ParliNiaPart 37Kuserahkan HP tersebut kepada Bang Parlin, dia lalu berbicara dengan Pak bupati. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Bupati, akan tetapi Bang Parlin bilang, "siap, Pak," terima kasih, Pak"."Kirain ayah berani protes ke bapak Bupati," kata Butet."Bupati bilang, ini harus berhasil, desa kita calon desa terbaik tingkat kabupaten," kata Bang Parlin."Itu dia gratifikasi," kata Butet lagi."Kok gratifikasi?" tanya Bang Parlin lagi."Bapak bupati menyuap Ayah dengan predikat desa terbaik, biar gak cemburu," kata Butet lagi."Butetttt!" Kami hanya menonton dari mobil, sepertinya bapak bupati juga hanya menonton dari mobil, karena yang masuk cuma polisi dan beberapa anggota BNN. Terjadi kehebohan, ada seorang wanita berpakaian mini yang lari ke arah kami, lucunya dia bersembunyi di balik mobil kami. Butet memang kadang-kadang tak terduga, dia buka pintu mobil."Kak, sini sembunyi di mobil kami," kata Butet. Wanita berpakaian minim tersebut masuk ke mobil sambil mengucapkan
ParliNia 2Part 38Suasana desa malam itu jadi heboh, bisa dimaklumi, ini untuk pertama kalinya ada penggrebekan di desa ini. Para ibu-ibu berkumpul di depan rumah ketika kami sampai."Bu Kades, mari kita bakar tempat terkutuk itu," seru seorang ibu-ibu saat aku turun dari mobil."Tidak boleh seperti itu, kita serahkan pada hukum yang berlaku saja," kataku kemudian."Suami kami bisa kecanduan, anak-anak kami bisa kena, kita bakar saja," teriak seseorang lagi."Jangan, tidak boleh," kataku lagi."Kami akan bakar tempat itu, bakar, bakar," kata seorang wanita bertubuh gemuk."Maaf, ya, ibu-ibu, jika kalian tetap nekat, kalian yang nanti ditangkap polisi," kataku lagi.Para ibu-ibu itu terdiam.Keesokan harinya, Hernyet datang ke kantor desa, saat itu lagi bicara serius dengan sekretaris desa dan beberapa perangkat desa lain."Usaha istriku legal, ada izinnya, kenapa harus diganggu?" tanya Hermansyah."Kau Hernyet makin apa kali kutengok, aku tanya dulu kau, apa mengkonsumsi narkoba itu
ParliNia 2Part 39Ini untuk pertama kali aku sampai dipanggil ke sekolah, Ucok sama sekali tak pernah berulah. Entah apa yang sudah dilakukan Butet. Kutelepon Bang Parlin, suamiku itu pun datang menjemputku ke kantor kepala desa. Dia membawa mobil bak terbuka yang biasa kami pakai membawakan sawit. Lalu kami berangkat bersama ke sekolah."Kenapalah kira-kira si Butet ini?" tanya Bang Parlin. "Gak tau, Bang, gurunya gak mau bilang," jawabku."Mulut si Butet itu terlalu laju, Dek," kata Bang Parlin lagi."Iya, Bang, aku jadi khawatir sekali, cepatlah, Bang," kataku kemudian.Sekolah itu terletak di ibukota kecamatan, sekitar empat puluh lima menit naik mobil dari desa kami. Saat kami sampai. Seorang securiti mengarahkan kami langsung ke ruangan BK. Ketika kami sampai di ruangan itu, terlihat Butet duduk, begitu melihat kami dia langsung menangis. Ini sesuatu yang jarang, biarpun dia anak perempuan, akan tetapi dia jarang menangis."Ada apa ya, Bu?" tanyaku pada gutu BK tersebut. Ter
ParliNia 2Part 40.Butet terlihat semangat untuk pindah sekolah, akan tetapi aku justru sedih. Sekolah favorit itu ada di kota, sistem asrama pula. Mereka menyebutnya SMP-IT. Itu artinya Butet akan tinggal di asrama, di ibukota kabupaten pula. Apakah aku sudah siap melepas Butet?"Bang, sebaiknya cari sekolah lain untuk Butet, jangan yang dibilang pak bupati," kataku pada Bang Parlin."Iya, Dek, satu hari gak dengar ocehannya sudah rindu, apalagi dia tinggal di asrama," kata Bang Parlin."Entahlah, Bang, apakah Butet sudah bisa mandiri?" kataku lagi."Itulah, Abang juga berat melepasnya, tapi di sini sekolah SMP hanya itu, ada pun satu lagi di kecamatan sebelah, jauh," kata Bang Parlin.Ketika kami diskusikan hal itu dengan Butet, dia malah lebih semangat pindah sekolah ke kota. "Aku kan sudah bisa nyuci baju sendiri, Mak," kata Butet."Hidup itu bukan hanya nyuci, Butet," jawabku."Iya juga, Mak, tapi aku yakin bisa, tenang aja, Mak," kata Butet.Dengan berat hati, kamu akhirnya
ParliNia Bang Parlin punya kesibukan baru, dia jadi panitia pembangunan pesantren di desa kami. Pesantren yang bernama Pesantren Modern Sawit Nauli itu dibangun di bekas tempat hiburan malam. Hermansyah menyumbang tanah, Bupati ikut menggalang dana. Akan tetapi masalah timbul dari desa kami sendiri. Adalah Wak Haji Syaifudin, orang yang dituakan di desa itu tidak setuju dengan pembangunan pesantren tersebut."Minyak sama air itu tidak bisa dicampur, mendirikan pesantren di tempat maksiat tidak akan berkah. Tak adalah lokasi lain?" Begitu Alasan Wak Haji- begitulah bapak ini biasa disapa."Apakah ada dalilnya yang mengharamkan, Wak Haji? " tanya Bang Parlin, saat itu kami lagi musyawarah desa atas permintaan Wak Haji ini.Wak Haji Syaifudin berdiri, dia kemudian memandang seluruh peserta rapat tersebut."Dengar hadis ini dulu ya, saya tidak asal berucap, Abu Hurairah berkata, "Kami istirahat malam ketika safar bersama Nabi Muhammad SAW, kami tidak bangun di waktu Subuh sampai terbit
Bupati GalauBang Parlin menatapku lalu menatap layar ponsel tersebut. Lalu dia menatap Ucok. Entah apa yang mau dikatakan Bang Parlin sampai harus menghentikan mobil."Nanti kita bicara di rumah," kata Bang Parlin.Mungkin Bang Parlin cemburu bupati curhat padaku, akan tetapi dia tidak bisa berkata-kata karena ada Ucok. Sepanjang perjalanan pulang Bang Parlin terus diam. Ucok pun kembali tidur. Ketika kami sampai di rumah, hari sudah menjelang malam. Kami langsung mandi dan salat magrib berjamaah. Setelah selesai salat magrib, Ucok ke samping rumah, di mana ada sekolah mengaji kami. "Dek, ini sudah tidak beres, kenapa bupati sampai curhat padamu, heh?" kata Bang Parlin."Aku mana tau, Bang?" jawabku seraya angkat bahu."Kok gak tau, kan HP-mu, berarti kalian sudah sering chat," kata Bang Parlin lagi."Gak kok," "Jadi apa maksudnya ini, kenapa curhat masalah rumah tangga pada istri orang kenapa kamu terima?" suara Bang Parlin makin keras."Tidak tahu, Bang, tidak tahu," kataku kem
Butet Luar Biasa"Bang, apa ini, kok bupati chat bilang terima kasih," kataku setelah mengikuti Bang Parlin ke kamar."Bupati kita lagi galau, jadi Abang berikan nasihat jitu," jawab Bang Parlin."Mana dia chat-nya?" tanyaku lagi."HP-mu canggih kali, Abang salah klik akhirnya hilang,' kata Bang Parlin lagi Apa kira-kira nasihat Bang Parlin sampai membuat bupati berterima kasih? "Abang bilang apa?" tanyaku lagi."Ya, biasa, Dek, nasihat pernikahan," jawab Bang Parlin.Aku berbaring di samping Bang Parlin dengan HP masih di tangan, penasaran juga apa yang Bang Parlin bilang. "Betul juga ya kata orang, jabatan, harta, bukan jaminan kebahagiaan," kata Bang Parlin."Iya, Bang," "Tapi tanpa harta sulit untuk bahagia, aku sudah rasakan itu," kata Bang Parlin lagi."Iya, Bang,""Seperti Wak Haji, dia tidak iri orang punya kebun sawit luas, rumah cantik, tapi ketika orang mau bangun pesantren dia langsung iri, harus dia yang paling bisa berbuat dalam hal keagamaan,""Betul, Bang, aku juga
Wak Haji Aku langsung menarik tangan Butet, bukan hanya karena dia langsung protes. Dia bicara sama Wak Haji tanpa pakai Haji, Hanya Wak saja. Aku saja yang kepala desa bicara tanpa haji, Wak itu marah. Apalagi anak remaja seperti Butet."Padahal karaoke itu dekat rumah Wak, Wak tidak protes, sampai digerebek polisi, Wak diam saja. Orang mau bangun pesantren, Wak pula keberatan," Butet masih bicara, padahal aku sudah coba memeganginya.Wak haji justru tidak menanggapi, dia seperti pura-pura tidak dengar. Dia lanjut bicara dengan bapak Bupati."Beribadah di tempat maksiat itu hukumnya makruh, Pak Bupati, jelas hadisnya, Rasulullah bahkan tidak salat subuh karena lagi berada di lokasi yang dijadikan orang tempat maksiat," kata Wak Haji lagi.Bupati justru melihat Butet, lalu bupati itu membukakan tangannya sebelah, seperti menyuruh Butet berbicara."Iya, Wak, betul itu, tapi itu bukan tempat maksiat, akan tetapi bekas, bekas ya, Wak, sedangkan mantan pelaku maksiat saja boleh bertobat
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga