"Bisakah kau membantu mama agar bisa menikmati semua kemewahan ini? Mama tidak ingin hidup susah lagi. Lakukan sesuatu Denisa agar Mama bisa kembali pada Papa Budi," pinta Hera dengan penuh harap.***Untuk beberapa saat Denisa bergeming saat mendengarnya, ia tak menyangka jika ibunya masih memiliki ambisi dan berpikir bisa kembali menjadi bagian dari keluarga Widjaja."Apa yang baru saja tadi mama katakan?""Ingin kembali pada Papa Budi?" Tanya Denisa seakan tak percaya dengan apa yang telah ia dengar."Iya, mama lelah hidup susah. Bantu mama ya agar mama bisa kembali menikah dengan papa Budi," pinta Hera dengan tatapan memohon.Entah mengapa kali ini Denisa tertawa, wanita itu seolah tak bisa menahannya, lalu menggeleng perlahan."Aku tak bisa membantu mama kali ini. Lagipula tujuanku datang ke Jakarta hanya untuk mencari mama." Denisa menyahut."Tapi, mama sungguh mengharapkan bantuanmu, nak!"Denisa segera menggeleng." Tidak ma. Maaf kali ini aku tak bisa mengabulkan keinginan ma
"Ada apa kalian semua berkumpul di depan kamarku?" Tanya Yudha begitu melihat mereka yang masih berkumpul di depan kamarnya.***Wajah Yudha terlihat bingung saat melihat semua orang tengah berkumpul di depan kamarnya begitu juga dengan Rahma. Namun belum sempat ia kembali bertanya Denisa menyahut lebih dulu."Maaf. Mama memaksa ingin pamit padaku. Katanya mau ketemu teman." "Keluar ...?" Dahi Yudha tampak berkerut."Iya, Yudha, karena itu tante ingin mem ..." Belum selesai Hera menjawabnya, kembali Denisa memotong."Mama mau bilang, kemungkinan nanti akan pulang malam. Iya kan ma?" Tangan Denisa menyenggol lengan Hera sebagai isyarat bahwa ia harus mengikuti apa yang baru saja diucapkannya. Namun melihat gelagat Hera yang mendelik tak suka padanya, membuat wanita itu akhirnya menarik paksa tangan ibunya dan menjauhi tempat itu."Maaf ya jika menganggumu, aku dan mama pamit dulu. Sampai nanti malam, Yudha, Rahma," Pamit Denisa sambil terus menarik lengan ibunya."Apa yang kau lakuka
"Apa Mak tahu jika ada beberapa lembar halaman buku harian itu hilang. Ah tepatnya seperti sengaja di robek oleh seseorang?" Rahma lanjut bertanya. Sejenak di lihatnya Suryani tampak bingung membuat Rahma mencecarnya kembali dengan banyak pertanyaan.***"Buku harian ini?" Tanya Suryani memastikan dengan mata tak berkedip."Iya, beberapa lembar halaman buku ini hilang, entah mengapa aku sedikit penasaran karena tanggal halaman terakhir yang tak di robek adalah satu minggu sebelum tanggal kecelakaan Mama Jasmine.""Menurut Mak bukankah itu mencurigakan. Mungkinkah ada hal yang penting di tulis almarhumah di buku hariannya sebelum kecelakaan itu terjadi?" Tanya Rahma setelah menjelaskan alasannya.Suryani tampak sedikit berpikir, terlihat dari keningnya yang berkerut."Mak sebenarnya tak yakin, tapi Bu Jasmine memang sangat suka menulis apapun kegiatannya di buku harian. Tapi ... tunggu sebentar, mbak." Suryani menghentikan kalimatnya sejenak."Apa Mak mengingat sesuatu?" Tanya Rahma ta
"Tak ada," jawab Rahma menggeleng, namun senyum yang terbit di wajahnya terlihat begitu mencurigakan di mata Suryani.***Tangan Deni memegang erat ponselnya, meski sedikit ragu, namun akhirnya tangannya menekan nomor ponsel Nella, lelaki itu berniat untuk bertukar pikiran dengan saudarinya itu mengenai masalah rumah tangganya.Suara jaringan statis terdengar ketika akhirnya panggilan teleponnya tersambung, tak lama suara Nella terdengar menyapanya lebih dulu."Ada apa kau menelponku, mas?""Ah, maaf jika kau mengganggu. Widya ... dia sudah dua hari tak kembali," jawab Deni."Maksudnya pergi dari rumah? kalian bertengkar?""Iya, kami bertengkar ..." Deni menghentikan ucapannya lalu terdengar helaan nafasnya yang berat."Lalu ...? Kau takut jika ia benar-benar akan meninggalkanmu? Begitu maksudmu, Mas?""Haruskah aku mengatakannya? Aku mengikuti saran Rahma, dan lihat hasilnya, Widya benar benar pergi meninggalkanku," keluh Deni.Mendengarnya, Nella menghela nafas panjang. "Kau tenang
Tampak di hadapannya Budi Anshara Widjaja tengah tersenyum padanya, membuat Hera spontan mengulas senyum, namun senyum itu mendadak lenyap saat dilihatnya seorang wanita dengan blazer hitam datang menghampiri Budi.***"Dia, Bukankah ..." Suara Miranda terdengar lebih dulu bertanya. Wajah wanita itu tampak terlihat bingung memandang Budi yang berada di sampingnya."Hera ...?" Wajah Budi tak kalah terkejutnya dengan Miranda. Mereka lalu terlihat saling melempar pandangan tanya.Hera masih berdiri memantung memandang mereka. Keinginannya untuk bertemu dan berbicara berdua dengan mantan suaminya tersebut sepertinya terhalang. namun bukan Hera namanya jika menyerah begitu saja."Ada apa datang ke sini, Hera?" Tanya Budi berbasa-basi, sambil melirik Miranda yang tampak memaksakan diri untuk tersenyum."A-ku ingin bicara denganmu, Mas. Tapi kelihatannya kau sedang sibuk," jawab Hera melirik sinis pada Miranda."Bicara saja, tak perlu sungkan. Lagipula, dia adalah calon istriku. Kurasa kalia
"Aku butuh bantuan darimu, mbak?" Ujar Rahma melanjutkan kembali kalimatnya."Apa yang bisa ku bantu?" Balas Denisa yang masih tampak bingung.***Wajah Rahma terlihat mengulas senyum tipis, lalu duduk di sebelah Denisa. Sejenak ia tampak menghela nafas panjang, sebelum akhirnya bicara."Tolong perlihatkan sebentar buku itu pada Tante Hera. Dan katakan bahwa kau tak sengaja menemukannya di ruang baca," Pinta Rahma sambil menatap lawan bicaranya."Ah, tapi jika mbak Denisa keberatan, tidak apa -apa?" Lanjut Rahma."Buku ini? Pada mama? Tapi kenapa? Bukankah buku ini sangat privasi?" Tanya Denisa tak mengerti."Yah!" Kepala Rahma mengangguk."karena itu bisakah aku meminta tolong?" lanjut Rahma sedetik kemudian."Sebenarnya ada apa Rahma? Aku yakin kau punya penjelasannya, bukan?" Denisa menatap Rahma dengan tatapan selidik. "Aku hanya sedang bertaruh pada keberuntunganku Mbak," sahut Rahma yang membuat Denisa melipat keningnya."Katakan saja Rahma, aku semakin tidak mengerti," pinta De
"Ku tunggu jawabanmu, Mbak. Jika merasa keberatan membantuku, maka satu jam lagi tolong letakkan buku itu di kamarku. Karena Mas Yudha pasti akan mencarinya saat ia pulang nanti," pamit Rahma lalu melangkah pergi meninggalkan Denisa yang masih mematung memandanginya.***Hera kembali ke rumah besar milik Yudha dengan wajah masam. Pertemuannya dengan sang mantan suami berakhir dengan kegagalan. Niatnya untuk mengajak lelaki itu rujuk kembali padanya, ditolak tegas oleh Budi.Berulang kali Hera berusaha membujuk, merayu dan meminta dengan penuh harap, namun Budi tetap pada pendiriannya dan menutup semua celah untuk mereka bisa kembali bersama.Bibir Hera gemeretak, menahan rasa kekesalannya. Wanita itu tidak menyangka jika niatnya untuk rujuk akan ditolak oleh Budi. "Mengapa mas? Apa karena wanita bernama Miranda itu?" "Aku menemanimu selama lebih dari tiga puluh tahun, tak bisakah kau memberikanku kesempatan satu kali saja?" Hera mencecar Budi dengan banyak sekali pertanyaan."Ini t
"Hanya sebuah buku," jawab Denisa lalu duduk bersebelahan dengan ibunya dan memperlihatkan buku harian bersampul biru itu kepadanya.***Suara hentakan sepatu membuat fokus Yudha teralihkan. Sejenak lelaki itu menoleh, tampak di hadapannya kini seorang wanita mengenakan blazer kuning tengah berjalan menghampirinya."Maaf pak, saya sudah bilang kalau bapak sedang sibuk dan tidak bisa diganggu, tapi ibu Jesslyn tetap memaksa untuk masuk ..." lapor sekretarisnya, yang berdiri beberapa langkah di belakang Jesslyn."Tak apa, kau bisa kembali ke tempatmu," perintah Yudha sembari memberi kode agar pintunya di tutup kembali."Baik pak." Dengan patuh ia segera berbalik dan keluar dari ruangan kerja Yudha.Helaan nafas panjang terdengar pelan dari bibir Yudha. Lelaki itu kembali menatap layar komputernya, sejenak mengabaikan Jesslyn yang masih berdiri di hadapannya."Ada perlu apa kau datang ke sini, Jesslyn?" Tanya Yudha tanpa menoleh."Aku ingin mengajakmu keluar, kebetulan aku punya dua tike