Sejujurnya, Billy memang agak menyesali keputusannya sekarang."Shifa, setelah bersama, ternyata kehidupan kita nggak seperti yang kubayangkan. Ibuku lagi sakit. Untuk sementara ini, aku bakal menemaninya. Kita berdua juga harus menenangkan diri sekaligus merenungkan jalan yang harus kita lewati kelak," ucap Billy."Jadi, kamu di rumah lama?" tanya Shifa."Ya.""Kamu bawa Bu Syifa?""Aku sendirian."Shifa merasa puas. "Kalau begitu, kenapa kamu berbohong tadi? Kamu ingin membuatku cemburu?""Terserah kamu mau berpikir apa." Billy terkekeh-kekeh."Ya, cemburu adalah bumbu-bumbu cinta. Tapi, Billy, biar kuperingatkan dulu. Jangan berhubungan dengan wanita lain atau jangan salahkan aku bersikap kejam," ancam Shifa."Kamu sampai menukar asistenku. Memangnya aku bisa punya hubungan dengan wanita mana lagi?" tanya Billy."Mantan istrimu dong. Selama kalian belum ambil akta cerai, aku nggak bakal bisa tenang. Billy, aku sangat posesif. Sekarang kamu milikku. Siapa pun nggak boleh merebutmu d
Meriam segera melepaskan celemeknya, lalu pergi ke kamar Erica untuk berkemas. Billy menatap ibunya. Erica duduk di sofa sambil memejamkan mata dan memegang tasbih. Ibunya tidak ingin meladeninya lagi. Lantaran tidak berdaya, Billy hanya bisa mencari Meriam. Meriam melakukan pekerjaannya dengan cekatan. Dia sudah hampir selesai berkemas. "Bibi," panggil Billy. "Ya, Tuan?" sahut Meriam. "Biar kubantu," ujar Billy. "Nggak perlu, aku bisa sendirian," tolak Meriam. Tangan Billy membeku di udara untuk sesaat. Pada akhirnya, dia menarik tangannya kembali sambil bertanya, "Bibi, kenapa kamu ... sepertinya takut sekali pada Shifa?" "Eh? Nggak kok." Ekspresi Meriam tampak kaku. "Beri tahu saja aku kalau ada masalah," ucap Billy. Meriam menunduk dan tersenyum tipis. "Tuan, aku sudah jadi pengasuh bertahun-tahun. Aku telah melayani banyak keluarga. Cuma Nyonya yang memperlakukanku seperti keluarga. Bahkan, aku telah menganggapmu sebagai putra angkatku." "Aku tahu." Billy mengangguk. "
Ketika masih mengobrol, Meriam sudah selesai berkemas. "Tuan, aku dan Nyonya pergi dulu. Suasana hati Nyonya kurang baik. Kalau dia bertemu Nona Shifa, takutnya dia bakal insomnia untuk beberapa hari." Terdengar desakan Erica dari luar. "Bibi Meriam, nggak usah bawa terlalu banyak barang. Yang cepat sedikit. Kita bisa beli kalau kekurangan nanti." "Ya, Nyonya. Aku sudah siap," respons Meriam. Kemudian, dia berkata dengan lirih, "Tuan, mungkin aku bicara terlalu banyak hari ini. Tapi ... kamu renungkan saja sendiri." Meriam membawa koper keluar dan berujar, "Nyonya, ayo kita pergi." "Ayo, ayo." Erica tampak terburu-buru. Billy berbalik untuk menyusul. Dia hendak mengambil koper dari tangan Meriam, lalu berkata, "Biar kuantar kalian." Erica menolak, "Nggak usah repot-repot. Bibi Meriam bisa panggil taksi." Namun, Billy sudah mengambil koper mereka dan membuka bagasi mobil. Hanya saja ... ada sesuatu di bagasi mobil. Itu barang Syifa. Erica mengejar dan melihatnya. Dia langsung me
Setelah mengantar Erica dan Meriam ke kamar masing-masing, Billy pergi ke kamarnya. Dia tahu ada banyak tamu yang menginap di sini selama sebulan, tetapi hatinya terasa hampa teringat Syifa pernah menginap di sini sendirian. Apalagi ... Syifa menggugurkan kandungannya setelah membulatkan tekadnya di kamar ini. Hal ini membuat Billy merasa sesak. Billy memegang diari kehamilan itu. Dia tidak pernah melihat hal seperti ini. Dia dan Syifa bersama selama 3 tahun. Mereka makan dan tidur bersama, tetapi Billy tidak pernah melihat diari ini. Langit berangsur gelap. Layar ponsel Billy terus berkedip karena Shifa terus meneleponnya. Namun, Billy tidak peduli karena dia telah mengaktifkan mode hening. Billy tak kuasa tersenyum getir. Nama kedua wanita ini begitu mirip, tetapi sikap mereka malah jauh berbeda. Syifa sangat lembut dan dewasa, sedangkan Shifa seperti psikopat. Billy mengernyit. Dia tidak pernah tahu sikap Shifa seperti itu. Dulu, dia mengira Shifa hanya terlalu terbuka dan mend
Namun, tidak ada tulisan apa pun lagi di halaman selanjutnya. Billy memastikannya beberapa kali dan mendapati ada halaman yang disobek.Terlihat jelas bahwa Syifa menyobeknya dengan kasar tanpa memedulikan apa pun lagi. Dia pasti merasa sangat tersiksa saat itu.Billy ingin tahu apa yang ditulis Syifa. Dia mendekatkan diari itu ke lampu dan samar-samar terlihat goresan dangkal pada kertas belakangnya.Billy segera menelepon resepsionis dan memerintahkan, "Antarkan pensil ke kamarku. Yang cepat!"Resepsionis tidak berani lalai dan buru-buru mengantarkannya. Kemudian, Billy mulai menggores di atas halaman itu. Bukan tulisan yang intens, hanya kata maaf yang memenuhi seluruh halaman.Seketika, Billy diliputi oleh ketidakberdayaan dan kesakitan yang luar biasa. Syifa pasti menulis ini setelah membulatkan tekadnya untuk menggugurkan anak mereka, 'kan?Saat itu, Syifa pasti mendengar obrolannya dengan Shifa di balkon. Seperti yang dikatakan Syifa, sejak Shifa muncul, dia langsung merasakan
Segera, terdengar suara Shifa dari ujung telepon. "Billy, beraninya kamu mengabaikan teleponku! Kamu tahu berapa kali aku meneleponmu? Kenapa nggak kamu jawab?""Shifa, tunggu aku di lobi. Memang ada beberapa hal yang harus kita bicarakan," ujar Billy dengan dingin."Lobi? Aku lagi hamil dan kamu suruh aku tunggu di lobi? Kamu di kamar mana? Aku ke kamarmu," tolak Shifa."Aku akan turun mencarimu," balas Billy.Balkon di sini menghadap ke pegunungan. Ketika mengobrol dengan Shifa di lantai 8 waktu itu, Syifa mendengar semuanya. Kalau Shifa kemari, Billy khawatir ibunya merasa terganggu."Aku nggak mau! Aku nggak mau menunggu di lobi!" tolak Shifa."Kalau begitu, aku suruh resepsionis buka kamar baru," tutur Billy."Billy, apa ada sesuatu yang nggak boleh kulihat di kamarmu? Ada wanita di kamarmu?" tanya Shifa."Nggak ada," balas Billy dengan suara rendah."Kalau begitu, kenapa aku nggak boleh ke sana? Pasti ada sesuatu, 'kan?" Shifa langsung bertanya kepada resepsionis itu, "Bos kalia
Amarah Billy telah berkecamuk. "Shifa, cepat lepaskan tanganmu. Kita bisa bicarakan masalah ini nanti.""Aku nggak mau! Sekarang kamu sudah berani mengabaikan teleponku. Kalau nggak memberimu pelajaran, kamu bakal merajalela!" tolak Shifa.Meriam belum kembali ke lantai atas. Dia mencoba membujuk, "Nona, nyawa lebih penting dari apa pun. Nyonya kesakitan sekarang. Dulu Nyonya sangat baik padamu. Masa kamu tega menunda pengobatannya? Cepat lepaskan Tuan. Masalah kalian bisa dibicarakan nanti.""Diam! Ini masalahku dengan Billy! Pelayan sepertimu nggak pantas berbicara!" bentak Shifa.Wajah Meriam sontak memucat. Dia termasuk senior di rumah Keluarga Aditama. Billy dan seluruh anggota Keluarga Aditama begitu menghormatinya, tetapi Shifa malah membentaknya. Meriam pun tidak bisa berkata-kata dibuat wanita ini.Saat ini, terdengar sirene ambulans di luar. Resepsionis itu berseru, "Pak, ambulans sudah sampai!"Billy tentu merasa senang. Hanya saja, kakinya masih dipeluk oleh Shifa erat-era
Kondisi Erica cukup buruk. Syifa merentangkan tangannya dan berkata, "Senter." Seseorang segera menyerahkan senter. Syifa memeriksa pupil Erica, lalu bertanya dengan ekspresi serius, "Berapa tekanan darahnya?" "Lima puluh dan sembilan puluh, tapi terus menurun," timpal seorang dokter. "Pasang tabung oksigen," instruksi Syifa. "Baik." Meriam yang berdiri di samping merasa sangat panik. Setelah melihat Syifa memeriksa cukup lama, dia maju untuk bertanya, "Nyonya, gimana?" Syifa bangkit, lalu menginstruksi asistennya, "Hubungi UGD yang menangani stroke. Begitu kita tiba, mereka harus langsung menangani pasien. Hati-hati saat memindahkan pasien, kurangi guncangan sebisa mungkin." "Baik." Para dokter muda mulai bekerja sesuai instruksi Syifa. Mereka mengangkat Erica ke tandu dengan perlahan, lalu memasang tabung oksigen. Setelah semuanya beres, Syifa baru menjawab pertanyaan Meriam, "Menurut diagnosis pertama, ini stroke akut." "Apa sangat berbahaya?" tanya Meriam yang kurang meng