Part 17“Kolam pemancingan dan rekreasi Rindu Alam” Itu yang tertulis di papan reklame yang cukup besar. Didirikan tepat di depan rumah kami.“Kenapa gak Rindu Firman, Bang?” tanyaku pada suami, saat itu tukang sedang mengerjakan tiang reklame tersebut.“Gak cocok, Dek, itu gabungan nama kita berdua, dan kata-katanya tepat, Rindu suasana alam,” kata Suamiku.Nama suami memang Firman Alamsyah, pilihan nama yang tepat sekali, jika aku rindu Kota, orang kota justru rindu tempat seperti ini. Makin lama, kolam pemancingan kami makin ramai. Jika Sabtu Minggu akan sangat ramai, sekeliling kolam besar itu penuh dengan orang. Kami seperti berjualan ikan dengan cara dipancing.Uang masuk tempat kamu tetap gratis, yang bayar hanya ikan yang didapat pemancing, harganya juga sama dengan harga biasa kami jual. Ide ini memang mantap, kami tak perlu lagi antar ikan ke kota, orang kota yang datang ambil ikan. Tempat kami jadi ramai.Kini karyawan kami sudah enam orang, ada juga warung makanan dan minu
ParliNia 2Part 34Niat ingin liburan tipis-tipis justru berakhir dengan kecelakaan. Satu pemuda hanya lecet-lecet, satu lagi kepalanya harus mendapatkan beberapa jahitan. Kami datang menemua orang tua anak tersebut, niatnya untuk berdamai. Pemuda itu sama sekali tidak berani menceritakan awal kenapa bisa menabrak mobil kami, Dia justru minta tolong supaya jangan diceritakan."Tolong, Bu, aku minta maaf, tolong jangan bilang cerita yang sebenarnya, aku malu, Bu," kata pemuda tersebut, saat aku menyalaminya."Iya, tapi jangan ulangi lagi ya," kataku kemudian."Iya, Bu, janji," katanya.Begitulah cerita versi Butet yang akhirnya dipakai, sapi tiba-tiba menyeberang jalan, motor mereka coba menghindar akhirnya menabrak mobil kami dari belakang. Biarpun begitu, Bang Parlindungan tetap memberikan uang perobatan untuk kedua pemuda tersebut. Hari itu Minggu, aku dan Bang Parlin olahraga berjalan kaki keliling desa. Desa kami konon adalah desa terluas yang ada di kabupaten ini, tapi bukan be
ParliNia 2Part 35.Aku merasa dilangkahi pelaksanaa tugas kepala desa, padahal, sesuai aturan, jika ada masalah penting, harus konsultasi dengan kepala desa terpilih. Hermansyah juga seperti menikungku. Padahal dia temanku mulai SMA, gak mungkin dia tidak tahu ciri khas desa ini yang religius. Malam harinya, Hermansyah dan istrinya datang ke rumah, mungkin istrinya sudah cerita soal ini. Begitu datang dia langsung menyalami kami, dia bawa oleh-oleh. Yaitu kue bolu dari Medan."Mak, kata guru kami, jika pemberian itu berhubungan dengan jabatan, itu termasuk korupsi," Ucok berbisik ke telingaku ketika menerima bolu pandan tersebut."Maaf, Niyet, aku hanya ingin berbuat untuk desa ini," kata Hermansyah ketika aku singgung soal tempat hiburan malam tersebut."Lihat-lihat dong tempatnya, desa ini terkenal religius, kau jual pula miras," kataku."Seperti yang kubilang tadi, aku hanya ingin berbuat untuk desa ini, itu permintaan beberapa warga yang kerja denganku. Kata mereka dari pada car
ParliNia 2Part 36Entahlah mulut si Butet ini, masa dibilangnya Bupati naksir ibunya. Kulirik Bang Parlin, dia tak tersenyum biasanya jika Butet bicara lucu, dia akan tersenyum atau tertawa, tapi kali ini tidak, wajahnya kelihatan serius."Dek, memang aneh bupati itu, masa sempat-sempatnya dia menelepon kepala desa, bupati lo, yang mnelepon pun pakai ajudan." kata Bang Parlin."Bapak itu ngefans sama Abang, saat pelantikan itu pun justru nama Abang yang dia sebut, bukan namaku atau kepala desa lain," kataku kemudian."Aneh aja, Dek, jangan-jangan dia duda?" kata Bang Parlin lagi."Gak tau, Bang," kataku kemudian, ternyata Bang Parlin bisa cemburu juga, sampai bupati pun dia tanya dudanya.Hari itu Firman dan Rindu datang berkunjung. Mereka bawa oleh-oleh telur asin dan ikan mas salai. Begitu mereka datang, Butet langsung laporan."Tante, di sini ada Rindu Karaoke," kata Butet."Ini yang hobby karaoke," jawab Rindu seraya menunjuk suaminya."Gak tanyakah kenapa namanya Rindu karaoke?
ParliNiaPart 37Kuserahkan HP tersebut kepada Bang Parlin, dia lalu berbicara dengan Pak bupati. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Bupati, akan tetapi Bang Parlin bilang, "siap, Pak," terima kasih, Pak"."Kirain ayah berani protes ke bapak Bupati," kata Butet."Bupati bilang, ini harus berhasil, desa kita calon desa terbaik tingkat kabupaten," kata Bang Parlin."Itu dia gratifikasi," kata Butet lagi."Kok gratifikasi?" tanya Bang Parlin lagi."Bapak bupati menyuap Ayah dengan predikat desa terbaik, biar gak cemburu," kata Butet lagi."Butetttt!" Kami hanya menonton dari mobil, sepertinya bapak bupati juga hanya menonton dari mobil, karena yang masuk cuma polisi dan beberapa anggota BNN. Terjadi kehebohan, ada seorang wanita berpakaian mini yang lari ke arah kami, lucunya dia bersembunyi di balik mobil kami. Butet memang kadang-kadang tak terduga, dia buka pintu mobil."Kak, sini sembunyi di mobil kami," kata Butet. Wanita berpakaian minim tersebut masuk ke mobil sambil mengucapkan
ParliNia 2Part 38Suasana desa malam itu jadi heboh, bisa dimaklumi, ini untuk pertama kalinya ada penggrebekan di desa ini. Para ibu-ibu berkumpul di depan rumah ketika kami sampai."Bu Kades, mari kita bakar tempat terkutuk itu," seru seorang ibu-ibu saat aku turun dari mobil."Tidak boleh seperti itu, kita serahkan pada hukum yang berlaku saja," kataku kemudian."Suami kami bisa kecanduan, anak-anak kami bisa kena, kita bakar saja," teriak seseorang lagi."Jangan, tidak boleh," kataku lagi."Kami akan bakar tempat itu, bakar, bakar," kata seorang wanita bertubuh gemuk."Maaf, ya, ibu-ibu, jika kalian tetap nekat, kalian yang nanti ditangkap polisi," kataku lagi.Para ibu-ibu itu terdiam.Keesokan harinya, Hernyet datang ke kantor desa, saat itu lagi bicara serius dengan sekretaris desa dan beberapa perangkat desa lain."Usaha istriku legal, ada izinnya, kenapa harus diganggu?" tanya Hermansyah."Kau Hernyet makin apa kali kutengok, aku tanya dulu kau, apa mengkonsumsi narkoba itu
ParliNia 2Part 39Ini untuk pertama kali aku sampai dipanggil ke sekolah, Ucok sama sekali tak pernah berulah. Entah apa yang sudah dilakukan Butet. Kutelepon Bang Parlin, suamiku itu pun datang menjemputku ke kantor kepala desa. Dia membawa mobil bak terbuka yang biasa kami pakai membawakan sawit. Lalu kami berangkat bersama ke sekolah."Kenapalah kira-kira si Butet ini?" tanya Bang Parlin. "Gak tau, Bang, gurunya gak mau bilang," jawabku."Mulut si Butet itu terlalu laju, Dek," kata Bang Parlin lagi."Iya, Bang, aku jadi khawatir sekali, cepatlah, Bang," kataku kemudian.Sekolah itu terletak di ibukota kecamatan, sekitar empat puluh lima menit naik mobil dari desa kami. Saat kami sampai. Seorang securiti mengarahkan kami langsung ke ruangan BK. Ketika kami sampai di ruangan itu, terlihat Butet duduk, begitu melihat kami dia langsung menangis. Ini sesuatu yang jarang, biarpun dia anak perempuan, akan tetapi dia jarang menangis."Ada apa ya, Bu?" tanyaku pada gutu BK tersebut. Ter
ParliNia 2Part 40.Butet terlihat semangat untuk pindah sekolah, akan tetapi aku justru sedih. Sekolah favorit itu ada di kota, sistem asrama pula. Mereka menyebutnya SMP-IT. Itu artinya Butet akan tinggal di asrama, di ibukota kabupaten pula. Apakah aku sudah siap melepas Butet?"Bang, sebaiknya cari sekolah lain untuk Butet, jangan yang dibilang pak bupati," kataku pada Bang Parlin."Iya, Dek, satu hari gak dengar ocehannya sudah rindu, apalagi dia tinggal di asrama," kata Bang Parlin."Entahlah, Bang, apakah Butet sudah bisa mandiri?" kataku lagi."Itulah, Abang juga berat melepasnya, tapi di sini sekolah SMP hanya itu, ada pun satu lagi di kecamatan sebelah, jauh," kata Bang Parlin.Ketika kami diskusikan hal itu dengan Butet, dia malah lebih semangat pindah sekolah ke kota. "Aku kan sudah bisa nyuci baju sendiri, Mak," kata Butet."Hidup itu bukan hanya nyuci, Butet," jawabku."Iya juga, Mak, tapi aku yakin bisa, tenang aja, Mak," kata Butet.Dengan berat hati, kamu akhirnya