Share

Bab 4. Sebuah Pengakuan

“Te-terima kasih,” ucap Mas Raka.

Aku menghampiri suamiku yang kini tengah terduduk di ruang tengah membawakan dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap panasnya. Lalu aku letakkan dua cangkir teh itu di atas meja kecil di hadapannya.

Bisa kulihat raut wajahnya yang gugup. Berulang kali ia membetulkan posisi duduknya yang sepertinya tak nyaman. Padahal biasanya kami menghabiskan waktu berdua bersenda gurau di sana sebelumnya.

“Katakan apa yang akan kamu katakan,” ucapku berusaha setenang mungkin.

“Semua itu gak seperti yang kamu pikirkan, Zhy.”

“Lalu?”

“Semalam aku memang berada di sana. Tapi itu tak seperti yang kamu pikirkan.” Ucap suamiku.

Aku menyesap tehku yang mulai menghangat. Aku membiarkan dia panik. Aku hanya akan mendengarkan penjelasan darinya. Tak berniat untuk mengonfrontasinya terlebih dahulu. Aku masih belum mendapatkan bukti yang kuat untuk menekannya.

“Kamu yang membuat aku sangat marah semalam. Bukankah kamu yang seharusnya meminta maaf padaku terlebih dahulu?”

Huff ... Pria ini selalu melemparkan kesalahan untuk menutupi kesalahannya.

Aku meletakkan cangkir teh yang aku pegang. Menatapnya dengan serius.

“Berarti benar kalau wanita itu yang membuatmu menyembunyikan isi ponselku kepadaku, Mas?” tanyaku bersandiwara.

Kapan sih pria ini bisa sadar? Selalu saja begini. Ingin rasanya aku mengucap sumpah serapah kepadanya. Tapi setelah dipikir-pikir lagi untuk apa?

“Aku masih belum mengajukan pertanyaan apa pun kepadamu, Mas ... Dan kamu sudah begitu panik seperti itu?”

Mas Raka bungkam. Mungkin dia mulai menyadari kesalahannya. Kesalahan yang seharusnya tak ia ungkapkan, nyaris ia beberkan semuanya.

“Ehem ... Maksud aku, aku hanya takut kamu salah paham. Aku semalam menginap di rumah sepupu aku. Dan dia adalah sepupu aku,” ucap Mas Raka pada akhirnya.

Bohong! Kamu bohong, Mas!

Semua sepupumu yang tinggal di kota ini, usianya lebih tua darimu. Sementara tadi pagi wanita itu memanggilmu dengan panggilan “Mas”. Kenapa kamu tak jujur saja, Mas?

Aku hanya bisa menanggapimu dengan tersenyum. Aku tak ingin ribut denganmu ... untuk saat ini. Dan kamu tahu, aku bukanlah seorang wanita yang meledak-ledak dalam mengungkapkan amarah.

Tunggu tanggal mainnya, Mas.

“Kamu hari ini gak kerja?” Aku mengalihkan topik pembicaraan.

Kuletakkan cangkir teh yang tadinya aku pegang.

Untuk apa melanjutkan pembicaraan yang bahkan kau enggan untuk mulai mengakuinya. Hasilnya akan percuma, membuang-buang tenaga jika pembicaraan ini terus dilakukan.

“Aku ambil cuti saja. Sepertinya akan lebih baik seperti itu. Kita akan pergi berlibur. Agar kamu tak lagi berpikiran yang aneh-aneh. Maafkan aku atas sikapku kemarin.”

Mas Raka mendekatiku. Aku tahu kalau dia hanya ingin menyentuh tanganku. Tapi entah mengapa, secara tak sadar tubuhku menolak untuk bersentuhan dengan lelaki yang masih sah menjadi suamiku ini. Alam bawah sadar ku masih belum bisa menerima setiap sentuhan darinya lagi.

“Ya sudah, aku siap-siap dulu.” Aku beralasan agar bisa menghindarinya.

Posisi duduknya yang semakin mendekat ke arahku, tak boleh membuatku goyah. Masalah di antara kita belum selesai, Mas. Jangan harap untuk mengalihkan dan membuatku melupakan apa yang telah kamu lakukan. Kebohongan mu akan hal lain, masih bisa aku maafkan. Tapi tidak dengan pengkhianatan.

Aku bergegas menuju kamar. Bersiap untuk pergi, seperti yang ia katakan. Tak apa ... Yang penting Delisha bahagia melihat kedua orang tuanya akur.

Hanya mengenakan pakaian kasual dengan riasan tipis d wajah, aku kini sudah siap.

Aku bergegas menuju kamar Delisha. Aku yakin Asisten rumah tanggaku mengajak putri kesayanganku bermain di kamarnya. Delisha perlu bersiap juga.

Jujur, ada sedikit rasa bahagia saat Mas Raka menyempatkan untuk mengajak kami berlibur. Sudah sangat lama pria itu tak mengajak kami pergi ke luar. Bahkan mengajak kami ke taman yang tak terlalu jauh dari rumah pun, dia sebelumnya tak pernah ada waktu. Paling tidak aku harus menggunakan kesempatan ini dengan baik bukan?

Aku dan Delisha kini sudah siap. Kami menunggu Mas Raka yang sejak tiga puluh menit lalu berkata akan bersiap. Apakah pria bisa selama itu jika hendak berlibur bersama keluarganya?

Kenapa aku merasa ada sesuatu yang mencurigakan, ya?

Aku kembali menuju kamar kami. Aku bisa melihat dari pintu yang tak sepenuhnya tertutup itu kalau Mas Raka tengah duduk di depan meja rias dengan ponsel yang ia dekatkan ke telinganya.

“Mas mau mengajak Zhyvanna dan Delisha main dulu di luar. Gak bakal lama, kok. Mungkin jam setengah tujuh Mas bisa mengantar kamu dan Icha ke supermarket. Bagaimana?” Ucap Mas Raka yang sangat jelas sekali bisa ku dengar.

Oh, ternyata kamu hanya ingin aku kembali lengah?

Oke. Akan aku ikuti apa mau mu, Mas!

Aku mengetuk pintu kamar kami. Sungguh di luar dugaan, reaksi Mas Raka saat mendapati aku yang berada di balik pintu membuatku ingin tertawa. Pria itu nyaris menjatuhkan ponselnya saking terkejutnya.

“Masih lama, Mas?” Aku berpura-pura tak pernah mendengar pembicaraan mereka.

“Mohon maaf, Pak. Nanti akan saya hubungi kembali. Iya. Terima kasih,” ucap Mas Raka kepada orang yang sedang diteleponnya melalui benda tipis itu.

“Maaf, Sayang. Udah nunggu lama, ya?” Mas Raka membelai pipiku. Ia mendekat, hendak mendaratkan bibirnya ke pipiku.

Dan sudah bisa ditebak, tubuhku spontan menolak. Aku mendekatkan Delisha kepadanya, dan dia akhirnya mendaratkan bibirnya ke pipi gembul gadis kecil kami.

“Itu tadi Kepala HRD yang menghubungi. Mas gak enak karena ambil cuti mendadak.”

“Oh.” Hanya satu kata itu yang keluar dari mulutku. Entah kenapa aku tak bisa memikirkan respon lain selain satu kata itu saja.

“Ayo berangkat. Keburu siang,” ajak Mas Raka mengambil alih Delisha yang sedari tadi aku gendong.

Setelah tiga puluh menit membelah jalanan, kami akhirnya sampai di sebuah taman yang mana di luar taman itu menyediakan area permainan bagi anak-anak. Delisha yang pertama kali di ajak ke tempat seperti itu, begitu antusias. Dia mengajak Mas Raka untuk mencoba satu persatu wahana permainan yang ada di sana.

Mas Raka memanjakan Delisha. Dia menuruti apa pun permintaan gadis kecil kami.

Nyaris semua permainan sudah dicoba. Malaikat kecilku tampak kelelahan. Kami kemudian kembali ke mobil.

“Kita mau ke mana, Mas?” Aku yakin ini bukanlah jalan menuju arah pulang.

“Kita makan dulu, yuk!” ajak Mas Raka.

“Terserah.” Aku hanya fokus pada gadisku yang mulai terlelap dalam pangkuanku.

Tak lama, mobil berhenti di sebuah rumah makan yang mengusung tema outdoor. Udara di sini sangat sejuk. Rumah makan yang berada di tengah kota yang mengusung tema seperti ini sudah jarang sekali.

Kolam kola ikan yang berada di tengah-tengah rumah makan itu memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang kebanyakan datang ke sana bersama keluarga mereka.

Seorang wanita tanpa sengaja menyenggol bahuku. Aku yang sedang tak fokus berjalan, sepertinya tanpa sengaja menabraknya. Dan di sini sepertinya aku yang salah.

“Maaf,” ucapku sedikit membungkukkan badanku.

“Ah, aku yang minta maaf, Mbak. Mbak gak apa-apa, kan?” tanya wanita cantik di hadapanku.

Wanita cantik berambut panjang itu sangatlah cantik. Kulitnya yang putih bersih, menambah nilai plus wanita itu. Belum lagi tutur katanya yang lembut dan tampak memiliki pendidikan mumpuni. Kalau saja aku adalah lelaki, pasti akan mengatakan wanita yang kini berada di hadapanku ini adalah wanita sempurna. Dan mungkin aku akan langsung jatuh cinta padanya.

“Aku gak apa-apa, Mbak.” Aku jadi tak enak hati. Aku yang salah, tapi dia yang minta maaf.

“Perkenalkan, Namaku adalah Shakila. Mbak bisa memanggilku Kila. Dan sepertinya kita seumuran,” ucapnya sembari menyodorkan tangannya yang memiliki jari lentik ke hadapanku.

“Aku Zhyvanna. Mbak Bisa manggil aku Zizi.” Aku menyambut uluran tangan wanita itu dan tersenyum.

“Bagaimana kalau aku mentraktir kalian, sebagai permintaan maaf ku?” ucapnya sembari tersenyum.

“Aku tak menerima penolakan,” lanjutnya sembari tersenyum.

Ia kemudikan menggiring kami ke salah satu meja kosong yang bertema lesehan.

Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang aneh di sini. Apa hanya perasaanku saja?

"Aku mau ke toilet dulu," ucapku sembari menitipkan Delisha pada Mas Raka.

Mas Raka mengangguk dan tersenyum. Senyum yang jelas sangat berbeda dari biasanya. Detik berikutnya dia mengalihkan pandangannya pada Shakila dan mengabaikan ku.

Merasa jengah, aku bergegas menuju toilet rumah makan itu. Pikiranku yang kacau membuatku tak fokus hingga menabrak seseorang yang berjalan berlawanan.

"Maaf. Aku tak sengaja." Aku tak berani mengangkat wajahku, sedikit takut bila pria itu marah dan berbuat sesuatu untuk menyakitiku.

"Iya. Lain kali hati-hati," ucap seorang pria yang suaranya terdengar begitu akrab.

Pemuda itu kemudian berlalu menjauh. Baru setelahnya aku mengangkat wajah, menatap pemuda yang tampak profil sampingnya.

"Bukankah dia Dika?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status