Kupikir kau akan menerima tantanganku, Jesslyn Tenyata kau lemah. Entah apa lagi yang akan kau rencanakan, tapi kupastikan semua rencanamu itu akan berakhir dengan kegagalan karena aku akan selalu selangkah berada di depanmu," bisik Rahma sambil terus memandang pada Jesslyn yang kini sudah berdiri kembali di sisi Miranda.***Mata Denisa tak berkedip saat mobil yang dikendarainya melewati sebuah perkampungan di pinggiran kota Depok, mencari sebuah alamat yang dituliskan Anton padanya pada selembar kertas.Beberapa penduduk tampak melirik ke arah mobilnya, sejenak Denisa tampak jengah seakan kedatangannya ke tempat itu menjadi sebuah tontonan. Dibalik kaca mobilnya yang gelap ia membalas tatapan mereka namun tak lama kemudian ia terkekeh geli saat menyadari kesalahannya.Yah, di perkampungan seperti ini melihat mobil mewah seperti yang dikendarainya mungkin suatu hal yang cukup jarang. Jadi wajar saja para warga tampak begitu antusias menatap mobilnya. Sejenak ia menyesali keputusannya
"Baguslah. Tapi aku penasaran apa lagi rencana wanita itu untuk menyingkirkanku."Ucapan Rahma membuat kening Yudha mengeryit, tak lama segaris senyum terbit di wajah orientalnya, seolah ada sesuatu yang sedang direncanakan lelaki itu dalam kepalanya.***Pagi pagi sekali Denisa telah bersiap, bahkan saat Suryani mengetuk pintu kamarnya agar bersiap-siap untuk sarapan, wanita berusia tiga puluh tahunan itu sudah rapi lengkap dengan riasan wajahnya.Di ikuti Suryani yang berjalan di belakang, dengan langkah pelan ia berjalan menuju meja makan, lalu menyapa Rahma dan seorang asisten rumah tangga masih sibuk membuat sandwich di sana.Melihat kedatangan Denisa, Rahma tersenyum menyambut kedatangannya, dipersilahkannya Denisa duduk di meja makan sementara dirinya masih menyelesaikan pekerjaannya."Kau selalu menyiapkan sarapan sendiri?" Tanya Denisa.Rahma menggeleng. " Tidak, Mbak. Hanya sesekali saja. Soalnya kalau keseringan di dapur aku diomeli sama Mak Suryani," Bisik Rahma sambil mel
"Mama," sapa Denisa dengan matanya yang berkaca-kaca. Sungguh banyak sekali hal yang ingin ia tanyakan pada ibunya tersebut ***"Aku mau pulang ke rumah orang tuaku, mas!" Teriak Widya begitu Deni baru saja melangkahkan kaki ke kamar mereka."Apa maksudmu, Widya?" Kening Deni berkerut."Kau sudah mendengarnya sendiri dengan jelas, rasanya aku tak perlu mengulanginya lagi mas." Wajah Widya tampak begitu kesal."Apa alasannya?" Tanya Deni tak mengerti."Kau masih bertanya padaku apa alasannya, mas?" Suara Widya meninggi."Berapa kali harus kukatakan bahwa aku tidak mau tinggal di kontrakan, aku tak mau miskin dan hidup susah. Apa itu masih kurang jelas?""Jadi kau menyalahkanku?" Tuding Deni tak percaya."Iya, kau pemalas. Sudah tahu hutangmu banyak, tapi yang kaulakukan hanyalah bermain game online saja.""Kau bilang aku pemalas? Lalu siapa yang sampai hari ini menafkahimu, hah!? Set-an?" Hardik Deni tak terima, wajah lelaki itu mulai memerah karena marah."Kalau bukan pemalas, apa na
"Kurasa aku harus berusaha untuk membuatnya bicara, aku tahu dia mengetahui buku harian ini dan aku juga yakin ia Juga tahu mengenai beberapa halaman buku yang hilang itu," Bisik Rahma begitu melihat tubuh Suryani menghilang di balik pintu kamarnya.***Mata Jesslyn tampak menyipit kala melihat mobil hitam yang ditumpangi Yudha bergerak perlahan keluar dari pelataran kantornya, untuk sesaat ia menggigit bibirnya, mencari cara agar lelaki itu mau menemuinya.Tak ingin melihat mangsanya lepas begitu saja, bergegas ia menginjak pedal gas mobilnya dan memaksa dirinya untuk mengikuti mobil hitam itu. Beberapa kali ia harus menahan laju mobilnya karena tak ingin ketahuan.Entah mengapa wanita itu akhirnya memutuskan untuk membuntutinya, sesekali matanya melirik ke arah ponselnya, berharap ada telepon maupun pesan balasan darinya, karena sejak tadi tak satupun pesan maupun panggilan teleponnya di gubris oleh Yudha.Terdengar helaan nafas panjang dari mulutnya saat mobilnya terpaksa berhenti
"Baiklah, kali ini aku menyerah, namun ini bukan berarti aku melepaskanmu, Yudha. karena kau hanya milikku seorang," bisik Jesslyn sambil terus memacu mobilnya.***"Bagaimana pak? Apa mobilnya masih ada di depan?" Tanya Rahma pada penjaga rumahnya."Tak ada lagi, Bu. Mobilnya sudah pergi." Penjaga itu kembali menoleh ke kanan dan kiri guna memastikan kembali."Baguslah. Ingat baik-baik mobil itu. Jangan pernah membukakan pagarnya tanpa seizinku atau Pak Yudha, mengerti?" Perintah Rahma yang langsung di balas anggukan kepala olehnya. Tak lama Rahma membalikkan badannya, bergegas masuk ke dalam rumah."Kucing betinamu itu sepertinya sudah mulai ingin mengajak bermain, mas," sindir Rahma cemberut begitu melihat Yudha melepas dasinya."Nih ponselmu." Tangan Rahma terulur menyerahkan benda pipih itu pada Yudha."Untung saja ponselmu tertinggal di mobil kalau tidak, aku mungkin tidak tahu jika kucing gatal itu mulai mengeong," ketus Rahma. Setidaknya ia harus berterima kasih pada sopir pri
"Iya, mereka berdua ada di kamar dan sepertinya mereka sudah tidur," Jawab Suryani yang entah mengapa melirik tajam pada Hera. ***Matahari baru saja terlihat saat Widya memutuskan untuk keluar dari rumah. Wajah wanita dengan rambut sebahu itu tampak masam dengan salah satu tangannya menarik kasar koper miliknya.Keputusannya untuk pergi tampaknya sudah bulat, Widya memilih kembali ke rumah orang tuanya karena merasa keputusan Deni untuk menjual rumah dan mobil mereka sangat merugikan dirinya.Bayang-bayang hidup susah tampak terus membayangi hari - harinya. Entah mengapa, mendadak ia membayangkan kehidupan Rahma saat berada di kontrakan dulu yang penuh kesengsaraan, hinaan dan cacian.Sungguh, ia tak ingin menjalani kehidupan seperti itu."Jadi ini keputusanmu, Widya?" Tanya Deni saat melihat Widya sudah rapi dengan salah satu tangannya memegang handle koper."Iya, sudah kuputuskan untuk pulang ke rumah orang tuaku jika kau tetap bersikeras menjual rumah kita pada Rahma demi menutup
"Tak apa, aku akan minta pelayan untuk membuatnya." Ekor mata Yudha terlihat melirik Suryani yang berdiri tak jauh dari meja makan itu yang entah mengapa terlihat begitu jengah melihat sikap Hera yang seakan masih merasa menjadi nyonya besar Widjaja. ***"Mak bisakah minta tolong seseorang untuk membuatnya?" Pinta Yudha pada Suryani yang masih bergeming menatap Hera."Tak perlu mas, biar Mak saja yang membuatnya." Suryani tersenyum kecut. Wanita paruh baya itu lantas beralih ke dapur untuk membuat sandwich yang diinginkan Hera.Wajah Suryani kembali datar, wanita itu terlihat diam hanya tangannya yang tampak begitu sibuk meraciknya."Entah mengapa aku masih tak suka melihat wanita itu, meskipun sudah tak lagi menjadi bagian dari keluarga ini, sikapnya yang sombong masih mengakar ," gumam Suryani sembari menyelesaikan pekerjaannya. Tak lama, empat potong sandwich akhirnya tersaji di meja makan itu."Silakan Bu." Suryani mempersilakan Hera menyantapnya."Ah, terima kasih mak. Maaf jik
"Bisakah kau membantu mama agar bisa menikmati semua kemewahan ini? Mama tidak ingin hidup susah lagi. Lakukan sesuatu Denisa agar Mama bisa kembali pada Papa Budi," pinta Hera dengan penuh harap.***Untuk beberapa saat Denisa bergeming saat mendengarnya, ia tak menyangka jika ibunya masih memiliki ambisi dan berpikir bisa kembali menjadi bagian dari keluarga Widjaja."Apa yang baru saja tadi mama katakan?""Ingin kembali pada Papa Budi?" Tanya Denisa seakan tak percaya dengan apa yang telah ia dengar."Iya, mama lelah hidup susah. Bantu mama ya agar mama bisa kembali menikah dengan papa Budi," pinta Hera dengan tatapan memohon.Entah mengapa kali ini Denisa tertawa, wanita itu seolah tak bisa menahannya, lalu menggeleng perlahan."Aku tak bisa membantu mama kali ini. Lagipula tujuanku datang ke Jakarta hanya untuk mencari mama." Denisa menyahut."Tapi, mama sungguh mengharapkan bantuanmu, nak!"Denisa segera menggeleng." Tidak ma. Maaf kali ini aku tak bisa mengabulkan keinginan ma