Karena merasa geli, aku langsung terjaga dan mencubit tangan Mas Dewangga yang nakal."Mas, geli tahu!" seruku sambil mencoba menyingkirkan tangannya yang terus menyentuh pinggangku. "Aku jadi tidak bisa tidur!"Bukannya meminta maaf, Mas Dewangga malah tertawa kecil."Aku harus apa agar kamu tidak marah lagi, hm?" Suaranya berat dan terdengar menyenangkan di telingaku."Menjauh dariku. Aku mau tidur, Mas!" jawabku ketus, meski ujung bibirku tak bisa sepenuhnya menahan senyum.Dia menghela napas pelan. "Ya sudah, tidur saja. Aku akan menemanimu di sini."Aku membalikkan badan, menghadap ke arah suamiku dan mendorongnya sedikit menjauh. "Tidak mau, aku mau tidur sendiri saja."Tangannya yang sebelumnya melingkar di pinggangku kini terlepas. Rasanya sedikit aneh, tetapi aku harus tetap melakukannya.Setelah posisi Mas Dewangga dirasa sudah cukup jauh, aku kembali memunggunginya dan mencoba memejamkan mata. "Baiklah, istriku yang cantik," katanya sambil mengelus kepalaku dengan lembut.
"Mas, jadi kamu tidak mau memberitahuku?" tanyaku lagi, kali ini dengan nada yang lebih pelan.Mas Dewangga hanya diam, lalu tersenyum tipis, seakan jawaban itu cukup. Karena tak mendapat jawaban yang kuharapkan, aku memutuskan untuk bangkit dan beranjak tidur saja, meninggalkannya sendirian di ruang tamu.Aku berusaha menulikan telinga saat suamiku memanggilku berulang kali dari ruang tamu. Ketika masuk ke kamar, Abiyan sudah tertidur pulas. Aku langsung menggendong anakku, menempatkannya dekat denganku. Tujuanku jelas, aku tidak ingin Mas Dewangga tidur di sebelahku malam ini. Setelah itu, aku berbaring, memaksa diri untuk segera terlelap.***Esok harinya, suasana masih sama—hening. Aku memutuskan untuk tidak bicara dengan Mas Dewangga setelah pembicaraan kemarin. Kami duduk di ruangan yang sama, tetapi keheningan itu membuat jarak antara kami terasa seperti ribuan kilometer.Dalam keheningan ini, aku berusaha mengabaikan sosok suamiku yang duduk di sudut ruang tamu, sibuk dengan
Saat hari menjelang malam, barulah Mas Dewangga pulang. Aku masih diam memerhatikannya dari sudut mata, meski sebenarnya aku ingin sekali bertanya ke mana dia pergi tadi. Rasa ingin tahuku terbentur oleh rasa marah yang masih berkecamuk di dadaku.Hingga malam semakin larut, aku masih mendiamkannya. Mas Dewangga juga sepertinya tidak ada niatan untuk membujukku.Aku menghela napas panjang, merasakan kecewa merayap dalam diriku. Karena tidak ingin terlalu memikirkan hal ini, aku memutuskan untuk tidur bersama Abiyan yang sudah lebih dulu terlelap. Dengan lembut, aku menempatkannya di dekatku dan menarik selimut untuk menutupi tubuh kecilnya.Baru saja sedetik berbaring, Mas Dewangga masuk ke kamar. Aku menatapnya sekilas, tetapi aku buru-buru memalingkan wajah, berusaha mengabaikan keberadaannya."Sayang," panggilnya dengan suara yang lembut dan menenangkan, "saat hari kampanye calon presiden, mungkin aku akan pulang agak malam. Aku mau jadi tukang parkir di alun-alun. Akan ada banyak
Aku menatap Mas Dewangga dengan kening berkerut, masih tak percaya. "Jadi ... kamu benar-benar berbohong selama ini? Kamu sebenarnya mafia?" Suaraku bergetar, campuran marah dan takut menghiasi setiap kata.Dunia seakan berhenti sejenak. Aku ingin bicara, tetapi bibirku seakan terkunci. Hatiku bergetar, dingin menjalar ke seluruh tubuh. Apa selama ini aku hidup dengan seorang penjahat? Namun, Mas Dewangga tiba-tiba mengubah nada bicaranya. "Ya, aku mafia ... mafia hatimu!" serunya sambil membentuk tanda hati dengan kedua tangannya. Senyumnya melebar tanpa beban.Aku tersentak, bingung sejenak. Namun, rasa kesal segera menyeruak. "Kamu bercanda? Kenapa main-main soal ini?" Aku memukul dada bidang Mas Dewangga dengan tangan yang gemetar. Namun, pukulanku lemah, tak ada tenaga di balik emosiku yang tertahan. "Kenapa kamu mempermainkanku seperti ini?" Suaraku hampir pecah, air mata mulai menggenang.Mas Dewangga tersadar aku benar-benar terluka. Dia mendekat, mencoba memelukku. "Maa
Calon presiden itu hanya tertawa kecil, seolah-olah apa yang dikatakan oleh bapak-bapak tadi hanyalah lelucon. Kemudian calon presiden itu merangkul Mas Dewangga dengan penuh percaya diri."Kita tidak boleh menghakimi tanpa tahu cerita lengkapnya. Mantan narapidana pun tetap manusia yang punya masa depan," ucapnya dengan nada tenang, penuh karisma.Warga yang mendengar respon itu ada yang terlihat kecewa karena merasa tidak mendapat tanggapan sesuai ekspektasi, sementara sebagian yang lain mengangguk pelan, mungkin setuju dengan kata-kata bijak calon presiden itu.Aku mengamati semuanya dengan hati yang campur aduk. Sebagian dari diriku merasa lega, tetapi rasa khawatir masih menggantung. Namun, apa yang dikatakan calon presiden selanjutnya membuatku benar-benar tercengang."Saya permisi dulu, Pak Dewangga. Saya mau melanjutkan perjalanan," katanya sembari menepuk lengan suamiku sebelum beranjak pergi.Aku terpaku. Bagaimana bisa seorang calon presiden tahu nama suamiku? Jantungku ber
Di tengah-tengah ramainya pembeli, aku melihat sosok yang sangat kukenali. Perasan gelisah mulai merayap dalam diriku saat sosok itu mendekati stan kami.Melihat senyumnya saja sudah membuatku ingin lari dari sini. Namun, aku harus tetap bersikap profesional."Semoga dia tidak ke sini," batinku penuh harap.Akan tetapi, harapanku harus pupus ketika Kak Dirfan benar-benar mendatangi stan kami dan menyapaku. "Hai, Zoya," sapanya dengan senyuman yang lebar dan tangannya melambai ke arahku.Senyuman itu masih sama, senyuman yang membuatku merasa tidak nyaman. Aku terpaksa membalas dengan senyum yang dipaksakan, sambil tetap fokus melayani pembeli lain."Dewangga pasti bangga punya istri yang mandiri seperti kamu," ujarnya, seolah ingin memulai percakapan santai. "Sayang sekali dia tidak bisa membantu di sini hari ini. Sibuk sekali sepertinya?"Aku bisa merasakan nada sindiran dalam ucapannya, tetapi aku tetap berusaha tenang. "Mas Dewangga sedang sibuk di parkiran," jawabku, mencoba ter
Setelah tiba di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan berbaring di sana. Abiyan yang sudah sangat mengantuk, tertidur dalam hitungan detik. Namun, aku? Rasanya tidak bisa memejamkan mata begitu saja. Pikiranku melayang pada kejadian tadi. Kejadian di mana Mas Dewangga menaiki mobil mewah, entah untuk pergi ke mana. Tubuhku lelah, tetapi kepalaku penuh dengan beragam dugaan. Aku berusaha memaksa mata ini untuk terpejam, meski sia-sia. Beberapa menit kemudian, suara pintu depan yang terbuka membuyarkan konsentrasiku.Aku menahan napas."Itu pasti Mas Dewangga," pikirku, perasaanku bercampur aduk antara penasaran dan curiga. Namun, aku memilih pura-pura tidur, menunggu dia datang tanpa menyambutnya.Suara langkah kakinya semakin mendekat, lalu berhenti sejenak. Aku mendengar dia melepaskan jaket, mungkin dengan gerakan santai yang biasa dia lakukan. Sejurus kemudian, aroma khas parfumnya yang segar dan sedikit hangat menguar di udara, memenuhi indra penciumanku. Aku mengenal aroma i
"Selamat pagi, Bu Zoya," sapa pria berjas hitam itu dengan senyum ramah.Sejenak aku terdiam, menatap pria itu dengan alis mengernyit. Bagaimana bisa dia tahu namaku? Aku menoleh ke arah Mas Dewangga yang kebetulan tengah memelototi pria berjas itu, seakan mengancamnya untuk segera bungkam. Saat pria itu menyadari tatapan Mas Dewangga, dia langsung tertegun, lalu buru-buru menunduk, menghindari tatapan suamiku."Mas, kamu tidak mau menjelaskan apa pun padaku sekarang?" tanyaku dengan suara bergetar, menuntut penjelasan. Tak ada lagi alasan atau pengelakan untuknya.Mas Dewangga mengembuskan napas panjang, dan wajahnya berubah tegang seiring tangannya mengusap wajah. "Masuk dulu ke mobil, nanti aku jelaskan," jawabnya singkat, nadanya terdengar seperti permintaan dan perintah sekaligus. Tanpa menjawab, aku hanya mengangguk dan segera masuk.Di dalam mobil, pria berjas itu duduk di depan, di sebelah sopir yang membuat tubuhku semakin kaku. Aku mengingat wajah sopir itu dengan jelas.