Setibanya di sana, Syifa dan Prilly berbagi tugas. Syifa mencari tempat duduk, sedangkan Prilly mengambil nomor antrean.Restoran ini adalah restoran barat. Syifa merasa tempat ini bisa menjadi terkenal karena banyak tempat bagus untuk berfoto. Adapun rasa makanan, sepertinya agak kurang.Di depan pintu masuk, terpajang sebuah kereta labu. Banyak pemuda dan anak-anak yang berbaris untuk berfoto.Namun, sepertinya ada perselisihan yang terjadi di salah satu kereta labu itu. Dari kejauhan, Syifa mendengar suara yang nyaring, tetapi familier. "Kenapa anak muda seperti kalian begitu nggak tahu aturan? Kalian nggak tahu harus mengutamakan wanita hamil?"Di belakang, terlihat pula sesosok yang familier. Sama seperti biasa, tubuh pria itu tampak tegap. Namun, sepertinya dia menjadi agak kurus. Gelang yang membuat penampilannya makin berwibawa juga tidak dipakai lagi.Syifa mendapati lengan baju pria itu menjadi agak longgar. Mungkin pria itu tidak memakainya lagi karena kelonggaran.Shifa me
Prilly kebingungan. Dia bertanya, "Pria itu sudah punya istri, tapi gadis itu masih memotretnya?""Istri pria itu hamil. Istrinya tunggu di kursi, pria itu mengambil nomor antrean. Makanya, gadis itu nggak tahu kalau dia sudah punya istri.""Setelah tahu, dia langsung menghapus foto pria itu dan minta maaf dengan istrinya. Aku bisa lihat sikapnya sangat tulus kok. Dia gadis yang baik," jelas wanita itu."Ya sudah, berarti nggak ada masalah lagi. Setelah tahu, dia langsung minta maaf dan hapus foto. Kurang apa lagi? Namanya juga dia nggak tahu," ucap Prilly."Benar. Tapi, wanita itu nggak mau menerima permintaan maafnya. Dia mencari masalah sampai ke kereta labu, bahkan mengejarnya untuk memakinya. Dia bilang gadis itu ingin merayu suaminya. Sebenarnya gadis itu juga nggak ingin bertengkar dengannya, makanya dia pergi berfoto.""Tapi, wanita itu ngotot mencari masalah. Mentang-mentang dia lagi hamil, dia menyuruh orang mengalah padanya. Sebenarnya tujuannya cuma untuk memaki gadis itu
Prilly langsung menarik Syifa menerobos kerumunan dan berdiri di barisan paling depan. Begitu melihat Billy dan Shifa, Prilly pun terkejut. Dia menoleh menatap Syifa dan bertanya, "Kamu sudah melihat mereka sejak tadi?"Syifa hanya bisa mengangguk dengan tidak berdaya. Prilly tertawa sambil berkata, "Lucu sekali! Bukannya Billy menyukai wanita gila itu selama 20 tahun? Kenapa dia malah terpana dengan gadis yang auranya mirip denganmu?"Syifa tidak merespons. Di sisi lain, Shifa seperti pistol yang terus menembakkan peluru. Dia memaki staf yang bertanggung jawab atas pemeriksaan nomor antrean. Untungnya, staf itu pria, jadi tidak mungkin menangis.Ketika melihat kejadian ini, orang-orang di sekitar pun bergosip."Restoran ini memang sangat terkenal. Sebelum datang, dia pasti tahu bakal ramai, 'kan? Kalau nggak mau mengantre, ngapain datang? Masa mau menyerobot antrean? Lucu sekali.""Makanya! Dia terus mengatakan wanita hamil harus diutamakan. Lihat dulu gayanya, dia kelihatan penuh en
Shifa tergelak dan mengejek, "Bu Syifa, katakan saja kalau kamu belum bisa melepaskannya. Ini bukan hal yang memalukan kok. Nggak usah keras kepala begini.""Dari aspek mana kamu merasa aku belum bisa melepaskannya?" Nada bicara Syifa tidak terdengar menyerang, melainkan sangat tenang.Syifa kurang pintar berdebat, tetapi tidak akan membiarkan orang menindasnya. Dia bukan wanita lemah yang membiarkan orang menginjak-injak harga dirinya.Ini pertama kalinya Syifa berbicara begitu kepadanya. Sebelumnya memang ada konfrontasi, tetapi Syifa selalu bersikap lembut.Jadi, Shifa termangu sejenak. Kemudian, dia menyunggingkan senyuman pemenang dan bertanya, "Sudah sebulan kita nggak jumpa. Waktu itu kamu bilang mau beli rumah. Apa sudah beli?""Atau uangmu belum cukup? Wajar saja. Kamu masih muda, apalagi harga rumah sekarang sangat mahal. Pekerja yang mengandalkan gaji sepertimu nggak mungkin bisa membeli rumah secepat itu.""Setelah berpisah dari Billy, kamu pasti nggak punya tempat tinggal
Suasana di dalam sangat ramai. Staf di sini termasuk banyak, tetapi masih tidak cukup. Semuanya tampak sibuk dan kewalahan.Prilly membawa Syifa duduk di sebuah meja kosong, lalu mendengus dan berkata, "Sial sekali. Kita cuma keluar untuk makan, malah bertemu sampah masyarakat!"Dylan duduk di seberang kedua wanita itu. Dia bertanya, "Prilly, kalian kenal Jane?"Prilly termangu sejenak sebelum bertanya balik, "Siapa?""Wanita hamil tadi," sahut Dylan."Oh, biarkan saja dia. Dia wanita gila," timpal Prilly.Dylan menyerahkan menu kepada kedua wanita itu dan berkata, "Kalian saja yang pesan."Prilly mengambilnya sambil berujar, "Aku saja. Aku sudah mencari tahu di internet, jadi tahu semua hidangan khusus mereka. Aku nggak bakal salah pilih.""Syifa, gimana denganmu?" tanya Dylan."Bebas, apa pun boleh," sahut Syifa."Apa ada makanan yang nggak kamu suka?" tanya Dylan lagi."Nggak ada, aku makan semuanya," jawab Syifa.Dylan mendorong kacamatanya sambil tersenyum manis. "Itu artinya, ka
Ketika membahas masalah ini, alis Dylan tampak berkerut. "Dia menangani kasus itu sampai setengah, lalu tiba-tiba pulang ke negaranya. Kasus ini diserahkan ke pengacara lain." "Aku cuma dokter yang bertanggung jawab atas penyelamatan waktu itu. Aku mengeluarkan akta kematian. Jadi, kasus ini nggak ada kaitannya denganku. Waktu aku pulang, kasus ini juga belum selesai." "Kinerja orang-orang di luar negeri memang lambat. Tsk, tsk," keluh Prilly. Dylan tersenyum ringan dan berkata, "Tapi, aku punya kesan mendalam terhadap Jane ini." "Kenapa?" tanya Prilly. "Ini tentang kehidupan pribadinya. Aku menghormati privasinya, jadi nggak akan membocorkannya dulu," balas Dylan. Prilly mencebik dan bergumam, "Sudah pasti bukan hal baik." Dylan hanya tersenyum sebagai isyarat mengiakan. Sesaat kemudian, seorang staf menghampiri. "Permisi ...." "Nasi goreng nenas kalian habis lagi? Aku tahu nasi goreng nenas kalian sangat terkenal. Nggak apa-apa kalau habis," ujar Prilly. Staf menggeleng dan
Billy tersenyum kaku sambil berkata, "Linda ... sudah mengundurkan diri." Syifa baru teringat bahwa Linda telah dipecat oleh Shifa. Sekarang sekretaris Billy adalah adik sepupu Shifa. "Kalau begitu, kamu utus saja pengacara perusahaanmu. Suruh dia temui aku di pengadilan negeri," sahut Syifa. "Syifa." Billy mengembuskan napas panjang sebelum berucap, "Aku bersalah padamu ... dan anak kita." "Yang berlalu biarkan berlalu. Untuk apa dibahas lagi?" Syifa menatap Shifa dan bertanya, "Sekarang kamu sudah bisa tenang, 'kan?" Shifa memicingkan mata dan berujar, "Kuharap kamu nggak menarik kata-katamu kembali." "Kalau nggak, suruh Billy buat surat kuasa untukmu saja. Biar kita berdua yang mengurus prosedur cerai bersama. Lagian, kamu juga pengacara. Kamu pasti merasa lebih tenang kalau mengambil alih masalah ini," usul Syifa. "Boleh saja. Sebenarnya nggak perlu serepot itu. Soalnya setelah mengurus prosedur cerai, aku dan Billy akan langsung mengambil akta nikah. Kita selesaikan semuany
"Maafkan aku, Syifa ...," ucap Billy lagi. "Kamu memang bersalah padaku. Tapi, selain itu, apa kamu nggak bisa mengucapkan kalimat lain?" tanya Syifa. Billy menggertakkan giginya. Dia menelan ludah sebelum membalas, "Beri aku sedikit waktu untuk mengatasi semuanya." "Kuharap kamu menepati janjimu. Jangan sampai teman terbaikmu itu mengganggu kehidupanku lagi," sindir Syifa. Billy menarik lengan Shifa dan hendak membawanya pergi. Namun, Shifa melawan dengan kuat dan berteriak, "Apa yang kamu lakukan? Billy, aku nggak bakal pergi! Aku mau makan di sini!" "Kamu masih bisa makan? Aku sudah kehilangan Syifa dan anakku demi kami. Aku harus gimana lagi supaya kamu puas?" bentak Billy. Karena tidak bisa menang melawan Billy, Shifa langsung duduk di kursi. Dia menunjuk Billy sambil memekik, "Billy, setelah mendapatkanku, kamu jadi nggak tahu cara menghargaiku?" "Belakangan ini, aku memang merasa kamu sangat aneh! Aku tahu kamu terpana melihat gadis itu. Semua ini karena dia mirip dengan w