"Tentu saja tidak Tante, aku cukup tahu diri. Kedatanganku kemari hanya untuk bertemu dengan Rahma dan memperlihatkan sesuatu yang menarik padanya, aku yakin wanita itu akan menyukainya nanti," Jawab Jesslyn dengan tatapan mata yang penuh arti. ***Denisa terpaku saat melihat sebuah pesan balasan yang masuk ke ponselnya. Sebuah pesan dari Anton, ayah biologisnya yang sengaja di hubunginya kemarin malam.Dalam pesannya, lelaki itu bersedia menunggu kedatangannya di rumah. Sejenak Denisa merasa tak yakin jika ayahnya mengetahui keberadaan Hera, ibunya. Mengingat hubungan mereka berdua yang tidak begitu baik.Tapi, apa salahnya jika di coba, karena ia juga tak bisa terlalu lama berada di Jakarta, karena waktu cuti nya hanya beberapa hari saja. Tangannya kini mengengam ponselnya, tak lama ia meraih tas dan bergegas keluar dari kamarnya."Mbak Denisa mau pergi?" Tanya Suryani begitu melihatnya keluar dari kamar."Iya, Mak. Tolong katakan pada Yudha mungkin akan pulang terlambat," ujar
"Kebetulan sekali kita bertemu di sini Rahma, bisa kau luangkan waktu sebentar? karena ada hal yang ingin bicara denganmu. Aku pastikan pembicaraan kita tak akan lama," pinta Jesslyn dengan seraut sinis di wajahnya. Seakan ada yang tengah di rencanakan oleh wanita itu.***Mendengarnya Rahma memiringkan sedikit kepalanya, memindai wanita yang baru saja mengajaknya bicara."Apa yang hendak kau bicarakan denganku?" Tanya Rahma dengan mata yang kini menyipit tajam."Jika kau tidak keberatan bagaimana jika kita cari tempat duduk yang enak untuk mengobrol," ajak Jesslyn."Maaf, aku tak punya waktu banyak, jika memang ingin bicara, katakan saja sekarang karena sebentar lagi aku mau pulang," Tolak Rahma cepat."Begitu ya!? Baiklah. Sebelum itu aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu," ujar Jesslyn dengan seringai sinisnya. "Apa yang ingin kau perlihatkan padaku?" Jesslyn mengabaikan pertanyaan Rahma, tangan ramping itu lalu merogoh ponselnya yang berada di dalam tas branded berwarna hitam
"Kelihatannya kau ingin sekali mengumumkan ke semua orang bahwa kau telah tidur dengan suamiku, Jesslyn?" Tanya Rahma santai seakan tak terpengaruh dengan ancaman Jesslyn padanya.***"Lakukan saja, tunggu apa lagi?" Lanjut Rahma dengan salah satu sudut alisnya yang terangkat.Jesslyn menelisik wajah Rahma yang seolah tak takut dan mempedulikan ancamannya. Sesaat ia tampak bingung karena sejak tadi reaksi Rahma sama sekali tak seperti yang diharapkannya. Rahma sama sekali tak terlihat takut ataupun cemas."Aku tidak main - main dengan ancamanku, Rahma!" Gertak Jesslyn tak sabar. Tangannya kini mengepal kuat seakan hendak meremukkan ponsel miliknya yang sedari dari ia pegang."Lalu? Kau ingin aku bersikap bagaimana? Memohon? mengiba padamu agar mempertimbangkannya kembali? Atau menangis tersedu di hadapanmu? Begitu?""Lakukan saja jika kau ingin menyebarluaskannya? Hanya saja aku tak menyangka jika kau sebodoh itu, Jesslyn!" Sinis Rahma menanggapinya.Hampir saja Jesslyn berteriak sete
Kupikir kau akan menerima tantanganku, Jesslyn Tenyata kau lemah. Entah apa lagi yang akan kau rencanakan, tapi kupastikan semua rencanamu itu akan berakhir dengan kegagalan karena aku akan selalu selangkah berada di depanmu," bisik Rahma sambil terus memandang pada Jesslyn yang kini sudah berdiri kembali di sisi Miranda.***Mata Denisa tak berkedip saat mobil yang dikendarainya melewati sebuah perkampungan di pinggiran kota Depok, mencari sebuah alamat yang dituliskan Anton padanya pada selembar kertas.Beberapa penduduk tampak melirik ke arah mobilnya, sejenak Denisa tampak jengah seakan kedatangannya ke tempat itu menjadi sebuah tontonan. Dibalik kaca mobilnya yang gelap ia membalas tatapan mereka namun tak lama kemudian ia terkekeh geli saat menyadari kesalahannya.Yah, di perkampungan seperti ini melihat mobil mewah seperti yang dikendarainya mungkin suatu hal yang cukup jarang. Jadi wajar saja para warga tampak begitu antusias menatap mobilnya. Sejenak ia menyesali keputusannya
"Baguslah. Tapi aku penasaran apa lagi rencana wanita itu untuk menyingkirkanku."Ucapan Rahma membuat kening Yudha mengeryit, tak lama segaris senyum terbit di wajah orientalnya, seolah ada sesuatu yang sedang direncanakan lelaki itu dalam kepalanya.***Pagi pagi sekali Denisa telah bersiap, bahkan saat Suryani mengetuk pintu kamarnya agar bersiap-siap untuk sarapan, wanita berusia tiga puluh tahunan itu sudah rapi lengkap dengan riasan wajahnya.Di ikuti Suryani yang berjalan di belakang, dengan langkah pelan ia berjalan menuju meja makan, lalu menyapa Rahma dan seorang asisten rumah tangga masih sibuk membuat sandwich di sana.Melihat kedatangan Denisa, Rahma tersenyum menyambut kedatangannya, dipersilahkannya Denisa duduk di meja makan sementara dirinya masih menyelesaikan pekerjaannya."Kau selalu menyiapkan sarapan sendiri?" Tanya Denisa.Rahma menggeleng. " Tidak, Mbak. Hanya sesekali saja. Soalnya kalau keseringan di dapur aku diomeli sama Mak Suryani," Bisik Rahma sambil mel
"Mama," sapa Denisa dengan matanya yang berkaca-kaca. Sungguh banyak sekali hal yang ingin ia tanyakan pada ibunya tersebut ***"Aku mau pulang ke rumah orang tuaku, mas!" Teriak Widya begitu Deni baru saja melangkahkan kaki ke kamar mereka."Apa maksudmu, Widya?" Kening Deni berkerut."Kau sudah mendengarnya sendiri dengan jelas, rasanya aku tak perlu mengulanginya lagi mas." Wajah Widya tampak begitu kesal."Apa alasannya?" Tanya Deni tak mengerti."Kau masih bertanya padaku apa alasannya, mas?" Suara Widya meninggi."Berapa kali harus kukatakan bahwa aku tidak mau tinggal di kontrakan, aku tak mau miskin dan hidup susah. Apa itu masih kurang jelas?""Jadi kau menyalahkanku?" Tuding Deni tak percaya."Iya, kau pemalas. Sudah tahu hutangmu banyak, tapi yang kaulakukan hanyalah bermain game online saja.""Kau bilang aku pemalas? Lalu siapa yang sampai hari ini menafkahimu, hah!? Set-an?" Hardik Deni tak terima, wajah lelaki itu mulai memerah karena marah."Kalau bukan pemalas, apa na
"Kurasa aku harus berusaha untuk membuatnya bicara, aku tahu dia mengetahui buku harian ini dan aku juga yakin ia Juga tahu mengenai beberapa halaman buku yang hilang itu," Bisik Rahma begitu melihat tubuh Suryani menghilang di balik pintu kamarnya.***Mata Jesslyn tampak menyipit kala melihat mobil hitam yang ditumpangi Yudha bergerak perlahan keluar dari pelataran kantornya, untuk sesaat ia menggigit bibirnya, mencari cara agar lelaki itu mau menemuinya.Tak ingin melihat mangsanya lepas begitu saja, bergegas ia menginjak pedal gas mobilnya dan memaksa dirinya untuk mengikuti mobil hitam itu. Beberapa kali ia harus menahan laju mobilnya karena tak ingin ketahuan.Entah mengapa wanita itu akhirnya memutuskan untuk membuntutinya, sesekali matanya melirik ke arah ponselnya, berharap ada telepon maupun pesan balasan darinya, karena sejak tadi tak satupun pesan maupun panggilan teleponnya di gubris oleh Yudha.Terdengar helaan nafas panjang dari mulutnya saat mobilnya terpaksa berhenti
"Baiklah, kali ini aku menyerah, namun ini bukan berarti aku melepaskanmu, Yudha. karena kau hanya milikku seorang," bisik Jesslyn sambil terus memacu mobilnya.***"Bagaimana pak? Apa mobilnya masih ada di depan?" Tanya Rahma pada penjaga rumahnya."Tak ada lagi, Bu. Mobilnya sudah pergi." Penjaga itu kembali menoleh ke kanan dan kiri guna memastikan kembali."Baguslah. Ingat baik-baik mobil itu. Jangan pernah membukakan pagarnya tanpa seizinku atau Pak Yudha, mengerti?" Perintah Rahma yang langsung di balas anggukan kepala olehnya. Tak lama Rahma membalikkan badannya, bergegas masuk ke dalam rumah."Kucing betinamu itu sepertinya sudah mulai ingin mengajak bermain, mas," sindir Rahma cemberut begitu melihat Yudha melepas dasinya."Nih ponselmu." Tangan Rahma terulur menyerahkan benda pipih itu pada Yudha."Untung saja ponselmu tertinggal di mobil kalau tidak, aku mungkin tidak tahu jika kucing gatal itu mulai mengeong," ketus Rahma. Setidaknya ia harus berterima kasih pada sopir pri