Setelah malam yang penuh kegelapan, cahaya pagi perlahan merambati setiap sudut ruangan. Jam dinding berdetak pelan, dan ketukan pintu tiba-tiba terdengar, mengejutkanku dan Mas Dewangga yang sedang asyik mengobrol berdua di ruang tamu.Kami saling melirik, seakan bertanya siapa yang akan membukanya. "Biar aku saja," kata Mas Dewangga sambil tersenyum tipis dan bangkit berdiri. Aku menatap punggungnya yang tegap saat dia berjalan ke arah pintu.Begitu pintu terbuka, aku mendengar suaranya menyebut satu kata yang membuat dahiku mengernyit. "Ibu."Detik berikutnya, suara Ibu terdengar. Lantas aku segera bangkit dan menghampiri suamiku, lalu mengintip sedikit dari balik bahu Mas Dewangga. Jantungku berdegup kencang saat melihat sosok di belakang Ibu, sosok yang selama ini ingin kuhindari."Dewangga, biarkan Dirfan masuk," pinta Ibu tegas."Maaf, Bu. Aku tidak mengizinkan dia masuk. Jika Ibu ingin masuk, silakan, tapi tidak dengan dia," balas Mas Dewangga, nada suaranya sama tegasnya.
"Eh, apa itu?" Suara Kak Dirfan terdengar cukup keras, membuat semua orang yang berada di warung, termasuk aku dan Mas Dewangga, langsung menoleh ke arahnya.Aku melihat Kak Dirfan menunjuk sesuatu di dekat kaki suamiku. Rasa penasaran segera membuat pandanganku tertuju ke arah yang dia tunjuk.Di sana, tergeletak sebuah bungkus plastik kecil transparan berisi bubuk putih, persis di samping kaki Mas Dewangga. Aku tertegun, tidak tahu apa isinya, tetapi firasatku tiba-tiba terasa tidak enak.Seorang bapak-bapak, Pak Agus, yang kukenal sebagai warga sekitar segera mendekat sambil meneliti bungkusan itu dengan cermat. Dia berjongkok dan mengambilnya dengan hati-hati."Itu apa, Pak?" tanya seorang ibu-ibu dengan nada penasaran, kacang panjang yang dipegangnya melambai saat dia mendekat.Bukannya menjawab pertanyaan ibu-ibu itu, Pak Agus malah berdiri menatap Mas Dewangga dengan tajam, seolah mencoba membaca sesuatu dari wajah suamiku."Dewangga, apa ini milikmu?" tanya Pak Agus, mengangka
Begitu sampai di halaman rumah, Ibu segera menatap Mas Dewangga dengan tatapan dingin yang sulit ditebak."Dewangga, Ibu mau bicara dengan Zoya," ujar Ibu tegas, membuat Mas Dewangga tidak punya pilihan selain menurut.Sejenak Mas Dewangga tampak ragu, tetapi akhirnya dia mengangguk dan berpamitan padaku. "Aku masuk dulu, ya, Zoya," ucapnya sebelum berlalu, meninggalkanku sendirian dengan Ibu.Begitu Mas Dewangga masuk, Ibu berbalik menghadapku, wajahnya serius dan penuh amarah yang tersimpan."Kamu lihat sendiri, kan, Zoya? Dia hanya membawa kamu ke dalam masalah!" Suara Ibu terdengar tajam, menusuk telinga dan hatiku. "Kamu harus sadar! Tinggalkan Dewangga sebelum terlambat. Kamu masih bisa hidup tenang tanpa dia."Aku memejamkan mata, menahan diri untuk tidak terpancing."Bu, sudah cukup. Aku sudah bilang, aku tidak akan menceraikan Mas Dewangga," jawabku dengan nada tenang meski hatiku bergejolak. "Mas Dewangga bukan orang seperti itu."Wajah Ibu semakin merah, matanya membara pe
Perlahan, aku membuka mataku, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan. Tubuhku terasa lemah, dan entah mengapa ada rasa nyeri di setiap sendiku. Sambil mencoba mengumpulkan kesadaran, aku merasakan genggaman hangat di tanganku."Zoya, kamu sudah sadar?" suara Mas Dewangga terdengar lembut di sampingku.Aku mencoba menoleh ke arahnya, meskipun kepalaku masih terasa berat. "Mas ... kita di mana?"Mas Dewangga tersenyum lega, meskipun matanya memperlihatkan kelelahan yang tampak jelas. "Kamu di rumah sakit, Zoya. Setelah kamu pingsan di depan rumah, aku langsung membawamu ke sini."Aku hanya bisa mengangguk pelan. Rasanya aneh berada di tempat asing yang serba putih ini, dan aku sendiri tidak ingat banyak setelah kejadian malam itu. Yang kuingat hanya wajah para warga yang marah dan Abiyan yang ketakutan.Pandangan mataku beralih ke sudut ruangan, dan di sana aku melihat Abiyan duduk dengan wajah kusut, tetapi penuh perhatian. Begitu sadar aku benar-benar bangun, dia s
Suamiku melangkah maju, tatapannya tajam, tak sekali pun lepas dari wajah para warga yang menatap sinis. "Kalian masih meremehkanku?""Sombong sekali kamu, Dewangga! Jangan-jangan, kamu membayar mereka semua untuk berpura-pura di depan kami!" seru seorang bapak-bapak dengan nada mengejek, memicu kerumunan semakin riuh.Bisik-bisik mulai terdengar lagi, semakin keras dan penuh cemoohan.Alvin tak tinggal diam. Dengan tatapan tajam, dia menjawab dengan dingin, "Untuk apa membuang-buang uang untuk hal remeh seperti ini?"Wajah bapak-bapak itu memerah, dan aku melihatnya maju dengan tangan terkepal, seolah siap menghajar Alvin.Aku cepat-cepat menyentuh lengan Mas Dewangga, memberi isyarat agar dia segera menghentikan situasi ini sebelum semakin panas.Namun, polisi yang ada di sana lebih cepat bertindak. Mereka menahan bapak-bapak itu dan memperingatkan dengan tegas bahwa dia bisa dibawa ke kantor polisi jika bertindak lebih jauh.Mas Dewangga kemudian mengangguk pada Alvin, memberi isya
Setelah Kak Dirfan dibawa polisi, aku bisa melihat Mas Dewangga memberi isyarat kepada pengacaranya untuk maju. Dengan suara tegas, pengacara itu menyampaikan kepada warga, "Ada satu hal lagi yang perlu Anda sekalian ketahui mengenai sosok di balik inisial 'D', yang sebelumnya kalian kira adalah Pak Danto."Warga yang semula masih berbisik-bisik langsung terdiam, perhatian mereka tertuju pada pengacara tersebut. Pengacara itu kemudian mengeluarkan beberapa dokumen dan mengangkatnya, lalu menunjukkan bukti-bukti tersebut kepada para warga. "Donatur yang telah mendanai fasilitas kesehatan dan toko sembako di desa ini sebenarnya adalah Pak Dewangga. Beliau memilih untuk melakukannya secara anonim demi kebaikan bersama, tanpa mencari pengakuan."Alvin kemudian menambahkan, "Ini adalah bukti transaksi dan laporan donasi yang mengonfirmasi bahwa Pak Dewangga adalah penyandang dana utama untuk pembangunan fasilitas tersebut."Perlahan, desas-desus terdengar di antara warga yang kini tampa
Tiga hari berlalu sejak Ibuku pingsan, dan kami masih di rumah sakit. Aku tak pernah jauh darinya, selalu ada di sisinya, dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Selama hari-hari ini, aku mencoba menghiburnya, berbicara dengan lembut, dan menemaninya di setiap detik yang mungkin tak akan bisa kuulangi.Rasanya seperti mimpi, bisa berbicara dan bercanda dengannya tanpa ada ketegangan atau kritik tajam seperti biasanya. Hatiku terasa ringan, seakan kebahagiaan sederhana ini membuat hidupku berwarna lagi.Untuk masalah pindah rumah, ternyata Mas Dewangga diam-diam sudah mengurusnya dan mem-packing semua barang. Jadi rumah kami sekarang sudah kosong. Aku lega karena suamiku sudah mengatasinya dengan mudah.Kini, aku bisa menghabiskan waktu yang berharga bersama Ibuku dengan santai."Ibu, ingat tidak waktu dulu aku belajar masak untuk pertama kalinya?" tanyaku sambil tersenyum.Ibuku tertawa kecil dan mengangguk. "Oh, jelas ingat. Masakanmu yang gosong, tapi kamu bersikeras kalau itu en
Dengan langkah pelan, aku berjalan ke arah jendela. Aku menutup mata sejenak, membiarkan kesunyian meresap dalam pikiranku."Ayo, kita lanjutkan hidup, Zoya," bisikku dalam hati, berusaha menyemangati diri sendiri.Belum lama aku berdiri di sana, tiba-tiba ada sentuhan lembut di tanganku. Refleks aku membuka mata dan menoleh. Abiyan berdiri di sampingku dengan ekspresi khawatir yang terpancar dari wajah mungilnya. Sontak, aku menyunggingkan senyum, berusaha terlihat baik-baik saja di depannya."Mama baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan nada polos yang begitu menenangkan. Suaranya seakan menjadi pengingat bahwa aku tidak sendirian."Iya, Abiyan," jawabku pelan, meski jauh di dalam hati aku tahu jawabanku adalah sebuah kebohongan. Namun, aku tak ingin membuatnya khawatir.Abiyan lalu menarik tanganku, membimbingku ke ranjang berukuran king yang ada di kamar hotel. Dia menyuruhku duduk di tepi ranjang, dan tanpa ragu, dia memelukku erat. Rangkulan tangan kecilnya seakan menghangatkan
Aku segera menoleh, dan pandanganku bertemu dengan sosok yang tak pernah kusangka akan kutemui di sini."Mas?" Suaraku lirih, nyaris berbisik. Ketidakpercayaan menguasai pikiranku.Aku bisa menangkap tatapan dingin suamiku mengarah pada Alex yang berdiri di dekatku. Meski tanpa mengatakan apa pun, ekspresinya sudah cukup untuk menunjukkan perasaannya.Tanpa banyak basa-basi, Mas Dewangga menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku menjauh dari sana.Langkahnya cepat dan mantap, sementara aku berusaha mengimbanginya dengan susah payah. Cengkeramannya tak menyakitkan, tetapi cukup untuk membuatku sulit menghentikan langkahku."Mas, bisa pelan sedikit jalannya?" pintaku sambil setengah berlari mengikutinya. Namun, dia tetap melangkah seperti tak mendengar apa pun.Kami terus berjalan hingga sampai di parkiran. Mas Dewangga membuka pintu mobil dan menatapku sejenak. "Masuk," katanya singkat.Aku menurut tanpa berani membantah. Setelah aku duduk dan Mas Dewangga juga masuk, dia memban
Beberapa menit setelah Mas Dewangga keluar dari kamar, aku memutuskan untuk berendam di bathtub. Kata itu selalu terdengar elegan, meskipun kenyataannya aku hanya ingin menenggelamkan diri dalam air hangat untuk mengusir beban pikiran. Suara gemericik air yang mengisi bathtub membuat suasana kamar mandi terasa damai. Aku menambahkan beberapa tetes minyak esensial dengan aroma lavender, berharap wangi itu bisa menenangkan pikiranku yang masih gelisah.Sambil berendam, aku menyusun rencana untuk pergi ke tokoku hari ini. Sudah cukup aku menuruti larangan Mas Dewangga selama beberapa hari terakhir. Dia mungkin berpikir itu untuk kebaikanku, tetapi aku butuh ruang sendiri. Kali ini, aku memutuskan untuk melakukannya tanpa izin darinya.Setelah selesai bersiap-siap, aku melirik jam dinding, tepat pukul sembilan pagi.Dengan langkah mantap, aku meminta sopir untuk mengantarku ke toko kue. Dalam perjalanan, aku membayangkan aroma manis dan suasana hangat yang selalu kurindukan dari tokok
Keesokan harinya, sikap Mas Dewangga tidak berubah. Aku mencoba mencari celah untuk berbicara dengannya, tetapi sepertinya dia sengaja menjaga jarak. Setiap kali aku mendekat, ada saja alasannya untuk menghindar.Hari itu, aku duduk di sofa ruang tamu, memainkan remote TV tanpa benar-benar menonton. Pikiran tentang Mas Dewangga terus menggangguku. Beberapa hari terakhir, dia seperti orang lain—dingin dan seolah menghindariku."Apa benar karena parfum Alex?" gumamku pelan.Aku tahu seharusnya aku bertanya langsung, tetapi rasanya tidak mudah ketika dia terlihat begitu ... jauh.Akhirnya aku kembali ke kamar untuk menunggunya pulang.Saat Mas Dewangga akhirnya pulang, aku mencoba menyapanya seperti biasa."Mas, sudah makan? Mau aku buatkan sup kesukaanmu?" tanyaku dengan nada yang kubuat sehangat mungkin.Dia hanya mengangguk singkat, berjalan melewatiku tanpa sepatah kata pun."Mas, aku sedang bicara, lho!" tegurku, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba naik."Hmm," gumamnya, tanpa men
Aku duduk di tepi ranjang, menunggu Mas Dewangga selesai mandi. Suara air dari kamar mandi terdengar samar, tetapi cukup untuk membuat pikiranku semakin bising. Aku memainkan ujung pakaian yang kupakai, menggulung-gulung kainnya dengan gelisah.Tadi, aku sempat merasa yakin kalau Mas Dewangga tidak akan mencium aroma itu. Namun, setelah melihat sikap Mas Dewangga yang berubah dingin, aku mulai meragukan semuanya.Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Mas Dewangga keluar. Rambutnya masih sedikit basah, sementara handuk tergantung di bahunya. Namun, kali ini dia bahkan tidak menoleh ke arahku.Biasanya, meski sekilas, dia akan melirikku atau memberikan senyum kecil, tetapi sekarang dia bersikap seolah aku tidak ada. Dadaku terasa sesak melihatnya."Apa dia mencium aroma parfum Alex di pakaianku?" gumamku pelan. Pikiran itu terus berputar, menambah beban di benakku. Aku ingin bertanya, ingin memastikan. Namun, ketika melihat wajahnya yang datar tanpa ekspresi, niat itu
Aku segera membalikkan badan, memunggunginya, berusaha agar tidak dikenali oleh sosok itu. Dengan langkah pelan, aku bergeser ke arah rak yang berisi tumpukan barang agar tubuhku terlindungi dari pandangan Alex. "Jika saja aku tidak tahu apa yang pernah terjadi antara Alex dan Mas Dewangga di masa lalu, mungkin aku akan menyapanya dengan santai," batinku.Beberapa saat kemudian Mirna akhirnya datang dengan keranjang belanja. Aku langsung memasukkan buah yang sudah kupilih ke dalam keranjang. "Ayo, kita lihat-lihat ke sana," bisikku sambil melangkah dengan cepat.Kami sampai di rak yang penuh dengan barang kebutuhan sehari-hari. Mataku langsung tertuju pada satu produk di rak atas, yang kebetulan aku butuhkan. Sayangnya, posisinya terlalu tinggi. Aku mencoba menjangkau, tetapi jari-jariku masih jauh dari produk itu."Mirna, bisa bantu aku?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.Mirna hanya tertawa kecil. "Saya lebih pendek dari Nyonya. Bagaimana kalau saya panggilan staff tokonya?""I
Aku memutuskan menunggu Mas Dewangga selesai menelepon. Sambil menunggu, aku merebahkan diri di ranjang. Namun, sudah sepuluh menit berlalu dan suamiku tak kunjung kembali.Perasaan tak menentu mulai merambat. Aku bangkit dan melangkah menuju pintu kamar, lalu mengintip keluar. Koridor sepi, hanya suara detak jam dinding yang memecah keheningan. Aku melangkah keluar, mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Namun, sosok yang kucari tidak ada.Ada sedikit kecemasan yang menyelinap di hatiku, tetapi segera kutepis jauh-jauh. Aku mencoba berpikir rasional. "Kira-kira Mas Dewangga akan pergi ke mana di saat-saat begini?" batinku sembari berpikir keras.Bayangan sebuah tempat langsung melintas dalam pikiranku, sebuah taman di dalam ruangan!Dulu, dia pernah menunjukkan tempat itu padaku. Katanya, taman itu adalah tempat favoritnya sejak kecil. Tempat di mana dia merasa damai dan bebas dari segala beban dunia. Mungkin saja dia ada di sana.Langkahku terarah menuju taman itu hingga akhirn
"Nara, ingat ini baik-baik. Istriku harus pulang jam dua belas siang. Jika lewat dari itu, kamu akan saya pecat. Mengerti?" kata Mas Dewangga dengan tegas.Wajah Nara seketika memucat. "Ba-bapak tenang saja. Saya pastikan Bu Zoya pulang tepat waktu."Aku menahan tawa melihat ekspresi Nara yang panik. Setelah memberikan pesan itu, Mas Dewangga kembali ke mobil, memastikan aku baik-baik saja sebelum akhirnya pergi ke kantor.Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh dan menggeleng sambil tersenyum kecil. Di balik sikap tegasnya, aku tahu dia hanya khawatir. Sungguh, memiliki suami seperti Mas Dewangga adalah anugerah sekaligus tantangan tersendiri.Hari ini, aku kembali beraktivitas seperti biasa di toko. Menata barang di rak, mencatat stok, dan sesekali melayani pelanggan yang datang. Semua terasa normal, kecuali satu hal: Nara, asistenku, jadi lebih cerewet dari biasanya."Bu, jangan lupa ya, jam dua belas harus pulang. Jangan sampai terlewat. Ah, iya, Ibu juga jangan terlalu ban
"Mama!" seru Abiyan sambil berlari kecil ke arahku. Dia memelukku erat, seolah tidak bertemu berhari-hari."Abiyan, kamu sudah pulang? Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanyaku sambil membelai rambutnya yang sedikit berantakan."Asyik, Ma. Tadi aku dapat nilai bagus di pelajaran Matematika," jawabnya penuh semangat."Hebat sekali anak Mama. Sudah makan belum? Ayo kita makan bersama," ajakku sambil menggandeng tangannya ke meja makan.Aku meminta pelayan untuk menyiapkan makanan juga untuk Abiyan. Kami duduk bersama, menunggu hidangan selesai disiapkan. Tidak lama kemudian, Ibu datang dan ikut bergabung di meja makan."Bagaimana sekolahmu hari ini, Abiyan?" tanya Ibu sambil tersenyum."Bagus, Nek. Abiyan dapat nilai bagus," jawabnya dengan bangga.Ibu mengangguk puas, lalu menatapku dan Abiyan bergantian. Kemudian, dengan nada serius namun penuh kasih, Ibu berkata kepada Abiyan, "Abiyan, mulai sekarang kamu harus menjaga Mama, ya. Mama sedang butuh banyak istirahat."Kata-kata Ibu membu
Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu lambat. Udara pagi yang sejuk seharusnya membuatku merasa lebih baik, tetapi pusing dan mual ini membuatku lemas. Mas Dewangga, yang duduk di belakang kemudi, sesekali melirikku dengan wajah khawatir.Aku melirik jam di dashboard mobil. Baru pukul delapan pagi. Biasanya, aku sudah bersiap-siap ke toko, tetapi hari ini, dengan kondisiku seperti ini, kemungkinan besar Mas Dewangga tidak akan mengizinkanku pergi."Mas, kalau aku tetap pergi ke toko hari ini, boleh tidak?" tanyaku pelan, mencoba mencari celah."Lebih baik kamu istirahat saja setelah kita pulang dari rumah sakit. Kamu sudah terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini, Sayang," jawabnya lembut, tetapi tegas.Sudah kuduga. Sambil menahan pusing, aku meraih ponsel dan menghubungi Nara, asistenku yang selalu bisa diandalkan.Begitu panggilan tersambung, aku segera berkata, "Nara, sepertinya hari ini aku tidak bisa berangkat ke toko. Aku dalam perjalanan ke rumah sakit."["Bu Zoya tidak e