Masih dalam dekapan Mas Dewangga, aku memejamkan mata, membiarkan kehangatan pelukannya membungkusku dalam rasa nyaman yang tak tertandingi. Pelukan Mas Dewangga adalah tempat favoritku saat ingin berkeluh kesah. Aku merasa begitu tenang hingga tak sadar terlelap di sana.Ketika terbangun, ternyata hari sudah sore, dan aku mendapati diriku sudah berada di kamar."Sepertinya Mas Dewangga yang menggendongku," gumamku pelan, membayangkan bagaimana suamiku membopongku ke sini.Pikiran dan tubuhku kini terasa lebih segar dari sebelumnya, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang masuk ke dalam tubuhku dan menjadikanku lebih siap menghadapi rintangan di depan sana.Aku bergegas keluar menuju ruang tamu, tetapi Mas Dewangga tak ada di sana. Di tengah keheningan, terdengar suara tangis yang familiar dari luar rumah. Jantungku berdegup cepat saat mengenali suara itu, suara Abiyan.Aku mengintip dari jendela dan melihat Abiyan sedang dibawa paksa, lengannya dicengkeram oleh salah satu dari tiga
Esok paginya, kami beraktivitas seperti biasa. Mas Dewangga mengantar Abiyan ke sekolah, sementara aku tetap di rumah sesuai perintahnya.Untuk sementara waktu, aku tidak akan keluar rumah hingga gosip panas tentang diriku mereda. Sekeras apa pun aku membela diri, ibu-ibu di luar sana pasti tidak akan percaya."Aku hanya perlu menunggu sampai Mas Dewangga menjalankan rencananya. Semoga saja secepatnya," gumamku sembari bersandar ke dinding.Suasana hening di ruang tamu membuatku sedikit relaks, meski bayang-bayang masalah terus menghantui benakku.Tok, tok, tok!Suara ketukan pintu yang keras membuyarkan lamunanku. Jantungku berdegup kencang, pikiranku langsung menerka-nerka siapa yang berdiri di balik pintu."Apakah itu Bu Ida?" bisikku, menelan saliva dengan gugup.Jika benar itu Bu Ida, aku tidak tahu harus berkata apa. Terlebih lagi, aku hanya sendirian di sini, tanpa Mas Dewangga.Dengan langkah perlahan, aku bangkit dan menuju pintu. Ketukan kasar itu membuatku yakin siapa pun y
Aku mengerjap, mencoba membaca sorot matanya yang penuh arti. Ada kekhawatiran kecil yang mengusikku, tetapi aku berusaha tetap tenang."Apa yang ingin kamu bicarakan, Mas?" tanyaku dengan suara yang sedikit bergetar.Mas Dewangga menarik napas dalam, seolah menimbang kata-kata yang akan diucapkannya. "Zoya, aku ingin kita mempertimbangkan sesuatu," katanya yang membuatku semakin penasaran.Jantungku berdegup semakin cepat. Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diriku dan menanti penjelasan selanjutnya."Bagaimana kalau kita pindah rumah ke rumah orang tuaku?" kata Mas Dewangga sembari menatap mataku.Detak jantungku berdegup lebih kencang setelah mendengar perkataannya."Kenapa ... kenapa kita harus pindah, Mas?" tanyaku, tak bisa menyembunyikan nada cemas dalam suaraku.Mas Dewangga tersenyum tipis dan meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Aku hanya ingin kamu hidup lebih tenang, Zoya. Agar kamu tidak merasa tertekan lagi dengan omongan orang. Di sana, kamu bisa lebih nyaman d
"Kami sedang ronda. Sudah dua malam ini ada kasus pencurian," ujar Pak Mamat, suaranya sedikit diturunkan seperti berbicara soal sesuatu yang sangat serius.Aku membelalakkan mata, tak menyangka ada kabar seperti itu di lingkungan kami. "Ya ampun, saya turut prihatin mendengarnya. Kalau boleh tahu, rumah siapa yang kena musibah?" tanya Mas Dewangga dengan raut prihatin yang tulus.Pak Mamat menarik napas dalam, lalu menjawab, "Rumah Pak Hasan dan rumahnya Pak Dimas. Dua-duanya kehilangan uang jutaan rupiah.""Kasihan mereka. Capek-capek kerja, eh, uangnya diambil orang," sahut Pak Ardi yang berdiri di sebelah Pak Mamat sambil ikut menggeleng.Aku hanya mengangguk, tak ingin ikut berbicara. Di dalam hati, perasaanku terasa campur aduk. Entah mengapa aku bisa merasakan tatapan Pak Mamat dan Pak Ardi yang kadang melirik ke arahku, seakan-akan menimbang-nimbang sesuatu. Aku tahu betul bahwa gosip miring tentangku masih segar di telinga mereka. Meski mereka tidak menanyakan langsung, ra
"Ada apa, Mas?" bisikku, mencoba memahami kecemasan yang jelas terlihat di wajahnya.Mas Dewangga menghela napas panjang, lalu menjawab pelan, "Ayah ingin kita ada di sana secepatnya. Katanya ... ada sesuatu yang menyangkut keselamatan kita."Aku terdiam, perasaanku semakin kacau. Tidak pernah terpikir sebelumnya bahwa ada sesuatu yang mengancam, sesuatu yang memaksa kami untuk segera pindah. Di dalam hati, rasa cemas itu mulai membesar.Aku mencoba menenangkan diriku sendiri, tetapi bayangan tak pasti itu terasa semakin kuat. Mas Dewangga tak pernah bicara soal ancaman atau keselamatan kami sebelumnya. Semua terasa mendadak, misterius, dan entah mengapa membuat perasaanku tak menentu."Mas, sebenarnya ... apa yang terjadi?" tanyaku, suaraku hampir berbisik. "Apa yang mengancam kita?"Mas Dewangga menggeser duduknya, menatapku dengan sorot yang sulit kuterjemahkan. Seolah dia mencari kata yang tepat untuk menjelaskan, tetapi sekaligus bingung harus mulai dari mana."Zoya, aku belum
Setelah malam yang penuh kegelapan, cahaya pagi perlahan merambati setiap sudut ruangan. Jam dinding berdetak pelan, dan ketukan pintu tiba-tiba terdengar, mengejutkanku dan Mas Dewangga yang sedang asyik mengobrol berdua di ruang tamu.Kami saling melirik, seakan bertanya siapa yang akan membukanya. "Biar aku saja," kata Mas Dewangga sambil tersenyum tipis dan bangkit berdiri. Aku menatap punggungnya yang tegap saat dia berjalan ke arah pintu.Begitu pintu terbuka, aku mendengar suaranya menyebut satu kata yang membuat dahiku mengernyit. "Ibu."Detik berikutnya, suara Ibu terdengar. Lantas aku segera bangkit dan menghampiri suamiku, lalu mengintip sedikit dari balik bahu Mas Dewangga. Jantungku berdegup kencang saat melihat sosok di belakang Ibu, sosok yang selama ini ingin kuhindari."Dewangga, biarkan Dirfan masuk," pinta Ibu tegas."Maaf, Bu. Aku tidak mengizinkan dia masuk. Jika Ibu ingin masuk, silakan, tapi tidak dengan dia," balas Mas Dewangga, nada suaranya sama tegasnya.
"Eh, apa itu?" Suara Kak Dirfan terdengar cukup keras, membuat semua orang yang berada di warung, termasuk aku dan Mas Dewangga, langsung menoleh ke arahnya.Aku melihat Kak Dirfan menunjuk sesuatu di dekat kaki suamiku. Rasa penasaran segera membuat pandanganku tertuju ke arah yang dia tunjuk.Di sana, tergeletak sebuah bungkus plastik kecil transparan berisi bubuk putih, persis di samping kaki Mas Dewangga. Aku tertegun, tidak tahu apa isinya, tetapi firasatku tiba-tiba terasa tidak enak.Seorang bapak-bapak, Pak Agus, yang kukenal sebagai warga sekitar segera mendekat sambil meneliti bungkusan itu dengan cermat. Dia berjongkok dan mengambilnya dengan hati-hati."Itu apa, Pak?" tanya seorang ibu-ibu dengan nada penasaran, kacang panjang yang dipegangnya melambai saat dia mendekat.Bukannya menjawab pertanyaan ibu-ibu itu, Pak Agus malah berdiri menatap Mas Dewangga dengan tajam, seolah mencoba membaca sesuatu dari wajah suamiku."Dewangga, apa ini milikmu?" tanya Pak Agus, mengangka
Begitu sampai di halaman rumah, Ibu segera menatap Mas Dewangga dengan tatapan dingin yang sulit ditebak."Dewangga, Ibu mau bicara dengan Zoya," ujar Ibu tegas, membuat Mas Dewangga tidak punya pilihan selain menurut.Sejenak Mas Dewangga tampak ragu, tetapi akhirnya dia mengangguk dan berpamitan padaku. "Aku masuk dulu, ya, Zoya," ucapnya sebelum berlalu, meninggalkanku sendirian dengan Ibu.Begitu Mas Dewangga masuk, Ibu berbalik menghadapku, wajahnya serius dan penuh amarah yang tersimpan."Kamu lihat sendiri, kan, Zoya? Dia hanya membawa kamu ke dalam masalah!" Suara Ibu terdengar tajam, menusuk telinga dan hatiku. "Kamu harus sadar! Tinggalkan Dewangga sebelum terlambat. Kamu masih bisa hidup tenang tanpa dia."Aku memejamkan mata, menahan diri untuk tidak terpancing."Bu, sudah cukup. Aku sudah bilang, aku tidak akan menceraikan Mas Dewangga," jawabku dengan nada tenang meski hatiku bergejolak. "Mas Dewangga bukan orang seperti itu."Wajah Ibu semakin merah, matanya membara pe