"A-Aku-""Aku memang mau ke sini karena ada yang mau aku diskusikan denganmu perihal bisnis kita," potong Rafa cepat."Kalau kamu?" Aku kini menoleh kepada Dika, menanti jawaban pemuda itu akan alasan apa yang membuatnya datang ke rumahku."Emm, a-aku hanya sekadar lewat. Ya, aku tadi cuma lewat," ucapnya setengah gugup.Aku menganggukkan kepalaku. Tak ingin memperpanjang tentang alasan mereka. Aku mempersilakan mereka duduk. Sementara aku hendak menuju dapur untuk membawakan mereka minuman. Tapi mereka menolak. Mereka memintaku untuk diam dan duduk saja, beristirahat."Kami bisa ambil sendiri," ucap Rafa yamg dijawab anggukan oleh Dika.'Tumben mereka berdua kompak,' batinku.Aku hanya bisa menurut saja. Lagipula kepalaku masih cukup pusing untuk menghadapi dua orang pria dewasa ini."Delisha," ucapku lirih.Aku khawatir Delisha terbangun dan terganggu dengan keributan saat ini. Meski tak seberisik saat kedatangan Raka, tetap saja dua orang pria ini cukup membuat suasana tenang menja
"Kalian? Ngapain itu dibawa juga?" Aku tak habis pikir dengan tingkah dua orang ini. Mereka yang tadinya ribut, kini mendadak akur. Benar-benar jelmaan Tom dan Jerry kartun. Namun, ini versi manusia. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat keanehan mereka. Padahal beberapa menit lalu mereka masih beradu pendapat, dan kini malah memiliki pemikiran yang sama. Dan anehnya, itu perihal makanan. "Sayang kalau dianggurin. Mubadzir kalau ngga diabisin. Iya nggak?" kata Rafa sembari menyenggol lengan Dika. Dika pun mengangguk cepat mengiyakan perkataan Rafa. "Lumayan 'kan buat cemilan selama perjalanan. Bisa hemat juga buat jajan," ungkap Dika tak kalah konyol. What?! Pria sekelas Dika yang tergolong orang kaya berpikir penghematan untuk jajan gorengan? Tunggu! Apa aku sedang bermimpi? Dua pemuda itu semakin hari semakin aneh dan menyebalkan. Terlebih saat ini mereka berjalan mendahului meninggalkanku yang masih mengolah kejadian barusan. "Nanti kita main sepuasnya di play ground, y
"Ti-tidak, Mbak. A-ampun," ucapnya mengatupkan kedua tangannya dan menjaga jarak dariku.Kalau saja ini bukan di kantor polisi, sudah pasti aku kerjai lagi dia. Berani-beraninya dia memulai pertengkaran denganku. Huff!Beberapa menit kemudian, terdengar suara seorang pria yang memanggil nama Cindy. Aku enggan menoleh karena sudah hafal siapa pemilik suara yang mendekat."Kamu ngga apa-apa?" tanya pria yang tak lain Mas Raka.Bisa kulihat melalui ekor mataku, kedua tangan Mas Raka meraih wajah Cindy dan menatapnya khawatir."Huuu huuu ... Sakit, Mas. Semua ini karena dia," rengek Cindy lagi sembari menunjuk ke arahku.Aku pun menoleh dan pandanganku berhadapan dengan Mas Raka. Aku melambai santai kepadanya. Apalagi kulihat keterkejutan di wajah pria yang masih sedikit lebam itu membuatku sedikit puas."Z-zizi?" desisnya."Hai, Mas. Maaf ya? Tadi kamu habis dihajar temanku, sekarang malah selingkuhanmu yang aku hajar, ups!" Ledekku sembari menutup mulut dengan jemari kananku.Belum semp
"Tawaran apa? Dari siapa?" selidik Dika.Untuk beberapa saat aku hanya bisa melongo mendengar pertanyaan Rafa dan Dika. Kenapa mereka membahas tentang Bu Laili saat tengah menikmati makanan saat ini?Saat ini aku benar-benar tak bisa memikirkan penawaran itu. Aku khawatir belum mampu untuk memiliki banyak karyawan. Karyawan yang segelintir saja diurus oleh Rafa. Meski aku pemilik usaha sebenarnya, orang-orang tahunya kalau usaha yang kami kembangkan adalah milik Rafa."Oh, itu, Zizi ada tawaran mendirikan pabrik. Ada investor yang menawarkan perluasan usaha kami," jawab Rafa santai. Kulihat senyum miring samar di wajahnya, seolah meledek Dika yang ketinggalan berita.Kulihat Dika mengangkat sebelah alisnya. Raut wajah tak suka mulai tercetak jelas di wajahnya. Padahal itu bukan hal yang sangat penting untuk diketahui. Dan juga tak ada kaitan dengannya."Kenapa ngga ngasih tau aku?" tanya Dika. Ada nada kecewa dalam pertanyaannya. Dan membuatku sedikit merasa bersalah, entah karena apa
"Delisha masih mau ketemu Papa?" tanyaku pada akhirnya.Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya sementara kedua mata bulatnya menatapku lekat penuh harap.Tak ingin membuatnya bersedih, aku pun tersenyum, meski terpaksa. Sementara isi kepalaku dengan cepat berusaha mencari jawaban agar gadis kecilku tak kecewa. Aku tak ingin membuat Delisha marah kepada papanya meski pria itu secara terang-terangan membuat hati putrinya patah. Selain itu, Delisha ternyata masih mempertanyakan keberadaan papanya."Akhir pekan, mau liburan?" tanyaku mengalihkan pertanyaan."Sama papa?" tanyanya dengan mata berbinar."Emm ... Itu ... Nanti mama tanyakan dulu ya," jawabku beralasan.Setelah Delisha sedikit tenang, aku mengajaknya ke kamar mandi untuk bebersih. Setelah beberapa menit, wangi khas bayi menguar dari tubuh kecil putriku yang mulai banyak rasa ingin tahunya. Kami lantas berjalan bergandengan menuju dapur di mana ternyata Rafa sudah menyiapkan sarapan untuk kami.Pria itu sudah menyajikan makana
"Sebenarnya....""Sebenarnya kenapa, Zi?"Aku membenci diriku saat ini yang tak ubahnya seperti seorang pengecut. Aku benar-benar gugup dan merasa seperti seseorang yang telah melakukan suatu keburukan. Ku paksa otakku berpikir lebih keras, mencari kata-kata yang lebih pas agar tak membuat Rafa tersinggung."Berjanjilah dulu kalau kamu tak akan marah kepadaku," pintaku.Raffa tersenyum dan mengangguk. Dan entah mengapa senyum itu membuatku merasa semakin bersalah karena seolah memanfaatkan kebaikannya."Mengenai pertanyaanmu waktu itu ... Maaf," ucapku ambigu. Meski begitu aku tahu kalau Rafa paham apa maksudku.Raut wajah Rafa yang tadinya penuh senyuman lantas berubah. Entah bagaimana mendeskripsikannya, yang jelas semakin membuatku merasa bersalah."Apa karena Dika?" tanyanya. Aku menggeleng."Bukan. Kepada Dika pun sama, aku tak bisa membalas perasaan kalian berdua," ucapku jujur.Terdengar jelas embusan napas Rafa yang berat usai aku menyelesaikan kalimatku. Kulihat ia tampak mem
"Om Rafaaaa!" teriak Delisha saat mendapati seorang pria mendekat ke arah rumah kami.Pemuda itu lantas membuka pintu gerbang yang tak terkunci. Aku memang sengaja jarang mengunci pintu gerbang di pagi hari karena biasanya aku dan Delisha sesekali bermain di teras rumah sembari membersihkan halaman yang tak terlalu luas."Hai, Cantik!" sapa Rafa seraya menghampiri Delisha. Dia kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi putriku."Om Rafa rajin sekali ke sini. Mau ajak Delisha main?" tanya Delisha antusias."Emang boleh Om Rafa ikutan main?" tanya pemuda itu lagi.Delisha pun mengangguk mantap. "Boleh dong. Kan seru kalau teman bermainnya banyak," celetuk gadis kecil itu.Rafa tersenyum sambil mengusap lembut pucuk kepala Delisha. Dia kemudian menatap ke arahku seraya menyerahkan rantangan lagi, seperti kemarin.Aku tanpa sadar mengerucutkan bibir, sedikit kesal dengan tingkah Rafa yang membawa rantangan seperti kemarin. Sementara dia hanya tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya
"Zivana! Keluar!!! Atau kami dobrak pintu rumahmu!!" teriak seorang perempuan dengan suara lantang. Aku yang baru terbangun dari istirahat siangku bersama Delisha cukup terkejut. Untung saja putriku sama sekali tak sampai terusik dengan keributan yang ada di luar. Perlahan aku menutup pintu kamar dan berjalan menuju pintu utama. Saat kubuka, sudah ada beberapa orang berdiri di depan gerbang rumah. bahkan ada yang berusaha membuka paksa gerbang yang tak terlalu tinggi itu. "Nah! itu dia orangnya!" ucap salah seorang di antara mereka seraya menunjuk ke arahku. Aku hanya bisa menautkan alisku, masih tak paham dengan arah pembicaraan mereka. "Tunggu dulu! Ada apa ini?" aku mencoba bertanya pada mereka untuk mencari tahu apa yang menjadikan mereka datang berbondong ke sini. Apalagi kulihat yang datang menghampiri kebanyakan ibu-ibu. Aku menautkan alis. Kalau dipikir-pikir, aku sama sekali tak pernah mengusik mereka. Tak terlalu banyak berinteraksi dengan mereka apalagi dengan s