Sebulan berlalu sebelum Syifa mendengar informasi tentang Billy dan Shifa lagi. Prilly datang ke rumah sakit dan khusus mendaftar sebagai pasien. Ketika melihat bahwa pasien yang masuk adalah sahabatnya, Syifa langsung bertanya dengan kaget, "Kamu hamil?" Prilly menutup pintu dengan punggung tangannya, lalu menepuk perutnya sambil tersenyum. "Kamu benaran hamil?" tanya Syifa makin panik. "Heheh! Jangan khawatir, yang ada di perutku ini hanya gosip, bukan janin," gurau Prilly. Dia duduk di seberang Syifa dan langsung bercerita, "Perusahaan Billy lagi dalam masalah besar, lho!" "Untuk apa kamu kasih tahu aku? Aku nggak paham masalah bisnis," ucap Syifa dengan datar. "Kamu tahu apa masalahnya?" tanya Prilly. Melihat Syifa diam saja, Prilly pun menjawab sendiri pertanyaannya, "Shifa mulai menggila. Dia buat keributan besar di perusahaan dengan menuduh sekretaris Billy merayu Billy. Satu perusahaan langsung heboh." Syifa mengingat-ingat sejenak sebelum bertanya, "Linda?" "Aku nggak
Syifa tidak punya energi untuk mengulik lebih jauh tentang apa yang terjadi pada Billy dan Shifa. Mendengar nama kedua orang itu tidak terlalu mengganggunya sekarang."Baik atau buruk, ini pilihannya sendiri. Asalkan dia merasa semua itu sepadan," ucap Syifa.Prilly membalas dengan sinis, "Sepadan? Aku nggak yakin Billy merasa ini sepadan. Semua yang terjadi belakangan ini hampir membuat Billy jadi bahan tertawaan orang-orang. Biar kuberi tahu ...."Syifa langsung menyela sahabatnya, "Tunggu, aku harus balik kerja dulu. Masih banyak pasien yang menunggu di luar."Prilly merasa sedikit bersalah karena sadar sudah mengambil waktu berobat pasien. Namun, nafsu bergosipnya terlalu besar.Akhirnya, Prilly berdiri dan berkata, "Aku tunggu di kantormu, ya."Sayangnya, hari ini Syifa kedatangan banyak pasien. Setelah lewat pukul 7 malam, dia baru sempat kembali ke kantor."Akhirnya datang juga," ucap Prilly sambil berdiri.Syifa memegangi pinggangnya sambil meringis dan berkata, "Maaf membuatm
"Haha! Menggelikan sekali, 'kan? Ini pertama kalinya aku ketemu orang seperti Billy. Mau bilang dia bodoh, tapi dia mampu mengelola perusahaan yang begitu sukses. Mau bilang dia nggak bodoh, tapi dia sudi melakukan hal setolol itu," ujar Prilly.Syifa berkata, "Mungkin karena cinta."Prilly mendengus dan berucap, "Aku gagal paham, sebenarnya apa yang Billy sukai dari Shifa? Permintaan wanita itu benar-benar keterlaluan!"Menurut Syifa, Shifa bisa bersikap seperti itu karena Billy memanjakannya."Intinya, tanggung jawab atas hal ini tetap akan ditimpakan ke Billy. Mantan ibu mertuamu sampai pingsan karena marah. Semua orang di lingkaran sosial juga sudah mengetahui hal ini," kata Prilly."Oh," sahut Syifa pendek.Prilly berkata, "Oh? Apa kamu nggak senang mendengar ini? Ayo jalan, kita rayakan hal ini. Waktu itu kita nggak jadi makan di restoran terkenal itu, kita ke sana lagi saja."Syifa menggeleng dan menyahut, "Restoran itu terlalu ramai, lagi pula kita pasti harus menunggu meja. K
Setibanya di sana, Syifa dan Prilly berbagi tugas. Syifa mencari tempat duduk, sedangkan Prilly mengambil nomor antrean.Restoran ini adalah restoran barat. Syifa merasa tempat ini bisa menjadi terkenal karena banyak tempat bagus untuk berfoto. Adapun rasa makanan, sepertinya agak kurang.Di depan pintu masuk, terpajang sebuah kereta labu. Banyak pemuda dan anak-anak yang berbaris untuk berfoto.Namun, sepertinya ada perselisihan yang terjadi di salah satu kereta labu itu. Dari kejauhan, Syifa mendengar suara yang nyaring, tetapi familier. "Kenapa anak muda seperti kalian begitu nggak tahu aturan? Kalian nggak tahu harus mengutamakan wanita hamil?"Di belakang, terlihat pula sesosok yang familier. Sama seperti biasa, tubuh pria itu tampak tegap. Namun, sepertinya dia menjadi agak kurus. Gelang yang membuat penampilannya makin berwibawa juga tidak dipakai lagi.Syifa mendapati lengan baju pria itu menjadi agak longgar. Mungkin pria itu tidak memakainya lagi karena kelonggaran.Shifa me
Prilly kebingungan. Dia bertanya, "Pria itu sudah punya istri, tapi gadis itu masih memotretnya?""Istri pria itu hamil. Istrinya tunggu di kursi, pria itu mengambil nomor antrean. Makanya, gadis itu nggak tahu kalau dia sudah punya istri.""Setelah tahu, dia langsung menghapus foto pria itu dan minta maaf dengan istrinya. Aku bisa lihat sikapnya sangat tulus kok. Dia gadis yang baik," jelas wanita itu."Ya sudah, berarti nggak ada masalah lagi. Setelah tahu, dia langsung minta maaf dan hapus foto. Kurang apa lagi? Namanya juga dia nggak tahu," ucap Prilly."Benar. Tapi, wanita itu nggak mau menerima permintaan maafnya. Dia mencari masalah sampai ke kereta labu, bahkan mengejarnya untuk memakinya. Dia bilang gadis itu ingin merayu suaminya. Sebenarnya gadis itu juga nggak ingin bertengkar dengannya, makanya dia pergi berfoto.""Tapi, wanita itu ngotot mencari masalah. Mentang-mentang dia lagi hamil, dia menyuruh orang mengalah padanya. Sebenarnya tujuannya cuma untuk memaki gadis itu
Prilly langsung menarik Syifa menerobos kerumunan dan berdiri di barisan paling depan. Begitu melihat Billy dan Shifa, Prilly pun terkejut. Dia menoleh menatap Syifa dan bertanya, "Kamu sudah melihat mereka sejak tadi?"Syifa hanya bisa mengangguk dengan tidak berdaya. Prilly tertawa sambil berkata, "Lucu sekali! Bukannya Billy menyukai wanita gila itu selama 20 tahun? Kenapa dia malah terpana dengan gadis yang auranya mirip denganmu?"Syifa tidak merespons. Di sisi lain, Shifa seperti pistol yang terus menembakkan peluru. Dia memaki staf yang bertanggung jawab atas pemeriksaan nomor antrean. Untungnya, staf itu pria, jadi tidak mungkin menangis.Ketika melihat kejadian ini, orang-orang di sekitar pun bergosip."Restoran ini memang sangat terkenal. Sebelum datang, dia pasti tahu bakal ramai, 'kan? Kalau nggak mau mengantre, ngapain datang? Masa mau menyerobot antrean? Lucu sekali.""Makanya! Dia terus mengatakan wanita hamil harus diutamakan. Lihat dulu gayanya, dia kelihatan penuh en
Shifa tergelak dan mengejek, "Bu Syifa, katakan saja kalau kamu belum bisa melepaskannya. Ini bukan hal yang memalukan kok. Nggak usah keras kepala begini.""Dari aspek mana kamu merasa aku belum bisa melepaskannya?" Nada bicara Syifa tidak terdengar menyerang, melainkan sangat tenang.Syifa kurang pintar berdebat, tetapi tidak akan membiarkan orang menindasnya. Dia bukan wanita lemah yang membiarkan orang menginjak-injak harga dirinya.Ini pertama kalinya Syifa berbicara begitu kepadanya. Sebelumnya memang ada konfrontasi, tetapi Syifa selalu bersikap lembut.Jadi, Shifa termangu sejenak. Kemudian, dia menyunggingkan senyuman pemenang dan bertanya, "Sudah sebulan kita nggak jumpa. Waktu itu kamu bilang mau beli rumah. Apa sudah beli?""Atau uangmu belum cukup? Wajar saja. Kamu masih muda, apalagi harga rumah sekarang sangat mahal. Pekerja yang mengandalkan gaji sepertimu nggak mungkin bisa membeli rumah secepat itu.""Setelah berpisah dari Billy, kamu pasti nggak punya tempat tinggal
Suasana di dalam sangat ramai. Staf di sini termasuk banyak, tetapi masih tidak cukup. Semuanya tampak sibuk dan kewalahan.Prilly membawa Syifa duduk di sebuah meja kosong, lalu mendengus dan berkata, "Sial sekali. Kita cuma keluar untuk makan, malah bertemu sampah masyarakat!"Dylan duduk di seberang kedua wanita itu. Dia bertanya, "Prilly, kalian kenal Jane?"Prilly termangu sejenak sebelum bertanya balik, "Siapa?""Wanita hamil tadi," sahut Dylan."Oh, biarkan saja dia. Dia wanita gila," timpal Prilly.Dylan menyerahkan menu kepada kedua wanita itu dan berkata, "Kalian saja yang pesan."Prilly mengambilnya sambil berujar, "Aku saja. Aku sudah mencari tahu di internet, jadi tahu semua hidangan khusus mereka. Aku nggak bakal salah pilih.""Syifa, gimana denganmu?" tanya Dylan."Bebas, apa pun boleh," sahut Syifa."Apa ada makanan yang nggak kamu suka?" tanya Dylan lagi."Nggak ada, aku makan semuanya," jawab Syifa.Dylan mendorong kacamatanya sambil tersenyum manis. "Itu artinya, ka