"Hentikan, Raf!" ucapku berusaha menghentikan Rafa dengan ucapannya yang tak berdasar.Namun, pemuda itu menoleh. Rafa menatapku dengan kedua alisnya yang terangkat. Mungkin dia merasa kalau aku menghentikan apa yang ia lakukan karena aku masih mencintai Mas Raka.Rafa mengakhiri panggilan suara dengan Mas Raka begitu saja. Samar aku mendengar Mas Raka mengumpat cukup keras sebelum tombol merah itu ditekan oleh Rafa."Apa ada yang salah?" tanya Rafa tanpa sedikit pun merasa bersalah.Aku hanya diam menatapnya tajam. Perkataannya tadi kepada Mas Raka bisa membuat orang lain salah paham. Apalagi dia berkata tentang pengadilan, perceraian, rujuk, orang lain dan juga menyebutkan bahwa dirinya salah satu orang lain itu. Apa-apaan?!"Apa ... kamu masih mencintainya? Sehingga kamu tak terima aku berkata demikian?" selidik RafaTidak!Aku sudah mati rasa dan tak memiliki cinta untuk Mas Raka yang telah menghadirkan sebuah pengkhianatan ke hadapanku. Sedikit pun tak ada rasa yang tersisa untuk
Aku melihat pria itu berjalan menghampiri kami di ruang tamu. Entah mengapa aku merasa sedikit lucu. Mengapa tuan rumahnya kini menjadi tamunya dan sang tamu menjadi tuan rumahnya?"Silakan minumannya," ucapnya santai sembari meletakkan nampan berisi minuman di hadapan kami.Kebetulan aku dan Delisha tengah duduk di atas lantai, bergurau beberapa saat sembari menunggu Dika yang tengah menyiapkan minuman tadi."Ini kita sebenarnya kebalik ngga sih?" Ucapku berusaha mencairkan kecanggungan.Sungguh, aku masih merasa malu karena bersikap ketus padanya beberapa waktu lalu. Meski demikian dia malah memperlakukan kami dengan begitu baik bahkan membawakan hadiah untukku dan Delisha."Ya, mau bagaimana lagi, aku tak ingin merepotkan mu. Maaf jika kurang sopan," ucapnya sembari tersenyum simpul."Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, ada apa kamu bertamu?"Kulihat Dika mengembuskan napas kasar. Setelahnya ia membenarkan posisi duduknya agar lebih tegak sebelum kemudian menatapku dengan wajah seriusn
"Apa? Bagaimana mungkin kamu pemiliknya? Jangan bercanda," aku nyaris tertawa kalau tak melihat ekspresi Dika yang tak berubah.Wajahnya tampak meyakinkan saat mengatakan kalau dirinya adalah pemilik sebuah perusahaan. Dan itu sama sekali di luar dugaan. Aku tak terlalu banyak mengingat tentang pria ini. Karena saat kami satu sekolah dulu, Dika adalah laki-laki pendiam dan seorang kutu buku. Bahkan dulu seringkali menjadi bulan-bulanan siswa lainnya karena Dika tak pernah melawan."Aku benar-benar serius, Zi. Kamu akan mengetahuinya besok. Jadi, datanglah. Barangkali kamu akan mendapatkan tontonan bagus sebagai kejutannya," ucap Dika santai."Baiklah, ini undangannya, bukan?" tanyaku memastikan. Aku mengangkat sebuah kartu berwarna merah berhiaskan warna emas di beberapa bagiannya.Dari tampilan kertas itu saja sudah bisa dipastikan kalau itu bukan sembarang undangan. Aku bisa mencium bau kertas mahal apalagi saat menyentuh bagian berkilau itu yang tak biasa."Tak semua orang bisa men
"Acaranya masih nanti. Tolong jangan terlalu rajin," ucapku seraya menekan tombol hijau pada layar ponsel setelahnya.Sungguh aku merasa kesal dengan sikap Dika yang mulai seenaknya. Acara pesta itu akan dimulai pukul tujuh malam. Tapi dia memintaku untuk berdandan. Aku menolak dengan tegas karena itu akan sangat merepotkan."Mbak," sapa salah seorang perempuan yang terlihat sedikit takut usai mendengar omelanku pada Dika."Iya, Mbak? Ada apa?" tanyaku berubah ramah."Em ... Itu ... Kalau misal Mbak Zizi ngga mau di-make up sekarang, ngga apa-apa kok. Tapi, kami diminta untuk melakukan perawatan tubuh untuk Mbak Zakia dari ujung kepala hingga kaki," ucap perempuan itu lagi.Aku hanya bisa tersenyum dan menuruti perkataan mbak-mbak tadi. Daripada nanti mereka yang kena marah. Bagaimanapun juga ini adalah pekerjaan mereka.Dengan sigap, mereka menyiapkan beragam perlengkapan untukku melakukan perawatan tubuh di rumah. Meski berlebihan, nyatanya mereka hampir memindahkan semua peralatan
"Ada apa ini?" Kudengar suara Dika dari kejauhan membuat pria itu mengalihkan pandangan.Pemandangan di sana membuatku tak percaya. Pria yang tak lain Mas Raka, yang datang dengan seorang wanita itu tampak tunduk dan hormat kepada Dika. Dia tak berkutik dan hanya menundukkan kepalanya sesekali tersenyum canggung seperti antara atasan dan bawahan? Bagaimanapun aku mencoba untuk memahami kejadian di depan sana, aku tetap tak bisa mengerti.Aku memilih menghampiri mereka. Tak mungkin aku membiarkan anakku melihat pertengkaran dua orang dewasa di sana. Meski itu tak terlihat seperti sebuah pertengkaran sih. Tapi tetap saja, Delisha akan mengerti. Apalagi sejak awal tadi gadis kecilku itu ketakutan dan menatap heran kepada ayahnya sendiri yang membawa wanita lain."Zizi?" Bisa kudengar jelas Mas Raka menggumamkan namaku. Sepertinya dia sangat terkejut dengan kedatanganku di sana."Lama tak bertemu, Mas," sapaku sembari tersenyum.Tak mungkin aku berpura-pura tak tahu sementara sosok pria be
"jangan bercanda!" Refleks aku tertawa mendengar perkataan Dika.Pernyataannya terdengar seperti candaan. Terlebih dia mengucapkannya dengan tampang kaku dan serius menatap jalanan di hadapannya. Dia mengucapkannya seolah tanpa beban. Mana mungkin aku bisa percaya?Siapa sangka Dika menepikan mobilnya. Beruntung jalanan tak terlalu ramai sehingga tak ada bunyi klakson sebagai protes dari yang lain karena Dika mendadak memotong jalan. Hanya aku yang protes karena tindakannya yang mengejutkan."Aku serius!" ucapnya setelah mobil benar-benar berhenti dan menepi.Dia menatapku, mengunci diriku dalam pandangannya. Kucoba memberanikan diri beradu pandang dengannya, melihat kemungkinan kebohongan yang mungkin ada di matanya. Namun, tak kutemukan itu. Sorot matanya bahkan kini membuatku semakin terpaku. Dia ... Serius mengajakku menikah?Aku mengalihkan pandangan, tak ingin menatapnya terlalu dalam."Beri aku waktu untuk menjawabnya. Aku tak mungkin bisa menerima kamu karena kamu tahu sendiri
"Tidak disangka kamu sudah sebesar ini. Semakin cantik dan dewasa," puji perempuan paruh baya itu.Aku pun mengernyit. Perkataannya seolah kami kenal sangat lama. Padahal dalam kepalaku sama sekali tak pernah ada ingatan tentangnya. Siapa dia?"Ah, maaf. Namaku Laili. Kamu bisa memanggilku bibi atau tante atau Ibu Laili. Senyaman kamu saja," jawab perempuan itu memperkenalkan diri seolah bisa membaca pikiranku.Wanita anggun itu pun mengulurkan tangannya ke arahku dan kusambut uluran tangan beliau dengan penuh hormat. Dari tutur katanya saja sudah bisa terlihat bagaimana karakternya. Dia begitu lembut, elegan dan bagiku luar biasa."Saya Zhyvanna," sahutku canggung.Dia pun tersenyum dan mengangguk."Bagaimana harimu? Aku cukup lama mencarimu. Dan baru mendengar kabar tentangmu ... Maaf kalau aku mengorek informasi pribadimu dan membuatmu tak berkenan," papar Bu Laili menyesal."Tidak masalah, Bu. Terima kasih sudah memberikan atensinya kepada saya. Akan tetapi, apa kita pernah bertem
"Mau apa kamu ke sini?""Di mana Delisha?" tanya pria yang seenaknya nyelonong masuk ke dalam rumahku.Siapa lagi yang tak sopan seperti itu jika bukan mantan suamiku, Raka. Entah bagaimana caranya dia bisa datang ke sini tanpa permisi."Untuk apa kamu mencari Delisha?"Aku berusaha menghentikan Mas Raka yang terus berusaha mencari Delisha yang tengah beristirahat saat ini. Entah apa yang akan dilakukannya pada anak sekecil itu. Mengingat hal yang terjadi saat pesta, membuatku khawatir Mas Raka akan menyakiti Delisha yang masih belum tahu apa-apa."Duduklah. Kita bicarakan baik-baik," pintaku berusaha membujuknya.Pria itu pun menurut lalu berjalan menuju ruang tamu dan mendaratkan bobot tubuhnya di satu-satunya sofa panjang di sana. Dia dengan santainya bersandar dan menyilangkan kedua kakinya, menatapku dengan angkuh, tak seperti Mas Raka yang ku kenal dulu."Ada apa kamu mencari Delisha. Dan bagaimana bisa kamu menemukanku di sini?""Itu bukan hal yang susah untuk mencarimu, Zi," u