Setelah beberapa saat di perjalanan yang membuatku tak sabar, akhirnya kami tiba di sebuah hotel yang Mas Dewangga maksud. Bangunannya yang menjulang tinggi dengan eksterior kaca yang berkilauan memantulkan sinar matahari pagi, tampak sangat mewah dan elegan. Begitu memasuki lobi, aku langsung terpukau. Interior hotel ini dihiasi dengan lampu gantung kristal yang berkilauan dan lantai marmer yang seolah memantulkan setiap langkah kami. Ini pertama kalinya aku masuk ke hotel semegah ini.Alvin segera melangkah lebih dulu untuk menghampiri resepsionis, sementara aku dan Mas Dewangga berdiri tak jauh di belakangnya. Aku masih mengagumi segala kemewahan di sekitarku, dan tak sadar mengucap pertanyaan yang sedari tadi menggelitik pikiranku."Mas, apa setiap hari kamu datang ke sini?" tanyaku, mataku masih terpaku pada dinding-dinding yang dihiasi lukisan abstrak berwarna emas dan putih.Mas Dewangga menoleh padaku dan tersenyum tipis, lalu merangkul bahuku dengan hangat. "Tidak setiap
"Mas, bagaimana kalau kita berikan saja pada Ibu?" usulku pada Mas Dewangga. Dengan begitu, Ibu pasti akan berhenti berusaha mendekatkanku dengan Kak Dirfan."Ide yang bagus, tapi nanti saja. Aku masih ingin bermain-main dengan tikus itu," jawab Mas Dewangga santai, dengan senyum yang penuh arti. Aku bisa merasakan kalau suamiku merencanakan sesuatu. Apa pun itu, aku akan mendukungnya.Saat pintu lift terbuka, kami segera melangkah keluar dan menuju mobil yang ternyata masih setia menunggu kedatangan kami.Begitu kami masuk ke dalam, mobil pun segera melaju, membawa aku dan Mas Dewangga pulang.Kami turun di pinggir jalan, di tempat yang sama saat mobil itu menjemput Mas Dewangga tadi pagi. Setelahnya, kami berjalan beriringan menuju rumah dan saling menautkan jemari. Selama perjalanan, pikiranku terbang pada keluarga besar Mas Dewangga.Meski ini hanya prasangkaku, tetapi tetap saja aku merasa takut kalau-kalau keluarga besar Mas Dewangga tidak menyetujui hubungan kami."Sayang, kamu
"Jika kamu masih mencoba mendekati istriku, maka kamu akan menghadapi konsekuensinya. Aku suaminya, dan aku tahu caraku membahagiakan istriku lebih baik daripada pria yang cuma bisa berkoar-koar," lanjut Mas Dewangga lagi.Kemudian Mas Dewangga menggengam tanganku erat-erat dan membawaku pergi dari sana, meninggalkan Kak Dirfan di sana yang sedang tersulut emosi.Aku kagum dengan ketegasan Mas Dewangga. Rasanya seperti ada dinding kokoh yang melindungiku dari segala hal buruk. Dalam hati, aku berharap Kak Dirfan mau menyerah dan berhenti menggangguku.Melihat dia bersama wanita lain di hotel beberapa hari lalu hanya menambah rasa jijik yang selama ini kutahan. Bagaimana bisa dia mengklaim ingin membahagiakanku, sementara dia terus bermain-main dengan wanita lain? Bukankah seharusnya dia menjaga nama baiknya dulu?Entah apa sebenarnya yang dia inginkan. Padahal aku sudah jelas mengatakan padanya bahwa aku bahagia dengan suamiku, tetapi kenapa dia masih saja terus mengejarku?Perlahan,
Setelah ibu pergi, aku merasakan sentuhan lembut di bahuku. Aku berbalik. Mas Dewangga menatapku dengan penuh perhatian, sorot matanya menenangkan."Sayang, kamu baik-baik saja?" Suara lembut Mas Dewangga menyapa telingaku.Aku langsung memeluk tubuhnya dengan erat. Suamiku membalas, mengusap punggungku perlahan, seolah ingin menyalurkan ketenangannya padaku."Mas, kenapa tidak beritahu ibu saja? Lihat tadi, hanya karena mendengar gosip kalau aku dekat dengan donatur itu, ibu langsung bereaksi seperti tadi. Padahal dulu dia yang mendesakku untuk menikah dengan Kak Dirfan," ucapku dengan suara bergetar. "Aku lelah, Mas.""Aku tahu. Tolong bersabar sedikit lagi, ya, Sayang," jawabnya sambil menepuk lembut punggungku. "Sekarang belum saatnya."Aku hanya diam, tak merespons, sedikit kecewa karena Mas Dewangga selalu menunda."Bagaimana kalau kita jemput Abiyan? Sebentar lagi dia pulang. Sekalian kita makan siang di luar, kamu mau?" lanjut Mas Dewangga.Aku yang mendengar ide itu mendongak
"Zoya, ayo kita pulang saja," bujuk Mas Dewangga lembut sambil merangkul bahuku.Aku menggeleng. "Sebentar, Mas. Aku mau membersihkan pecahan piringnya dulu."Aku melangkah ke arah piring yang pecah berantakan."Aku bantu, ya," tawar Mas Dewangga. Aku langsung mengiyakan.Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk membersihkannya. Setelah memastikan semuanya sudah aman, kami pun kembali ke rumah.Di rumah, Abiyan terlihat asyik bermain di lantai dengan mainannya. Mas Dewangga menyarankan agar aku beristirahat di kamar. Tanpa banyak protes, aku langsung mengiyakan.Kami masuk ke kamar. Aku membaringkan diri di kasur, sedangkan Mas Dewangga duduk di tepi ranjang sambil mengambil setumpuk dokumen. Suamiku mulai membacanya dengan teliti, membuat rasa penasaranku muncul."Itu apa, Mas?" tanyaku sambil mengintip dari balik bahunya."Ini dokumen soal fasilitas yang sedang dibangun," jawabnya, lalu membalik halaman demi halaman dengan serius.Melihat dia begitu fokus, aku hanya mengangguk dan mem
Aku tertegun saat melihat siapa yang mengetuk pintu rumah Ibu. Kak Dirfan berdiri di sana, menyapaku dengan senyum yang tak pernah berubah.Aku segera mengalihkan pandangan, berpura-pura sibuk memerhatikan hal lain. Tatapanku tertuju pada kontainer plastik besar yang tergeletak di dekat kaki Kak Dirfan. "Apa itu?" pikirku."Ayo, sini masuk, Dirfan," kata Ibu sambil menuntunnya ke dalam.Kak Dirfan menyeret kontainer itu masuk, meskipun tampak kesusahan. Aku hanya diam, enggan menunjukkan simpati apa pun.Rasa tidak nyaman menguasaiku. Lebih baik aku pulang saja."Bu, kita bicara lain kali saja. Aku pamit dulu," ucapku sambil berbalik hendak keluar, tetapi Ibu mencengkeram lenganku, menghentikan langkahku."Zoya, diam dulu di sini. Temani Dirfan," katanya dengan nada yang lebih mirip perintah daripada permintaan."Tapi, Bu, aku—""Kamu mau Ibu maafkan atau tidak?" potong Ibu yang sukses membuatku terdiam."Tentu, Bu. Aku ingin Ibu memaafkanku," jawabku pelan."Kalau begitu, temani Dir
"Aku mau punya adik!" katanya polos.Ah, anak ini! Mungkin karena keinginannya soal punya adik itu belum terpenuhi, Abiyan jadi berkata begitu. Aku mengulum senyum, merasa geli membayangkan reaksi Mas Dewangga.Namun, sebelum sempat aku beranjak, Abiyan melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih pelan, tetapi masih jelas untuk kudengar."Papa, Abiyan juga mau kita pindah rumah."Hatiku langsung terasa berdebar, dan senyum di wajahku perlahan memudar. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku ingin terus mendengarkan."Kenapa Abiyan ingin pindah?" tanya Mas Dewangga dengan lembut.Akhirnya, aku mencondongkan tubuh sedikit, menajamkan pendengaranku."Aku mau kita pindah agar Paman Jahat tidak mengganggu Mama lagi," jawabnya lirih.Seolah petir menyambar, tubuhku langsung tegang. Mas Dewangga terdiam sejenak, lalu berkata hati-hati, "Abiyan ... Paman siapa yang kamu maksud?""Yang itu, Pa. Abiyan tidak suka kalau dia datang ke rumah. Kata nenek, paman itu akan menjadi ayah baru Ab
"Apakah kepala desa akan menyebutkan nama Mas Dewangga? Apakah semua orang akhirnya akan tahu bahwa suamiku yang berada di balik semua ini?" batinku harap-harap cemas.Jantungku kian berdegup kencang. Bahkan jari-jariku juga tidak bisa diam saking tak sabar menunggu kalimat yang akan keluar dari mulut kepala desa. "Donatur tersebut adalah ... orang yang berinisial D!" lanjut kepala desa yang membuat para warga saling menatap dan bertanya-tanya."Sepertinya Pak Danto, suami Bu Ida. Dia, kan, orang terkaya di sini," kata salah satu ibu-ibu yang duduk di depanku."Benar! Orang yang berinisial D, kan, Pak Danto. Ada juga Pak Dewangga, tapi tidak mungkin. Dia hanya tukang parkir, mana mungkin punya uang banyak, hahaha," balas ibu-ibu yang lain yang membuatku geram."Padahal suamiku yang mendanai pembangunan fasilitas ini, bahkan kepala desa juga tahu," gumamku dengan alis tertekuk dengan mata menatap tajam ke ibu-ibu yang duduk di depanku."Apa, Zoya? Suamimu yang mendanai fasilitas ini?
Aku segera menoleh, dan pandanganku bertemu dengan sosok yang tak pernah kusangka akan kutemui di sini."Mas?" Suaraku lirih, nyaris berbisik. Ketidakpercayaan menguasai pikiranku.Aku bisa menangkap tatapan dingin suamiku mengarah pada Alex yang berdiri di dekatku. Meski tanpa mengatakan apa pun, ekspresinya sudah cukup untuk menunjukkan perasaannya.Tanpa banyak basa-basi, Mas Dewangga menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku menjauh dari sana.Langkahnya cepat dan mantap, sementara aku berusaha mengimbanginya dengan susah payah. Cengkeramannya tak menyakitkan, tetapi cukup untuk membuatku sulit menghentikan langkahku."Mas, bisa pelan sedikit jalannya?" pintaku sambil setengah berlari mengikutinya. Namun, dia tetap melangkah seperti tak mendengar apa pun.Kami terus berjalan hingga sampai di parkiran. Mas Dewangga membuka pintu mobil dan menatapku sejenak. "Masuk," katanya singkat.Aku menurut tanpa berani membantah. Setelah aku duduk dan Mas Dewangga juga masuk, dia memban
Beberapa menit setelah Mas Dewangga keluar dari kamar, aku memutuskan untuk berendam di bathtub. Kata itu selalu terdengar elegan, meskipun kenyataannya aku hanya ingin menenggelamkan diri dalam air hangat untuk mengusir beban pikiran. Suara gemericik air yang mengisi bathtub membuat suasana kamar mandi terasa damai. Aku menambahkan beberapa tetes minyak esensial dengan aroma lavender, berharap wangi itu bisa menenangkan pikiranku yang masih gelisah.Sambil berendam, aku menyusun rencana untuk pergi ke tokoku hari ini. Sudah cukup aku menuruti larangan Mas Dewangga selama beberapa hari terakhir. Dia mungkin berpikir itu untuk kebaikanku, tetapi aku butuh ruang sendiri. Kali ini, aku memutuskan untuk melakukannya tanpa izin darinya.Setelah selesai bersiap-siap, aku melirik jam dinding, tepat pukul sembilan pagi.Dengan langkah mantap, aku meminta sopir untuk mengantarku ke toko kue. Dalam perjalanan, aku membayangkan aroma manis dan suasana hangat yang selalu kurindukan dari tokok
Keesokan harinya, sikap Mas Dewangga tidak berubah. Aku mencoba mencari celah untuk berbicara dengannya, tetapi sepertinya dia sengaja menjaga jarak. Setiap kali aku mendekat, ada saja alasannya untuk menghindar.Hari itu, aku duduk di sofa ruang tamu, memainkan remote TV tanpa benar-benar menonton. Pikiran tentang Mas Dewangga terus menggangguku. Beberapa hari terakhir, dia seperti orang lain—dingin dan seolah menghindariku."Apa benar karena parfum Alex?" gumamku pelan.Aku tahu seharusnya aku bertanya langsung, tetapi rasanya tidak mudah ketika dia terlihat begitu ... jauh.Akhirnya aku kembali ke kamar untuk menunggunya pulang.Saat Mas Dewangga akhirnya pulang, aku mencoba menyapanya seperti biasa."Mas, sudah makan? Mau aku buatkan sup kesukaanmu?" tanyaku dengan nada yang kubuat sehangat mungkin.Dia hanya mengangguk singkat, berjalan melewatiku tanpa sepatah kata pun."Mas, aku sedang bicara, lho!" tegurku, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba naik."Hmm," gumamnya, tanpa men
Aku duduk di tepi ranjang, menunggu Mas Dewangga selesai mandi. Suara air dari kamar mandi terdengar samar, tetapi cukup untuk membuat pikiranku semakin bising. Aku memainkan ujung pakaian yang kupakai, menggulung-gulung kainnya dengan gelisah.Tadi, aku sempat merasa yakin kalau Mas Dewangga tidak akan mencium aroma itu. Namun, setelah melihat sikap Mas Dewangga yang berubah dingin, aku mulai meragukan semuanya.Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Mas Dewangga keluar. Rambutnya masih sedikit basah, sementara handuk tergantung di bahunya. Namun, kali ini dia bahkan tidak menoleh ke arahku.Biasanya, meski sekilas, dia akan melirikku atau memberikan senyum kecil, tetapi sekarang dia bersikap seolah aku tidak ada. Dadaku terasa sesak melihatnya."Apa dia mencium aroma parfum Alex di pakaianku?" gumamku pelan. Pikiran itu terus berputar, menambah beban di benakku. Aku ingin bertanya, ingin memastikan. Namun, ketika melihat wajahnya yang datar tanpa ekspresi, niat itu
Aku segera membalikkan badan, memunggunginya, berusaha agar tidak dikenali oleh sosok itu. Dengan langkah pelan, aku bergeser ke arah rak yang berisi tumpukan barang agar tubuhku terlindungi dari pandangan Alex. "Jika saja aku tidak tahu apa yang pernah terjadi antara Alex dan Mas Dewangga di masa lalu, mungkin aku akan menyapanya dengan santai," batinku.Beberapa saat kemudian Mirna akhirnya datang dengan keranjang belanja. Aku langsung memasukkan buah yang sudah kupilih ke dalam keranjang. "Ayo, kita lihat-lihat ke sana," bisikku sambil melangkah dengan cepat.Kami sampai di rak yang penuh dengan barang kebutuhan sehari-hari. Mataku langsung tertuju pada satu produk di rak atas, yang kebetulan aku butuhkan. Sayangnya, posisinya terlalu tinggi. Aku mencoba menjangkau, tetapi jari-jariku masih jauh dari produk itu."Mirna, bisa bantu aku?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.Mirna hanya tertawa kecil. "Saya lebih pendek dari Nyonya. Bagaimana kalau saya panggilan staff tokonya?""I
Aku memutuskan menunggu Mas Dewangga selesai menelepon. Sambil menunggu, aku merebahkan diri di ranjang. Namun, sudah sepuluh menit berlalu dan suamiku tak kunjung kembali.Perasaan tak menentu mulai merambat. Aku bangkit dan melangkah menuju pintu kamar, lalu mengintip keluar. Koridor sepi, hanya suara detak jam dinding yang memecah keheningan. Aku melangkah keluar, mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Namun, sosok yang kucari tidak ada.Ada sedikit kecemasan yang menyelinap di hatiku, tetapi segera kutepis jauh-jauh. Aku mencoba berpikir rasional. "Kira-kira Mas Dewangga akan pergi ke mana di saat-saat begini?" batinku sembari berpikir keras.Bayangan sebuah tempat langsung melintas dalam pikiranku, sebuah taman di dalam ruangan!Dulu, dia pernah menunjukkan tempat itu padaku. Katanya, taman itu adalah tempat favoritnya sejak kecil. Tempat di mana dia merasa damai dan bebas dari segala beban dunia. Mungkin saja dia ada di sana.Langkahku terarah menuju taman itu hingga akhirn
"Nara, ingat ini baik-baik. Istriku harus pulang jam dua belas siang. Jika lewat dari itu, kamu akan saya pecat. Mengerti?" kata Mas Dewangga dengan tegas.Wajah Nara seketika memucat. "Ba-bapak tenang saja. Saya pastikan Bu Zoya pulang tepat waktu."Aku menahan tawa melihat ekspresi Nara yang panik. Setelah memberikan pesan itu, Mas Dewangga kembali ke mobil, memastikan aku baik-baik saja sebelum akhirnya pergi ke kantor.Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh dan menggeleng sambil tersenyum kecil. Di balik sikap tegasnya, aku tahu dia hanya khawatir. Sungguh, memiliki suami seperti Mas Dewangga adalah anugerah sekaligus tantangan tersendiri.Hari ini, aku kembali beraktivitas seperti biasa di toko. Menata barang di rak, mencatat stok, dan sesekali melayani pelanggan yang datang. Semua terasa normal, kecuali satu hal: Nara, asistenku, jadi lebih cerewet dari biasanya."Bu, jangan lupa ya, jam dua belas harus pulang. Jangan sampai terlewat. Ah, iya, Ibu juga jangan terlalu ban
"Mama!" seru Abiyan sambil berlari kecil ke arahku. Dia memelukku erat, seolah tidak bertemu berhari-hari."Abiyan, kamu sudah pulang? Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanyaku sambil membelai rambutnya yang sedikit berantakan."Asyik, Ma. Tadi aku dapat nilai bagus di pelajaran Matematika," jawabnya penuh semangat."Hebat sekali anak Mama. Sudah makan belum? Ayo kita makan bersama," ajakku sambil menggandeng tangannya ke meja makan.Aku meminta pelayan untuk menyiapkan makanan juga untuk Abiyan. Kami duduk bersama, menunggu hidangan selesai disiapkan. Tidak lama kemudian, Ibu datang dan ikut bergabung di meja makan."Bagaimana sekolahmu hari ini, Abiyan?" tanya Ibu sambil tersenyum."Bagus, Nek. Abiyan dapat nilai bagus," jawabnya dengan bangga.Ibu mengangguk puas, lalu menatapku dan Abiyan bergantian. Kemudian, dengan nada serius namun penuh kasih, Ibu berkata kepada Abiyan, "Abiyan, mulai sekarang kamu harus menjaga Mama, ya. Mama sedang butuh banyak istirahat."Kata-kata Ibu membu
Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu lambat. Udara pagi yang sejuk seharusnya membuatku merasa lebih baik, tetapi pusing dan mual ini membuatku lemas. Mas Dewangga, yang duduk di belakang kemudi, sesekali melirikku dengan wajah khawatir.Aku melirik jam di dashboard mobil. Baru pukul delapan pagi. Biasanya, aku sudah bersiap-siap ke toko, tetapi hari ini, dengan kondisiku seperti ini, kemungkinan besar Mas Dewangga tidak akan mengizinkanku pergi."Mas, kalau aku tetap pergi ke toko hari ini, boleh tidak?" tanyaku pelan, mencoba mencari celah."Lebih baik kamu istirahat saja setelah kita pulang dari rumah sakit. Kamu sudah terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini, Sayang," jawabnya lembut, tetapi tegas.Sudah kuduga. Sambil menahan pusing, aku meraih ponsel dan menghubungi Nara, asistenku yang selalu bisa diandalkan.Begitu panggilan tersambung, aku segera berkata, "Nara, sepertinya hari ini aku tidak bisa berangkat ke toko. Aku dalam perjalanan ke rumah sakit."["Bu Zoya tidak e