"Baiklah, kali ini aku menyerah, namun ini bukan berarti aku melepaskanmu, Yudha. karena kau hanya milikku seorang," bisik Jesslyn sambil terus memacu mobilnya.***"Bagaimana pak? Apa mobilnya masih ada di depan?" Tanya Rahma pada penjaga rumahnya."Tak ada lagi, Bu. Mobilnya sudah pergi." Penjaga itu kembali menoleh ke kanan dan kiri guna memastikan kembali."Baguslah. Ingat baik-baik mobil itu. Jangan pernah membukakan pagarnya tanpa seizinku atau Pak Yudha, mengerti?" Perintah Rahma yang langsung di balas anggukan kepala olehnya. Tak lama Rahma membalikkan badannya, bergegas masuk ke dalam rumah."Kucing betinamu itu sepertinya sudah mulai ingin mengajak bermain, mas," sindir Rahma cemberut begitu melihat Yudha melepas dasinya."Nih ponselmu." Tangan Rahma terulur menyerahkan benda pipih itu pada Yudha."Untung saja ponselmu tertinggal di mobil kalau tidak, aku mungkin tidak tahu jika kucing gatal itu mulai mengeong," ketus Rahma. Setidaknya ia harus berterima kasih pada sopir pri
"Iya, mereka berdua ada di kamar dan sepertinya mereka sudah tidur," Jawab Suryani yang entah mengapa melirik tajam pada Hera. ***Matahari baru saja terlihat saat Widya memutuskan untuk keluar dari rumah. Wajah wanita dengan rambut sebahu itu tampak masam dengan salah satu tangannya menarik kasar koper miliknya.Keputusannya untuk pergi tampaknya sudah bulat, Widya memilih kembali ke rumah orang tuanya karena merasa keputusan Deni untuk menjual rumah dan mobil mereka sangat merugikan dirinya.Bayang-bayang hidup susah tampak terus membayangi hari - harinya. Entah mengapa, mendadak ia membayangkan kehidupan Rahma saat berada di kontrakan dulu yang penuh kesengsaraan, hinaan dan cacian.Sungguh, ia tak ingin menjalani kehidupan seperti itu."Jadi ini keputusanmu, Widya?" Tanya Deni saat melihat Widya sudah rapi dengan salah satu tangannya memegang handle koper."Iya, sudah kuputuskan untuk pulang ke rumah orang tuaku jika kau tetap bersikeras menjual rumah kita pada Rahma demi menutup
"Tak apa, aku akan minta pelayan untuk membuatnya." Ekor mata Yudha terlihat melirik Suryani yang berdiri tak jauh dari meja makan itu yang entah mengapa terlihat begitu jengah melihat sikap Hera yang seakan masih merasa menjadi nyonya besar Widjaja. ***"Mak bisakah minta tolong seseorang untuk membuatnya?" Pinta Yudha pada Suryani yang masih bergeming menatap Hera."Tak perlu mas, biar Mak saja yang membuatnya." Suryani tersenyum kecut. Wanita paruh baya itu lantas beralih ke dapur untuk membuat sandwich yang diinginkan Hera.Wajah Suryani kembali datar, wanita itu terlihat diam hanya tangannya yang tampak begitu sibuk meraciknya."Entah mengapa aku masih tak suka melihat wanita itu, meskipun sudah tak lagi menjadi bagian dari keluarga ini, sikapnya yang sombong masih mengakar ," gumam Suryani sembari menyelesaikan pekerjaannya. Tak lama, empat potong sandwich akhirnya tersaji di meja makan itu."Silakan Bu." Suryani mempersilakan Hera menyantapnya."Ah, terima kasih mak. Maaf jik
"Bisakah kau membantu mama agar bisa menikmati semua kemewahan ini? Mama tidak ingin hidup susah lagi. Lakukan sesuatu Denisa agar Mama bisa kembali pada Papa Budi," pinta Hera dengan penuh harap.***Untuk beberapa saat Denisa bergeming saat mendengarnya, ia tak menyangka jika ibunya masih memiliki ambisi dan berpikir bisa kembali menjadi bagian dari keluarga Widjaja."Apa yang baru saja tadi mama katakan?""Ingin kembali pada Papa Budi?" Tanya Denisa seakan tak percaya dengan apa yang telah ia dengar."Iya, mama lelah hidup susah. Bantu mama ya agar mama bisa kembali menikah dengan papa Budi," pinta Hera dengan tatapan memohon.Entah mengapa kali ini Denisa tertawa, wanita itu seolah tak bisa menahannya, lalu menggeleng perlahan."Aku tak bisa membantu mama kali ini. Lagipula tujuanku datang ke Jakarta hanya untuk mencari mama." Denisa menyahut."Tapi, mama sungguh mengharapkan bantuanmu, nak!"Denisa segera menggeleng." Tidak ma. Maaf kali ini aku tak bisa mengabulkan keinginan ma
"Ada apa kalian semua berkumpul di depan kamarku?" Tanya Yudha begitu melihat mereka yang masih berkumpul di depan kamarnya.***Wajah Yudha terlihat bingung saat melihat semua orang tengah berkumpul di depan kamarnya begitu juga dengan Rahma. Namun belum sempat ia kembali bertanya Denisa menyahut lebih dulu."Maaf. Mama memaksa ingin pamit padaku. Katanya mau ketemu teman." "Keluar ...?" Dahi Yudha tampak berkerut."Iya, Yudha, karena itu tante ingin mem ..." Belum selesai Hera menjawabnya, kembali Denisa memotong."Mama mau bilang, kemungkinan nanti akan pulang malam. Iya kan ma?" Tangan Denisa menyenggol lengan Hera sebagai isyarat bahwa ia harus mengikuti apa yang baru saja diucapkannya. Namun melihat gelagat Hera yang mendelik tak suka padanya, membuat wanita itu akhirnya menarik paksa tangan ibunya dan menjauhi tempat itu."Maaf ya jika menganggumu, aku dan mama pamit dulu. Sampai nanti malam, Yudha, Rahma," Pamit Denisa sambil terus menarik lengan ibunya."Apa yang kau lakuka
"Apa Mak tahu jika ada beberapa lembar halaman buku harian itu hilang. Ah tepatnya seperti sengaja di robek oleh seseorang?" Rahma lanjut bertanya. Sejenak di lihatnya Suryani tampak bingung membuat Rahma mencecarnya kembali dengan banyak pertanyaan.***"Buku harian ini?" Tanya Suryani memastikan dengan mata tak berkedip."Iya, beberapa lembar halaman buku ini hilang, entah mengapa aku sedikit penasaran karena tanggal halaman terakhir yang tak di robek adalah satu minggu sebelum tanggal kecelakaan Mama Jasmine.""Menurut Mak bukankah itu mencurigakan. Mungkinkah ada hal yang penting di tulis almarhumah di buku hariannya sebelum kecelakaan itu terjadi?" Tanya Rahma setelah menjelaskan alasannya.Suryani tampak sedikit berpikir, terlihat dari keningnya yang berkerut."Mak sebenarnya tak yakin, tapi Bu Jasmine memang sangat suka menulis apapun kegiatannya di buku harian. Tapi ... tunggu sebentar, mbak." Suryani menghentikan kalimatnya sejenak."Apa Mak mengingat sesuatu?" Tanya Rahma ta
"Tak ada," jawab Rahma menggeleng, namun senyum yang terbit di wajahnya terlihat begitu mencurigakan di mata Suryani.***Tangan Deni memegang erat ponselnya, meski sedikit ragu, namun akhirnya tangannya menekan nomor ponsel Nella, lelaki itu berniat untuk bertukar pikiran dengan saudarinya itu mengenai masalah rumah tangganya.Suara jaringan statis terdengar ketika akhirnya panggilan teleponnya tersambung, tak lama suara Nella terdengar menyapanya lebih dulu."Ada apa kau menelponku, mas?""Ah, maaf jika kau mengganggu. Widya ... dia sudah dua hari tak kembali," jawab Deni."Maksudnya pergi dari rumah? kalian bertengkar?""Iya, kami bertengkar ..." Deni menghentikan ucapannya lalu terdengar helaan nafasnya yang berat."Lalu ...? Kau takut jika ia benar-benar akan meninggalkanmu? Begitu maksudmu, Mas?""Haruskah aku mengatakannya? Aku mengikuti saran Rahma, dan lihat hasilnya, Widya benar benar pergi meninggalkanku," keluh Deni.Mendengarnya, Nella menghela nafas panjang. "Kau tenang
Tampak di hadapannya Budi Anshara Widjaja tengah tersenyum padanya, membuat Hera spontan mengulas senyum, namun senyum itu mendadak lenyap saat dilihatnya seorang wanita dengan blazer hitam datang menghampiri Budi.***"Dia, Bukankah ..." Suara Miranda terdengar lebih dulu bertanya. Wajah wanita itu tampak terlihat bingung memandang Budi yang berada di sampingnya."Hera ...?" Wajah Budi tak kalah terkejutnya dengan Miranda. Mereka lalu terlihat saling melempar pandangan tanya.Hera masih berdiri memantung memandang mereka. Keinginannya untuk bertemu dan berbicara berdua dengan mantan suaminya tersebut sepertinya terhalang. namun bukan Hera namanya jika menyerah begitu saja."Ada apa datang ke sini, Hera?" Tanya Budi berbasa-basi, sambil melirik Miranda yang tampak memaksakan diri untuk tersenyum."A-ku ingin bicara denganmu, Mas. Tapi kelihatannya kau sedang sibuk," jawab Hera melirik sinis pada Miranda."Bicara saja, tak perlu sungkan. Lagipula, dia adalah calon istriku. Kurasa kalia