"Baguslah. Tapi aku penasaran apa lagi rencana wanita itu untuk menyingkirkanku."Ucapan Rahma membuat kening Yudha mengeryit, tak lama segaris senyum terbit di wajah orientalnya, seolah ada sesuatu yang sedang direncanakan lelaki itu dalam kepalanya.***Pagi pagi sekali Denisa telah bersiap, bahkan saat Suryani mengetuk pintu kamarnya agar bersiap-siap untuk sarapan, wanita berusia tiga puluh tahunan itu sudah rapi lengkap dengan riasan wajahnya.Di ikuti Suryani yang berjalan di belakang, dengan langkah pelan ia berjalan menuju meja makan, lalu menyapa Rahma dan seorang asisten rumah tangga masih sibuk membuat sandwich di sana.Melihat kedatangan Denisa, Rahma tersenyum menyambut kedatangannya, dipersilahkannya Denisa duduk di meja makan sementara dirinya masih menyelesaikan pekerjaannya."Kau selalu menyiapkan sarapan sendiri?" Tanya Denisa.Rahma menggeleng. " Tidak, Mbak. Hanya sesekali saja. Soalnya kalau keseringan di dapur aku diomeli sama Mak Suryani," Bisik Rahma sambil mel
"Mama," sapa Denisa dengan matanya yang berkaca-kaca. Sungguh banyak sekali hal yang ingin ia tanyakan pada ibunya tersebut ***"Aku mau pulang ke rumah orang tuaku, mas!" Teriak Widya begitu Deni baru saja melangkahkan kaki ke kamar mereka."Apa maksudmu, Widya?" Kening Deni berkerut."Kau sudah mendengarnya sendiri dengan jelas, rasanya aku tak perlu mengulanginya lagi mas." Wajah Widya tampak begitu kesal."Apa alasannya?" Tanya Deni tak mengerti."Kau masih bertanya padaku apa alasannya, mas?" Suara Widya meninggi."Berapa kali harus kukatakan bahwa aku tidak mau tinggal di kontrakan, aku tak mau miskin dan hidup susah. Apa itu masih kurang jelas?""Jadi kau menyalahkanku?" Tuding Deni tak percaya."Iya, kau pemalas. Sudah tahu hutangmu banyak, tapi yang kaulakukan hanyalah bermain game online saja.""Kau bilang aku pemalas? Lalu siapa yang sampai hari ini menafkahimu, hah!? Set-an?" Hardik Deni tak terima, wajah lelaki itu mulai memerah karena marah."Kalau bukan pemalas, apa na
"Kurasa aku harus berusaha untuk membuatnya bicara, aku tahu dia mengetahui buku harian ini dan aku juga yakin ia Juga tahu mengenai beberapa halaman buku yang hilang itu," Bisik Rahma begitu melihat tubuh Suryani menghilang di balik pintu kamarnya.***Mata Jesslyn tampak menyipit kala melihat mobil hitam yang ditumpangi Yudha bergerak perlahan keluar dari pelataran kantornya, untuk sesaat ia menggigit bibirnya, mencari cara agar lelaki itu mau menemuinya.Tak ingin melihat mangsanya lepas begitu saja, bergegas ia menginjak pedal gas mobilnya dan memaksa dirinya untuk mengikuti mobil hitam itu. Beberapa kali ia harus menahan laju mobilnya karena tak ingin ketahuan.Entah mengapa wanita itu akhirnya memutuskan untuk membuntutinya, sesekali matanya melirik ke arah ponselnya, berharap ada telepon maupun pesan balasan darinya, karena sejak tadi tak satupun pesan maupun panggilan teleponnya di gubris oleh Yudha.Terdengar helaan nafas panjang dari mulutnya saat mobilnya terpaksa berhenti
"Baiklah, kali ini aku menyerah, namun ini bukan berarti aku melepaskanmu, Yudha. karena kau hanya milikku seorang," bisik Jesslyn sambil terus memacu mobilnya.***"Bagaimana pak? Apa mobilnya masih ada di depan?" Tanya Rahma pada penjaga rumahnya."Tak ada lagi, Bu. Mobilnya sudah pergi." Penjaga itu kembali menoleh ke kanan dan kiri guna memastikan kembali."Baguslah. Ingat baik-baik mobil itu. Jangan pernah membukakan pagarnya tanpa seizinku atau Pak Yudha, mengerti?" Perintah Rahma yang langsung di balas anggukan kepala olehnya. Tak lama Rahma membalikkan badannya, bergegas masuk ke dalam rumah."Kucing betinamu itu sepertinya sudah mulai ingin mengajak bermain, mas," sindir Rahma cemberut begitu melihat Yudha melepas dasinya."Nih ponselmu." Tangan Rahma terulur menyerahkan benda pipih itu pada Yudha."Untung saja ponselmu tertinggal di mobil kalau tidak, aku mungkin tidak tahu jika kucing gatal itu mulai mengeong," ketus Rahma. Setidaknya ia harus berterima kasih pada sopir pri
"Iya, mereka berdua ada di kamar dan sepertinya mereka sudah tidur," Jawab Suryani yang entah mengapa melirik tajam pada Hera. ***Matahari baru saja terlihat saat Widya memutuskan untuk keluar dari rumah. Wajah wanita dengan rambut sebahu itu tampak masam dengan salah satu tangannya menarik kasar koper miliknya.Keputusannya untuk pergi tampaknya sudah bulat, Widya memilih kembali ke rumah orang tuanya karena merasa keputusan Deni untuk menjual rumah dan mobil mereka sangat merugikan dirinya.Bayang-bayang hidup susah tampak terus membayangi hari - harinya. Entah mengapa, mendadak ia membayangkan kehidupan Rahma saat berada di kontrakan dulu yang penuh kesengsaraan, hinaan dan cacian.Sungguh, ia tak ingin menjalani kehidupan seperti itu."Jadi ini keputusanmu, Widya?" Tanya Deni saat melihat Widya sudah rapi dengan salah satu tangannya memegang handle koper."Iya, sudah kuputuskan untuk pulang ke rumah orang tuaku jika kau tetap bersikeras menjual rumah kita pada Rahma demi menutup
"Tak apa, aku akan minta pelayan untuk membuatnya." Ekor mata Yudha terlihat melirik Suryani yang berdiri tak jauh dari meja makan itu yang entah mengapa terlihat begitu jengah melihat sikap Hera yang seakan masih merasa menjadi nyonya besar Widjaja. ***"Mak bisakah minta tolong seseorang untuk membuatnya?" Pinta Yudha pada Suryani yang masih bergeming menatap Hera."Tak perlu mas, biar Mak saja yang membuatnya." Suryani tersenyum kecut. Wanita paruh baya itu lantas beralih ke dapur untuk membuat sandwich yang diinginkan Hera.Wajah Suryani kembali datar, wanita itu terlihat diam hanya tangannya yang tampak begitu sibuk meraciknya."Entah mengapa aku masih tak suka melihat wanita itu, meskipun sudah tak lagi menjadi bagian dari keluarga ini, sikapnya yang sombong masih mengakar ," gumam Suryani sembari menyelesaikan pekerjaannya. Tak lama, empat potong sandwich akhirnya tersaji di meja makan itu."Silakan Bu." Suryani mempersilakan Hera menyantapnya."Ah, terima kasih mak. Maaf jik
"Bisakah kau membantu mama agar bisa menikmati semua kemewahan ini? Mama tidak ingin hidup susah lagi. Lakukan sesuatu Denisa agar Mama bisa kembali pada Papa Budi," pinta Hera dengan penuh harap.***Untuk beberapa saat Denisa bergeming saat mendengarnya, ia tak menyangka jika ibunya masih memiliki ambisi dan berpikir bisa kembali menjadi bagian dari keluarga Widjaja."Apa yang baru saja tadi mama katakan?""Ingin kembali pada Papa Budi?" Tanya Denisa seakan tak percaya dengan apa yang telah ia dengar."Iya, mama lelah hidup susah. Bantu mama ya agar mama bisa kembali menikah dengan papa Budi," pinta Hera dengan tatapan memohon.Entah mengapa kali ini Denisa tertawa, wanita itu seolah tak bisa menahannya, lalu menggeleng perlahan."Aku tak bisa membantu mama kali ini. Lagipula tujuanku datang ke Jakarta hanya untuk mencari mama." Denisa menyahut."Tapi, mama sungguh mengharapkan bantuanmu, nak!"Denisa segera menggeleng." Tidak ma. Maaf kali ini aku tak bisa mengabulkan keinginan ma
"Ada apa kalian semua berkumpul di depan kamarku?" Tanya Yudha begitu melihat mereka yang masih berkumpul di depan kamarnya.***Wajah Yudha terlihat bingung saat melihat semua orang tengah berkumpul di depan kamarnya begitu juga dengan Rahma. Namun belum sempat ia kembali bertanya Denisa menyahut lebih dulu."Maaf. Mama memaksa ingin pamit padaku. Katanya mau ketemu teman." "Keluar ...?" Dahi Yudha tampak berkerut."Iya, Yudha, karena itu tante ingin mem ..." Belum selesai Hera menjawabnya, kembali Denisa memotong."Mama mau bilang, kemungkinan nanti akan pulang malam. Iya kan ma?" Tangan Denisa menyenggol lengan Hera sebagai isyarat bahwa ia harus mengikuti apa yang baru saja diucapkannya. Namun melihat gelagat Hera yang mendelik tak suka padanya, membuat wanita itu akhirnya menarik paksa tangan ibunya dan menjauhi tempat itu."Maaf ya jika menganggumu, aku dan mama pamit dulu. Sampai nanti malam, Yudha, Rahma," Pamit Denisa sambil terus menarik lengan ibunya."Apa yang kau lakuka
Tiga bulan kemudian,"Selamat ya Pak Yudha, ibu Rahma positif hamil," ucap dokter wanita itu saat memeriksa Rahma."Alhamdulillah, terima kasih banyak dokter."Wajah Yudha begitu bahagia saat mendengar kabar bahagia tersebut, tak hanya dirinya, pipi Rahma pun tampak bersemu merah."Saya akan meresepkan beberapa vitamin. Jangan lupa istirahat yang cukup ya, Bu Rahma." Ujar dokter wanita tersebut, setelah pemeriksaan ultrasonografi (USG) tersebut selesai.Beberapa pesan di berikan oleh dokter wanita itu pada mereka, tak lupa juga mengingatkan agar melakukan pemeriksaan rutin setiap bulan. Setelah berbincang sebentar, mereka pun akhirnya pamit dan bergegas pulang ke rumah dengan suasana hati yang riang. Kurang lebih setengah jam kemudian, mobil yang membawa mereka pun akhirnya menepi dan berhenti di rumah besar itu, rumah yang hampir dua tahun ini mereka tinggali.Dengan hati hati, Yudha membantu Rahma keluar dari mobil. Rona bahagia begitu terpancar dari wajahnya. Melihat wajah Yudha y
"Bagaimana kondisi Mbak Nella?" Tanya Yudha beberapa saat setelah mendengar cerita Rahma."Mbak Nella baik baik saja," jawab Rahma lalu beranjak dari meja riasnya dan duduk di tepian ranjang mereka."Syukurlah. Uang yang hilang bisa dicari tapi jika para perampok itu sampai melukainya, entahlah, aku sulit untuk membayangkannya," sahut Yudha lalu meletakkan ponselnya ke atas nakas."Iya, kau benar, mas." "Hmm!" Yudha berdehem kecil."Besok papa mengundang kita untuk datang ke rumahnya.""Oh ya?" Tanya Rahma sembari menatap suaminya dengan pandangan tanya."Ada acara apa di rumah papa, mas?" Kembali Rahma bertanya."Tak ada, katanya sih hanya ingin berkumpul dengan kita saja sebelum berangkat umroh," jawab Yudha Mendengarnya, Rahma mengangguk pelan. "Oh, sekalian bulan madu, ya? Pengantin baru bikin gemes," sambung Rahma terkekeh."Mungkin saja, karena kudengar dari papa, katanya sih tante Miranda berharap segera diberi keturunan sepulang umroh nanti." Yudha kembali mejelaskan. "Ami
Kabar perampokan yang terjadi di rumah Nella, akhirnya sampai juga ke telinga Rahma, meskipun sudah dua hari berselang pasca kejadian tersebut, tetap saja insiden perampokan itu masih menjadi topik pembicaraan hangat di kalangan para tetangganya.Meski khawatir, Rahma menahan diri untuk tidak segera datang ke rumah kakak perempuannya tersebut. Rahma yakin pasti ada alasan mengapa Nella tidak memberitahu dirinya atas musibah yang menimpa dirinya. Berdiri di hadapannya, seorang wanita yang beberapa jam lalu di mintanya untuk mencari kabar terbaru tentang Nella. Dari laporan yang diterimanya, setidaknya Rahma bisa menghela nafas lega karena para perampok itu sudah di tangkap polisi. Dan salah satunya adalah orang yang mereka kenal baik, seseorang yang masih bertetangga dengan Nella.Ada tiga orang yang beraksi pada malam itu. Menggasak habis uang yang tersimpan di dalam lemari, untung saja pada malam sebelumnya, Nella telah memindahkan kotak yang biasa digunakannya untuk menyimpan perhi
Deru mobil Deni perlahan terdengar menjauh dari rumah. Sesaat, terlihat Widya mematung di sana, seakan tengah mengkhawatirkan suaminya. Tak lama, ia berbalik masuk ke dalam rumah, setelah mengunci pagarnya terlebih dulu.Pandangan matanya terlihat menerawang ke sekeliling ruangan, ia tak menyangka jika tak ada satupun perabotan rumah ini yang berubah letaknya. Semuanya masih sama seperti ia tinggalkan beberapa waktu lalu. Piring, gelas maupun toples yang ada di atas meja pun hampir tak ada yang berubah letaknya, hanya isinya saja yang sudah kosong.Helaan nafasnya terdengar berat, tak lama la melangkah ke arah dapur, bersiap untuk mencuci peralatan makan dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya, karena asisten rumah tangga yang bekerja di rumah mereka sebelumnya, terpaksa di berhentikan beberapa hari setelah kasus penipuan berkedok investasi yang menghabiskan semua uang mereka tersebut.Suara seseorang terdengar mengetuk pintu, sontak membuat kepala Widya menoleh, tak butuh waktu
Deni mengulum senyum ketika di lihatnya Widya yang tampak canggung saat mereka duduk berdua saja di dalam mobil. Lelaki itu tak menyangka jika rencana Rahma untuk membuat istrinya kembali ke rumah tanpa paksaan, akan berjalan dengan sempurna.Tadinya ia sempat tak yakin, namun atas dukungan dari Nella, Deni akhirnya memberanikan diri menelpon ayah mertuanya dan meminta bantuan darinya, agar Widya bisa pulang tanpa harus membuatnya memohon dan menjatuhkan harga diri di depan istrinya.Untuk beberapa saat, suasana terasa hening, karena tak ada satupun dari mereka yang mau membuka percakapan lebih dulu, baik Deni maupun Widya, tampak masih berusaha mengatur nafas masing-masing. "Aku dengar kau sering belanja di warungnya si Mirna? Apa benar, mas?"Pertanyaan Widya akhirnya memecah keheningan di antara mereka, membuat Deni memalingkan wajahnya dari Widya sembari menyunggingkan senyum. "Kalau iya, apa ada masalah? Semua orang tahu jika dia cantik dan sendiri," Pancing Deni menggoda istri
"A-aku mau pulang, mas."Ucapan Widya membuat tiga pasang mata yang ada di sana sontak menoleh padanya. "Benarkah?" Ceplos ibu mertuanya sambil melempar pandangan pada Sofyan, suaminya.Mata Deni tak berkedip saat mendengarnya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja tadi didengar oleh telinganya, begitu juga dengan Sofyan, ayah mertuanya yang tanpa sadar memandang tajam pada putri sulungnya tersebut.Mungkinkah, istrinya yang keras kepala itu telah berubah? Batin Deni berbisik."Nggak lagi ngelindur kan?" "Kemarin katanya nggak mau pulang, dipaksa- paksa, tetap kekeuh bilangnya males pulang, kok sekarang beda lagi? padahal Deni nggak bilang mau ajak kamu pulang lho, Wid?" Goda ayahnya."Itu ... Ya, terserah dong," ketus Widya yang membuat lelaki paruh baya itu akhirnya terkekeh.Setelah mengatakannya, dengan wajah masam Widya angkat kaki dari sana dan bergegas masuk ke kamarnya. Wanita itu tampak kesal dengan dirinya sendiri karena bisa bisanya terpancing emosi."Sepertinya, a
Deni melangkah ragu saat hendak melangkah masuk ke halaman rumah mertuanya, tampak sebuah sepeda motor matic telah terparkir di sana, menandakan jika rumah mertuanya tersebut tidak dalam keadaan kosong.Pandangan matanya mengawasi sekitar, cukup sepi, hanya suara burung peliharaan yang terdengar berkicau menyambut kedatangannya. Sesaat, Deni melihat sosok mengintip dari balik jendela.Perlahan, tangannya mengetuk pintu. Tak lama, wajah ibu mertuanya terlihat menyembul begitu pintu utama rumah itu terbuka."Nak Deni. Ayo masuk!" Ajaknya ramah.Deni tersenyum, lalu mengikuti langkah ibu mertuanya dan masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa tamu setelah lebih dulu di persilahkan oleh sang pemilik rumah."Mau bicara dengan Widya, ya?" Tanya ibu mertuanya."Tidak, aku datang ke sini karena ingin bicara dengan bapak," ucap Deni dengan penuh percaya diri."Oh maaf, ibu kira nak Deni ke sini karena ingin bicara dengan Widya. Kalau begitu tunggu sebentar, ibu panggilkan bapak dulu," pamit wani
Widya berdecak kesal. Sudah hampir satu bulan ini Deni seolah melupakannya. Ah, tidak. Pernah satu kali lelaki itu datang ke rumahnya hanya untuk mengantarkan beberapa barang miliknya yang tertinggal.Sudah berapa kali orang tuanya menyuruhnya agar segera pulang, namun wanita itu terlalu keras kepala. Entah mengapa, Deni belum mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, seakan-akan sengaja menunggunya menggugat cerai lebih dulu.Pernah terpikirkan dalam benak Widya untuk berpisah dari Deni, hanya saja hatinya masih ragu karena beberapa kali kerabatnya memberi tahu jika keadaaan Deni saat ini jauh lebih baik. Mobil yang sebelumnya diklaim telah terjual pada Rahma, ternyata masih betah menghuni garasi rumahnya.Apakah selama ini Deni telah berbohong padanya? atau semua ini terjadi karena bantuan dari Rahma?Entahlah, kepalanya pusing memikirkannya, hanya saja Widya kesal jika memang itu benar, mengapa Deni harus berbohong padanya?Suara gerimis malam ini terdengarsyahdu di telinga Widya. B
"Baiklah," sahut Denisa sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arah pelaminan, hingga beberapa menit kemudian, terdengar suara Yudha memanggilnya, membuat Denisa menoleh dan spontan memutuskan sambungan telepon mereka. "Yu-yudha!" Sapa Denisa gugup."Lho kok diputus teleponnya, Mbak?" Tanya Yudha."Ah ini, video call dari temen di rumah sakit. Katanya mau lihat pengantinnya ..." Rona gelisah terlihat samar di wajah Denisa."Oh! Ambil saja yang banyak videonya papa, Mbak. Aku yakin papa juga tidak keberatan kalau video pernikahannya jadi tontonan para dokter di rumah sakit." Wajah Yudha terlihat nyengir kuda."Ah, Iya. Kau benar juga. Papa kan orangnya sedikit narsis," balas Denisa. Tak lama mereka berdua tertawa sambil melihat ke arah Budi di kursi pelaminan."Kau tahu, mbak. Sejak kau pindah ke Surabaya, rasanya ada yang hilang.""Aku akan sering berkunjung ke Jakarta." Denisa menepuk lengan Yudha."Hmm ... Di mana Mas Arga dan Kevin?" Ekor mata Yudha mencari keberadaan kakak ipar da