"Tak ada," jawab Rahma menggeleng, namun senyum yang terbit di wajahnya terlihat begitu mencurigakan di mata Suryani.***Tangan Deni memegang erat ponselnya, meski sedikit ragu, namun akhirnya tangannya menekan nomor ponsel Nella, lelaki itu berniat untuk bertukar pikiran dengan saudarinya itu mengenai masalah rumah tangganya.Suara jaringan statis terdengar ketika akhirnya panggilan teleponnya tersambung, tak lama suara Nella terdengar menyapanya lebih dulu."Ada apa kau menelponku, mas?""Ah, maaf jika kau mengganggu. Widya ... dia sudah dua hari tak kembali," jawab Deni."Maksudnya pergi dari rumah? kalian bertengkar?""Iya, kami bertengkar ..." Deni menghentikan ucapannya lalu terdengar helaan nafasnya yang berat."Lalu ...? Kau takut jika ia benar-benar akan meninggalkanmu? Begitu maksudmu, Mas?""Haruskah aku mengatakannya? Aku mengikuti saran Rahma, dan lihat hasilnya, Widya benar benar pergi meninggalkanku," keluh Deni.Mendengarnya, Nella menghela nafas panjang. "Kau tenang
Tampak di hadapannya Budi Anshara Widjaja tengah tersenyum padanya, membuat Hera spontan mengulas senyum, namun senyum itu mendadak lenyap saat dilihatnya seorang wanita dengan blazer hitam datang menghampiri Budi.***"Dia, Bukankah ..." Suara Miranda terdengar lebih dulu bertanya. Wajah wanita itu tampak terlihat bingung memandang Budi yang berada di sampingnya."Hera ...?" Wajah Budi tak kalah terkejutnya dengan Miranda. Mereka lalu terlihat saling melempar pandangan tanya.Hera masih berdiri memantung memandang mereka. Keinginannya untuk bertemu dan berbicara berdua dengan mantan suaminya tersebut sepertinya terhalang. namun bukan Hera namanya jika menyerah begitu saja."Ada apa datang ke sini, Hera?" Tanya Budi berbasa-basi, sambil melirik Miranda yang tampak memaksakan diri untuk tersenyum."A-ku ingin bicara denganmu, Mas. Tapi kelihatannya kau sedang sibuk," jawab Hera melirik sinis pada Miranda."Bicara saja, tak perlu sungkan. Lagipula, dia adalah calon istriku. Kurasa kalia
"Aku butuh bantuan darimu, mbak?" Ujar Rahma melanjutkan kembali kalimatnya."Apa yang bisa ku bantu?" Balas Denisa yang masih tampak bingung.***Wajah Rahma terlihat mengulas senyum tipis, lalu duduk di sebelah Denisa. Sejenak ia tampak menghela nafas panjang, sebelum akhirnya bicara."Tolong perlihatkan sebentar buku itu pada Tante Hera. Dan katakan bahwa kau tak sengaja menemukannya di ruang baca," Pinta Rahma sambil menatap lawan bicaranya."Ah, tapi jika mbak Denisa keberatan, tidak apa -apa?" Lanjut Rahma."Buku ini? Pada mama? Tapi kenapa? Bukankah buku ini sangat privasi?" Tanya Denisa tak mengerti."Yah!" Kepala Rahma mengangguk."karena itu bisakah aku meminta tolong?" lanjut Rahma sedetik kemudian."Sebenarnya ada apa Rahma? Aku yakin kau punya penjelasannya, bukan?" Denisa menatap Rahma dengan tatapan selidik. "Aku hanya sedang bertaruh pada keberuntunganku Mbak," sahut Rahma yang membuat Denisa melipat keningnya."Katakan saja Rahma, aku semakin tidak mengerti," pinta De
"Ku tunggu jawabanmu, Mbak. Jika merasa keberatan membantuku, maka satu jam lagi tolong letakkan buku itu di kamarku. Karena Mas Yudha pasti akan mencarinya saat ia pulang nanti," pamit Rahma lalu melangkah pergi meninggalkan Denisa yang masih mematung memandanginya.***Hera kembali ke rumah besar milik Yudha dengan wajah masam. Pertemuannya dengan sang mantan suami berakhir dengan kegagalan. Niatnya untuk mengajak lelaki itu rujuk kembali padanya, ditolak tegas oleh Budi.Berulang kali Hera berusaha membujuk, merayu dan meminta dengan penuh harap, namun Budi tetap pada pendiriannya dan menutup semua celah untuk mereka bisa kembali bersama.Bibir Hera gemeretak, menahan rasa kekesalannya. Wanita itu tidak menyangka jika niatnya untuk rujuk akan ditolak oleh Budi. "Mengapa mas? Apa karena wanita bernama Miranda itu?" "Aku menemanimu selama lebih dari tiga puluh tahun, tak bisakah kau memberikanku kesempatan satu kali saja?" Hera mencecar Budi dengan banyak sekali pertanyaan."Ini t
"Hanya sebuah buku," jawab Denisa lalu duduk bersebelahan dengan ibunya dan memperlihatkan buku harian bersampul biru itu kepadanya.***Suara hentakan sepatu membuat fokus Yudha teralihkan. Sejenak lelaki itu menoleh, tampak di hadapannya kini seorang wanita mengenakan blazer kuning tengah berjalan menghampirinya."Maaf pak, saya sudah bilang kalau bapak sedang sibuk dan tidak bisa diganggu, tapi ibu Jesslyn tetap memaksa untuk masuk ..." lapor sekretarisnya, yang berdiri beberapa langkah di belakang Jesslyn."Tak apa, kau bisa kembali ke tempatmu," perintah Yudha sembari memberi kode agar pintunya di tutup kembali."Baik pak." Dengan patuh ia segera berbalik dan keluar dari ruangan kerja Yudha.Helaan nafas panjang terdengar pelan dari bibir Yudha. Lelaki itu kembali menatap layar komputernya, sejenak mengabaikan Jesslyn yang masih berdiri di hadapannya."Ada perlu apa kau datang ke sini, Jesslyn?" Tanya Yudha tanpa menoleh."Aku ingin mengajakmu keluar, kebetulan aku punya dua tike
Ucapan Denisa membuat Hera kini salah tingkah. Di tatapnya wajah Denisa dengan seksama. "Sebenarnya apa maksud semua ini, Denisa?""Jawab dengan jujur. Mama mengenal buku ini kan?" desak Denisa membuat Hera akhirnya jengah.***Yudha melangkahkan kakinya perlahan memasuki rumah. Nampak Rahma yang berdiri di pangkal anak tangga segera turun untuk menyambut kedatangannya.Wajah Rahma tampak berseri, entah mengapa membuat Yudha sedikit penasaran. Namun, baru saja hendak bertanya, mendadak Suryani menyapanya."Mas Yudha pulang lebih awal?" Ekor mata Suryani melirik jam antik yang berada di sudut kanan ruang tamu itu."Iya Mak. Rahma memintaku pulang lebih awal," Jawab Yudha sambil menoleh pada istrinya yang kini menghampirinya."Benar. Aku memang meminta Mas Yudha untuk pulang lebih awal. Karena ada hal yang harus kuperlihatkan pada Mas Yudha. "Apa itu!?" Dahi Suryani mengeryit. Wanita paruh baya itu terlihat bingung."Ah, bukan apa-apa. Nanti Mak juga akan tahu." Bibir Rahma mengulas se
"Jelaskan pada mama Denisa, apa maksud semua ini?" Tanya Hera setengah membentak.***Tatapan mata Hera kini terasa menusuk kala memandang putrinya. Emosi wanita paruh baya itu mulai naik, sungguh Hera tak mengerti mengapa Denisa mencecarnya dengan banyak pertanyaan ko-nyol seperti ini.Buku harian bersampul biru itu, tentu saja ia ingat. Buku harian milik Jasmine yang dulu sempat menghilang, buku yang dulu mati- matian di cari oleh Budi, mantan suaminya . Hanya saja yang Hera tak mengerti mengapa buku itu bisa muncul kembali dan ada di tangan Denisa.Sejenak Hera berpikir, mungkinkah ada seseorang yang berada di balik semua tingkah aneh Denisa sekarang? Seseorang yang ingin memanfaatkan dirinya? Puluhan tahun buku itu menghilang tak tentu di mana keberadaannya dan sekarang mendadak muncul kembali di tangan Denisa yang tidak memiliki hubungan kekerabatan apapun dengan keluarga Widjaja. Tentu menjadi tanda tanya besar baginya."Katakan pada mama, Denisa. Dari siapa kau mendapatkan bu
"Aku tak tahu apa yang di tulis mendiang Tante Jasmine di lembar halaman yang hilang tersebut, namun sepertinya itu sangat penting hingga mama merobeknya karena tak ingin ada yang tahu dan membacanya," ujar Denisa lalu menatap nanar buku harian bersampul biru di tangannya tersebut.***Pandangan mata Hera begitu menghujam saat mendengar semua ucapan Denisa. Wajah wanita itu memerah karena amarah. Sungguh, ia tak menyangka Denisa akan mendesaknya seperti ini.Atmosfir ruangan itu seketika berubah panas. Diraihnya paksa buku tersebut dari tangan Denisa. Buku harian bersampul biru itu kini di acungkan tinggi oleh Hera di hadapan Denisa."Hanya gara-gara buku ini kau menuduh dan mencurigai mama, Hah!" Suara Hera terdengar memekik."Lagipula, untuk apa kau mengurusi buku harian ini. Lebih baik kau buang saja buku ini. Hal tak penting seperti ini tak perlu dibahas." Hera membalikkan tubuhnya, namun sebelum hendak bertolak meninggalkan kamar itu, segera Denisa menahannya."Apa yang masih Ma