Setelah Kak Dirfan dibawa polisi, aku bisa melihat Mas Dewangga memberi isyarat kepada pengacaranya untuk maju. Dengan suara tegas, pengacara itu menyampaikan kepada warga, "Ada satu hal lagi yang perlu Anda sekalian ketahui mengenai sosok di balik inisial 'D', yang sebelumnya kalian kira adalah Pak Danto."Warga yang semula masih berbisik-bisik langsung terdiam, perhatian mereka tertuju pada pengacara tersebut. Pengacara itu kemudian mengeluarkan beberapa dokumen dan mengangkatnya, lalu menunjukkan bukti-bukti tersebut kepada para warga. "Donatur yang telah mendanai fasilitas kesehatan dan toko sembako di desa ini sebenarnya adalah Pak Dewangga. Beliau memilih untuk melakukannya secara anonim demi kebaikan bersama, tanpa mencari pengakuan."Alvin kemudian menambahkan, "Ini adalah bukti transaksi dan laporan donasi yang mengonfirmasi bahwa Pak Dewangga adalah penyandang dana utama untuk pembangunan fasilitas tersebut."Perlahan, desas-desus terdengar di antara warga yang kini tampa
Tiga hari berlalu sejak Ibuku pingsan, dan kami masih di rumah sakit. Aku tak pernah jauh darinya, selalu ada di sisinya, dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Selama hari-hari ini, aku mencoba menghiburnya, berbicara dengan lembut, dan menemaninya di setiap detik yang mungkin tak akan bisa kuulangi.Rasanya seperti mimpi, bisa berbicara dan bercanda dengannya tanpa ada ketegangan atau kritik tajam seperti biasanya. Hatiku terasa ringan, seakan kebahagiaan sederhana ini membuat hidupku berwarna lagi.Untuk masalah pindah rumah, ternyata Mas Dewangga diam-diam sudah mengurusnya dan mem-packing semua barang. Jadi rumah kami sekarang sudah kosong. Aku lega karena suamiku sudah mengatasinya dengan mudah.Kini, aku bisa menghabiskan waktu yang berharga bersama Ibuku dengan santai."Ibu, ingat tidak waktu dulu aku belajar masak untuk pertama kalinya?" tanyaku sambil tersenyum.Ibuku tertawa kecil dan mengangguk. "Oh, jelas ingat. Masakanmu yang gosong, tapi kamu bersikeras kalau itu en
Dengan langkah pelan, aku berjalan ke arah jendela. Aku menutup mata sejenak, membiarkan kesunyian meresap dalam pikiranku."Ayo, kita lanjutkan hidup, Zoya," bisikku dalam hati, berusaha menyemangati diri sendiri.Belum lama aku berdiri di sana, tiba-tiba ada sentuhan lembut di tanganku. Refleks aku membuka mata dan menoleh. Abiyan berdiri di sampingku dengan ekspresi khawatir yang terpancar dari wajah mungilnya. Sontak, aku menyunggingkan senyum, berusaha terlihat baik-baik saja di depannya."Mama baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan nada polos yang begitu menenangkan. Suaranya seakan menjadi pengingat bahwa aku tidak sendirian."Iya, Abiyan," jawabku pelan, meski jauh di dalam hati aku tahu jawabanku adalah sebuah kebohongan. Namun, aku tak ingin membuatnya khawatir.Abiyan lalu menarik tanganku, membimbingku ke ranjang berukuran king yang ada di kamar hotel. Dia menyuruhku duduk di tepi ranjang, dan tanpa ragu, dia memelukku erat. Rangkulan tangan kecilnya seakan menghangatkan
Mobil perlahan melaju keluar dari kota yang penuh kenangan ini. Aku memandang keluar jendela, mencoba meresapi setiap sudut yang mungkin tak akan kulihat lagi. Kota tempat aku lahir dan tumbuh, kini kutinggalkan bersama segala ingatan dan cerita yang terukir di dalamnya.Ini adalah perjalanan menuju awal yang baru, sebuah hidup yang entah akan seperti apa nanti.Di depan, pak sopir fokus mengendalikan mobil, sementara Alvin duduk di sampingnya dengan santai. Di kursi tengah, aku bersama Mas Dewangga, dan Abiyan, sedangkan bagasi dan kursi belakang penuh dengan barang-barang bawaan.Sebenarnya di tengah perjalanan ini, hatiku diliputi kecemasan. Bukan soal meninggalkan kota ini, tetapi karena perasaan gugup yang tak terbendung membayangkan pertemuan dengan mertuaku nanti. Entah mengapa, bayangan itu membuatku ingin menciut. Apa yang harus aku katakan nanti?Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diri. Namun, tentu saja, suamiku menyadari keresahan yang tak bisa kusamarkan."Kamu k
Dengan dorongan kecil itu, Abiyan yang tadinya hanya diam pun langsung mendekat ke neneknya, meskipun masih tersipu. Ibu tertawa kecil dan dengan lembut membelai rambut Abiyan."Wah, Nenek senang sekali bisa bertemu Abiyan. Di sini, kamu bisa main sepuasnya." Kemudian Ibu menggendong Abiyan dengan penuh kasih sayang, membuat hatiku tersentuh melihat kehangatan yang terpancar.Ayah pun tak mau kalah, beliau juga bergantian menggendong Abiyan. Aku bisa melihat anakku hanya tersipu malu di gendongan nenek dan kakeknya, meski bibirnya mengulum senyum kecil.Aku terhanyut dalam momen itu hingga tersentak saat Mas Dewangga merangkul pundakku."Bagaimana kalau kita masuk? Aku merindukan kamarku, Bu," katanya, nadanya setengah manja. Aku bisa melihat wajah memelas suamiku saat mengatakannya."Astaga, Ibu terlalu asyik dengan cucu sampai melupakan bahwa kalian pasti lelah. Ayo, masuk," ajak Ibu sembari melambaikan tangan dan berbalik melangkah ke dalam.Ayah pun ikut berbalik, masih menggendon
Saat aku, Abiyan, dan Mas Dewangga sudah rapi berpakaian, kami bertiga keluar dari kamar menuju ruang makan. Abiyan terlihat bersemangat, matanya berbinar-binar seperti hendak bertualang di tempat baru. Mas Dewangga menggandeng tanganku dengan erat, sementara Abiyan berlari kecil di depan kami, sesekali menoleh untuk memastikan kami mengikutinya.Sesampainya di ruang makan, aku terpana melihat meja panjang yang sudah tertata rapi dengan piring, gelas kristal, dan serbet putih berlipat anggun. Namun, belum ada makanan yang tersaji di atasnya."Zoya, duduklah," ucap Mas Dewangga sambil menarik kursi untukku. Dia pun menyuruh Abiyan duduk di kursi sebelahku, lalu mengambil tempat di sampingku hingga aku berada di tengah-tengah mereka.Kami mengobrol ringan untuk mengisi waktu, mendengarkan celoteh Abiyan yang menceritakan betapa empuknya tempat tidur tadi. Tawanya yang polos membuat suasana menjadi hangat.Tak lama kemudian, suara langkah lembut mendekat. Aku menoleh dan melihat Ibu da
Pagi itu, aku terbangun. Langit di luar masih remang-remang, cahaya matahari belum sepenuhnya menguasai ruangan. Jam dinding menunjukkan pukul enam. Dengan perlahan aku mendudukkan diri, merasa bingung harus melakukan apa.Suara lembut Mas Dewangga terdengar di sampingku, membuatku sedikit tersentak. "Kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Mas Dewangga dengan nada serak khas orang yang baru saja bangun tidur.Aku langsung menoleh. "Kamu terbangun, Mas? Maafkan aku."Suamiku tersenyum tipis, lalu mengusap wajahnya sebelum duduk di sampingku. "Kenapa bangun sepagi ini?"Aku menghela napas pelan, mencoba menjelaskan. "Biasanya jam segini aku sudah mulai menyiapkan sarapan atau bersih-bersih di rumah. Rasanya aneh kalau hanya duduk diam saja."Mas Dewangga terkekeh mendengar jawabanku. "Sayang, sudah ada pelayan yang akan melakukannya. Jadi kamu tidak perlu repot-repot seperti dulu. Sekarang kembali tidur saja, ya.""Aku tidak mengantuk, Mas," kataku lirih, meski tetap membiarkan Mas Dewangga
Setelah kami bertiga siap, kami segera turun ke ruang makan. Di sana, Ayah dan Ibu sudah lebih dulu datang. Begitu melihat kedatangan kami, Ibu berdiri dengan senyum lebar, lalu berjongkok sambil merentangkan tangannya."Cucu kesayangan nenek, sini peluk nenek dulu," serunya dengan nada penuh kehangatan.Abiyan langsung berlari kecil dan memeluk neneknya dengan antusias. Ayah yang duduk di samping ibu tampak tidak mau kalah. Dia ikut berjongkok dan mengulurkan tangannya sambil berkata, "Apa nenek saja yang kamu peluk? Kakek tidak, hm?"Abiyan tertawa kecil lalu berpaling ke arah Ayah, melingkarkan tangannya ke tubuh kakeknya juga. Melihat pemandangan itu, aku tak bisa menahan senyum. Setelahnya, Ayah memberi isyarat kepada pelayan untuk mulai menghidangkan makanan. Aku dan Mas Dewangga duduk bersebelahan, sementara Abiyan sudah mengisi tempat di antara kakek dan neneknya.Tak butuh waktu lama, makanan mulai dihidangkan di atas meja. Aku tertegun melihat menu yang disajikan. Croissan