Pria di hadapanku terdiam. Sepatah kata pun tak terucap dari pria yang masih berstatus suamiku itu. Pria yang cukup tampan dan populer yang dulu pernah menggetarkan hatiku. Kini? Tidak lagi. "Kenapa diam, Mas?! Bicaralah! Apa ada yang salah dengan ucapanku?"Hatiku tak lagi merasakan getaran aneh seperti dulu, seperti saat kami pertama kali bertemu. Hatiku tanpa ku sadari membunuh segala rasa yang dulu pernah ia rasakan. Tak ada lagi perasaan cinta kepada pria ini, bahkan kepada pria lain. Mati rasa! Namun, karena status ku yang masih seorang istri dari Raka Prayoga, sebisa mungkin aku masih melayani apa pun keperluannya. Ingin rasanya aku menolak. Akan tetapi aku masih takut akan bayang-bayang dosa yang tiada terkira. “Kamu gak perlu menjelaskan apa pun lagi, Mas. Toh, aku gak lagi melarang kamu berhubungan dengan dia atau wanita lain? Bukankah itu cukup untukmu? Atau masih ada yang kurang?” Aku memendam semua emosiku sedalam-dalamnya. Tak ingin pria itu betapa perihnya sakit
Setelah cukup stalking wanita yang “dekat” dengan suamiku itu, aku memutuskan untuk menghibur diriku.Aku memilih mengalihkan perhatianku dengan membaca komik atau manhwa di salah satu aplikasi online yang aku instal di ponsel pintarku. Setidaknya pikiranku tak melulu berisi rencana pembalasan mereka yang mengkhianati ku.Kalau boleh jujur, sebenarnya aku sangat malas memperpanjang urusan itu. Namun, aku perlu kejelasan status, apakah putus atau terus.Tak mungkin ‘kan kalau hubungan kami mengambang dan tak memiliki ujung?Kehidupan rumah tanggaku tak seindah kelihatannya. Orang lain mungkin berpikir kalau biduk rumah tangga kami baik-baik saja. Tanpa terdengar percekcokan di dalamnya. Namun, siapa sangka, aku yang juga lengah, tak mengira kalau sebenarnya pernikahan kami tak wajar.Mas Raka memang seorang pria pendiam, irit bicara, dan lebih suka membuktikan kesungguhannya dengan tindakannya.Namun, apa kini seperti itu juga?***"Yang, kaos kaki aku di mana?" tanya Mas Raka pagi itu
Aku melirik ke arah Mas Raka yang buru-buru meraih ponselnya. Ia tampak berusaha menyembunyikan pesan itu dariku.“Aku ke kamar dulu,” ucapnya memberitahuku.Ia beranjak meninggalkan meja makan tanpa menunggu jawabanku.Aku menahan tremor tanganku yang mendadak hadir tanpa sebab. Lutut ku juga merasa lemas. Sekuat tenaga aku menumpu badan dengan tanganku, meraih tempat duduk yang berada tak jauh dari jangkauan ku.Tanpa terasa, bulir bening jatuh melawati pipi. Tubuhku bergetar, tak sanggup menahan emosi yang saat ini membuncah tak terkendali. Ingin ku marah atas semua kebohongan yang dilakukan oleh suamiku itu. Tapi aku tak berdaya."Mama kenapa nangis?" Suara Delisa menyadarkanku yang larut dalam perasaanku sendiri.Gadis kecil itu baru saja turun dari kamarnya. mungkin dia sudah merasa lapar karena aku tak kunjung membawakannya makanan."Mama tidak apa-apa, Sayang. Delisha sudah lapar ya? Sini duduk di sini, Mama suapin," ucapku mengajak gadis kecil itu majan malam."Mama jangan se
"Mama, Ayo main," ucap Delisha membuyarkan lamunanku.Aku tersenyum ditengah rasa kalut yang kini menyelimuti hatiku."Delisha mau ikut Mama, nggak?" tawarku pada Delisha.Gadis kecil itu kemudian menganggukkan kepalanya. "Kita mau ke mana, Ma?""Kita jalan-jalan yuk!" ajakku.Gadis mungil itu bersorak riang mendengar ajakanku. Aku memang jarang sekali mengajak Delisha pergi jalan-jalan akhir-akhir ini. Tak heran kalau dia begitu senang dan antusias saat aku ajak pergi.Aku meraih tasku, membawa serta Delisha. Aku memutuskan untuk menyusul suamiku ke kantornya. Entah mengapa instingku mengatakan ada sesuatu yang tak beres.Usai mengunci pintu rumah, taksi online yang aku pesan tiba. Gegas aku masuk ke dalam kendaraan beroda empat itu dan duduk di dalamnya dengan Delisha yang berada dalam pangkuan."Mau diantar ke mana, Bu?" tanya sang sopir dari balik kemudi.“Ke PT Samudera, Pak,” jawabku.Sopir itu mengangguk singkat. Dengan kecepatan sedang mobil melaju membawa kami ke perusahaan
Sepanjang perjalanan pulang, suasana sangat hening. Hanya sesekali terdengar embusan napas kasar dari “Kalau Ibu capek, bisa istirahat saja. Perjalanan masih cukup jauh,” ujar sopir itu sembari tersenyum. Aku hanya mengangguk. Namun, aku tak lagi memejamkan mataku meski aku merasa kantuk mulai menyerang. Aku harus terjaga. Aku yang tadinya berniat istirahat sebentar dalam mobil, terpaksa mengurungkan niat. Aku berulang kali memergoki pria itu melihat ke arahku melalui kaca spion tengah. Hal itu cukup membuatku tak nyaman. Apa ada yang aneh dariku sehingga pria itu menatapku seperti itu?Atau jangan-jangan, sopir itu memiliki niat tak baik terhadapku? "Ibu ngga perlu khawatir. Saya akan mengantar ke tempat tujuan dengan selamat. Saya ngga tega aja lihat ibu kecapekan," ujar sopir taksi itu menatapku melalui kaca tengah mobil."Iya, Pak. Terima kasih," sahutku sekenanya.Aku tak pulang ke rumah di mana Mas Raka dan aku sebelumnya tinggal. Sengaja aku ingin melihat bagaimana reaksiny
'Zhy, apa kamu sudah tidur?' sebuah pesan kembali masuk ke dalam ponselku.'Kalau begitu, selamat malam!'Tak kubalas pesan dari orang yang mengaku bernama Dika itu. Aku mengabaikan dan menganggap itu hanyalah sebuah pesan dari orang iseng saja.Pada akhirnya aku memilih untuk menghapus pesan dari orang yang mengaku sebagai Dika itu. Itu lebih baik, membatasinya sebelum menjadi sebuah petaka.Aku masih menatap layar ponsel yang selalu aku lihat beberapa menit sekali. Membuka profil Mas Raka, berharap pria itu online.Berkali-kali ku scroll layar aplikasi berwarna hijau itu sembari membaca pesan-pesan dari Mas Raka yang telah lalu, kembali mengingat bagaimana mesranya kami bertukar pesan.Aku masih tetap menunggu pria itu menanyakan keberadaan ku. Namun, ternyata semua itu hanyalah angan ku. Mas Raka sama sekali tak menghubungiku dan tak mengkhawatirkan ku sama sekali.“Ternyata dia memang benar-benar tak lagi mengingatku. Tak peduli aku ada di mana,” gumam ku.Ponselku akhirnya ku le
"Bantuan apa yang kau maksud?"Dika tampak menautkan kedua alisnya. Melihat seorang pria yang baru melewati gerbang rumah, mendekat ke arah kami yang sebelumnya berbicara empat mata."Kamu siapa?" tanya Dika kepada pria itu."Bukan urusan kamu menanyakan siapa aku. Kamu belum menjawab pertanyaan ku sebelumnya," ujar pria itu dengan tegas.Aku hanya menyimak percakapan dua orang pria yang ada di hadapanku. Tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah. Aura persaingan begitu tampak dari dua orang itu. Hanya saja, apa yang sedang mereka perebutkan? Aku? Aku 'kan bukan siapa-siapa mereka?Lucu dan aneh!"Aku adalah teman Zizi. Sementara kamu, siapa?" tanya Dika akhirnya."Aku Rafa. Teman dan orang kepercayaan Zizi selama ini," sahut Rafa memberi penekanan di setiap kalimatnya."Oh," singkat Dika.Aku membulatkan kedua mataku. Mendengar jawaban Andika yang sangat amat singkat, aku merasa sedikit aneh.Bagaimana tidak?kepalaku terasa seolah seperti sedang dipaksa berpikir. apakah kata 'o
'Kembalilah! Pulang ... kalau kamu tak ingin menjadi seorang ibu yang buruk bagi Delisha'Sebuah pesan dari Mas Raka tanpa sadar membuatku hampir melempar ponsel yang masih menyala. Bisa-bisanya dia mengirim pesan itu. Dari mana dia mendapatkan foto-foto itu? Itu bukanlah sebuah foto rekayasa atau editan.Apa mungkin dia menguntit ku?'Kalau kamu ingin tahu dari mana aku mendapatkannya, pulanglah!'Kembali sebuah pesan diterima benda pipih yang sedang kupegang. Haruskah aku kembali?Tidak! Aku tak ingin kembali padanya. Bukankah aku hanya perlu menyingkirkan foto yang dimiliki oleh Mas Raka atau mencari tahu dari mana sumber asalnya?"Mama?" Entah sejak kapan Delisha sudah berada di dekatku. Gadis kecil itu merengek meminta diperhatikan. Kedua matanya masih tampak sayu karena rasa kantuk yang mungkin belum hilang."Mama jangan marah-marah," celetuk gadis kecilku. Setelahnya dia memelukku dengan erat.Aku meraih gadis kecilku dalam gendongan, mencium pipinya yang chubby dan menggemaskan