saja.""Eee ... waktu melakukan itu dengan suamimu, kamu juga harus hati-hati. Jangan terlalu kasar.