Delon tertawa hambar, lalu duduk dan menyesap alkohol untuk menutupi kecanggungannya. "Sebenarnya, nggak termasuk menggantung perasaannya juga. Bukannya Kak Shifa dulu selalu bilang Kak Billy adalah teman terbaiknya?""Teman terbaik? Kamu percaya itu?" Yudi mengejek, "Sudah berapa tahun perasaan Kak Billy padanya itu? Aku nggak percaya dia nggak bisa merasakannya sama sekali."Delon memegang gelas dengan kedua tangannya sambil terkekeh-kekeh, tetapi tidak membantah.Yudi menghela napas. "Orang yang paling kasihan dari semua kejadian ini adalah Syifa yang satu lagi. Dia sama sekali nggak tahu telah dianggap sebagai pengganti Kak Shifa.""Kak Billy memperlakukannya dengan baik bukan karena dirinya, tapi karena Kak Shifa. Sekarang Kak Shifa sudah berubah pikiran, dia harus merelakan posisinya. Setelah dipikir-pikir, mengenaskan juga."Delon tertawa terbahak-bahak. "Kenapa? Menikahi Kak Billy menyedihkan baginya? Bukannya dia dapat banyak uang setelah cerai? Hidupnya sudah terjamin selama
Syifa sebenarnya juga merasa agak bersalah. Dia mengambil obat dari Aulia tanpa mendaftar secara resmi. Dengan kata lain, di sistem data rumah sakit, tidak ada catatan bahwa Syifa pernah menjalani aborsi. Jika mengikuti prosedur yang ketat, Aulia bisa dianggap melanggar aturan demi membantunya.Syifa mengernyit. "Kalau diinterogasi sama direktur nanti, kamu lemparkan saja semua kesalahan padaku. Bilang saja aku yang menyuruhmu begitu. Kamu nggak berani membantah karena aku adalah mentormu."Aulia tampak kesulitan. "Bu Syifa, aku ...."Syifa menenangkannya, "Bilang saja begitu, nggak usah takut."Sepuluh menit kemudian, pintu ruangannya diketuk seseorang. Aula membukakan pintu sambil meringkuk, "Pak."Direktur rumah sakit menatapnya sekilas. "Kamu setakut itu sama aku?""Bukan takut. Anda ini direktur rumah sakit, jadi saya hormat pada Anda."Direktur rumah sakit tertawa terbahak-bahak. "Kukira Gen Z biasanya suka semena-mena, ternyata kamu pengecualian ya."Aulia tersenyum sekilas men
Dylan berkata dengan terus terang, "Ya, sebelumnya pernah bertemu di restoran dan kebetulan melihatmu kecelakaan. Jadi, aku mengantarmu ke rumah sakit."Syifa baru merasa tenang mendengarnya. Dia mengira Dylan akan menceritakan soal surat cinta atau sejenisnya ....Idris berkata, "Lebih bagus lagi kalau kalian memang kenal, jadi nggak usah saling beradaptasi lagi. Dengan kemampuan kalian, departemen kandungan ini pasti akan semakin sukses!""Pak Idris ...." Aulia yang berdiri di sudut ruangan bertanya dengan lirih, "Anda cari Bu Syifa karena masalah ini?""Iya, memangnya kenapa? Kinerja Bu Syifa sebagus ini, nggak mungkin aku datang untuk cari masalah, 'kan?"Aulia menghela napas lega. "Baguslah kalau begitu. Kukira ....""Kamu kira apaan?""Nggak apa-apa, haha .... Kukira karena Bu Syifa terlalu hebat, Anda mau mempromosikan dan menaikkan gajinya."Idris mengelus dagunya, lalu berujar, "Sebenarnya aku juga punya rencana seperti itu, tapi masih ragu-ragu. Bagaimanapun, Bu Syifa sudah
Jika disuruh untuk memilih antara pria dan mentornya, Aulia masih tetap memilih mentornya. Dia langsung bergegas mendekati Syifa dan memberikan minuman sambil menepuk pundak Syifa. "Bu Syifa, kenapa makannya buru-buru? Besok baru berangkat untuk ambil donor darah, kok."Syifa tersedak hingga kesulitan berkata-kata. Dia hanya melambaikan tangan. "Nggak ... nggak apa-apa, Cuma agak pedas.""Minum supnya sedikit." Dylan menyerahkan sebuah termos ke hadapan Syifa. "Ini sup ayam goji berry. Untuk menghangatkan tubuh dan penambah darah.""Kamu beli dari luar?"Kantin rumah sakit tidak menyediakan sup serumit ini, bisa menyediakan sup rumput laut saja sudah patut disyukuri."Aku masak sendiri." Dylan melanjutkan, "Kamu minum pelan-pelan saja. Ada yang mau kubicarakan sama Pak Idris, nanti aku kembali untuk ambil termosnya."Dylan tersenyum dan pergi dengan tenang, meninggalkan Syifa yang masih kalut sembari mengunyah makanannya.Aulia menutupi wajahnya, lalu mendekati Syifa dengan ekspresi h
"Bu Syifa ....""Tenang saja, aku nggak akan suruh kamu kembalikan. Aku cuma mau foto."Aulia ragu-ragu sejenak, lalu memberikan biskuit itu pada Syifa. "Kamu mau beli juga? Bu Syifa, biskuit ini memang enak sekali dan nggak bisa bikin gemuk. Makanya laris manis sekali. Susah sekali untuk beli biskuit ini ...."Setelah Syifa selesai mengambil gambar, Aulia langsung buru-buru merebut biskuit itu."Tenang saja, aku nggak akan suruh kamu kembaliin."Aulia baru merasa lega. "Baguslah. Bu Syifa mau beliin kasih aku ya? Huhuhu, kamu baik sekali."Syifa mengulurkan tangan untuk menahan Aulia yang hendak memeluknya. Kemudian, dia berbisik, "Oke, kamu sudah membantuku menanggung risiko dalam kejadian sebelumnya. Memang seharusnya aku berterima kasih padamu. Kutraktir biskuit selama setengah tahun.""Asyik!!"Berhubung kaki Syifa masih kesulitan untuk berjalan, Aulia membantu memapahnya hingga ke pintu rumah sakit dan mengantarkannya hingga ke taksi. Setelah duduk di taksi, Syifa mengirimkan fo
Saat melihat tangkapan layar yang dikirimkan oleh Yudi, dahi Billy langsung mengernyit. Dia mengambil kotak rokok, lalu berjalan ke arah balkon."Mau ke mana?" tanya Shifa. Billy semakin mengerutkan alisnya.Belakangan ini, Shifa jadi semakin ketat padanya, bahkan sudah sampai tahap posesif. Begitu Billy pergi dari pandangannya, Shifa selalu menanyakan hal yang sama .... Mau ke mana?Billy menjawab, "Mau merokok di balkon."Shifa masih tetap tidak mau menyerah. "Untuk apa bawa ponsel kalau cuma mau merokok? Mau telepon siapa?"Billy mulai frustrasi. "Aku mau baca berita, nggak boleh ya? Apa ambil ponsel berarti mau menelepon seseorang? Kalaupun mau telepon, memangnya aku nggak boleh telepon ke kantor untuk nyuruh bawahanku kerja?"Shifa tertawa sembari menggandeng tangannya. "Aku nggak bilang nggak boleh kok, cuma sekadar perhatian padamu ....""Perhatian?" Billy tertawa sinis. "Shifa, perhatianmu ini membuatku nggak punya kebebasan sama sekali!"Senyuman Shifa langsung menjadi kaku.
"Kalau begitu aku ... aku ...." Shifa melirik sekelilingnya sekilas, lalu mengambil sebuah pajangan keramik dari lemari di samping dan mengarahkannya ke perutnya. "Kalau kamu nggak mau kasih, aku akan banting keramik ini!" Billy menatapnya sejenak, lalu menghela napas. "Kamu bersikeras mau lihat ya?" "Ya!" balas Shifa. "Oke." Billy menyerahkan ponselnya. "Lihat saja." Ponsel Billy sangat sederhana. Hanya ada e-mail, beberapa aplikasi berita, dan Whatsapp. Shifa membuka satu per satu aplikasi itu. E-mail Billy hanya berisi pesan dengan bawahan di kantornya. Selain itu, sebagian besar adalah pesan dari adik sepupunya yang menjadi asistennya sekarang, Jeffrey. Aplikasi berita juga tidak ada yang mencurigakan. Billy biasanya hanya membaca bagian keuangan dan semua rekomendasi berita yang terkait dengan ekonomi. Sementara itu di aplikasi Whatsapp .... Pesan paling atas memang berasal dari Erica, dengan nama kontak yang disimpan sebagai "Ibu". [ Ibu: Billy, belakangan ini aku sering
Shifa memutar bola matanya. "Aku adalah pemilik kamar ini!""Secara hukum, Syifa yang pemiliknya.""Itu karena dia terus menunda nggak mau cerai! Kalau nggak, kita pasti sudah daftarin pernikahan dari dulu!"Billy berkata, "Kutanya padamu, selain barang-barang itu, mana buku-buku yang ditinggalkannya?""Oh, maksudmu buku-buku di rak itu? Sudah kujual ke rongsokan.""Apa?!!""Buku-buku itu berat dan menyita banyak tempat. Tadinya aku mau buang bersamaan dengan barang-barang ini. Tapi jadinya harus mengangkatnya sendiri ke lantai bawah. Jadi, aku suruh saja tukang rongsokan untuk datang ke rumah dan jual semuanya."Billy tertawa dengan kesal, "Kamu jual barang-barangnya tanpa menanyakanku sama sekali?""Untuk apa aku tanya padamu?" Shifa mendengus. "Sejak kecil bukannya kamu selalu turutin permintaanku?""Shifa!!!"Ting tong .... Bel pintu berdering. Billy pergi membuka pintu sambil menggertakkan giginya. Orang yang datang ternyata adalah Delon."Pagi, Kak Billy, Kak Shifa!"Billy menge