"Ada apa, Mas?" bisikku, mencoba memahami kecemasan yang jelas terlihat di wajahnya.Mas Dewangga menghela napas panjang, lalu menjawab pelan, "Ayah ingin kita ada di sana secepatnya. Katanya ... ada sesuatu yang menyangkut keselamatan kita."Aku terdiam, perasaanku semakin kacau. Tidak pernah terpikir sebelumnya bahwa ada sesuatu yang mengancam, sesuatu yang memaksa kami untuk segera pindah. Di dalam hati, rasa cemas itu mulai membesar.Aku mencoba menenangkan diriku sendiri, tetapi bayangan tak pasti itu terasa semakin kuat. Mas Dewangga tak pernah bicara soal ancaman atau keselamatan kami sebelumnya. Semua terasa mendadak, misterius, dan entah mengapa membuat perasaanku tak menentu."Mas, sebenarnya ... apa yang terjadi?" tanyaku, suaraku hampir berbisik. "Apa yang mengancam kita?"Mas Dewangga menggeser duduknya, menatapku dengan sorot yang sulit kuterjemahkan. Seolah dia mencari kata yang tepat untuk menjelaskan, tetapi sekaligus bingung harus mulai dari mana."Zoya, aku belum
Setelah malam yang penuh kegelapan, cahaya pagi perlahan merambati setiap sudut ruangan. Jam dinding berdetak pelan, dan ketukan pintu tiba-tiba terdengar, mengejutkanku dan Mas Dewangga yang sedang asyik mengobrol berdua di ruang tamu.Kami saling melirik, seakan bertanya siapa yang akan membukanya. "Biar aku saja," kata Mas Dewangga sambil tersenyum tipis dan bangkit berdiri. Aku menatap punggungnya yang tegap saat dia berjalan ke arah pintu.Begitu pintu terbuka, aku mendengar suaranya menyebut satu kata yang membuat dahiku mengernyit. "Ibu."Detik berikutnya, suara Ibu terdengar. Lantas aku segera bangkit dan menghampiri suamiku, lalu mengintip sedikit dari balik bahu Mas Dewangga. Jantungku berdegup kencang saat melihat sosok di belakang Ibu, sosok yang selama ini ingin kuhindari."Dewangga, biarkan Dirfan masuk," pinta Ibu tegas."Maaf, Bu. Aku tidak mengizinkan dia masuk. Jika Ibu ingin masuk, silakan, tapi tidak dengan dia," balas Mas Dewangga, nada suaranya sama tegasnya.
"Eh, apa itu?" Suara Kak Dirfan terdengar cukup keras, membuat semua orang yang berada di warung, termasuk aku dan Mas Dewangga, langsung menoleh ke arahnya.Aku melihat Kak Dirfan menunjuk sesuatu di dekat kaki suamiku. Rasa penasaran segera membuat pandanganku tertuju ke arah yang dia tunjuk.Di sana, tergeletak sebuah bungkus plastik kecil transparan berisi bubuk putih, persis di samping kaki Mas Dewangga. Aku tertegun, tidak tahu apa isinya, tetapi firasatku tiba-tiba terasa tidak enak.Seorang bapak-bapak, Pak Agus, yang kukenal sebagai warga sekitar segera mendekat sambil meneliti bungkusan itu dengan cermat. Dia berjongkok dan mengambilnya dengan hati-hati."Itu apa, Pak?" tanya seorang ibu-ibu dengan nada penasaran, kacang panjang yang dipegangnya melambai saat dia mendekat.Bukannya menjawab pertanyaan ibu-ibu itu, Pak Agus malah berdiri menatap Mas Dewangga dengan tajam, seolah mencoba membaca sesuatu dari wajah suamiku."Dewangga, apa ini milikmu?" tanya Pak Agus, mengangka
Begitu sampai di halaman rumah, Ibu segera menatap Mas Dewangga dengan tatapan dingin yang sulit ditebak."Dewangga, Ibu mau bicara dengan Zoya," ujar Ibu tegas, membuat Mas Dewangga tidak punya pilihan selain menurut.Sejenak Mas Dewangga tampak ragu, tetapi akhirnya dia mengangguk dan berpamitan padaku. "Aku masuk dulu, ya, Zoya," ucapnya sebelum berlalu, meninggalkanku sendirian dengan Ibu.Begitu Mas Dewangga masuk, Ibu berbalik menghadapku, wajahnya serius dan penuh amarah yang tersimpan."Kamu lihat sendiri, kan, Zoya? Dia hanya membawa kamu ke dalam masalah!" Suara Ibu terdengar tajam, menusuk telinga dan hatiku. "Kamu harus sadar! Tinggalkan Dewangga sebelum terlambat. Kamu masih bisa hidup tenang tanpa dia."Aku memejamkan mata, menahan diri untuk tidak terpancing."Bu, sudah cukup. Aku sudah bilang, aku tidak akan menceraikan Mas Dewangga," jawabku dengan nada tenang meski hatiku bergejolak. "Mas Dewangga bukan orang seperti itu."Wajah Ibu semakin merah, matanya membara pe
Perlahan, aku membuka mataku, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan. Tubuhku terasa lemah, dan entah mengapa ada rasa nyeri di setiap sendiku. Sambil mencoba mengumpulkan kesadaran, aku merasakan genggaman hangat di tanganku."Zoya, kamu sudah sadar?" suara Mas Dewangga terdengar lembut di sampingku.Aku mencoba menoleh ke arahnya, meskipun kepalaku masih terasa berat. "Mas ... kita di mana?"Mas Dewangga tersenyum lega, meskipun matanya memperlihatkan kelelahan yang tampak jelas. "Kamu di rumah sakit, Zoya. Setelah kamu pingsan di depan rumah, aku langsung membawamu ke sini."Aku hanya bisa mengangguk pelan. Rasanya aneh berada di tempat asing yang serba putih ini, dan aku sendiri tidak ingat banyak setelah kejadian malam itu. Yang kuingat hanya wajah para warga yang marah dan Abiyan yang ketakutan.Pandangan mataku beralih ke sudut ruangan, dan di sana aku melihat Abiyan duduk dengan wajah kusut, tetapi penuh perhatian. Begitu sadar aku benar-benar bangun, dia s
Suamiku melangkah maju, tatapannya tajam, tak sekali pun lepas dari wajah para warga yang menatap sinis. "Kalian masih meremehkanku?""Sombong sekali kamu, Dewangga! Jangan-jangan, kamu membayar mereka semua untuk berpura-pura di depan kami!" seru seorang bapak-bapak dengan nada mengejek, memicu kerumunan semakin riuh.Bisik-bisik mulai terdengar lagi, semakin keras dan penuh cemoohan.Alvin tak tinggal diam. Dengan tatapan tajam, dia menjawab dengan dingin, "Untuk apa membuang-buang uang untuk hal remeh seperti ini?"Wajah bapak-bapak itu memerah, dan aku melihatnya maju dengan tangan terkepal, seolah siap menghajar Alvin.Aku cepat-cepat menyentuh lengan Mas Dewangga, memberi isyarat agar dia segera menghentikan situasi ini sebelum semakin panas.Namun, polisi yang ada di sana lebih cepat bertindak. Mereka menahan bapak-bapak itu dan memperingatkan dengan tegas bahwa dia bisa dibawa ke kantor polisi jika bertindak lebih jauh.Mas Dewangga kemudian mengangguk pada Alvin, memberi isya
Setelah Kak Dirfan dibawa polisi, aku bisa melihat Mas Dewangga memberi isyarat kepada pengacaranya untuk maju. Dengan suara tegas, pengacara itu menyampaikan kepada warga, "Ada satu hal lagi yang perlu Anda sekalian ketahui mengenai sosok di balik inisial 'D', yang sebelumnya kalian kira adalah Pak Danto."Warga yang semula masih berbisik-bisik langsung terdiam, perhatian mereka tertuju pada pengacara tersebut. Pengacara itu kemudian mengeluarkan beberapa dokumen dan mengangkatnya, lalu menunjukkan bukti-bukti tersebut kepada para warga. "Donatur yang telah mendanai fasilitas kesehatan dan toko sembako di desa ini sebenarnya adalah Pak Dewangga. Beliau memilih untuk melakukannya secara anonim demi kebaikan bersama, tanpa mencari pengakuan."Alvin kemudian menambahkan, "Ini adalah bukti transaksi dan laporan donasi yang mengonfirmasi bahwa Pak Dewangga adalah penyandang dana utama untuk pembangunan fasilitas tersebut."Perlahan, desas-desus terdengar di antara warga yang kini tampa
Tiga hari berlalu sejak Ibuku pingsan, dan kami masih di rumah sakit. Aku tak pernah jauh darinya, selalu ada di sisinya, dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Selama hari-hari ini, aku mencoba menghiburnya, berbicara dengan lembut, dan menemaninya di setiap detik yang mungkin tak akan bisa kuulangi.Rasanya seperti mimpi, bisa berbicara dan bercanda dengannya tanpa ada ketegangan atau kritik tajam seperti biasanya. Hatiku terasa ringan, seakan kebahagiaan sederhana ini membuat hidupku berwarna lagi.Untuk masalah pindah rumah, ternyata Mas Dewangga diam-diam sudah mengurusnya dan mem-packing semua barang. Jadi rumah kami sekarang sudah kosong. Aku lega karena suamiku sudah mengatasinya dengan mudah.Kini, aku bisa menghabiskan waktu yang berharga bersama Ibuku dengan santai."Ibu, ingat tidak waktu dulu aku belajar masak untuk pertama kalinya?" tanyaku sambil tersenyum.Ibuku tertawa kecil dan mengangguk. "Oh, jelas ingat. Masakanmu yang gosong, tapi kamu bersikeras kalau itu en