"Ti-tidak, Mbak. A-ampun," ucapnya mengatupkan kedua tangannya dan menjaga jarak dariku.Kalau saja ini bukan di kantor polisi, sudah pasti aku kerjai lagi dia. Berani-beraninya dia memulai pertengkaran denganku. Huff!Beberapa menit kemudian, terdengar suara seorang pria yang memanggil nama Cindy. Aku enggan menoleh karena sudah hafal siapa pemilik suara yang mendekat."Kamu ngga apa-apa?" tanya pria yang tak lain Mas Raka.Bisa kulihat melalui ekor mataku, kedua tangan Mas Raka meraih wajah Cindy dan menatapnya khawatir."Huuu huuu ... Sakit, Mas. Semua ini karena dia," rengek Cindy lagi sembari menunjuk ke arahku.Aku pun menoleh dan pandanganku berhadapan dengan Mas Raka. Aku melambai santai kepadanya. Apalagi kulihat keterkejutan di wajah pria yang masih sedikit lebam itu membuatku sedikit puas."Z-zizi?" desisnya."Hai, Mas. Maaf ya? Tadi kamu habis dihajar temanku, sekarang malah selingkuhanmu yang aku hajar, ups!" Ledekku sembari menutup mulut dengan jemari kananku.Belum semp
"Tawaran apa? Dari siapa?" selidik Dika.Untuk beberapa saat aku hanya bisa melongo mendengar pertanyaan Rafa dan Dika. Kenapa mereka membahas tentang Bu Laili saat tengah menikmati makanan saat ini?Saat ini aku benar-benar tak bisa memikirkan penawaran itu. Aku khawatir belum mampu untuk memiliki banyak karyawan. Karyawan yang segelintir saja diurus oleh Rafa. Meski aku pemilik usaha sebenarnya, orang-orang tahunya kalau usaha yang kami kembangkan adalah milik Rafa."Oh, itu, Zizi ada tawaran mendirikan pabrik. Ada investor yang menawarkan perluasan usaha kami," jawab Rafa santai. Kulihat senyum miring samar di wajahnya, seolah meledek Dika yang ketinggalan berita.Kulihat Dika mengangkat sebelah alisnya. Raut wajah tak suka mulai tercetak jelas di wajahnya. Padahal itu bukan hal yang sangat penting untuk diketahui. Dan juga tak ada kaitan dengannya."Kenapa ngga ngasih tau aku?" tanya Dika. Ada nada kecewa dalam pertanyaannya. Dan membuatku sedikit merasa bersalah, entah karena apa
"Delisha masih mau ketemu Papa?" tanyaku pada akhirnya.Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya sementara kedua mata bulatnya menatapku lekat penuh harap.Tak ingin membuatnya bersedih, aku pun tersenyum, meski terpaksa. Sementara isi kepalaku dengan cepat berusaha mencari jawaban agar gadis kecilku tak kecewa. Aku tak ingin membuat Delisha marah kepada papanya meski pria itu secara terang-terangan membuat hati putrinya patah. Selain itu, Delisha ternyata masih mempertanyakan keberadaan papanya."Akhir pekan, mau liburan?" tanyaku mengalihkan pertanyaan."Sama papa?" tanyanya dengan mata berbinar."Emm ... Itu ... Nanti mama tanyakan dulu ya," jawabku beralasan.Setelah Delisha sedikit tenang, aku mengajaknya ke kamar mandi untuk bebersih. Setelah beberapa menit, wangi khas bayi menguar dari tubuh kecil putriku yang mulai banyak rasa ingin tahunya. Kami lantas berjalan bergandengan menuju dapur di mana ternyata Rafa sudah menyiapkan sarapan untuk kami.Pria itu sudah menyajikan makana
"Sebenarnya...." "Sebenarnya kenapa, Zi?" desak Rafa. Wajah pria itu terlihat tak sabar. Kedua matanya terfokus padaku, membuatku refleks menundukkan kepala. Aku membenci diriku saat ini yang tak ubahnya seperti seorang pengecut. Aku benar-benar gugup dan merasa seperti seseorang yang telah melakukan suatu keburukan. Ku paksa otakku berpikir lebih keras, mencari kata-kata yang lebih pas agar tak membuat Rafa tersinggung. "Berjanjilah dulu kalau kamu tak akan marah kepadaku," pintaku. Rafa tersenyum dan mengangguk. Dan entah mengapa senyum itu membuatku merasa semakin bersalah karena seolah memanfaatkan kebaikannya. Akan tetapi, perasaan tidak bisa dipaksakan, bukan? Aku hanya tak ingin kembali mengambil keputusan yang salah. Apalagi hanya karena merasa bersalah. "Mengenai pertanyaanmu waktu itu ... Maaf," ucapku ambigu. Meski begitu aku tahu kalau Rafa paham apa maksudku. Senyum di wajah Rafa lantas memudar. Entah bagaimana mendeskripsikannya, yang jelas semakin membuatku merasa
"Om Rafaaaa!" teriak Delisha saat mendapati seorang pria mendekat ke arah rumah kami. Dia lantas berlari menuju pintu gerbang yang masih tertutup, menyambut pria yang sering bermain bersamanya di tumah ini. Lengkung senyum putriku jelas tergambar di wajahnya saat pria itu tiba. Pemuda itu lantas membuka pintu gerbang yang tak terkunci. Aku memang sengaja jarang mengunci pintu gerbang di pagi hari karena biasanya aku dan Delisha sesekali bermain di teras rumah sembari membersihkan halaman yang tak terlalu luas. Aku hanya menguncinya jika sore sudah tiba. "Hai, Cantik!" sapa Rafa seraya menghampiri Delisha. Dia kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi putriku lalu memeluknya dengan penuh kasih sayang. Seperti seorang ayah kepada anaknya. Ah, pikiranku! Ada-ada saja! "Om Rafa rajin sekali ke sini. Mau ajak Delisha main, kan?" tanya Delisha antusias. Gadis itu bahkan sudah mengalungkan tangan mungilnya ke leher Rafa, bergelayut manja hingga akhirnya Rafa memilih untuk menggendongn
"Zivana! Keluar!!! Atau kami dobrak pintu rumahmu!!" teriak seorang perempuan dengan suara lantang. Aku yang baru terbangun dari istirahat siangku bersama Delisha cukup terkejut. Untung saja putriku sama sekali tak sampai terusik dengan keributan yang ada di luar. Perlahan aku menutup pintu kamar dan berjalan menuju pintu utama. Saat kubuka, sudah ada beberapa orang berdiri di depan gerbang rumah. bahkan ada yang berusaha membuka paksa gerbang yang tak terlalu tinggi itu. "Nah! itu dia orangnya!" ucap salah seorang di antara mereka seraya menunjuk ke arahku. Aku hanya bisa menautkan alisku, masih tak paham dengan arah pembicaraan mereka. "Tunggu dulu! Ada apa ini?" aku mencoba bertanya pada mereka untuk mencari tahu apa yang menjadikan mereka datang berbondong ke sini. Apalagi kulihat yang datang menghampiri kebanyakan ibu-ibu. Aku menautkan alis. Kalau dipikir-pikir, aku sama sekali tak pernah mengusik mereka. Tak terlalu banyak berinteraksi dengan mereka apalagi dengan s
'Apa-apaan dia? Seenaknya aja ngomong!' Kedua mataku nyaris melompat keluar saat Rafa dengan entengnya menantang perangkat desa di hadapan kami untuk menikahkan kami. Tidak bisa! Enak saja dia mengatakan itu! Aku saja masih belum selesai masa iddah. Dan pria itu dengan gampangnya mengatakan hal itu. Tapi, salahku juga karena membiarkan kesalahpahaman ini terjadi. Meski aku seorang wanita yang bercerai, bukan berarti secepatnya itu aku menikah lagi. "Tunggu! Memangnya Mbak Zizi single parent? Bukannya Mbak Zizi ada suami?" tanya Ketua RW di sana. "Ya karena nggak ada suaminya itu jadi kegatelan, Pak!" celetuk Bu Nora membuat suasana tenang kembali riuh. Aku hanya bisa mengembuskan napas panjang. Hari ini rasanya sangat melelahkan padahal hari belum berganti malam. Selalu saja ada yang mereka tanyakan dan yang selalu mereka ingin tahu. "Saya sedang dalam proses perceraian dengan mantan suami saya. Meski secara agama kami sudah berpisah, bagaimanapun kami dalam proses berpisah
"Tidak perlu!" Aku melipat kedua tanganku di depan dada, menghentikan gerakan tangan seorang pemuda yang sudah memutar kunci motorku hingga kemudinya tak lagi terkunci. "Kenapa? Gak mungkin kamu bawa Delisha ke sana kan?" ujar pemuda itu. "Kalau kamu mengantarku, jelas saja Delisha akan ikut ke sana. Tapi, kamu sudah berjanji padaku untuk membantuku menjaga Delisha sementara aku pergi ke pengadilan, bukan?" ucapku mengangkat sebelah alis. Pemuda itu tergelak sesaat. Dia merasa salah strategi karena pada akhirnya ucapannya ibarat senjata makan tuan. Alih-alih mengantar, kini pemuda itu menggendong Delisha lalu membawa gadis kecil itu ke rumahnya, mengambil motor miliknya dan membawa gadis kecil itu berkeliling mencari sekolah usia dini untuk Delisha. "Nanti kalau sudah pulang, jangan lupa berkabar, ya?" seru Rafa yang sudah berada di atas motornya bersama Delisha. Pria itu sengaja berhenti di depan rumah berpamitan sebelum pergi. Delisha sendiri tak keberatan jika Rafa yang mengan
"itu tidak seperti yang kamu tuduhkan, Zi. Aku—" pria di hadapanku seolah kehabisan kata. Dia tak berani menattap ke arahku saking gugupnya. Wajahnya pun terlihat lebih pucat dibanding sebelumnya.Begitu pula dengan wanita yang masih berdiri dengan anaknya tak jauh dari tempat kami. Dia terlihat gugup dan pucat sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. Kulihat dia menarik ujung lengan baju Mas Raka, memohon untuk pergi dari sana karena malu.Aku tak peduli meski jadi bahan tontonan sekali lagi. Karena itu adalah kenyataannya, mereka yang melakukan pengkhianatan."Aku tak percaya kalau kamu tidak pernah tidur dengan suamiku," ucapku mengarah pada Cindy."Jaga bicara kamu!" Tangan Mas Raka terayun dan hampir mengenai pipiku. Namun, sebuah tangan dengan sigap menghalau tangan pria itu."Kalian lagi!" ucap Mas Raka dengan nada mengejek.Kulihat dia sudah tak peduli dengan Dika dan tampak tak sopan, tidak seperti saat pesta waktu itu. Mas Raka terlihat tidak takut dengan keberadaan Dika di
"Hanya apa?" desak Rafa dan Dika nyaris bersamaan."Mama! Om Rafa dan Om Dika kompak ya? Seperti kartun kembar, ngomongnya barengan," ucap Delisha yang tiba-tiba menyela.Aku pun tersenyum mendengar celotehnya. Benar, Rafa dan Dika akhir-akhir ini sepertinya selalu kompak. Apa karena mereka sering bertemu akhir-akhir ini ya?"Katakan, Zi. Apa kamu masih menyimpan rasa pada mantanmu sehingga kamu tak bisa menerima orang baru di hidupmu saat ini?" desak Dika.Pria itu terlihat tidak sabar. Mungkin karena dia terbiasa menjadi seorang atasan, sehingga dia sedikit lupa kalau saat ini kami bukan di lingkungan kerja. Apalagi aku bukanlah karyawan Dika.Aku menghela napas berat. Mengakui sebuah perasaan bagi seorang perempuan itu amatlah susah. Apalagi perempuan itu diciptakan sebagai makhluk gengsian. Dan aku tak menampik akan hal itu. Aku menatap Dika dan Rafa bergantian. Jelas sekali mereka menunggu jawaban yang akan aku berikan."Jujur, perasaan cinta yang pernah ada di antara kami rasany
"Mama!" Delisha langsung turun dari kursi yang ia duduki lalu berlari menghambur ke arah ku. Kusambut gadis kecilku dengan penuh senyum. Sehari tak bertemu dengannya membuatku sangat rindu. Kupeluk tubuh mungil Delisha dengan sangat erat, rasanya tak ingin lagi kulepas. Setelah pengkhianatan Mas Raka, hanya Delisha lah satu-satunya orang yang sangat berharga untukku. "I-ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Zi," ucap Raka menginterupsi. Pria itu gelagapan dan terlihat canggung saat melihatku di sana. Apalagi Cindy! Ke mana sikap arogan yang sering dia tunjukkan saat bertemu denganku? Apa dia mulai merasa bersalah? Oh, sepertinya tidak. Wanita itu sepertinya tak tahu malu untuk mengakui kesalahannya yang berkencan dengan suami orang. Ya, bagaimanapun secara dokumen negara Mas Raka masih suamiku karena akta cerai kami masih sedang dalam proses. Namun, ada rasa syukur karena itu akan menjadi bukti kongkrit bahwa ada wanita lain dalam pernikahanku dengan Mas Raka. Hanya saja, aku teta
"Tidak bisakah kita berdamai, Zi?" tanya Mas Raka saat kami sudah duduk berhadapan.Ingin rasanya aku tertawa mendengar apa yang dia katakan. Berdamai? Yang benar saja! Berdamai seperti apa yang dia maksudkan? Bukankah keputusan ini adalah hal terbaik?"Maksudnya?" tanyaku singkat.Kulihat pria itu menyandarkan punggungnya ke kursi yang dia duduki. Bisa ku pastikan saat ini dia juga menyilangkan kedua kakinya. Dia pun menatapku santai, dengan senyum aneh yang bagiku sangat mengerikan."Tidak bisakah kamu kembali bersamaku, memperbaiki semuanya lagi, Zi? Aku berjanji, aku akan menjadi suami dan ayah yang baik. Aku-""Mas!" Aku menyela perkataannya sebelum semakin melantur ke mana-mana. Aku yakin omongannya tidak dapat dipercaya. Karena aku sudah mengenal seorang Raka dengan baik. Berkali-kali aku memaafkannya, tapi dia tak pernah menunjukkan keseriusannya untuk berubah."Aku tak butuh janji-janji yang selalu kamu lontarkan. Kamu sudah terlalu banyak mengumbar janji. Tapi, pernahkah kam
"Anda siapa?" Kini Dika bersuara. Tatapan tajam pria itu membuat Bu Norma yang hampir membuat gaduh tampak panik. Dia merasa terintimidasi oleh Dika yang memang sangat tegas kepada orang lain yang tidak dia suka. "S-saya tetangganya Mbak Zizi. Kamu siapa?" ucap Bu Norma gelagapan dan menanyai Dika balik. Mungkin Bu Norma sering melihat Dika ke sini. Tapi dia tidak tahu siapa Dika sebenarnya. Apalagi wajah Dika yang terbilang tampan, membuat Bu Norma sempat terpukau. "Sepertinya ... Aku melewatkan sesuatu," ucap Dika menoleh ke arahku. Aku mengangkat kedua bahu, tak berniat memberitahu. Hingga kulihat dia berjalan mendekat ke Arah Bu Norma yang berdiri di dekat gerbang. Pria itu mengayunkan kakinya dengan santai, menatap Bu Norma dengan mata elangnya, membuat wanita julid itu sedikit bergetar dan berjalan mundur beberapa langkah. Entah mengapa aku merasa senang melihat ekspresi perempuan julid itu. "Apa terjadi sesuatu, Zi?" tanya Dika yang tiba-tiba menoleh ke arahku lagi.
"Mana Delisha?" Aku bergegas menghampiri pria yang tadi pagi pergi berkeliling dengan putriku. Dia tampak menunduk dengan wajah sedih yang baru pertama kali aku lihat."Maaf, Zi. Maaf aku lalai. Delisha ... Dia pergi—""Jangan bercanda, Rafa! Katakan! Ke mana putriku?!" sentakku tatkala Rafa hendak menyentuh lenganku.Aku bergegas menemui Rafa yang tadi tiba-tiba menelepon. Padahal tadi pagi ku titip putriku padanya. Dan bisa-bisanya dia berkata putriku pergi? Anak sekecil itu memang bisa pergi ke mana?"Katakan dengan jelas ke mana perginya putriku, Rafa!!" Aku kembali meninggikan suaraku. Sungguh aku tak ingin terjadi sesuatu dengan putriku satu-satunya."Dia dibawa ayahnya pergi," ucap Rafa menunduk tajam. "Maafkan aku, Zi. Maaf."Pria itu mengulang kata maaf dengan kepala yang tertunduk. Jelas dia merasa bersalah. Dan aku tahu pasti apa yang membuatnya seperti itu. Bagaimanapun, tadi Rafa berhadapan dengan ayah kandung Delisha yang lebih berhak membawa putri kecilku bermain diband
"Tidak perlu!" Aku melipat kedua tanganku di depan dada, menghentikan gerakan tangan seorang pemuda yang sudah memutar kunci motorku hingga kemudinya tak lagi terkunci. "Kenapa? Gak mungkin kamu bawa Delisha ke sana kan?" ujar pemuda itu. "Kalau kamu mengantarku, jelas saja Delisha akan ikut ke sana. Tapi, kamu sudah berjanji padaku untuk membantuku menjaga Delisha sementara aku pergi ke pengadilan, bukan?" ucapku mengangkat sebelah alis. Pemuda itu tergelak sesaat. Dia merasa salah strategi karena pada akhirnya ucapannya ibarat senjata makan tuan. Alih-alih mengantar, kini pemuda itu menggendong Delisha lalu membawa gadis kecil itu ke rumahnya, mengambil motor miliknya dan membawa gadis kecil itu berkeliling mencari sekolah usia dini untuk Delisha. "Nanti kalau sudah pulang, jangan lupa berkabar, ya?" seru Rafa yang sudah berada di atas motornya bersama Delisha. Pria itu sengaja berhenti di depan rumah berpamitan sebelum pergi. Delisha sendiri tak keberatan jika Rafa yang mengan
'Apa-apaan dia? Seenaknya aja ngomong!' Kedua mataku nyaris melompat keluar saat Rafa dengan entengnya menantang perangkat desa di hadapan kami untuk menikahkan kami. Tidak bisa! Enak saja dia mengatakan itu! Aku saja masih belum selesai masa iddah. Dan pria itu dengan gampangnya mengatakan hal itu. Tapi, salahku juga karena membiarkan kesalahpahaman ini terjadi. Meski aku seorang wanita yang bercerai, bukan berarti secepatnya itu aku menikah lagi. "Tunggu! Memangnya Mbak Zizi single parent? Bukannya Mbak Zizi ada suami?" tanya Ketua RW di sana. "Ya karena nggak ada suaminya itu jadi kegatelan, Pak!" celetuk Bu Nora membuat suasana tenang kembali riuh. Aku hanya bisa mengembuskan napas panjang. Hari ini rasanya sangat melelahkan padahal hari belum berganti malam. Selalu saja ada yang mereka tanyakan dan yang selalu mereka ingin tahu. "Saya sedang dalam proses perceraian dengan mantan suami saya. Meski secara agama kami sudah berpisah, bagaimanapun kami dalam proses berpisah
"Zivana! Keluar!!! Atau kami dobrak pintu rumahmu!!" teriak seorang perempuan dengan suara lantang. Aku yang baru terbangun dari istirahat siangku bersama Delisha cukup terkejut. Untung saja putriku sama sekali tak sampai terusik dengan keributan yang ada di luar. Perlahan aku menutup pintu kamar dan berjalan menuju pintu utama. Saat kubuka, sudah ada beberapa orang berdiri di depan gerbang rumah. bahkan ada yang berusaha membuka paksa gerbang yang tak terlalu tinggi itu. "Nah! itu dia orangnya!" ucap salah seorang di antara mereka seraya menunjuk ke arahku. Aku hanya bisa menautkan alisku, masih tak paham dengan arah pembicaraan mereka. "Tunggu dulu! Ada apa ini?" aku mencoba bertanya pada mereka untuk mencari tahu apa yang menjadikan mereka datang berbondong ke sini. Apalagi kulihat yang datang menghampiri kebanyakan ibu-ibu. Aku menautkan alis. Kalau dipikir-pikir, aku sama sekali tak pernah mengusik mereka. Tak terlalu banyak berinteraksi dengan mereka apalagi dengan s