Saat tiba di ibukota kabupaten, kami langsung ke kantor polisi. Terus melapor supaya memanggil semua orang yang tertipu tersebut. Polisi malah terkejut."Maaf, Pak, Bu, ini tidak biasa, apakah pelaku penipuan itu saudaranya Anda?" tanya polisi itu."Oh, bukan, Pak, mereka cuma kembalikan pada kami, terus kami akan kembalikan pada korban lain, karena di kantor ini data yang ada, ya, kami ke mari," kata Bang Parlin."Kenapa saat pelaku penipuan mengembalikan uangnya tidak Anda tangkap, lalu antar ke kantor polisi, atau bisa juga hubungi polisi, biar kami jemput," kata polisi itu lagi."Udahlah, Pak, kalau tidak mau memanggil orangnya, sini datanya saja, biar kami antar sendiri," kataku kesal."Bukan begitu, Bu, ini sudah masuk pengaduan, jika memang harus berdamai, pelaku harus hadir di sini, bukan dikembalikan begitu saja," kata polisi tersebut."Kok rumit kali, Pak, kami hanya mau kembalikan uang orang yang ditipu?" kataku lagi."Harus sesuai prosedur, Bu, berdamai di luar boleh saja,
Maaf, Bang Parlin, saya tidak bilang ini salah Abang ya, saya justru berterima kasih, karena chat Bang Parlin saya bisa seperti ini," kata Merry. "Berterima kasih? Ya, Allah, kamu pikir ini prestasi, kamu pikir dapat jodoh bupati itu sebuah prestasi, ibarat kata kamu itu bahagia di atas penderitaan orang lain, lihat Bu Dewan jadi bunuh diri, lihat Salsabila jadi trauma," kata Bang Parlin. Dia masih terlihat marah.Suasana makan malam itu jadi canggung, entah kenapa Bang Parlin bisa marah seperti ini. Padahal Merry dan mantan bupati itu bukan menyalahkan Bang Parlin, mereka justru berterimakasih. "Itu yang kusuka dari Bang Parlin ini, berani bicara, tak peduli siapa lawan bicaranya, jujur saja, di kabupaten ini hanya Bang Parlin yang berani tunjuk mukaku begini," kata Mantan bupati tersebut.Makan malam itu akhirnya bubar, Merry tampak tidak senang, akan tetapi yang aneh mantan bupati itu malah biasa saja."Bang, Abang kok marah-marah saja satu hari ini? Guru si Ucok Abang marahi
Bang Parlin putar balik, kami kembali ke sekolah tersebut. Jika Bu Guru itu membawa masalah pribadi ke sekolah. Itu sudah tidak bisa ditelolir. Saat kami sampai, Sudah ada Tugirin di depan gerbang sekolah. Pasti dia juga sedang menunggu istrinya. "Assalamualaikum, Bang Parlin," sapa Tugirin."Waalaikum salam," jawab Bang Parlin. Kami langsung masuk saja ke sekolah. Anak sekolah sudah pada pulang semua. Kami langsung menuju kantor sekolah tersebut.sedangkan Ucok menunggu di mobil."Eh, ada Bang Parlin, sang keluarga teladan, ada apa gerangan?" tanya seorang guru."Kami mau bertemu kepala sekolah," jawabku kemudian."Oh, mari, Pak, Bu, saya antar ke ruangan kepala sekolah, mungkin beliau belum pulang," kata Bapak tersebut."Saya ikut mendaftar keluarga teladan juga dulu, tapi Bang Parlin yang menang," kata Guru itu saat mengantarkan kami. Saat tiba di ruangan kepala sekolah, beliau tampak sudah bersiap hendak pulang."Ada apa ya, Pak?" tanyanya seraya mempersilahkan duduk."Kami mau
Aku dan Ucok sampai berebutan melihat' HP Bang Parlin. Ternyata isinya adalah video kami lagi memberikan uang empat ratus juta itu. Entah siapa yang video kan kami, padahal saat itu aku tidak melihat orang memakai HP. (Alhamdulillah ya, Allah, si kembar akhirnya bisa berangkat, Tuhan telah mengirim orang baik pada kami, beliau adalah Bang Parlin dan keluarga, tidak banyak bicara, tidak seperti pejabat yang kasih lima ratus ribu tapi minta difoto. Bang Parlin dan keluarga memberikan empat ratus juta, kakak iparku sampai pingsan dua kali) begitu isi caption di status Facebook. Dari isinya itu berarti adiknya tukang itu. Aku coba cari tahu, ternyata dia kordinator penggalangan dana untuk si kembar."Ini sudah terlalu laju, ambil video diam-diam, terus upload juga diam-diam," kata Ucok."Ayah tak suka ini, segera ingatkan supaya dihapus," kata Bang Parlin."Sudah terlanjur menyebar, Yah, lihat ini berita juga sudah banyak, di YouTube juga sudah menyebar." kata Ucok kemudian."Wah, gawat
Karena semuanya sudah setuju, aku pun menelepon YouTuber tersebut, untuk menyampaikan kesediaan kami untuk tampil di podcast-nya."Saya senang sekali mendengar kabar ini, kapan kira-kira ibu sekeluarga punya waktu?" tanya Arita Chan.Besok ataupun lusa, kebetulan hari libur," jawabku kemudian."Ya, sudah, saya akan mengirim tiket ke Jakarta," katanya lagi."Jakarta?" "Iya, Bu," "Tak bisa kah kalian yang datang?" tanyaku lagi."Di mana tepatnya ibu," tanyanya.Aku pun memberitahu alamat lengkap kami."Waduh, jauh sekali, lima belas jam dari bandara terdekat," jawabnya kemudian, setelah agak lama dia diam."Jadi bagaimana baiknya?" "Begini saja, kami datang ke Medan, kita bertemu di Medan besok jam sembilan pagi. Jika deal, biar saya hubungi rekan di Medan untuk menyiapkan studio," katanya lagi."Bentar, ya, kami berunding dulu," jawabku kemudian.Aku pun memberi tahu pada Bang Parlin Ucok dan Butet."Kita ke Jakarta saja, Mak, sekalian jalan-jalan," kata Butet."Jumpa di Medan saja
Kamera pun dimatikan. Arita tampak tidak senang dengan hasilnya. Beberapa kali dia periksa kembali siaran langsung tersebut. "Kalian tidak bisa diajak kerjasama," kata Arita."Maaf sekali atas ketidaknyamanannya," kataku kemudian. Untuk beberapa saat lamanya, Arita sibuk dengan HP -nya, lalu berbicaralah serius dengan beberapa kru-nya. Entah apa yang mereka bicarakan aku tak tahu."Kita masih bisa wawancara, tapi tidak siaran langsung lagi," kata Arita lagi."Boleh, boleh, tapi tetap seperti itu, kami tidak mau settingan," kata Bang Parlin."Ok, kita mulai." Kami kembali duduk, masih tetap di posisi semula. Arita ini memang sering buat konten mengangkat kemiskinan orang. Baru memberikan uang, orang yang diberikan uang lalu nangis-nangis. Juga suka membuat orang salah bicara', gugup dengan pertanyaannya. Aku baru tahu, sebagian besar pertanyaan dan jawaban sudah disetting."Kita kembali lagi dengan keluarga fenomenal, yaitu Keluarga Parlindungan Siregar." kata Arita memulai wawanc
Aku malas untuk berdebat, jika Bang Parlin sudah menggunakan hak veto-nya, tak ada yang bisa membantah. Jika dibantah pun pertengkaran yang akan datang Ketika aku hendak memesan mobil travel, terjadi perdebatan lagi. Aku memilih mobil travel karena praktis dan mudah. Akan tetapi Ucok malah ingin naik bus, Butet ingin naik pesawat. Lagi-lagi Bang Parlin menggunakan hak veto- yang, dia mau naik kereta api. Akhirnya kami naik taksi online ke pasar Senen, terus akan naik kereta api ke Bandung. "Kenapa ayah aja yang ngatur?" Butet protes."Demi kebaikan, Tet," jawab Bang Parlin."Kebaikan untuk Ayah?" kata Butet lagi."Kebaikan untuk kita semua, Tet," jawab Bang Parlin."Bagaimana bisa kebaikan untuk semua, yang kenal dokter itu cuma ayah," kata Butet lagi. Saat itu kami lagi menunggu kereta api."Begini, Tet, Belanja, Jalan-jalan ke kebun binatang, lihat monas sama ziarah, ayah tanya dulu kau, Tet, di antara yang empat itu mana pilihan paling baik mana? pilihan yang berpahala?" tan
Aku lalu memberitahu tentang telepon dari Sofyan Harahap ini. Bang Parlin terdiam, lalu kemudian dia sujud syukur. Entahlah, emosi Bang Parlin ini memang susah diprediksi. Saat begini dia justru sujud syukur dan menangis."Jalan menuju Baitullah memang berliku buat kita, Abang sangat terharu, Dek," kata Bang Parlin.Kami sekeluarga pun diskusi mendadak, itu salah satu kebiasaan baru keluarga kami. Diskusi, karena Ucok dan Butet sudah dewasa dalam hal pemikiran, jadi kami akan diskusi dulu sebelum mengambil keputusan. Biarpun lebih sering Bang Parlin yang memutuskan. "Ucok, Butet, ada tawaran naik haji tahun ini dari keluarga baik, orang tua mereka sudah terdaftar dan akan berangkat tahun ini, tapi keduanya sudah meninggal dunia, jadi ayah dan mamak ditawarkan menggantikan tempat kedua orang tua mereka, bagaimana pendapat kalian?" kata Bang Parlin memulai diskusi."Memangnya bisa begitu, Yah?" tanya Ucok."Bisa, ayah sudah periksa di google, memang bisa dialihkan ke ahli waris ata