"Zoya, ayo kita pulang saja," bujuk Mas Dewangga lembut sambil merangkul bahuku.Aku menggeleng. "Sebentar, Mas. Aku mau membersihkan pecahan piringnya dulu."Aku melangkah ke arah piring yang pecah berantakan."Aku bantu, ya," tawar Mas Dewangga. Aku langsung mengiyakan.Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk membersihkannya. Setelah memastikan semuanya sudah aman, kami pun kembali ke rumah.Di rumah, Abiyan terlihat asyik bermain di lantai dengan mainannya. Mas Dewangga menyarankan agar aku beristirahat di kamar. Tanpa banyak protes, aku langsung mengiyakan.Kami masuk ke kamar. Aku membaringkan diri di kasur, sedangkan Mas Dewangga duduk di tepi ranjang sambil mengambil setumpuk dokumen. Suamiku mulai membacanya dengan teliti, membuat rasa penasaranku muncul."Itu apa, Mas?" tanyaku sambil mengintip dari balik bahunya."Ini dokumen soal fasilitas yang sedang dibangun," jawabnya, lalu membalik halaman demi halaman dengan serius.Melihat dia begitu fokus, aku hanya mengangguk dan mem
Aku tertegun saat melihat siapa yang mengetuk pintu rumah Ibu. Kak Dirfan berdiri di sana, menyapaku dengan senyum yang tak pernah berubah.Aku segera mengalihkan pandangan, berpura-pura sibuk memerhatikan hal lain. Tatapanku tertuju pada kontainer plastik besar yang tergeletak di dekat kaki Kak Dirfan. "Apa itu?" pikirku."Ayo, sini masuk, Dirfan," kata Ibu sambil menuntunnya ke dalam.Kak Dirfan menyeret kontainer itu masuk, meskipun tampak kesusahan. Aku hanya diam, enggan menunjukkan simpati apa pun.Rasa tidak nyaman menguasaiku. Lebih baik aku pulang saja."Bu, kita bicara lain kali saja. Aku pamit dulu," ucapku sambil berbalik hendak keluar, tetapi Ibu mencengkeram lenganku, menghentikan langkahku."Zoya, diam dulu di sini. Temani Dirfan," katanya dengan nada yang lebih mirip perintah daripada permintaan."Tapi, Bu, aku—""Kamu mau Ibu maafkan atau tidak?" potong Ibu yang sukses membuatku terdiam."Tentu, Bu. Aku ingin Ibu memaafkanku," jawabku pelan."Kalau begitu, temani Dir
"Aku mau punya adik!" katanya polos.Ah, anak ini! Mungkin karena keinginannya soal punya adik itu belum terpenuhi, Abiyan jadi berkata begitu. Aku mengulum senyum, merasa geli membayangkan reaksi Mas Dewangga.Namun, sebelum sempat aku beranjak, Abiyan melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih pelan, tetapi masih jelas untuk kudengar."Papa, Abiyan juga mau kita pindah rumah."Hatiku langsung terasa berdebar, dan senyum di wajahku perlahan memudar. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku ingin terus mendengarkan."Kenapa Abiyan ingin pindah?" tanya Mas Dewangga dengan lembut.Akhirnya, aku mencondongkan tubuh sedikit, menajamkan pendengaranku."Aku mau kita pindah agar Paman Jahat tidak mengganggu Mama lagi," jawabnya lirih.Seolah petir menyambar, tubuhku langsung tegang. Mas Dewangga terdiam sejenak, lalu berkata hati-hati, "Abiyan ... Paman siapa yang kamu maksud?""Yang itu, Pa. Abiyan tidak suka kalau dia datang ke rumah. Kata nenek, paman itu akan menjadi ayah baru Ab
"Apakah kepala desa akan menyebutkan nama Mas Dewangga? Apakah semua orang akhirnya akan tahu bahwa suamiku yang berada di balik semua ini?" batinku harap-harap cemas.Jantungku kian berdegup kencang. Bahkan jari-jariku juga tidak bisa diam saking tak sabar menunggu kalimat yang akan keluar dari mulut kepala desa. "Donatur tersebut adalah ... orang yang berinisial D!" lanjut kepala desa yang membuat para warga saling menatap dan bertanya-tanya."Sepertinya Pak Danto, suami Bu Ida. Dia, kan, orang terkaya di sini," kata salah satu ibu-ibu yang duduk di depanku."Benar! Orang yang berinisial D, kan, Pak Danto. Ada juga Pak Dewangga, tapi tidak mungkin. Dia hanya tukang parkir, mana mungkin punya uang banyak, hahaha," balas ibu-ibu yang lain yang membuatku geram."Padahal suamiku yang mendanai pembangunan fasilitas ini, bahkan kepala desa juga tahu," gumamku dengan alis tertekuk dengan mata menatap tajam ke ibu-ibu yang duduk di depanku."Apa, Zoya? Suamimu yang mendanai fasilitas ini?
Perlahan aku memberanikan diri untuk berbalik, dan benar saja, di sana Abiyan tengah berdiri memandangi kami dengan mata yang sudah berlinang air mata dengan bibir yang melengkung ke bawah.Hatiku mencelos melihatnya. Apa anakku mendengar semua ucapan Ibu?Detik berikutnya Abiyan berlari ke arahku dan memelukku yang masih di dalam dekapan Mas Dewangga.Suara isak tangis Abiyan menggema di telingaku. Baik aku maupun Mas Dewangga, kami sama-sama terdiam melihatnya, bingung mau merespons apa."Mama ...." panggil Abiyan di sela-sela tangisnya.Mendengar Abiyan memanggilku sontak membuatku langsung memeluk tubuh kecilnya. Mas Dewangga juga melakukan hal yang sama, memelukku dan juga Abiyan."Mama, kenapa nenek begitu?" tanyanya yang membuat jantungku merosot seketika. Ternyata dugaanku benar, Abiyan memang mendengarnya.Aku belum bersuara, bingung harus menjawab apa. Apalagi anakku sudah melihat wajahku yang berantakan. Sepertinya akan sedikit sulit untuk berkelit di depannya.Aku bisa mer
Setiap langkah yang kuambil terasa semakin berat ketika mendekati Pak Danto. Tatapannya yang tak dapat kujelaskan membuatku diliputi perasaan tak nyaman. Entah mengapa firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres."Apa seharusnya tadi aku pura-pura tidak melihatnya saja, ya?" gumamku dalam hati, sedikit menyesal.Namun, aku sudah terlanjur sampai di hadapannya"Ada apa, Pak?" tanyaku dengan hati-hati.Pak Danto tersenyum tipis, lalu merogoh dompet dari sakunya. "Itu ... saya mau beli gorengan."Aku menarik napas lega. Ternyata hanya itu. Rasa bersalah mulai muncul karena sempat berpikir yang macam-macam."Oh, baik, Pak. Saya bungkuskan, ya," jawabku sambil buru-buru mengambil beberapa gorengan dan memasukkannya ke dalam kantong."Bapak ke sini sedang belanja, ya?" tanyaku basa-basi.Pak Danto menjawab, "Iya, saya antar istri belanja. Di dalam sinyalnya jelek, jadi saya tunggu di sini sambil mengurus beberapa urusan pekerjaan."Aku mengangguk, berusaha terlihat memahami. Saat semu
Masih dalam dekapan Mas Dewangga, aku memejamkan mata, membiarkan kehangatan pelukannya membungkusku dalam rasa nyaman yang tak tertandingi. Pelukan Mas Dewangga adalah tempat favoritku saat ingin berkeluh kesah. Aku merasa begitu tenang hingga tak sadar terlelap di sana.Ketika terbangun, ternyata hari sudah sore, dan aku mendapati diriku sudah berada di kamar."Sepertinya Mas Dewangga yang menggendongku," gumamku pelan, membayangkan bagaimana suamiku membopongku ke sini.Pikiran dan tubuhku kini terasa lebih segar dari sebelumnya, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang masuk ke dalam tubuhku dan menjadikanku lebih siap menghadapi rintangan di depan sana.Aku bergegas keluar menuju ruang tamu, tetapi Mas Dewangga tak ada di sana. Di tengah keheningan, terdengar suara tangis yang familiar dari luar rumah. Jantungku berdegup cepat saat mengenali suara itu, suara Abiyan.Aku mengintip dari jendela dan melihat Abiyan sedang dibawa paksa, lengannya dicengkeram oleh salah satu dari tiga
Esok paginya, kami beraktivitas seperti biasa. Mas Dewangga mengantar Abiyan ke sekolah, sementara aku tetap di rumah sesuai perintahnya.Untuk sementara waktu, aku tidak akan keluar rumah hingga gosip panas tentang diriku mereda. Sekeras apa pun aku membela diri, ibu-ibu di luar sana pasti tidak akan percaya."Aku hanya perlu menunggu sampai Mas Dewangga menjalankan rencananya. Semoga saja secepatnya," gumamku sembari bersandar ke dinding.Suasana hening di ruang tamu membuatku sedikit relaks, meski bayang-bayang masalah terus menghantui benakku.Tok, tok, tok!Suara ketukan pintu yang keras membuyarkan lamunanku. Jantungku berdegup kencang, pikiranku langsung menerka-nerka siapa yang berdiri di balik pintu."Apakah itu Bu Ida?" bisikku, menelan saliva dengan gugup.Jika benar itu Bu Ida, aku tidak tahu harus berkata apa. Terlebih lagi, aku hanya sendirian di sini, tanpa Mas Dewangga.Dengan langkah perlahan, aku bangkit dan menuju pintu. Ketukan kasar itu membuatku yakin siapa pun y
Aku segera menoleh, dan pandanganku bertemu dengan sosok yang tak pernah kusangka akan kutemui di sini."Mas?" Suaraku lirih, nyaris berbisik. Ketidakpercayaan menguasai pikiranku.Aku bisa menangkap tatapan dingin suamiku mengarah pada Alex yang berdiri di dekatku. Meski tanpa mengatakan apa pun, ekspresinya sudah cukup untuk menunjukkan perasaannya.Tanpa banyak basa-basi, Mas Dewangga menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku menjauh dari sana.Langkahnya cepat dan mantap, sementara aku berusaha mengimbanginya dengan susah payah. Cengkeramannya tak menyakitkan, tetapi cukup untuk membuatku sulit menghentikan langkahku."Mas, bisa pelan sedikit jalannya?" pintaku sambil setengah berlari mengikutinya. Namun, dia tetap melangkah seperti tak mendengar apa pun.Kami terus berjalan hingga sampai di parkiran. Mas Dewangga membuka pintu mobil dan menatapku sejenak. "Masuk," katanya singkat.Aku menurut tanpa berani membantah. Setelah aku duduk dan Mas Dewangga juga masuk, dia memban
Beberapa menit setelah Mas Dewangga keluar dari kamar, aku memutuskan untuk berendam di bathtub. Kata itu selalu terdengar elegan, meskipun kenyataannya aku hanya ingin menenggelamkan diri dalam air hangat untuk mengusir beban pikiran. Suara gemericik air yang mengisi bathtub membuat suasana kamar mandi terasa damai. Aku menambahkan beberapa tetes minyak esensial dengan aroma lavender, berharap wangi itu bisa menenangkan pikiranku yang masih gelisah.Sambil berendam, aku menyusun rencana untuk pergi ke tokoku hari ini. Sudah cukup aku menuruti larangan Mas Dewangga selama beberapa hari terakhir. Dia mungkin berpikir itu untuk kebaikanku, tetapi aku butuh ruang sendiri. Kali ini, aku memutuskan untuk melakukannya tanpa izin darinya.Setelah selesai bersiap-siap, aku melirik jam dinding, tepat pukul sembilan pagi.Dengan langkah mantap, aku meminta sopir untuk mengantarku ke toko kue. Dalam perjalanan, aku membayangkan aroma manis dan suasana hangat yang selalu kurindukan dari tokok
Keesokan harinya, sikap Mas Dewangga tidak berubah. Aku mencoba mencari celah untuk berbicara dengannya, tetapi sepertinya dia sengaja menjaga jarak. Setiap kali aku mendekat, ada saja alasannya untuk menghindar.Hari itu, aku duduk di sofa ruang tamu, memainkan remote TV tanpa benar-benar menonton. Pikiran tentang Mas Dewangga terus menggangguku. Beberapa hari terakhir, dia seperti orang lain—dingin dan seolah menghindariku."Apa benar karena parfum Alex?" gumamku pelan.Aku tahu seharusnya aku bertanya langsung, tetapi rasanya tidak mudah ketika dia terlihat begitu ... jauh.Akhirnya aku kembali ke kamar untuk menunggunya pulang.Saat Mas Dewangga akhirnya pulang, aku mencoba menyapanya seperti biasa."Mas, sudah makan? Mau aku buatkan sup kesukaanmu?" tanyaku dengan nada yang kubuat sehangat mungkin.Dia hanya mengangguk singkat, berjalan melewatiku tanpa sepatah kata pun."Mas, aku sedang bicara, lho!" tegurku, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba naik."Hmm," gumamnya, tanpa men
Aku duduk di tepi ranjang, menunggu Mas Dewangga selesai mandi. Suara air dari kamar mandi terdengar samar, tetapi cukup untuk membuat pikiranku semakin bising. Aku memainkan ujung pakaian yang kupakai, menggulung-gulung kainnya dengan gelisah.Tadi, aku sempat merasa yakin kalau Mas Dewangga tidak akan mencium aroma itu. Namun, setelah melihat sikap Mas Dewangga yang berubah dingin, aku mulai meragukan semuanya.Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Mas Dewangga keluar. Rambutnya masih sedikit basah, sementara handuk tergantung di bahunya. Namun, kali ini dia bahkan tidak menoleh ke arahku.Biasanya, meski sekilas, dia akan melirikku atau memberikan senyum kecil, tetapi sekarang dia bersikap seolah aku tidak ada. Dadaku terasa sesak melihatnya."Apa dia mencium aroma parfum Alex di pakaianku?" gumamku pelan. Pikiran itu terus berputar, menambah beban di benakku. Aku ingin bertanya, ingin memastikan. Namun, ketika melihat wajahnya yang datar tanpa ekspresi, niat itu
Aku segera membalikkan badan, memunggunginya, berusaha agar tidak dikenali oleh sosok itu. Dengan langkah pelan, aku bergeser ke arah rak yang berisi tumpukan barang agar tubuhku terlindungi dari pandangan Alex. "Jika saja aku tidak tahu apa yang pernah terjadi antara Alex dan Mas Dewangga di masa lalu, mungkin aku akan menyapanya dengan santai," batinku.Beberapa saat kemudian Mirna akhirnya datang dengan keranjang belanja. Aku langsung memasukkan buah yang sudah kupilih ke dalam keranjang. "Ayo, kita lihat-lihat ke sana," bisikku sambil melangkah dengan cepat.Kami sampai di rak yang penuh dengan barang kebutuhan sehari-hari. Mataku langsung tertuju pada satu produk di rak atas, yang kebetulan aku butuhkan. Sayangnya, posisinya terlalu tinggi. Aku mencoba menjangkau, tetapi jari-jariku masih jauh dari produk itu."Mirna, bisa bantu aku?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.Mirna hanya tertawa kecil. "Saya lebih pendek dari Nyonya. Bagaimana kalau saya panggilan staff tokonya?""I
Aku memutuskan menunggu Mas Dewangga selesai menelepon. Sambil menunggu, aku merebahkan diri di ranjang. Namun, sudah sepuluh menit berlalu dan suamiku tak kunjung kembali.Perasaan tak menentu mulai merambat. Aku bangkit dan melangkah menuju pintu kamar, lalu mengintip keluar. Koridor sepi, hanya suara detak jam dinding yang memecah keheningan. Aku melangkah keluar, mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Namun, sosok yang kucari tidak ada.Ada sedikit kecemasan yang menyelinap di hatiku, tetapi segera kutepis jauh-jauh. Aku mencoba berpikir rasional. "Kira-kira Mas Dewangga akan pergi ke mana di saat-saat begini?" batinku sembari berpikir keras.Bayangan sebuah tempat langsung melintas dalam pikiranku, sebuah taman di dalam ruangan!Dulu, dia pernah menunjukkan tempat itu padaku. Katanya, taman itu adalah tempat favoritnya sejak kecil. Tempat di mana dia merasa damai dan bebas dari segala beban dunia. Mungkin saja dia ada di sana.Langkahku terarah menuju taman itu hingga akhirn
"Nara, ingat ini baik-baik. Istriku harus pulang jam dua belas siang. Jika lewat dari itu, kamu akan saya pecat. Mengerti?" kata Mas Dewangga dengan tegas.Wajah Nara seketika memucat. "Ba-bapak tenang saja. Saya pastikan Bu Zoya pulang tepat waktu."Aku menahan tawa melihat ekspresi Nara yang panik. Setelah memberikan pesan itu, Mas Dewangga kembali ke mobil, memastikan aku baik-baik saja sebelum akhirnya pergi ke kantor.Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh dan menggeleng sambil tersenyum kecil. Di balik sikap tegasnya, aku tahu dia hanya khawatir. Sungguh, memiliki suami seperti Mas Dewangga adalah anugerah sekaligus tantangan tersendiri.Hari ini, aku kembali beraktivitas seperti biasa di toko. Menata barang di rak, mencatat stok, dan sesekali melayani pelanggan yang datang. Semua terasa normal, kecuali satu hal: Nara, asistenku, jadi lebih cerewet dari biasanya."Bu, jangan lupa ya, jam dua belas harus pulang. Jangan sampai terlewat. Ah, iya, Ibu juga jangan terlalu ban
"Mama!" seru Abiyan sambil berlari kecil ke arahku. Dia memelukku erat, seolah tidak bertemu berhari-hari."Abiyan, kamu sudah pulang? Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanyaku sambil membelai rambutnya yang sedikit berantakan."Asyik, Ma. Tadi aku dapat nilai bagus di pelajaran Matematika," jawabnya penuh semangat."Hebat sekali anak Mama. Sudah makan belum? Ayo kita makan bersama," ajakku sambil menggandeng tangannya ke meja makan.Aku meminta pelayan untuk menyiapkan makanan juga untuk Abiyan. Kami duduk bersama, menunggu hidangan selesai disiapkan. Tidak lama kemudian, Ibu datang dan ikut bergabung di meja makan."Bagaimana sekolahmu hari ini, Abiyan?" tanya Ibu sambil tersenyum."Bagus, Nek. Abiyan dapat nilai bagus," jawabnya dengan bangga.Ibu mengangguk puas, lalu menatapku dan Abiyan bergantian. Kemudian, dengan nada serius namun penuh kasih, Ibu berkata kepada Abiyan, "Abiyan, mulai sekarang kamu harus menjaga Mama, ya. Mama sedang butuh banyak istirahat."Kata-kata Ibu membu
Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu lambat. Udara pagi yang sejuk seharusnya membuatku merasa lebih baik, tetapi pusing dan mual ini membuatku lemas. Mas Dewangga, yang duduk di belakang kemudi, sesekali melirikku dengan wajah khawatir.Aku melirik jam di dashboard mobil. Baru pukul delapan pagi. Biasanya, aku sudah bersiap-siap ke toko, tetapi hari ini, dengan kondisiku seperti ini, kemungkinan besar Mas Dewangga tidak akan mengizinkanku pergi."Mas, kalau aku tetap pergi ke toko hari ini, boleh tidak?" tanyaku pelan, mencoba mencari celah."Lebih baik kamu istirahat saja setelah kita pulang dari rumah sakit. Kamu sudah terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini, Sayang," jawabnya lembut, tetapi tegas.Sudah kuduga. Sambil menahan pusing, aku meraih ponsel dan menghubungi Nara, asistenku yang selalu bisa diandalkan.Begitu panggilan tersambung, aku segera berkata, "Nara, sepertinya hari ini aku tidak bisa berangkat ke toko. Aku dalam perjalanan ke rumah sakit."["Bu Zoya tidak e