Polisi wanita itu terkekeh-kekeh lagi dan berkata, "Kenapa kami memanggilnya dan bukan memanggilmu? Masa kamu nggak mengerti?"Shifa menggigit bibirnya dengan kesal dan membalas, "Nggak apa-apa. Lain kali kalian panggil aku saja."Polisi wanita itu sungguh kehabisan kata-kata dibuatnya Shifa. Dia bertanya, "Jadi, kamu berharap Pak Billy ditahan polisi lagi?"Shifa akhirnya tidak bisa merespons. Apalagi, lawan bicaranya adalah seorang polisi. Dia berani bertindak semena-mena di luar, tetapi tidak akan berani menentang polisi. Jadi, Shifa mengubah targetnya menjadi Syifa."Bu Syifa." Shifa menghampiri dengan senyuman tipis dan berujar, "Maaf sudah merepotkanmu hari ini. Billy kurang suka mengobrol dengan orang asing. Aku yang akan menggantikannya berterima kasih kepadamu. Tolong dimaklumi ya."Syifa berdiri di tempatnya sambil memegang dinding. Dia benar-benar tidak ingin berinteraksi dengan wanita ini. Jika kakinya tidak terluka, dia pasti sudah kabur sejak tadi dan tidak akan mendenga
Shifa seperti orang yang kehilangan akal sehat. Dia memukul Billy tanpa henti. Karena khawatir terjadi sesuatu pada anak di kandungannya, Billy hanya bisa mengadang dengan satu tangan dan menjulurkan tangan yang satu lagi untuk melindunginya agar tidak terjatuh.Saking kuatnya pukulan Shifa, kacamata Billy sampai terjatuh. Polisi wanita itu tidak tahan lagi. Dia menghardik, "Cukup! Kalau mau berkelahi, di rumah saja! Jangan menggila di kantor polisi!"Shifa duduk di lantai dan membelakangi Billy. Dia berkata dengan kesal, "Aku nggak mau ikut dia pulang!"Billy merapikan pakaiannya, lalu menarik napas dalam-dalam dengan lelah dan bertanya, "Sudah cukup melampiaskan amarahmu?""Belum! Asal kamu tahu, masalah ini belum selesai!" pekik Shifa.Billy menunduk dan menurunkan lengan bajunya yang digulung sambil berucap, "Ya sudah. Kalau begitu, aku pergi dulu.""Billy! Kamu berani meninggalkanku sendirian di luar? Aku hamil! Kalau terjadi sesuatu padaku ...." Sebelum Shifa selesai berbicara,
"Namanya Dylan. Beda sedikit denganku."Billy memicingkan matanya dengan waspada. "Dia belajar kedokteran?"Delon terkejut. "Kak Billy kenal kakakku? Hebat sekali. Aku tahu kakakku memang hebat, tapi nggak kusangka sehebat ini. Bahkan orang yang nggak pernah lihat dia sekali pun bisa kenal dengannya ...."Billy hanya tertawa dingin. Kebetulan, saat itu ada pelayan yang mengantarkan alkohol. Billy menerimanya dan langsung meneguk alkohol itu hingga habis.Delon menasihatinya, "Kak Billy, ini vodka. Jangan diminum habis sekaligus, bersantailah.""Apa kamu tahu siapa wanita yang disukai kakakmu?" tanya Billy."Nggak tahu, dia sangat merahasiakannya. Bahkan ibu kandung kami saja nggak tahu." Saat berkata demikian, Delon melihat seseorang yang familier. Dia kemudian berdiri dan melambaikan tangannya. "Yudi, di sini!"Yudi berlari kecil ke arahnya dan menyapa dengan patuh, "Kak Billy."Delon merangkul lehernya. "Kenapa baru datang sekarang? Kak Billy sudah lama menunggu.""Macet, di luar ta
Delon tertawa hambar, lalu duduk dan menyesap alkohol untuk menutupi kecanggungannya. "Sebenarnya, nggak termasuk menggantung perasaannya juga. Bukannya Kak Shifa dulu selalu bilang Kak Billy adalah teman terbaiknya?""Teman terbaik? Kamu percaya itu?" Yudi mengejek, "Sudah berapa tahun perasaan Kak Billy padanya itu? Aku nggak percaya dia nggak bisa merasakannya sama sekali."Delon memegang gelas dengan kedua tangannya sambil terkekeh-kekeh, tetapi tidak membantah.Yudi menghela napas. "Orang yang paling kasihan dari semua kejadian ini adalah Syifa yang satu lagi. Dia sama sekali nggak tahu telah dianggap sebagai pengganti Kak Shifa.""Kak Billy memperlakukannya dengan baik bukan karena dirinya, tapi karena Kak Shifa. Sekarang Kak Shifa sudah berubah pikiran, dia harus merelakan posisinya. Setelah dipikir-pikir, mengenaskan juga."Delon tertawa terbahak-bahak. "Kenapa? Menikahi Kak Billy menyedihkan baginya? Bukannya dia dapat banyak uang setelah cerai? Hidupnya sudah terjamin selama
Syifa sebenarnya juga merasa agak bersalah. Dia mengambil obat dari Aulia tanpa mendaftar secara resmi. Dengan kata lain, di sistem data rumah sakit, tidak ada catatan bahwa Syifa pernah menjalani aborsi. Jika mengikuti prosedur yang ketat, Aulia bisa dianggap melanggar aturan demi membantunya.Syifa mengernyit. "Kalau diinterogasi sama direktur nanti, kamu lemparkan saja semua kesalahan padaku. Bilang saja aku yang menyuruhmu begitu. Kamu nggak berani membantah karena aku adalah mentormu."Aulia tampak kesulitan. "Bu Syifa, aku ...."Syifa menenangkannya, "Bilang saja begitu, nggak usah takut."Sepuluh menit kemudian, pintu ruangannya diketuk seseorang. Aula membukakan pintu sambil meringkuk, "Pak."Direktur rumah sakit menatapnya sekilas. "Kamu setakut itu sama aku?""Bukan takut. Anda ini direktur rumah sakit, jadi saya hormat pada Anda."Direktur rumah sakit tertawa terbahak-bahak. "Kukira Gen Z biasanya suka semena-mena, ternyata kamu pengecualian ya."Aulia tersenyum sekilas men
Dylan berkata dengan terus terang, "Ya, sebelumnya pernah bertemu di restoran dan kebetulan melihatmu kecelakaan. Jadi, aku mengantarmu ke rumah sakit."Syifa baru merasa tenang mendengarnya. Dia mengira Dylan akan menceritakan soal surat cinta atau sejenisnya ....Idris berkata, "Lebih bagus lagi kalau kalian memang kenal, jadi nggak usah saling beradaptasi lagi. Dengan kemampuan kalian, departemen kandungan ini pasti akan semakin sukses!""Pak Idris ...." Aulia yang berdiri di sudut ruangan bertanya dengan lirih, "Anda cari Bu Syifa karena masalah ini?""Iya, memangnya kenapa? Kinerja Bu Syifa sebagus ini, nggak mungkin aku datang untuk cari masalah, 'kan?"Aulia menghela napas lega. "Baguslah kalau begitu. Kukira ....""Kamu kira apaan?""Nggak apa-apa, haha .... Kukira karena Bu Syifa terlalu hebat, Anda mau mempromosikan dan menaikkan gajinya."Idris mengelus dagunya, lalu berujar, "Sebenarnya aku juga punya rencana seperti itu, tapi masih ragu-ragu. Bagaimanapun, Bu Syifa sudah
Jika disuruh untuk memilih antara pria dan mentornya, Aulia masih tetap memilih mentornya. Dia langsung bergegas mendekati Syifa dan memberikan minuman sambil menepuk pundak Syifa. "Bu Syifa, kenapa makannya buru-buru? Besok baru berangkat untuk ambil donor darah, kok."Syifa tersedak hingga kesulitan berkata-kata. Dia hanya melambaikan tangan. "Nggak ... nggak apa-apa, Cuma agak pedas.""Minum supnya sedikit." Dylan menyerahkan sebuah termos ke hadapan Syifa. "Ini sup ayam goji berry. Untuk menghangatkan tubuh dan penambah darah.""Kamu beli dari luar?"Kantin rumah sakit tidak menyediakan sup serumit ini, bisa menyediakan sup rumput laut saja sudah patut disyukuri."Aku masak sendiri." Dylan melanjutkan, "Kamu minum pelan-pelan saja. Ada yang mau kubicarakan sama Pak Idris, nanti aku kembali untuk ambil termosnya."Dylan tersenyum dan pergi dengan tenang, meninggalkan Syifa yang masih kalut sembari mengunyah makanannya.Aulia menutupi wajahnya, lalu mendekati Syifa dengan ekspresi h
"Bu Syifa ....""Tenang saja, aku nggak akan suruh kamu kembalikan. Aku cuma mau foto."Aulia ragu-ragu sejenak, lalu memberikan biskuit itu pada Syifa. "Kamu mau beli juga? Bu Syifa, biskuit ini memang enak sekali dan nggak bisa bikin gemuk. Makanya laris manis sekali. Susah sekali untuk beli biskuit ini ...."Setelah Syifa selesai mengambil gambar, Aulia langsung buru-buru merebut biskuit itu."Tenang saja, aku nggak akan suruh kamu kembaliin."Aulia baru merasa lega. "Baguslah. Bu Syifa mau beliin kasih aku ya? Huhuhu, kamu baik sekali."Syifa mengulurkan tangan untuk menahan Aulia yang hendak memeluknya. Kemudian, dia berbisik, "Oke, kamu sudah membantuku menanggung risiko dalam kejadian sebelumnya. Memang seharusnya aku berterima kasih padamu. Kutraktir biskuit selama setengah tahun.""Asyik!!"Berhubung kaki Syifa masih kesulitan untuk berjalan, Aulia membantu memapahnya hingga ke pintu rumah sakit dan mengantarkannya hingga ke taksi. Setelah duduk di taksi, Syifa mengirimkan fo