"Bu Syifa ....""Tenang saja, aku nggak akan suruh kamu kembalikan. Aku cuma mau foto."Aulia ragu-ragu sejenak, lalu memberikan biskuit itu pada Syifa. "Kamu mau beli juga? Bu Syifa, biskuit ini memang enak sekali dan nggak bisa bikin gemuk. Makanya laris manis sekali. Susah sekali untuk beli biskuit ini ...."Setelah Syifa selesai mengambil gambar, Aulia langsung buru-buru merebut biskuit itu."Tenang saja, aku nggak akan suruh kamu kembaliin."Aulia baru merasa lega. "Baguslah. Bu Syifa mau beliin kasih aku ya? Huhuhu, kamu baik sekali."Syifa mengulurkan tangan untuk menahan Aulia yang hendak memeluknya. Kemudian, dia berbisik, "Oke, kamu sudah membantuku menanggung risiko dalam kejadian sebelumnya. Memang seharusnya aku berterima kasih padamu. Kutraktir biskuit selama setengah tahun.""Asyik!!"Berhubung kaki Syifa masih kesulitan untuk berjalan, Aulia membantu memapahnya hingga ke pintu rumah sakit dan mengantarkannya hingga ke taksi. Setelah duduk di taksi, Syifa mengirimkan fo
Saat melihat tangkapan layar yang dikirimkan oleh Yudi, dahi Billy langsung mengernyit. Dia mengambil kotak rokok, lalu berjalan ke arah balkon."Mau ke mana?" tanya Shifa. Billy semakin mengerutkan alisnya.Belakangan ini, Shifa jadi semakin ketat padanya, bahkan sudah sampai tahap posesif. Begitu Billy pergi dari pandangannya, Shifa selalu menanyakan hal yang sama .... Mau ke mana?Billy menjawab, "Mau merokok di balkon."Shifa masih tetap tidak mau menyerah. "Untuk apa bawa ponsel kalau cuma mau merokok? Mau telepon siapa?"Billy mulai frustrasi. "Aku mau baca berita, nggak boleh ya? Apa ambil ponsel berarti mau menelepon seseorang? Kalaupun mau telepon, memangnya aku nggak boleh telepon ke kantor untuk nyuruh bawahanku kerja?"Shifa tertawa sembari menggandeng tangannya. "Aku nggak bilang nggak boleh kok, cuma sekadar perhatian padamu ....""Perhatian?" Billy tertawa sinis. "Shifa, perhatianmu ini membuatku nggak punya kebebasan sama sekali!"Senyuman Shifa langsung menjadi kaku.
"Kalau begitu aku ... aku ...." Shifa melirik sekelilingnya sekilas, lalu mengambil sebuah pajangan keramik dari lemari di samping dan mengarahkannya ke perutnya. "Kalau kamu nggak mau kasih, aku akan banting keramik ini!" Billy menatapnya sejenak, lalu menghela napas. "Kamu bersikeras mau lihat ya?" "Ya!" balas Shifa. "Oke." Billy menyerahkan ponselnya. "Lihat saja." Ponsel Billy sangat sederhana. Hanya ada e-mail, beberapa aplikasi berita, dan Whatsapp. Shifa membuka satu per satu aplikasi itu. E-mail Billy hanya berisi pesan dengan bawahan di kantornya. Selain itu, sebagian besar adalah pesan dari adik sepupunya yang menjadi asistennya sekarang, Jeffrey. Aplikasi berita juga tidak ada yang mencurigakan. Billy biasanya hanya membaca bagian keuangan dan semua rekomendasi berita yang terkait dengan ekonomi. Sementara itu di aplikasi Whatsapp .... Pesan paling atas memang berasal dari Erica, dengan nama kontak yang disimpan sebagai "Ibu". [ Ibu: Billy, belakangan ini aku sering
Shifa memutar bola matanya. "Aku adalah pemilik kamar ini!""Secara hukum, Syifa yang pemiliknya.""Itu karena dia terus menunda nggak mau cerai! Kalau nggak, kita pasti sudah daftarin pernikahan dari dulu!"Billy berkata, "Kutanya padamu, selain barang-barang itu, mana buku-buku yang ditinggalkannya?""Oh, maksudmu buku-buku di rak itu? Sudah kujual ke rongsokan.""Apa?!!""Buku-buku itu berat dan menyita banyak tempat. Tadinya aku mau buang bersamaan dengan barang-barang ini. Tapi jadinya harus mengangkatnya sendiri ke lantai bawah. Jadi, aku suruh saja tukang rongsokan untuk datang ke rumah dan jual semuanya."Billy tertawa dengan kesal, "Kamu jual barang-barangnya tanpa menanyakanku sama sekali?""Untuk apa aku tanya padamu?" Shifa mendengus. "Sejak kecil bukannya kamu selalu turutin permintaanku?""Shifa!!!"Ting tong .... Bel pintu berdering. Billy pergi membuka pintu sambil menggertakkan giginya. Orang yang datang ternyata adalah Delon."Pagi, Kak Billy, Kak Shifa!"Billy menge
"Pindahkan kotak di balkon itu ke mobilku."Delon langsung menyisingkan lengan bajunya. "Oke, serahkan masalah fisik padaku. Tenagaku paling banyak!""Selain itu ...." Billy melanjutkan, "Bawa pergi speaker-nya. Nggak boleh taruh di rumah."Delon tertegun sejenak, lalu menatap Billy dan Shifa secara bergantian. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk mendengar perintah Billy dan membujuk Shifa, "Kak Shifa, ucapan Kak Billy memang benar.""Kita nggak boleh cuma mikirin diri sendiri dan nggak pedulikan tetangga lainnya. Begini saja, suruh Kak Billy belikan vila untukmu, biar aku pindahkan speaker ini ke vila kalian. Mau dengar musik sekuat apa pun juga terserah kamu."Shifa jelas tidak mau menerimanya dan terus berdalih. Billy tidak bisa lagi menunggu terlalu lama. "Delon, cepat. Aku buru-buru mau kerja," desaknya."Oke, oke."Hanya dalam sekejap, Delon telah mengangkat kardus dari balkon. "Kak Billy, aku turun duluan. Kutunggu di bawah.""Ya," jawab Billy singkat. Kemudian, dia menoleh pad
Namun, Delon hari ini salah perhitungan. Alih-alih "masuk neraka", dia malah bertemu dengan wanita super cantik hari ini. Wanita cantik itu seharusnya adalah seorang tenaga medis. Dia terus sibuk bekerja di samping mobil donor darah.Dalam balutan gaun berwarna biru langit, lekuk tubuhnya tampak begitu indah dan memukau. Wanita itu berdiri tegak dengan auranya yang elegan dan lembut. Delon langsung memotret wanita itu dan mengirimnya ke grup sahabatnya. Semua orang langsung heboh.[ Astaga, cantik juga wanita ini. Tapi, kenapa cuma kelihatan punggungnya saja? ][ Iya, nih. Delon, coba foto dari depan. ]Delon tertawa sekilas, lalu membalas ke grup.[ Aku cuma mau jaga privasi orang. Kak Shifa ini anak hukum. Siapa pun yang nggak dengar perintah Kak Shifa, siap-siap dipukul sama Kak Billy. ]Begitu mengungkit soal Billy, grup itu langsung jadi hening. Namun, keheningan itu cuma berlangsung sesaat. Sekelompok pemuda yang bersemangat itu sama sekali tidak bisa menahan dorongan naluriah m
Sambil berkata demikian, Delon menunjuk Syifa yang duduk di samping.Lina terkejut. "Hah?""Hah apanya? Seratus orang, setiap orang 400 cc. Itu sudah cukup banyak, 'kan? Biasanya kalian harus keluar berapa kali untuk mengumpulkan 100 orang pendonor?""Sebuah nomor kontak ditukar dengan darah sebanyak itu. Bukankah ini transaksi yang menguntungkan?"Lina masih agak ragu-ragu, "Tapi ... ini nggak baik, 'kan?""Kenapa nggak baik? Kalau nggak bisa, 200 atau 300 orang juga boleh."Lina tersenyum hambar menatap Syifa. "Bu Syifa ...."Syifa bertanya, "Belakangan ini stok darah di rumah sakit benar-benar kekurangan ya?"Lina mengangguk dengan cepat. "Sangat kurang. Akhir-akhir ini di departemen kandungan ada beberapa ibu hamil yang berisiko tinggi, kemungkinan besar mereka akan butuh transfusi darah.""Yang kami khawatirkan, kalau stok nggak cukup, kami harus kirim permintaan ke rumah sakit lain dan waktu perjalanan bisa menunda penyelamatan."Syifa tahu persis siapa para pasien berisiko ting
"Apa ini?""Nomor kontakku."Delon membalik kertas itu dengan kesal. "Akun Tinder?!"Syifa mengangguk. "Ya.""Kamu nggak punya nomor ponsel, WhatsApp, atau e-mail? Memangnya kamu hubungi teman dan rekan kerjamu pakai Tinder?"Syifa berkata dengan pelan, "Kamu nggak bilang dengan jelas mau kontak apaan. Tapi aku bisa jamin, aku akan balas pesanmu kalau aku buka aplikasinya."....Delon hampir meledak saking kesalnya. Sementara itu, Billy sudah terbiasa dengan kehadiran tamu tak diundang ini. Delon lebih muda beberapa tahun darinya. Meski Delon punya kakak di rumah, kakak kandungnya itu belajar ke luar negeri sejak masih kecil dan jarang sekali pulang.Sejak masih bersekolah, Delon selalu mengikuti Billy. Karena itu, dia lebih dekat dengan Billy daripada Dylan.Setelah mendengar ceritanya, Billy tertawa sambil menggeleng. "Bertahun-tahun kamu melukai perasaan wanita. Sekarang akhirnya ketemu wanita yang bisa menaklukkanmu. Bagus sekali.""Bagus apanya? Dia mempermainkanku!"Billy berkat