Tangan Billy membeku di udara. Setelah terdiam cukup lama, dia menarik tangannya dan berkata, "Aku cuma ingin memastikan kamu terluka atau nggak.""Cuma luka ringan. Sebaiknya kamu periksa Shifa. Temanku sudah datang," ujar Syifa.Prilly dan Dylan akhirnya tiba. Prilly memapah Syifa, lalu memastikan dia tidak berdarah. Kemudian, dia bertanya, "Kamu terluka nggak?"Syifa menggeleng dan berkata, "Prilly, sepertinya kita nggak jadi makan di sini.""Ya sudah, nggak apa-apa. Aku seharusnya mendengar nasihatmu tadi. Kalau nggak, nggak mungkin terjadi hal semacam ini," ucap Prilly."Kamu bisa jalan?" tanya Dylan."Agak susah," jawab Syifa.Dylan berjongkok untuk memeriksa kaki Syifa. Hari ini Syifa mengenakan rok sepanjang mata kaki sehingga Dylan tidak bisa melihat dengan jelas. Dylan meminta izin dulu, lalu menjulurkan tangan untuk mengangkat rok Syifa sedikit."Jangan di sini." Syifa langsung menghentikan. "Kita pergi dari sini dulu. Jangan menghalangi jalan di sini."Dylan pun bangkit, la
Billy merasa ada yang aneh dengan situasi ini. Dia menatap Shifa sambil bertanya, "Bukannya perutmu sakit? Ayo, aku bawa kamu ke rumah sakit.""Billy!" Shifa langsung bangkit dengan penuh semangat. "Kamu dengar itu? Mereka bilang akan mengatur ruang privat untuk kita! Kita bahkan bisa makan gratis!""Perutmu sudah nggak sakit?" tanya Billy sambil tersenyum dingin."Tadi sakit, sekarang sudah enakan," sahut Shifa."Apa yang kamu katakan pada mereka?" tanya Billy."Nggak ada, aku cuma menakuti mereka sedikit. Kalau terjadi sesuatu padaku di sini, jangan harap restoran mereka masih bisa beroperasi. Restoran ini sangat ramai setiap hari. Kalau ditutup, mereka rugi besar dong," timpal Shifa.Billy menatap Shifa yang menjelaskan "keuntungan" yang didapatkannya dengan penuh antusiasme. Semua ini membuat Billy merasa sangat asing pada Shifa."Ayo, Billy, kita pergi makan," ujar Shifa yang hendak merangkul lengan Billy.Billy langsung menghindar dan berkata, "Kamu yang makan saja. Aku nggak pun
"Aku nggak salah dalam hal ini. Syifa memang berniat jahat. Aku sudah memperjelas semuanya di rumah sakit hari itu. Masa dia belum paham? Sekarang sebulan sudah berlalu, tapi kalian belum sah bercerai." "Hari ini, dia bahkan datang ke restoran cuma untuk bertemu kamu. Huh! Jangan kira aku nggak tahu isi pikirannya. Aku sudah melihat banyak wanita seperti ini! Kalau nggak memberinya pelajaran, dia akan mengira aku mudah ditindas!" pekik Shifa. "Oke." Billy berbalik dan berkata, "Kamu makan saja sendiri. Aku pulang dulu." "Billy, berhenti!" perintah Shifa. Billy menghentikan langkah kakinya untuk sesaat. Kemudian, dia bergegas menuju ke tempat parkir. "Billy! Kalau kamu berani maju lagi, aku akan menabrakkan diriku ke mobil! Aku akan membuatmu menyesal seumur hidup!" seru Shifa. Billy tidak menanggapi. Shifa pun melanjutkan, "Jangan kira aku nggak berani! Kalian lepaskan aku! Aku mau bunuh diri!" Drama yang baru saja berakhir kembali menggemparkan kerumunan. Semua ini karena sikap
Billy menarik napas dalam-dalam dan mengiakan. "Oke."Kemudian, Billy hendak melangkah masuk. Shifa malah menghentikannya. "Sebentar. Kenapa kamu terlihat begitu enggan?""Aku sudah menuruti keinginanmu," ujar Billy."Ya, tapi kamu terlihat terpaksa sekali. Kamu nggak benar-benar menuruti keinginanku," komentar Shifa."Memangnya kamu mau aku gimana? Tersenyum?" Billy menunjuk ke sekeliling dan bertanya, "Kamu lihat itu? Semua orang sedang merekam kita. Seharusnya wajahku akan muncul di berita sebentar lagi.""Masalah mengemudi dalam keadaan mabuk belum selesai, tapi sekarang aku datang ke restoran secara terang-terangan. Mungkin polisi akan mencariku nanti. Kamu sedang hamil, jadi paling-paling bakal diantar pulang. Sementara itu, aku akan diinterogasi."Shifa sontak merasa panik. "Aku ....""Kamu juga tahu seperti apa keadaan Grup Aditama belakangan ini. Karena adik sepupumu, aku jadi rugi dan kehilangan klien besar. Nilai saham perusahaan terus menurun. Kalau masalah ini masuk berit
Syifa diantar ke rumah sakit. Dokter bedahnya adalah Dokter Irvin yang familier dengannya. Setelah melakukan pemeriksaan, Irvin berkata, "Nggak apa-apa, cuma terkilir dan luka luar. Aku akan meresepkanmu obat untuk melancarkan peredaran darah. Jangan terkena air selama seminggu." "Terima kasih," ucap Syifa. "Sama-sama. Kalian berdua, siapa yang mau ikut aku ambil obat?" tanya Irvin. Prilly langsung bangkit, tetapi Dylan jauh lebih cepat darinya. Dylan berpesan kepada Prilly, "Kamu temani Syifa, aku yang pergi." Karena Syifa bekerja di rumah sakit ini, dia tidak pergi ke departemen bedah dan hanya memanggil Irvin ke ruangannya. Prilly berjongkok untuk memeriksa kaki Syifa. Sesudahnya, dia berdecak dan bertanya, "Dasar kamu ini. Dia ingin membunuhmu, ngapain kamu menolongnya?" Syifa tersenyum getir sambil membalas, "Aku nggak berniat menolongnya kok." "Kamu masih bisa bilang begitu? Aku sudah dengar semuanya. Kamu bisa saja kabur, tapi malah mengadang mobil untuk pelakor itu," uca
Sebelum Erica selesai berbicara, seseorang menghubungi Syifa lagi. Itu adalah nomor tak dikenal. Syifa mengira ada pasien gawat darurat, jadi buru-buru berpamitan dengan Erica dan menjawab panggilan.Alhasil, Syifa terkejut mendengar suara di ujung telepon. "Halo, Bu Syifa. Kami dari kantor polisi Kota Hadam."Ketika tiba di kantor polisi, Syifa berjalan dengan pincang. Seorang polisi wanita yang melihatnya bergegas maju untuk memapahnya dan bertanya, "Kamu baik-baik saja?""Ya, aku baik-baik saja. Aku datang untuk membebaskan Billy," sahut Syifa."Kamu siapanya Pak Billy?" tanya polisi wanita itu.Syifa tidak tahu harus bagaimana menjelaskan hubungannya dengan Billy. Menurut hukum, mereka belum sah bercerai sehingga masih suami istri. Namun, faktanya hubungan mereka tidak berbeda dengan orang asing.Tiba-tiba, Billy keluar dari sebuah ruangan di samping. Seorang polisi pria melihat Syifa terpincang-pincang, jadi bertanya kepada polisi wanita itu, "Dia mau melaporkan kejahatan?""Dia
Billy terdiam sejenak, lalu mengangguk dan berkata, "Aku nggak nyangka kamu akan menolongnya."Syifa tersenyum sambil membalas, "Sebenarnya aku nggak berniat menolongnya."Billy tidak memahami maksudnya. Dia berujar, "Kamu seorang dokter. Mungkin tugas menolong orang sudah merasuk ke dalam jiwamu. Aku nggak akan melupakan topan yang terjadi nggak lama setelah kita menikah. Kamu tetap pergi ke rumah sakit untuk menolong pasien.""Dilupakan saja. Untuk apa mengingat hal-hal nggak berguna seperti itu?" sela Syifa."Aku nggak akan melupakannya." Billy mengembuskan napas panjang dan meneruskan, "Maaf sudah membuat lelucon sebesar itu.""Maksudmu Shifa?" tanya Syifa."Ya." Billy mengiakan."Itu bukan lelucon, sama sekali nggak lucu," sindir Syifa.Billy menyunggingkan bibirnya dan terkekeh-kekeh dengan canggung. "Belakangan ini ada banyak masalah yang terjadi. Aku sampai malu menghadapi keluargaku.""Aku nggak bisa mengomentari hidupmu. Yang bisa kulakukan hanya memberimu doa," sahut Syifa.
Syifa berkata, "Aku ingin beli rumah."Billy memahaminya. Syifa khawatir jika membelinya sekarang, rumah itu akan menjadi aset selama pernikahan."Jangan dengarkan omong kosong Shifa," ujar Billy."Dia nggak bicara omong kosong. Aku sudah memeriksa aturan pernikahan. Kenyataannya memang seperti itu," sahut Syifa.Billy berucap, "Kukira ... ada pria yang mengejarmu.""Kita masih suami istri di mata hukum. Selain itu, aku juga nggak pernah menyukai pria mana pun. Setelah cerai, aku akan hidup bebas seperti dulu," timpal Syifa.Billy tersenyum getir dan berkata, "Selama ini, kukira kamu wanita lembut yang butuh perlindungan orang lain. Tapi belakangan ini, aku baru sadar kalau kamu cukup galak.""Terus terang saja, kalau cinta sejatimu itu tahu aturan dan bersikap masuk akal, aku nggak akan berkomentar apa pun. Aku akan merestui hubungan kalian. Yang penting dia nggak menindasku dan bisa bicara baik-baik denganku.""Sebenarnya dia bisa saja mencariku dan menceritakan seperti apa masa lal