"Mana Delisha?" Aku bergegas menghampiri pria yang tadi pagi pergi berkeliling dengan putriku. Dia tampak menunduk dengan wajah sedih yang baru pertama kali aku lihat."Maaf, Zi. Maaf aku lalai. Delisha ... Dia pergi—""Jangan bercanda, Rafa! Katakan! Ke mana putriku?!" sentakku tatkala Rafa hendak menyentuh lenganku.Aku bergegas menemui Rafa yang tadi tiba-tiba menelepon. Padahal tadi pagi ku titip putriku padanya. Dan bisa-bisanya dia berkata putriku pergi? Anak sekecil itu memang bisa pergi ke mana?"Katakan dengan jelas ke mana perginya putriku, Rafa!!" Aku kembali meninggikan suaraku. Sungguh aku tak ingin terjadi sesuatu dengan putriku satu-satunya."Dia dibawa ayahnya pergi," ucap Rafa menunduk tajam. "Maafkan aku, Zi. Maaf."Pria itu mengulang kata maaf dengan kepala yang tertunduk. Jelas dia merasa bersalah. Dan aku tahu pasti apa yang membuatnya seperti itu. Bagaimanapun, tadi Rafa berhadapan dengan ayah kandung Delisha yang lebih berhak membawa putri kecilku bermain diband
"Anda siapa?" Kini Dika bersuara.Tatapan tajam pria itu membuat Bu Norma yang hampir membuat gaduh tampak panik. Dia merasa terintimidasi oleh Dika yang memang sangat tegas kepada orang lain yang tidak dia suka."S-saya tetangganya Mbak Zizi. Kamu siapa?" ucap Bu Norma menanyai Dika balik. Mungkin Bu Norma sering melihat Dika ke sini. Tapi dia tidak tahu siapa Dika sebenarnya."Sepertinya ... Aku melewatkan sesuatu," ucap Dika berjalan mendekat ke Arah Bu Norma yang berdiri di dekat gerbang.Pria itu mengayunkan kakinya dengan santai, menatap Bu Norma dengan mata elangnya, membuat wanita julid itu sedikit bergetar saat berjalan mundur beberapa langkah."Apa terjadi sesuatu, Zi?" tanya Dika yang tiba-tiba menoleh ke arahku."Bukan masalah besar. Tadi sudah beres kok," sahutku."Saya akan lapor Pak RT!" ucap Bu Norma yang lantas kabur meninggalkan area rumahku.Hingga beberapa jam berlalu, tak ada tanda-tanda Bu Norma akan kembali mendatangi kami. Aku pun tidak terlalu peduli karena ak
"Tidak bisakah kita berdamai, Zi?" tanya Mas Raka saat kami sudah duduk berhadapan.Ingin rasanya aku tertawa mendengar apa yang dia katakan. Berdamai? Yang benar saja! Berdamai seperti apa yang dia maksudkan? Bukankah keputusan ini adalah hal terbaik?"Maksudnya?" tanyaku singkat.Kulihat pria itu menyandarkan punggungnya ke kursi yang dia duduki. Bisa ku pastikan saat ini dia juga menyilangkan kedua kakinya. Dia pun menatapku santai, dengan senyum aneh yang bagiku sangat mengerikan."Tidak bisakah kamu kembali bersamaku, memperbaiki semuanya lagi, Zi? Aku berjanji, aku akan menjadi suami dan ayah yang baik. Aku-""Mas!" Aku menyela perkataannya sebelum semakin melantur ke mana-mana. Aku yakin omongannya tidak dapat dipercaya. Karena aku sudah mengenal seorang Raka dengan baik. Berkali-kali aku memaafkannya, tapi dia tak pernah menunjukkan keseriusannya untuk berubah."Aku tak butuh janji-janji yang selalu kamu lontarkan. Kamu sudah terlalu banyak mengumbar janji. Tapi, pernahkah kam
“Yang, tolong siapin baju, ya? Mas sebentar lagi mau ada acara dengan teman-teman, Mas,” ucap suamiku pagi itu.Belum sempat aku mengeluarkan suara, suamiku kembali berkata, “Kamu di rumah aja. Soalnya acaranya sampai malam. Kasihan Delisha kalau ikut. Takut capek.”Pria itu kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi. Suara gemercik air, terdengar dari balik pintu ruangan yang tak terlalu besar di samping kamar itu. Rutinitas pagi hari yang sibuk, membuatku tak terlalu ambil pusing dengan sikap Mas Raka, suamiku. Aku melanjutkan kegiatan memasak untuk sarapan pria itu dan juga putri kecilku yang masih tertidur di dalam kamar.Orang-orang mengenalku sebagai Zhyvanna Amira, mantan desainer muda di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor pakaian jadi ini memiliki seorang suami bernama Raka Prayoga. Banyak orang yang mengatakan bahwa aku beruntung karena memiliki seorang suami yang baik dan penyayang. Apalagi pekerjaannya adalah seorang manajer keuangan di salah satu perusah
“Sampai kapan pun aku tak akan menceraikanmu. Aku tak ingin anakku menjadi anak broken home yang tak memiliki keluarga utuh!” tegas Mas Raka.“Tak ingin menjadikan anakmu menjadi anak broken home katamu?! Lucu sekali! Apa kamu ngga pernah mikir, Mas? Kamu sendiri yang lebih dulu membuat anak kita sebagai calon anak broken home!!” ucapku meninggi.Perkataannya sungguh sangat lucu. Apa dia tak menyadari kesalahannya?Mas Raka kemudian berlalu ke luar kamar kami. Ditutupnya pintu kamar dengan sedikit kasar. Jam sudah menunjukkan pukul empat subuh. Langit gelap perlahan mulai terang. Pertengkaran singkat di pagi itu menjadi awal dari keretakan rumah tanggaku dimulai. Kedua kakiku terasa lemas. Masih tak menyangka, suamiku yang sebelumnya lembut dan hangat kepadaku, kini berubah menjadi seorang pemarah. Kenapa dia berubah? Apa yang salah?Aku terduduk sembari menangis. Mendengar seruan azan yang menggema dari masjid yang tak jauh dari rumah.Aku menguatkan kedua kakiku untuk melangkah ke
“Tega kamu, Mas!” gumam ku di sela tangis yang mulai pecah. Mas Raka memilih untuk pergi. Meninggalkanku yang masih menahan bendungan air yang dalam hitungan detik akan membuat aliran sungai deras melewati kedua pipiku. Aku bangkit dan berjalan menuju kran air di dapur. Ku basuh wajahku agar penglihatan ku yang sedikit buram menjadi lebih cerah.Selera makan kini telah sirna. Aku merapikan sisa masakan di atas meja dan memasukkannya ke arah kulkas. Berjaga-jaga takut suamiku akan merasa lapar saat malam hari seperti biasanya.Ah, di saat seperti ini aku masih memikirkan dia?Kukira hanya ada di televisi atau novel-novel online yang sering aku baca. Ternyata kehidupanku kini tak jauh berbeda dengan apa yang dikisahkan orang lain dalam cerita. Apakah aku terlalu terbawa suasana dan mendalami karakter? Tidak! Ini nyata! Aku bergegas menuju kamar. Berharap suamiku akan kembali ke kamar kami seperti malam-malam sebelumnya. Kubuka pintu kamarku perlahan. Takut ia terganggu dengan suara p
“Te-terima kasih,” ucap Mas Raka.Aku menghampiri suamiku yang kini tengah terduduk di ruang tengah membawakan dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap panasnya. Lalu aku letakkan dua cangkir teh itu di atas meja kecil di hadapannya.Bisa kulihat raut wajahnya yang gugup. Berulang kali ia membetulkan posisi duduknya yang sepertinya tak nyaman. Padahal biasanya kami menghabiskan waktu berdua bersenda gurau di sana sebelumnya.“Katakan apa yang akan kamu katakan,” ucapku berusaha setenang mungkin.“Semua itu gak seperti yang kamu pikirkan, Zhy.”“Lalu?”“Semalam aku memang berada di sana. Tapi itu tak seperti yang kamu pikirkan.” Ucap suamiku.Aku menyesap tehku yang mulai menghangat. Aku membiarkan dia panik. Aku hanya akan mendengarkan penjelasan darinya. Tak berniat untuk mengonfrontasinya terlebih dahulu. Aku masih belum mendapatkan bukti yang kuat untuk menekannya. “Kamu yang membuat aku sangat marah semalam. Bukankah kamu yang seharusnya meminta maaf padaku terlebih dahulu?”H
"Sudah selesai?" tanya Mas Raka saat aku baru kembali dari toilet.Pria itu menyambutku, memintaku duduk di sampingnya. Sementara di sisi lain, Shakila duduk berhadapan dengan kami..Wanita yang memiliki tubuh proporsional itu benar-benar sangat memukau. Gestur tubuh dan tutur kata nya membuat orang lain kagum dengan wanita yang bernama Shakila itu.“Emm, ngomong-ngomong, kamu tinggal di mana, Ki?”Aku melihat wanita itu tersentak. Pertanyaan ku seolah membuyarkan lamunannya. Ada yang salah kah?Aku berusaha berpikiran positif. Sedari tadi aku melihat wanita itu memang tampak fokus dengan makanannya. Mungkin saja itu yang menyebabkan ia terkejut.“E-eh, gimana Zi?” ulang wanita itu.“Kamu tinggal di mana?” aku mengulang pertanyaan ku lagi.“Aku tinggal di Jalan Cempaka. Gak terlalu jauh dari sini. Dan memang aku biasa makan di sini. Walau gak sering, sih. Kalau sering, ya rugi aku,” jawabnya diiringi tawa canggung.Dilihat dari wajahnya, perempuan itu tampak polos. Dia lebih suka diam