Billy menarik napas dalam-dalam dan mengiakan. "Oke."Kemudian, Billy hendak melangkah masuk. Shifa malah menghentikannya. "Sebentar. Kenapa kamu terlihat begitu enggan?""Aku sudah menuruti keinginanmu," ujar Billy."Ya, tapi kamu terlihat terpaksa sekali. Kamu nggak benar-benar menuruti keinginanku," komentar Shifa."Memangnya kamu mau aku gimana? Tersenyum?" Billy menunjuk ke sekeliling dan bertanya, "Kamu lihat itu? Semua orang sedang merekam kita. Seharusnya wajahku akan muncul di berita sebentar lagi.""Masalah mengemudi dalam keadaan mabuk belum selesai, tapi sekarang aku datang ke restoran secara terang-terangan. Mungkin polisi akan mencariku nanti. Kamu sedang hamil, jadi paling-paling bakal diantar pulang. Sementara itu, aku akan diinterogasi."Shifa sontak merasa panik. "Aku ....""Kamu juga tahu seperti apa keadaan Grup Aditama belakangan ini. Karena adik sepupumu, aku jadi rugi dan kehilangan klien besar. Nilai saham perusahaan terus menurun. Kalau masalah ini masuk berit
Syifa diantar ke rumah sakit. Dokter bedahnya adalah Dokter Irvin yang familier dengannya. Setelah melakukan pemeriksaan, Irvin berkata, "Nggak apa-apa, cuma terkilir dan luka luar. Aku akan meresepkanmu obat untuk melancarkan peredaran darah. Jangan terkena air selama seminggu." "Terima kasih," ucap Syifa. "Sama-sama. Kalian berdua, siapa yang mau ikut aku ambil obat?" tanya Irvin. Prilly langsung bangkit, tetapi Dylan jauh lebih cepat darinya. Dylan berpesan kepada Prilly, "Kamu temani Syifa, aku yang pergi." Karena Syifa bekerja di rumah sakit ini, dia tidak pergi ke departemen bedah dan hanya memanggil Irvin ke ruangannya. Prilly berjongkok untuk memeriksa kaki Syifa. Sesudahnya, dia berdecak dan bertanya, "Dasar kamu ini. Dia ingin membunuhmu, ngapain kamu menolongnya?" Syifa tersenyum getir sambil membalas, "Aku nggak berniat menolongnya kok." "Kamu masih bisa bilang begitu? Aku sudah dengar semuanya. Kamu bisa saja kabur, tapi malah mengadang mobil untuk pelakor itu," uca
Sebelum Erica selesai berbicara, seseorang menghubungi Syifa lagi. Itu adalah nomor tak dikenal. Syifa mengira ada pasien gawat darurat, jadi buru-buru berpamitan dengan Erica dan menjawab panggilan.Alhasil, Syifa terkejut mendengar suara di ujung telepon. "Halo, Bu Syifa. Kami dari kantor polisi Kota Hadam."Ketika tiba di kantor polisi, Syifa berjalan dengan pincang. Seorang polisi wanita yang melihatnya bergegas maju untuk memapahnya dan bertanya, "Kamu baik-baik saja?""Ya, aku baik-baik saja. Aku datang untuk membebaskan Billy," sahut Syifa."Kamu siapanya Pak Billy?" tanya polisi wanita itu.Syifa tidak tahu harus bagaimana menjelaskan hubungannya dengan Billy. Menurut hukum, mereka belum sah bercerai sehingga masih suami istri. Namun, faktanya hubungan mereka tidak berbeda dengan orang asing.Tiba-tiba, Billy keluar dari sebuah ruangan di samping. Seorang polisi pria melihat Syifa terpincang-pincang, jadi bertanya kepada polisi wanita itu, "Dia mau melaporkan kejahatan?""Dia
Billy terdiam sejenak, lalu mengangguk dan berkata, "Aku nggak nyangka kamu akan menolongnya."Syifa tersenyum sambil membalas, "Sebenarnya aku nggak berniat menolongnya."Billy tidak memahami maksudnya. Dia berujar, "Kamu seorang dokter. Mungkin tugas menolong orang sudah merasuk ke dalam jiwamu. Aku nggak akan melupakan topan yang terjadi nggak lama setelah kita menikah. Kamu tetap pergi ke rumah sakit untuk menolong pasien.""Dilupakan saja. Untuk apa mengingat hal-hal nggak berguna seperti itu?" sela Syifa."Aku nggak akan melupakannya." Billy mengembuskan napas panjang dan meneruskan, "Maaf sudah membuat lelucon sebesar itu.""Maksudmu Shifa?" tanya Syifa."Ya." Billy mengiakan."Itu bukan lelucon, sama sekali nggak lucu," sindir Syifa.Billy menyunggingkan bibirnya dan terkekeh-kekeh dengan canggung. "Belakangan ini ada banyak masalah yang terjadi. Aku sampai malu menghadapi keluargaku.""Aku nggak bisa mengomentari hidupmu. Yang bisa kulakukan hanya memberimu doa," sahut Syifa.
Syifa berkata, "Aku ingin beli rumah."Billy memahaminya. Syifa khawatir jika membelinya sekarang, rumah itu akan menjadi aset selama pernikahan."Jangan dengarkan omong kosong Shifa," ujar Billy."Dia nggak bicara omong kosong. Aku sudah memeriksa aturan pernikahan. Kenyataannya memang seperti itu," sahut Syifa.Billy berucap, "Kukira ... ada pria yang mengejarmu.""Kita masih suami istri di mata hukum. Selain itu, aku juga nggak pernah menyukai pria mana pun. Setelah cerai, aku akan hidup bebas seperti dulu," timpal Syifa.Billy tersenyum getir dan berkata, "Selama ini, kukira kamu wanita lembut yang butuh perlindungan orang lain. Tapi belakangan ini, aku baru sadar kalau kamu cukup galak.""Terus terang saja, kalau cinta sejatimu itu tahu aturan dan bersikap masuk akal, aku nggak akan berkomentar apa pun. Aku akan merestui hubungan kalian. Yang penting dia nggak menindasku dan bisa bicara baik-baik denganku.""Sebenarnya dia bisa saja mencariku dan menceritakan seperti apa masa lal
"Usianya baru cuma sebulan. Bentuknya masih sel kecil. Mana mungkin dia merasa sakit?" jawab Syifa."Gimana denganmu? Apa kamu merasa sakit?" tanya Billy.Syifa termangu. Billy meneruskan, "Aku sudah memikirkannya. Kamu pergi jam 7 pagi lewat. Waktu aku sampai di rumah sakit, sudah jam 4 sore lewat dan kamu baru melakukan aborsi. Apa mungkin kamu memberiku kesempatan terakhir selama 8 jam itu atau proses aborsi memang selama itu?"Syifa menunduk dan berkata, "Aku nggak sengaja meninggalkan dompetku di kamar hotel. Sebenarnya setelah Shifa pulang, aku sudah punya firasat. Nggak peduli seperti apa prosesnya, hasilnya sudah pasti kita cerai dan dia kembali ke sisimu.""Waktu di resor hari itu, aku mendengar semua omongan kalian di balkon. Jujur saja, aku bukan malaikat. Setelah mendengar semua itu, aku ingin segera pergi dan menjauh dari kalian. Aku nggak ingin melihat kalian lagi. Makanya, dompetku ketinggalan."Billy hanya menunduk. Tatapannya terlihat hampa. Entah apa yang dia pikirka
Polisi wanita itu terkekeh-kekeh lagi dan berkata, "Kenapa kami memanggilnya dan bukan memanggilmu? Masa kamu nggak mengerti?"Shifa menggigit bibirnya dengan kesal dan membalas, "Nggak apa-apa. Lain kali kalian panggil aku saja."Polisi wanita itu sungguh kehabisan kata-kata dibuatnya Shifa. Dia bertanya, "Jadi, kamu berharap Pak Billy ditahan polisi lagi?"Shifa akhirnya tidak bisa merespons. Apalagi, lawan bicaranya adalah seorang polisi. Dia berani bertindak semena-mena di luar, tetapi tidak akan berani menentang polisi. Jadi, Shifa mengubah targetnya menjadi Syifa."Bu Syifa." Shifa menghampiri dengan senyuman tipis dan berujar, "Maaf sudah merepotkanmu hari ini. Billy kurang suka mengobrol dengan orang asing. Aku yang akan menggantikannya berterima kasih kepadamu. Tolong dimaklumi ya."Syifa berdiri di tempatnya sambil memegang dinding. Dia benar-benar tidak ingin berinteraksi dengan wanita ini. Jika kakinya tidak terluka, dia pasti sudah kabur sejak tadi dan tidak akan mendenga
Shifa seperti orang yang kehilangan akal sehat. Dia memukul Billy tanpa henti. Karena khawatir terjadi sesuatu pada anak di kandungannya, Billy hanya bisa mengadang dengan satu tangan dan menjulurkan tangan yang satu lagi untuk melindunginya agar tidak terjatuh.Saking kuatnya pukulan Shifa, kacamata Billy sampai terjatuh. Polisi wanita itu tidak tahan lagi. Dia menghardik, "Cukup! Kalau mau berkelahi, di rumah saja! Jangan menggila di kantor polisi!"Shifa duduk di lantai dan membelakangi Billy. Dia berkata dengan kesal, "Aku nggak mau ikut dia pulang!"Billy merapikan pakaiannya, lalu menarik napas dalam-dalam dengan lelah dan bertanya, "Sudah cukup melampiaskan amarahmu?""Belum! Asal kamu tahu, masalah ini belum selesai!" pekik Shifa.Billy menunduk dan menurunkan lengan bajunya yang digulung sambil berucap, "Ya sudah. Kalau begitu, aku pergi dulu.""Billy! Kamu berani meninggalkanku sendirian di luar? Aku hamil! Kalau terjadi sesuatu padaku ...." Sebelum Shifa selesai berbicara,