Pria di hadapanku terdiam. Sepatah kata pun tak terucap dari pria yang masih berstatus suamiku itu. Pria yang cukup tampan dan populer yang dulu pernah menggetarkan hatiku.
Kini? Tidak lagi."Kenapa diam, Mas?! Bicaralah! Apa ada yang salah dengan ucapanku?"Hatiku tak lagi merasakan getaran aneh seperti dulu, seperti saat kami pertama kali bertemu.Hatiku tanpa ku sadari membunuh segala rasa yang dulu pernah ia rasakan. Tak ada lagi perasaan cinta kepada pria ini, bahkan kepada pria lain.Mati rasa!Namun, karena status ku yang masih seorang istri dari Raka Prayoga, sebisa mungkin aku masih melayani apa pun keperluannya. Ingin rasanya aku menolak. Akan tetapi aku masih takut akan bayang-bayang dosa yang tiada terkira.“Kamu gak perlu menjelaskan apa pun lagi, Mas. Toh, aku gak lagi melarang kamu berhubungan dengan dia atau wanita lain? Bukankah itu cukup untukmu? Atau masih ada yang kurang?”Aku memendam semua emosiku sedalam-dalamnya. Tak ingin pria itu betapa perihnya sakit yang ia tancapkan melalui perbuatannya itu.“Yang jelas Mas gak ada hubungan apa-apa dengannya,” ucapnya kemudian pergi meninggalkan aku yang masih berdiri di ambang pintu.Ku lihat Mas Raka mendekatkan ponselnya ke telinga. Siapa lagi yang akan dia hubungi.“Aku gak bisa ke sana hari ini. Maaf,” ucapnya cukup lembut kepada orang yang entah siapa yang menjadi lawan bicaranya di seberang sana.Pria itu kemudian kembali menghampiriku.“Mas hari ini cuti kerja. Mas bakal nemenin kamu dan Delisha. Mas harap kamu bisa membuang kecurigaan yang selama ini selalu kamu besar-besarkan,” ucapnya saat ia sudah berdiri di hadapanku.“Hem.”Aku tak terlalu banyak menjawab perkataannya. Enggan rasanya meski hanya berbicara dengannya.Sebelumnya, pria itu yang selalu irit bicara. Sedikit sekali ia berucap saat aku berinteraksi dengannya. Dia sangat tertutup kepadaku. Tetapi apakah perlakuannya ke orang lain sama?Aku kembali membuka sosial media suamiku yang tadinya aku sembunyikan aplikasinya. Masa bodo ia marah. Aku tak semudah itu ia bohongi.Sebelumnya aku sudah mengganti password media sosialnya yang berwarna biru. Namun, aku tak mengeluarkan akunnya dari ponselnya. Dia akan curiga kalau aku sampai mengeluarkan akunnya dari ponsel kesayangannya itu.Aku mengingat-ingat kembali. Ada satu kolom yang belum sempat aku buka. Kolom perpesanan dan Log aktivitas akun itu.Dalam hati, aku berulang kali merapal doa. Berharap semua itu tak benar dan hanya bentuk kecemburuanku saja.Namun, semua itu ternyata tak sesuai dengan dugaanku.Terdapat beberapa pesan dari beberapa wanita yang salah satunya aku tahu kalau dia adalah mantan kekasih suamiku. Mereka berpisah karena mereka terpisahkan oleh jarak yang cukup jauh. Wanita itu menjadi TKW di negeri ginseng, sementara suamiku saat itu bekerja di pulau dewata.Mereka cukup dekat. Pasti ada sebuah obrolan yang tak biasa. Apalagi yang aku tahu mereka pernah berhubungan dekat.“Biasalah. Masalah rumah tangga.”Aku cukup terkejut dengan pesan suamiku yang paling baru yang tampak di kolom per pesanan media sosial itu.Apa selama ini dia selalu menceritakan semua urusan rumah tangga kami pada wanita itu?Aku menggeser layar itu ke percakapan sebelumnya. Aku sedikit lega karena ia tak menceritakan apa-apa mengenai rumah tangga kami. Bukankah rumah tangga kami hanya kita saja yang boleh tahu isi di dalamnya?Aku membuka per pesanan dari orang lainnya juga. Pesan-pesan dari kaum wanita tentunya.Beberapa pesan masih tampak biasa saja. Apalagi kebanyakan isi pesan itu berisi pertanyaan seputar jual beli barang elektronik dan alat musik yang memang suamiku berkecimpung di dalamnya.Ah, iya. Aku lupa memberitahukan kalau sebelumnya suamiku adalah seorang gitaris dari sebuah band lokal di kota kami. Tak terlalu terkenal. Hanya saja orang-orang dalam lingkaran yang sama di kota ini cukup tahu dengan sepak terjang tiap anggota band itu.Aku kembali mengamati kotak pesan dalam folder lain.Aku memilih folder pesan Spam, sebuah folder pesan di mana pemilik akun bisa menyembunyikan pesan dari orang lain agar tak terlihat di halaman depan kotak masuk itu.Sebuah nama yang cukup asing namun foto profilnya aku kenal, ada di dalam sana.“Apakah akun yang lain?” gumamku.Aku memberanikan diri membuka pesan itu.Nyaris saja aku menjatuhkan ponselku ke lantai. Percakapan tak biasa antara seorang pria dan wanita ada di dalam sana. Ternyata dugaan ku benar. Hubungan mereka lebih dari sekedar teman. Tetapi siapa dia?Dalam pesan itu, suamiku bercerita kepada wanita itu kalau dirinya memiliki perasaan tak bahagia saat bersamaku. Suamiku juga menuliskan kalau sebenarnya dia menyukai orang lain. Seorang wanita yang katanya sering bertemu dengannya. Namun, aku bisa tahu pasti kalau wanita yang berkirim pesan dengan suamiku itulah orang yang disukai suamiku. Dan orang itu adalah dia. Hanya saja suamiku tak secara gamblang menyebutkan namanya.Air mataku lolos begitu saja tanpa bisa aku kendalikan. Ternyata firasat seorang istri itu lebih kuat ketika ia dihadapkan pada sebuah pengkhianatan dalam hidupnya.Aku membaca setiap baris percakapan antara wanita itu dengan suamiku. Meskipun hal itu sama dengan menyakiti diri sendiri, setidaknya aku tahu sejauh mana hubungan mereka selama ini.Aku bisa melihat kalau wanita itu masih belum berhubungan jauh dengan suamiku. Belum, tapi masih akan.Aku mencoba mencari tahu siapa wanita dalam nama Shaquille itu.Entah mengapa aku merasa familiar. Hanya saja aku tak mau ambil pusing.***ShaquilleMidwifeAparat sipil negaraJanda beranak satu.Janda?Aku tertawa dalam hati.Memang sih, wanita itu memiliki kulit putih dengan bentuk tubuh yang menggoda. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Sepertinya karena status suamiku yang masih beristrikan diriku membuat mereka tak bisa berhubungan terlalu jauh.Bukankah seorang ASN tak diperbolehkan menjadi istri kedua pria beristri?Lalu, bagaimana kalau aku dan suamiku berpisah? Akankah mereka berhubungan lebih dari ini?Jantungku berdetak sangat kencang. Pikiran aneh mengenai kemungkinan-kemungkinan itu membuat jiwa dalam diriku marah. Namun, aku tak bisa melampiaskannya. Bukan karena tak berani. Hanya saja aku masih membutuhkan rencana. Aku perlu bukti lebih banyak lagi.Bukan untuk mempertahankan hubungan kami!Kalaupun hubungan pernikahanku dengan Mas Raka harus berakhir di sini, setidaknya aku harus menyelesaikannya dengan baik.Aku ingin memiliki akhir bahagia. Namun, aku juga ingin mereka mendapatkan sesuatu yang menyakitkan.Bukan diriku yang suka berebut barang, apalagi itu seorang pria. Namun, aku pun tak sudi berbagi dengan orang lain. Tak sudi berbagi cinta, apalagi berbagi tubuh pria yang sama.Aku mulai menyusun rencana. Aku tak boleh gegabah dalam mengambil tindakan. Berulang kali aku menghembuskan napas, menetralkan perasaanku yang sedikit lagi emosinya akan membuncah.Aku tak sabar melihat bagaimana reaksi mereka atas kejutan yang akan aku berikan. Sebuah kejutan besar akan aku berikan kepada suamiku dan wanita itu. Aku sangat penasaran bagaimana reaksi mereka berikutnya.Apakah mereka masih bisa mengelak?Setelah cukup stalking wanita yang “dekat” dengan suamiku itu, aku memutuskan untuk menghibur diriku.Aku memilih mengalihkan perhatianku dengan membaca komik atau manhwa di salah satu aplikasi online yang aku instal di ponsel pintarku. Setidaknya pikiranku tak melulu berisi rencana pembalasan mereka yang mengkhianati ku.Kalau boleh jujur, sebenarnya aku sangat malas memperpanjang urusan itu. Namun, aku perlu kejelasan status, apakah putus atau terus.Tak mungkin ‘kan kalau hubungan kami mengambang dan tak memiliki ujung?Kehidupan rumah tanggaku tak seindah kelihatannya. Orang lain mungkin berpikir kalau biduk rumah tangga kami baik-baik saja. Tanpa terdengar percekcokan di dalamnya. Namun, siapa sangka, aku yang juga lengah, tak mengira kalau sebenarnya pernikahan kami tak wajar.Mas Raka memang seorang pria pendiam, irit bicara, dan lebih suka membuktikan kesungguhannya dengan tindakannya.Namun, apa kini seperti itu juga?***"Yang, kaos kaki aku di mana?" tanya Mas Raka pagi itu
Aku melirik ke arah Mas Raka yang buru-buru meraih ponselnya. Ia tampak berusaha menyembunyikan pesan itu dariku.“Aku ke kamar dulu,” ucapnya memberitahuku.Ia beranjak meninggalkan meja makan tanpa menunggu jawabanku.Aku menahan tremor tanganku yang mendadak hadir tanpa sebab. Lutut ku juga merasa lemas. Sekuat tenaga aku menumpu badan dengan tanganku, meraih tempat duduk yang berada tak jauh dari jangkauan ku.Tanpa terasa, bulir bening jatuh melawati pipi. Tubuhku bergetar, tak sanggup menahan emosi yang saat ini membuncah tak terkendali. Ingin ku marah atas semua kebohongan yang dilakukan oleh suamiku itu. Tapi aku tak berdaya."Mama kenapa nangis?" Suara Delisa menyadarkanku yang larut dalam perasaanku sendiri.Gadis kecil itu baru saja turun dari kamarnya. mungkin dia sudah merasa lapar karena aku tak kunjung membawakannya makanan."Mama tidak apa-apa, Sayang. Delisha sudah lapar ya? Sini duduk di sini, Mama suapin," ucapku mengajak gadis kecil itu majan malam."Mama jangan se
"Mama, Ayo main," ucap Delisha membuyarkan lamunanku.Aku tersenyum ditengah rasa kalut yang kini menyelimuti hatiku."Delisha mau ikut Mama, nggak?" tawarku pada Delisha.Gadis kecil itu kemudian menganggukkan kepalanya. "Kita mau ke mana, Ma?""Kita jalan-jalan yuk!" ajakku.Gadis mungil itu bersorak riang mendengar ajakanku. Aku memang jarang sekali mengajak Delisha pergi jalan-jalan akhir-akhir ini. Tak heran kalau dia begitu senang dan antusias saat aku ajak pergi.Aku meraih tasku, membawa serta Delisha. Aku memutuskan untuk menyusul suamiku ke kantornya. Entah mengapa instingku mengatakan ada sesuatu yang tak beres.Usai mengunci pintu rumah, taksi online yang aku pesan tiba. Gegas aku masuk ke dalam kendaraan beroda empat itu dan duduk di dalamnya dengan Delisha yang berada dalam pangkuan."Mau diantar ke mana, Bu?" tanya sang sopir dari balik kemudi.“Ke PT Samudera, Pak,” jawabku.Sopir itu mengangguk singkat. Dengan kecepatan sedang mobil melaju membawa kami ke perusahaan
Sepanjang perjalanan pulang, suasana sangat hening. Hanya sesekali terdengar embusan napas kasar dari “Kalau Ibu capek, bisa istirahat saja. Perjalanan masih cukup jauh,” ujar sopir itu sembari tersenyum. Aku hanya mengangguk. Namun, aku tak lagi memejamkan mataku meski aku merasa kantuk mulai menyerang. Aku harus terjaga. Aku yang tadinya berniat istirahat sebentar dalam mobil, terpaksa mengurungkan niat. Aku berulang kali memergoki pria itu melihat ke arahku melalui kaca spion tengah. Hal itu cukup membuatku tak nyaman. Apa ada yang aneh dariku sehingga pria itu menatapku seperti itu?Atau jangan-jangan, sopir itu memiliki niat tak baik terhadapku? "Ibu ngga perlu khawatir. Saya akan mengantar ke tempat tujuan dengan selamat. Saya ngga tega aja lihat ibu kecapekan," ujar sopir taksi itu menatapku melalui kaca tengah mobil."Iya, Pak. Terima kasih," sahutku sekenanya.Aku tak pulang ke rumah di mana Mas Raka dan aku sebelumnya tinggal. Sengaja aku ingin melihat bagaimana reaksiny
'Zhy, apa kamu sudah tidur?' sebuah pesan kembali masuk ke dalam ponselku.'Kalau begitu, selamat malam!'Tak kubalas pesan dari orang yang mengaku bernama Dika itu. Aku mengabaikan dan menganggap itu hanyalah sebuah pesan dari orang iseng saja.Pada akhirnya aku memilih untuk menghapus pesan dari orang yang mengaku sebagai Dika itu. Itu lebih baik, membatasinya sebelum menjadi sebuah petaka.Aku masih menatap layar ponsel yang selalu aku lihat beberapa menit sekali. Membuka profil Mas Raka, berharap pria itu online.Berkali-kali ku scroll layar aplikasi berwarna hijau itu sembari membaca pesan-pesan dari Mas Raka yang telah lalu, kembali mengingat bagaimana mesranya kami bertukar pesan.Aku masih tetap menunggu pria itu menanyakan keberadaan ku. Namun, ternyata semua itu hanyalah angan ku. Mas Raka sama sekali tak menghubungiku dan tak mengkhawatirkan ku sama sekali.“Ternyata dia memang benar-benar tak lagi mengingatku. Tak peduli aku ada di mana,” gumam ku.Ponselku akhirnya ku le
"Bantuan apa yang kau maksud?"Dika tampak menautkan kedua alisnya. Melihat seorang pria yang baru melewati gerbang rumah, mendekat ke arah kami yang sebelumnya berbicara empat mata."Kamu siapa?" tanya Dika kepada pria itu."Bukan urusan kamu menanyakan siapa aku. Kamu belum menjawab pertanyaan ku sebelumnya," ujar pria itu dengan tegas.Aku hanya menyimak percakapan dua orang pria yang ada di hadapanku. Tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah. Aura persaingan begitu tampak dari dua orang itu. Hanya saja, apa yang sedang mereka perebutkan? Aku? Aku 'kan bukan siapa-siapa mereka?Lucu dan aneh!"Aku adalah teman Zizi. Sementara kamu, siapa?" tanya Dika akhirnya."Aku Rafa. Teman dan orang kepercayaan Zizi selama ini," sahut Rafa memberi penekanan di setiap kalimatnya."Oh," singkat Dika.Aku membulatkan kedua mataku. Mendengar jawaban Andika yang sangat amat singkat, aku merasa sedikit aneh.Bagaimana tidak?kepalaku terasa seolah seperti sedang dipaksa berpikir. apakah kata 'o
'Kembalilah! Pulang ... kalau kamu tak ingin menjadi seorang ibu yang buruk bagi Delisha'Sebuah pesan dari Mas Raka tanpa sadar membuatku hampir melempar ponsel yang masih menyala. Bisa-bisanya dia mengirim pesan itu. Dari mana dia mendapatkan foto-foto itu? Itu bukanlah sebuah foto rekayasa atau editan.Apa mungkin dia menguntit ku?'Kalau kamu ingin tahu dari mana aku mendapatkannya, pulanglah!'Kembali sebuah pesan diterima benda pipih yang sedang kupegang. Haruskah aku kembali?Tidak! Aku tak ingin kembali padanya. Bukankah aku hanya perlu menyingkirkan foto yang dimiliki oleh Mas Raka atau mencari tahu dari mana sumber asalnya?"Mama?" Entah sejak kapan Delisha sudah berada di dekatku. Gadis kecil itu merengek meminta diperhatikan. Kedua matanya masih tampak sayu karena rasa kantuk yang mungkin belum hilang."Mama jangan marah-marah," celetuk gadis kecilku. Setelahnya dia memelukku dengan erat.Aku meraih gadis kecilku dalam gendongan, mencium pipinya yang chubby dan menggemaskan
"Hentikan, Raf!" ucapku berusaha menghentikan Rafa dengan ucapannya yang tak berdasar.Namun, pemuda itu menoleh. Rafa menatapku dengan kedua alisnya yang terangkat. Mungkin dia merasa kalau aku menghentikan apa yang ia lakukan karena aku masih mencintai Mas Raka.Rafa mengakhiri panggilan suara dengan Mas Raka begitu saja. Samar aku mendengar Mas Raka mengumpat cukup keras sebelum tombol merah itu ditekan oleh Rafa."Apa ada yang salah?" tanya Rafa tanpa sedikit pun merasa bersalah.Aku hanya diam menatapnya tajam. Perkataannya tadi kepada Mas Raka bisa membuat orang lain salah paham. Apalagi dia berkata tentang pengadilan, perceraian, rujuk, orang lain dan juga menyebutkan bahwa dirinya salah satu orang lain itu. Apa-apaan?!"Apa ... kamu masih mencintainya? Sehingga kamu tak terima aku berkata demikian?" selidik RafaTidak!Aku sudah mati rasa dan tak memiliki cinta untuk Mas Raka yang telah menghadirkan sebuah pengkhianatan ke hadapanku. Sedikit pun tak ada rasa yang tersisa untuk