'Kembalilah! Pulang ... kalau kamu tak ingin menjadi seorang ibu yang buruk bagi Delisha'Sebuah pesan dari Mas Raka tanpa sadar membuatku hampir melempar ponsel yang masih menyala. Bisa-bisanya dia mengirim pesan itu. Dari mana dia mendapatkan foto-foto itu? Itu bukanlah sebuah foto rekayasa atau editan.Apa mungkin dia menguntit ku?'Kalau kamu ingin tahu dari mana aku mendapatkannya, pulanglah!'Kembali sebuah pesan diterima benda pipih yang sedang kupegang. Haruskah aku kembali?Tidak! Aku tak ingin kembali padanya. Bukankah aku hanya perlu menyingkirkan foto yang dimiliki oleh Mas Raka atau mencari tahu dari mana sumber asalnya?"Mama?" Entah sejak kapan Delisha sudah berada di dekatku. Gadis kecil itu merengek meminta diperhatikan. Kedua matanya masih tampak sayu karena rasa kantuk yang mungkin belum hilang."Mama jangan marah-marah," celetuk gadis kecilku. Setelahnya dia memelukku dengan erat.Aku meraih gadis kecilku dalam gendongan, mencium pipinya yang chubby dan menggemaskan
"Hentikan, Raf!" ucapku berusaha menghentikan Rafa dengan ucapannya yang tak berdasar.Namun, pemuda itu menoleh. Rafa menatapku dengan kedua alisnya yang terangkat. Mungkin dia merasa kalau aku menghentikan apa yang ia lakukan karena aku masih mencintai Mas Raka.Rafa mengakhiri panggilan suara dengan Mas Raka begitu saja. Samar aku mendengar Mas Raka mengumpat cukup keras sebelum tombol merah itu ditekan oleh Rafa."Apa ada yang salah?" tanya Rafa tanpa sedikit pun merasa bersalah.Aku hanya diam menatapnya tajam. Perkataannya tadi kepada Mas Raka bisa membuat orang lain salah paham. Apalagi dia berkata tentang pengadilan, perceraian, rujuk, orang lain dan juga menyebutkan bahwa dirinya salah satu orang lain itu. Apa-apaan?!"Apa ... kamu masih mencintainya? Sehingga kamu tak terima aku berkata demikian?" selidik RafaTidak!Aku sudah mati rasa dan tak memiliki cinta untuk Mas Raka yang telah menghadirkan sebuah pengkhianatan ke hadapanku. Sedikit pun tak ada rasa yang tersisa untuk
Aku melihat pria itu berjalan menghampiri kami di ruang tamu. Entah mengapa aku merasa sedikit lucu. Mengapa tuan rumahnya kini menjadi tamunya dan sang tamu menjadi tuan rumahnya?"Silakan minumannya," ucapnya santai sembari meletakkan nampan berisi minuman di hadapan kami.Kebetulan aku dan Delisha tengah duduk di atas lantai, bergurau beberapa saat sembari menunggu Dika yang tengah menyiapkan minuman tadi."Ini kita sebenarnya kebalik ngga sih?" Ucapku berusaha mencairkan kecanggungan.Sungguh, aku masih merasa malu karena bersikap ketus padanya beberapa waktu lalu. Meski demikian dia malah memperlakukan kami dengan begitu baik bahkan membawakan hadiah untukku dan Delisha."Ya, mau bagaimana lagi, aku tak ingin merepotkan mu. Maaf jika kurang sopan," ucapnya sembari tersenyum simpul."Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, ada apa kamu bertamu?"Kulihat Dika mengembuskan napas kasar. Setelahnya ia membenarkan posisi duduknya agar lebih tegak sebelum kemudian menatapku dengan wajah seriusn
"Apa? Bagaimana mungkin kamu pemiliknya? Jangan bercanda," aku nyaris tertawa kalau tak melihat ekspresi Dika yang tak berubah.Wajahnya tampak meyakinkan saat mengatakan kalau dirinya adalah pemilik sebuah perusahaan. Dan itu sama sekali di luar dugaan. Aku tak terlalu banyak mengingat tentang pria ini. Karena saat kami satu sekolah dulu, Dika adalah laki-laki pendiam dan seorang kutu buku. Bahkan dulu seringkali menjadi bulan-bulanan siswa lainnya karena Dika tak pernah melawan."Aku benar-benar serius, Zi. Kamu akan mengetahuinya besok. Jadi, datanglah. Barangkali kamu akan mendapatkan tontonan bagus sebagai kejutannya," ucap Dika santai."Baiklah, ini undangannya, bukan?" tanyaku memastikan. Aku mengangkat sebuah kartu berwarna merah berhiaskan warna emas di beberapa bagiannya.Dari tampilan kertas itu saja sudah bisa dipastikan kalau itu bukan sembarang undangan. Aku bisa mencium bau kertas mahal apalagi saat menyentuh bagian berkilau itu yang tak biasa."Tak semua orang bisa men
"Acaranya masih nanti. Tolong jangan terlalu rajin," ucapku seraya menekan tombol hijau pada layar ponsel setelahnya.Sungguh aku merasa kesal dengan sikap Dika yang mulai seenaknya. Acara pesta itu akan dimulai pukul tujuh malam. Tapi dia memintaku untuk berdandan. Aku menolak dengan tegas karena itu akan sangat merepotkan."Mbak," sapa salah seorang perempuan yang terlihat sedikit takut usai mendengar omelanku pada Dika."Iya, Mbak? Ada apa?" tanyaku berubah ramah."Em ... Itu ... Kalau misal Mbak Zizi ngga mau di-make up sekarang, ngga apa-apa kok. Tapi, kami diminta untuk melakukan perawatan tubuh untuk Mbak Zakia dari ujung kepala hingga kaki," ucap perempuan itu lagi.Aku hanya bisa tersenyum dan menuruti perkataan mbak-mbak tadi. Daripada nanti mereka yang kena marah. Bagaimanapun juga ini adalah pekerjaan mereka.Dengan sigap, mereka menyiapkan beragam perlengkapan untukku melakukan perawatan tubuh di rumah. Meski berlebihan, nyatanya mereka hampir memindahkan semua peralatan
"Ada apa ini?" Kudengar suara Dika dari kejauhan membuat pria itu mengalihkan pandangan.Pemandangan di sana membuatku tak percaya. Pria yang tak lain Mas Raka, yang datang dengan seorang wanita itu tampak tunduk dan hormat kepada Dika. Dia tak berkutik dan hanya menundukkan kepalanya sesekali tersenyum canggung seperti antara atasan dan bawahan? Bagaimanapun aku mencoba untuk memahami kejadian di depan sana, aku tetap tak bisa mengerti.Aku memilih menghampiri mereka. Tak mungkin aku membiarkan anakku melihat pertengkaran dua orang dewasa di sana. Meski itu tak terlihat seperti sebuah pertengkaran sih. Tapi tetap saja, Delisha akan mengerti. Apalagi sejak awal tadi gadis kecilku itu ketakutan dan menatap heran kepada ayahnya sendiri yang membawa wanita lain."Zizi?" Bisa kudengar jelas Mas Raka menggumamkan namaku. Sepertinya dia sangat terkejut dengan kedatanganku di sana."Lama tak bertemu, Mas," sapaku sembari tersenyum.Tak mungkin aku berpura-pura tak tahu sementara sosok pria be
"jangan bercanda!" Refleks aku tertawa mendengar perkataan Dika.Pernyataannya terdengar seperti candaan. Terlebih dia mengucapkannya dengan tampang kaku dan serius menatap jalanan di hadapannya. Dia mengucapkannya seolah tanpa beban. Mana mungkin aku bisa percaya?Siapa sangka Dika menepikan mobilnya. Beruntung jalanan tak terlalu ramai sehingga tak ada bunyi klakson sebagai protes dari yang lain karena Dika mendadak memotong jalan. Hanya aku yang protes karena tindakannya yang mengejutkan."Aku serius!" ucapnya setelah mobil benar-benar berhenti dan menepi.Dia menatapku, mengunci diriku dalam pandangannya. Kucoba memberanikan diri beradu pandang dengannya, melihat kemungkinan kebohongan yang mungkin ada di matanya. Namun, tak kutemukan itu. Sorot matanya bahkan kini membuatku semakin terpaku. Dia ... Serius mengajakku menikah?Aku mengalihkan pandangan, tak ingin menatapnya terlalu dalam."Beri aku waktu untuk menjawabnya. Aku tak mungkin bisa menerima kamu karena kamu tahu sendiri
"Tidak disangka kamu sudah sebesar ini. Semakin cantik dan dewasa," puji perempuan paruh baya itu.Aku pun mengernyit. Perkataannya seolah kami kenal sangat lama. Padahal dalam kepalaku sama sekali tak pernah ada ingatan tentangnya. Siapa dia?"Ah, maaf. Namaku Laili. Kamu bisa memanggilku bibi atau tante atau Ibu Laili. Senyaman kamu saja," jawab perempuan itu memperkenalkan diri seolah bisa membaca pikiranku.Wanita anggun itu pun mengulurkan tangannya ke arahku dan kusambut uluran tangan beliau dengan penuh hormat. Dari tutur katanya saja sudah bisa terlihat bagaimana karakternya. Dia begitu lembut, elegan dan bagiku luar biasa."Saya Zhyvanna," sahutku canggung.Dia pun tersenyum dan mengangguk."Bagaimana harimu? Aku cukup lama mencarimu. Dan baru mendengar kabar tentangmu ... Maaf kalau aku mengorek informasi pribadimu dan membuatmu tak berkenan," papar Bu Laili menyesal."Tidak masalah, Bu. Terima kasih sudah memberikan atensinya kepada saya. Akan tetapi, apa kita pernah bertem
"itu tidak seperti yang kamu tuduhkan, Zi. Aku—" pria di hadapanku seolah kehabisan kata. Dia tak berani menattap ke arahku saking gugupnya. Wajahnya pun terlihat lebih pucat dibanding sebelumnya.Begitu pula dengan wanita yang masih berdiri dengan anaknya tak jauh dari tempat kami. Dia terlihat gugup dan pucat sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. Kulihat dia menarik ujung lengan baju Mas Raka, memohon untuk pergi dari sana karena malu.Aku tak peduli meski jadi bahan tontonan sekali lagi. Karena itu adalah kenyataannya, mereka yang melakukan pengkhianatan."Aku tak percaya kalau kamu tidak pernah tidur dengan suamiku," ucapku mengarah pada Cindy."Jaga bicara kamu!" Tangan Mas Raka terayun dan hampir mengenai pipiku. Namun, sebuah tangan dengan sigap menghalau tangan pria itu."Kalian lagi!" ucap Mas Raka dengan nada mengejek.Kulihat dia sudah tak peduli dengan Dika dan tampak tak sopan, tidak seperti saat pesta waktu itu. Mas Raka terlihat tidak takut dengan keberadaan Dika di
"Hanya apa?" desak Rafa dan Dika nyaris bersamaan."Mama! Om Rafa dan Om Dika kompak ya? Seperti kartun kembar, ngomongnya barengan," ucap Delisha yang tiba-tiba menyela.Aku pun tersenyum mendengar celotehnya. Benar, Rafa dan Dika akhir-akhir ini sepertinya selalu kompak. Apa karena mereka sering bertemu akhir-akhir ini ya?"Katakan, Zi. Apa kamu masih menyimpan rasa pada mantanmu sehingga kamu tak bisa menerima orang baru di hidupmu saat ini?" desak Dika.Pria itu terlihat tidak sabar. Mungkin karena dia terbiasa menjadi seorang atasan, sehingga dia sedikit lupa kalau saat ini kami bukan di lingkungan kerja. Apalagi aku bukanlah karyawan Dika.Aku menghela napas berat. Mengakui sebuah perasaan bagi seorang perempuan itu amatlah susah. Apalagi perempuan itu diciptakan sebagai makhluk gengsian. Dan aku tak menampik akan hal itu. Aku menatap Dika dan Rafa bergantian. Jelas sekali mereka menunggu jawaban yang akan aku berikan."Jujur, perasaan cinta yang pernah ada di antara kami rasany
"Mama!" Delisha langsung turun dari kursi yang ia duduki lalu berlari menghambur ke arah ku. Kusambut gadis kecilku dengan penuh senyum. Sehari tak bertemu dengannya membuatku sangat rindu. Kupeluk tubuh mungil Delisha dengan sangat erat, rasanya tak ingin lagi kulepas. Setelah pengkhianatan Mas Raka, hanya Delisha lah satu-satunya orang yang sangat berharga untukku. "I-ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Zi," ucap Raka menginterupsi. Pria itu gelagapan dan terlihat canggung saat melihatku di sana. Apalagi Cindy! Ke mana sikap arogan yang sering dia tunjukkan saat bertemu denganku? Apa dia mulai merasa bersalah? Oh, sepertinya tidak. Wanita itu sepertinya tak tahu malu untuk mengakui kesalahannya yang berkencan dengan suami orang. Ya, bagaimanapun secara dokumen negara Mas Raka masih suamiku karena akta cerai kami masih sedang dalam proses. Namun, ada rasa syukur karena itu akan menjadi bukti kongkrit bahwa ada wanita lain dalam pernikahanku dengan Mas Raka. Hanya saja, aku teta
"Tidak bisakah kita berdamai, Zi?" tanya Mas Raka saat kami sudah duduk berhadapan.Ingin rasanya aku tertawa mendengar apa yang dia katakan. Berdamai? Yang benar saja! Berdamai seperti apa yang dia maksudkan? Bukankah keputusan ini adalah hal terbaik?"Maksudnya?" tanyaku singkat.Kulihat pria itu menyandarkan punggungnya ke kursi yang dia duduki. Bisa ku pastikan saat ini dia juga menyilangkan kedua kakinya. Dia pun menatapku santai, dengan senyum aneh yang bagiku sangat mengerikan."Tidak bisakah kamu kembali bersamaku, memperbaiki semuanya lagi, Zi? Aku berjanji, aku akan menjadi suami dan ayah yang baik. Aku-""Mas!" Aku menyela perkataannya sebelum semakin melantur ke mana-mana. Aku yakin omongannya tidak dapat dipercaya. Karena aku sudah mengenal seorang Raka dengan baik. Berkali-kali aku memaafkannya, tapi dia tak pernah menunjukkan keseriusannya untuk berubah."Aku tak butuh janji-janji yang selalu kamu lontarkan. Kamu sudah terlalu banyak mengumbar janji. Tapi, pernahkah kam
"Anda siapa?" Kini Dika bersuara. Tatapan tajam pria itu membuat Bu Norma yang hampir membuat gaduh tampak panik. Dia merasa terintimidasi oleh Dika yang memang sangat tegas kepada orang lain yang tidak dia suka. "S-saya tetangganya Mbak Zizi. Kamu siapa?" ucap Bu Norma gelagapan dan menanyai Dika balik. Mungkin Bu Norma sering melihat Dika ke sini. Tapi dia tidak tahu siapa Dika sebenarnya. Apalagi wajah Dika yang terbilang tampan, membuat Bu Norma sempat terpukau. "Sepertinya ... Aku melewatkan sesuatu," ucap Dika menoleh ke arahku. Aku mengangkat kedua bahu, tak berniat memberitahu. Hingga kulihat dia berjalan mendekat ke Arah Bu Norma yang berdiri di dekat gerbang. Pria itu mengayunkan kakinya dengan santai, menatap Bu Norma dengan mata elangnya, membuat wanita julid itu sedikit bergetar dan berjalan mundur beberapa langkah. Entah mengapa aku merasa senang melihat ekspresi perempuan julid itu. "Apa terjadi sesuatu, Zi?" tanya Dika yang tiba-tiba menoleh ke arahku lagi.
"Mana Delisha?" Aku bergegas menghampiri pria yang tadi pagi pergi berkeliling dengan putriku. Dia tampak menunduk dengan wajah sedih yang baru pertama kali aku lihat."Maaf, Zi. Maaf aku lalai. Delisha ... Dia pergi—""Jangan bercanda, Rafa! Katakan! Ke mana putriku?!" sentakku tatkala Rafa hendak menyentuh lenganku.Aku bergegas menemui Rafa yang tadi tiba-tiba menelepon. Padahal tadi pagi ku titip putriku padanya. Dan bisa-bisanya dia berkata putriku pergi? Anak sekecil itu memang bisa pergi ke mana?"Katakan dengan jelas ke mana perginya putriku, Rafa!!" Aku kembali meninggikan suaraku. Sungguh aku tak ingin terjadi sesuatu dengan putriku satu-satunya."Dia dibawa ayahnya pergi," ucap Rafa menunduk tajam. "Maafkan aku, Zi. Maaf."Pria itu mengulang kata maaf dengan kepala yang tertunduk. Jelas dia merasa bersalah. Dan aku tahu pasti apa yang membuatnya seperti itu. Bagaimanapun, tadi Rafa berhadapan dengan ayah kandung Delisha yang lebih berhak membawa putri kecilku bermain diband
"Tidak perlu!" Aku melipat kedua tanganku di depan dada, menghentikan gerakan tangan seorang pemuda yang sudah memutar kunci motorku hingga kemudinya tak lagi terkunci. "Kenapa? Gak mungkin kamu bawa Delisha ke sana kan?" ujar pemuda itu. "Kalau kamu mengantarku, jelas saja Delisha akan ikut ke sana. Tapi, kamu sudah berjanji padaku untuk membantuku menjaga Delisha sementara aku pergi ke pengadilan, bukan?" ucapku mengangkat sebelah alis. Pemuda itu tergelak sesaat. Dia merasa salah strategi karena pada akhirnya ucapannya ibarat senjata makan tuan. Alih-alih mengantar, kini pemuda itu menggendong Delisha lalu membawa gadis kecil itu ke rumahnya, mengambil motor miliknya dan membawa gadis kecil itu berkeliling mencari sekolah usia dini untuk Delisha. "Nanti kalau sudah pulang, jangan lupa berkabar, ya?" seru Rafa yang sudah berada di atas motornya bersama Delisha. Pria itu sengaja berhenti di depan rumah berpamitan sebelum pergi. Delisha sendiri tak keberatan jika Rafa yang mengan
'Apa-apaan dia? Seenaknya aja ngomong!' Kedua mataku nyaris melompat keluar saat Rafa dengan entengnya menantang perangkat desa di hadapan kami untuk menikahkan kami. Tidak bisa! Enak saja dia mengatakan itu! Aku saja masih belum selesai masa iddah. Dan pria itu dengan gampangnya mengatakan hal itu. Tapi, salahku juga karena membiarkan kesalahpahaman ini terjadi. Meski aku seorang wanita yang bercerai, bukan berarti secepatnya itu aku menikah lagi. "Tunggu! Memangnya Mbak Zizi single parent? Bukannya Mbak Zizi ada suami?" tanya Ketua RW di sana. "Ya karena nggak ada suaminya itu jadi kegatelan, Pak!" celetuk Bu Nora membuat suasana tenang kembali riuh. Aku hanya bisa mengembuskan napas panjang. Hari ini rasanya sangat melelahkan padahal hari belum berganti malam. Selalu saja ada yang mereka tanyakan dan yang selalu mereka ingin tahu. "Saya sedang dalam proses perceraian dengan mantan suami saya. Meski secara agama kami sudah berpisah, bagaimanapun kami dalam proses berpisah
"Zivana! Keluar!!! Atau kami dobrak pintu rumahmu!!" teriak seorang perempuan dengan suara lantang. Aku yang baru terbangun dari istirahat siangku bersama Delisha cukup terkejut. Untung saja putriku sama sekali tak sampai terusik dengan keributan yang ada di luar. Perlahan aku menutup pintu kamar dan berjalan menuju pintu utama. Saat kubuka, sudah ada beberapa orang berdiri di depan gerbang rumah. bahkan ada yang berusaha membuka paksa gerbang yang tak terlalu tinggi itu. "Nah! itu dia orangnya!" ucap salah seorang di antara mereka seraya menunjuk ke arahku. Aku hanya bisa menautkan alisku, masih tak paham dengan arah pembicaraan mereka. "Tunggu dulu! Ada apa ini?" aku mencoba bertanya pada mereka untuk mencari tahu apa yang menjadikan mereka datang berbondong ke sini. Apalagi kulihat yang datang menghampiri kebanyakan ibu-ibu. Aku menautkan alis. Kalau dipikir-pikir, aku sama sekali tak pernah mengusik mereka. Tak terlalu banyak berinteraksi dengan mereka apalagi dengan s