Billy terdiam sejenak, lalu mengangguk dan berkata, "Aku nggak nyangka kamu akan menolongnya."Syifa tersenyum sambil membalas, "Sebenarnya aku nggak berniat menolongnya."Billy tidak memahami maksudnya. Dia berujar, "Kamu seorang dokter. Mungkin tugas menolong orang sudah merasuk ke dalam jiwamu. Aku nggak akan melupakan topan yang terjadi nggak lama setelah kita menikah. Kamu tetap pergi ke rumah sakit untuk menolong pasien.""Dilupakan saja. Untuk apa mengingat hal-hal nggak berguna seperti itu?" sela Syifa."Aku nggak akan melupakannya." Billy mengembuskan napas panjang dan meneruskan, "Maaf sudah membuat lelucon sebesar itu.""Maksudmu Shifa?" tanya Syifa."Ya." Billy mengiakan."Itu bukan lelucon, sama sekali nggak lucu," sindir Syifa.Billy menyunggingkan bibirnya dan terkekeh-kekeh dengan canggung. "Belakangan ini ada banyak masalah yang terjadi. Aku sampai malu menghadapi keluargaku.""Aku nggak bisa mengomentari hidupmu. Yang bisa kulakukan hanya memberimu doa," sahut Syifa.
Syifa berkata, "Aku ingin beli rumah."Billy memahaminya. Syifa khawatir jika membelinya sekarang, rumah itu akan menjadi aset selama pernikahan."Jangan dengarkan omong kosong Shifa," ujar Billy."Dia nggak bicara omong kosong. Aku sudah memeriksa aturan pernikahan. Kenyataannya memang seperti itu," sahut Syifa.Billy berucap, "Kukira ... ada pria yang mengejarmu.""Kita masih suami istri di mata hukum. Selain itu, aku juga nggak pernah menyukai pria mana pun. Setelah cerai, aku akan hidup bebas seperti dulu," timpal Syifa.Billy tersenyum getir dan berkata, "Selama ini, kukira kamu wanita lembut yang butuh perlindungan orang lain. Tapi belakangan ini, aku baru sadar kalau kamu cukup galak.""Terus terang saja, kalau cinta sejatimu itu tahu aturan dan bersikap masuk akal, aku nggak akan berkomentar apa pun. Aku akan merestui hubungan kalian. Yang penting dia nggak menindasku dan bisa bicara baik-baik denganku.""Sebenarnya dia bisa saja mencariku dan menceritakan seperti apa masa lal
"Usianya baru cuma sebulan. Bentuknya masih sel kecil. Mana mungkin dia merasa sakit?" jawab Syifa."Gimana denganmu? Apa kamu merasa sakit?" tanya Billy.Syifa termangu. Billy meneruskan, "Aku sudah memikirkannya. Kamu pergi jam 7 pagi lewat. Waktu aku sampai di rumah sakit, sudah jam 4 sore lewat dan kamu baru melakukan aborsi. Apa mungkin kamu memberiku kesempatan terakhir selama 8 jam itu atau proses aborsi memang selama itu?"Syifa menunduk dan berkata, "Aku nggak sengaja meninggalkan dompetku di kamar hotel. Sebenarnya setelah Shifa pulang, aku sudah punya firasat. Nggak peduli seperti apa prosesnya, hasilnya sudah pasti kita cerai dan dia kembali ke sisimu.""Waktu di resor hari itu, aku mendengar semua omongan kalian di balkon. Jujur saja, aku bukan malaikat. Setelah mendengar semua itu, aku ingin segera pergi dan menjauh dari kalian. Aku nggak ingin melihat kalian lagi. Makanya, dompetku ketinggalan."Billy hanya menunduk. Tatapannya terlihat hampa. Entah apa yang dia pikirka
Polisi wanita itu terkekeh-kekeh lagi dan berkata, "Kenapa kami memanggilnya dan bukan memanggilmu? Masa kamu nggak mengerti?"Shifa menggigit bibirnya dengan kesal dan membalas, "Nggak apa-apa. Lain kali kalian panggil aku saja."Polisi wanita itu sungguh kehabisan kata-kata dibuatnya Shifa. Dia bertanya, "Jadi, kamu berharap Pak Billy ditahan polisi lagi?"Shifa akhirnya tidak bisa merespons. Apalagi, lawan bicaranya adalah seorang polisi. Dia berani bertindak semena-mena di luar, tetapi tidak akan berani menentang polisi. Jadi, Shifa mengubah targetnya menjadi Syifa."Bu Syifa." Shifa menghampiri dengan senyuman tipis dan berujar, "Maaf sudah merepotkanmu hari ini. Billy kurang suka mengobrol dengan orang asing. Aku yang akan menggantikannya berterima kasih kepadamu. Tolong dimaklumi ya."Syifa berdiri di tempatnya sambil memegang dinding. Dia benar-benar tidak ingin berinteraksi dengan wanita ini. Jika kakinya tidak terluka, dia pasti sudah kabur sejak tadi dan tidak akan mendenga
Shifa seperti orang yang kehilangan akal sehat. Dia memukul Billy tanpa henti. Karena khawatir terjadi sesuatu pada anak di kandungannya, Billy hanya bisa mengadang dengan satu tangan dan menjulurkan tangan yang satu lagi untuk melindunginya agar tidak terjatuh.Saking kuatnya pukulan Shifa, kacamata Billy sampai terjatuh. Polisi wanita itu tidak tahan lagi. Dia menghardik, "Cukup! Kalau mau berkelahi, di rumah saja! Jangan menggila di kantor polisi!"Shifa duduk di lantai dan membelakangi Billy. Dia berkata dengan kesal, "Aku nggak mau ikut dia pulang!"Billy merapikan pakaiannya, lalu menarik napas dalam-dalam dengan lelah dan bertanya, "Sudah cukup melampiaskan amarahmu?""Belum! Asal kamu tahu, masalah ini belum selesai!" pekik Shifa.Billy menunduk dan menurunkan lengan bajunya yang digulung sambil berucap, "Ya sudah. Kalau begitu, aku pergi dulu.""Billy! Kamu berani meninggalkanku sendirian di luar? Aku hamil! Kalau terjadi sesuatu padaku ...." Sebelum Shifa selesai berbicara,
"Namanya Dylan. Beda sedikit denganku."Billy memicingkan matanya dengan waspada. "Dia belajar kedokteran?"Delon terkejut. "Kak Billy kenal kakakku? Hebat sekali. Aku tahu kakakku memang hebat, tapi nggak kusangka sehebat ini. Bahkan orang yang nggak pernah lihat dia sekali pun bisa kenal dengannya ...."Billy hanya tertawa dingin. Kebetulan, saat itu ada pelayan yang mengantarkan alkohol. Billy menerimanya dan langsung meneguk alkohol itu hingga habis.Delon menasihatinya, "Kak Billy, ini vodka. Jangan diminum habis sekaligus, bersantailah.""Apa kamu tahu siapa wanita yang disukai kakakmu?" tanya Billy."Nggak tahu, dia sangat merahasiakannya. Bahkan ibu kandung kami saja nggak tahu." Saat berkata demikian, Delon melihat seseorang yang familier. Dia kemudian berdiri dan melambaikan tangannya. "Yudi, di sini!"Yudi berlari kecil ke arahnya dan menyapa dengan patuh, "Kak Billy."Delon merangkul lehernya. "Kenapa baru datang sekarang? Kak Billy sudah lama menunggu.""Macet, di luar ta
Delon tertawa hambar, lalu duduk dan menyesap alkohol untuk menutupi kecanggungannya. "Sebenarnya, nggak termasuk menggantung perasaannya juga. Bukannya Kak Shifa dulu selalu bilang Kak Billy adalah teman terbaiknya?""Teman terbaik? Kamu percaya itu?" Yudi mengejek, "Sudah berapa tahun perasaan Kak Billy padanya itu? Aku nggak percaya dia nggak bisa merasakannya sama sekali."Delon memegang gelas dengan kedua tangannya sambil terkekeh-kekeh, tetapi tidak membantah.Yudi menghela napas. "Orang yang paling kasihan dari semua kejadian ini adalah Syifa yang satu lagi. Dia sama sekali nggak tahu telah dianggap sebagai pengganti Kak Shifa.""Kak Billy memperlakukannya dengan baik bukan karena dirinya, tapi karena Kak Shifa. Sekarang Kak Shifa sudah berubah pikiran, dia harus merelakan posisinya. Setelah dipikir-pikir, mengenaskan juga."Delon tertawa terbahak-bahak. "Kenapa? Menikahi Kak Billy menyedihkan baginya? Bukannya dia dapat banyak uang setelah cerai? Hidupnya sudah terjamin selama
Syifa sebenarnya juga merasa agak bersalah. Dia mengambil obat dari Aulia tanpa mendaftar secara resmi. Dengan kata lain, di sistem data rumah sakit, tidak ada catatan bahwa Syifa pernah menjalani aborsi. Jika mengikuti prosedur yang ketat, Aulia bisa dianggap melanggar aturan demi membantunya.Syifa mengernyit. "Kalau diinterogasi sama direktur nanti, kamu lemparkan saja semua kesalahan padaku. Bilang saja aku yang menyuruhmu begitu. Kamu nggak berani membantah karena aku adalah mentormu."Aulia tampak kesulitan. "Bu Syifa, aku ...."Syifa menenangkannya, "Bilang saja begitu, nggak usah takut."Sepuluh menit kemudian, pintu ruangannya diketuk seseorang. Aula membukakan pintu sambil meringkuk, "Pak."Direktur rumah sakit menatapnya sekilas. "Kamu setakut itu sama aku?""Bukan takut. Anda ini direktur rumah sakit, jadi saya hormat pada Anda."Direktur rumah sakit tertawa terbahak-bahak. "Kukira Gen Z biasanya suka semena-mena, ternyata kamu pengecualian ya."Aulia tersenyum sekilas men