Perlahan, aku membuka mataku, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan. Tubuhku terasa lemah, dan entah mengapa ada rasa nyeri di setiap sendiku. Sambil mencoba mengumpulkan kesadaran, aku merasakan genggaman hangat di tanganku."Zoya, kamu sudah sadar?" suara Mas Dewangga terdengar lembut di sampingku.Aku mencoba menoleh ke arahnya, meskipun kepalaku masih terasa berat. "Mas ... kita di mana?"Mas Dewangga tersenyum lega, meskipun matanya memperlihatkan kelelahan yang tampak jelas. "Kamu di rumah sakit, Zoya. Setelah kamu pingsan di depan rumah, aku langsung membawamu ke sini."Aku hanya bisa mengangguk pelan. Rasanya aneh berada di tempat asing yang serba putih ini, dan aku sendiri tidak ingat banyak setelah kejadian malam itu. Yang kuingat hanya wajah para warga yang marah dan Abiyan yang ketakutan.Pandangan mataku beralih ke sudut ruangan, dan di sana aku melihat Abiyan duduk dengan wajah kusut, tetapi penuh perhatian. Begitu sadar aku benar-benar bangun, dia s
Suamiku melangkah maju, tatapannya tajam, tak sekali pun lepas dari wajah para warga yang menatap sinis. "Kalian masih meremehkanku?""Sombong sekali kamu, Dewangga! Jangan-jangan, kamu membayar mereka semua untuk berpura-pura di depan kami!" seru seorang bapak-bapak dengan nada mengejek, memicu kerumunan semakin riuh.Bisik-bisik mulai terdengar lagi, semakin keras dan penuh cemoohan.Alvin tak tinggal diam. Dengan tatapan tajam, dia menjawab dengan dingin, "Untuk apa membuang-buang uang untuk hal remeh seperti ini?"Wajah bapak-bapak itu memerah, dan aku melihatnya maju dengan tangan terkepal, seolah siap menghajar Alvin.Aku cepat-cepat menyentuh lengan Mas Dewangga, memberi isyarat agar dia segera menghentikan situasi ini sebelum semakin panas.Namun, polisi yang ada di sana lebih cepat bertindak. Mereka menahan bapak-bapak itu dan memperingatkan dengan tegas bahwa dia bisa dibawa ke kantor polisi jika bertindak lebih jauh.Mas Dewangga kemudian mengangguk pada Alvin, memberi isya
Setelah Kak Dirfan dibawa polisi, aku bisa melihat Mas Dewangga memberi isyarat kepada pengacaranya untuk maju. Dengan suara tegas, pengacara itu menyampaikan kepada warga, "Ada satu hal lagi yang perlu Anda sekalian ketahui mengenai sosok di balik inisial 'D', yang sebelumnya kalian kira adalah Pak Danto."Warga yang semula masih berbisik-bisik langsung terdiam, perhatian mereka tertuju pada pengacara tersebut. Pengacara itu kemudian mengeluarkan beberapa dokumen dan mengangkatnya, lalu menunjukkan bukti-bukti tersebut kepada para warga. "Donatur yang telah mendanai fasilitas kesehatan dan toko sembako di desa ini sebenarnya adalah Pak Dewangga. Beliau memilih untuk melakukannya secara anonim demi kebaikan bersama, tanpa mencari pengakuan."Alvin kemudian menambahkan, "Ini adalah bukti transaksi dan laporan donasi yang mengonfirmasi bahwa Pak Dewangga adalah penyandang dana utama untuk pembangunan fasilitas tersebut."Perlahan, desas-desus terdengar di antara warga yang kini tampa
Tiga hari berlalu sejak Ibuku pingsan, dan kami masih di rumah sakit. Aku tak pernah jauh darinya, selalu ada di sisinya, dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Selama hari-hari ini, aku mencoba menghiburnya, berbicara dengan lembut, dan menemaninya di setiap detik yang mungkin tak akan bisa kuulangi.Rasanya seperti mimpi, bisa berbicara dan bercanda dengannya tanpa ada ketegangan atau kritik tajam seperti biasanya. Hatiku terasa ringan, seakan kebahagiaan sederhana ini membuat hidupku berwarna lagi.Untuk masalah pindah rumah, ternyata Mas Dewangga diam-diam sudah mengurusnya dan mem-packing semua barang. Jadi rumah kami sekarang sudah kosong. Aku lega karena suamiku sudah mengatasinya dengan mudah.Kini, aku bisa menghabiskan waktu yang berharga bersama Ibuku dengan santai."Ibu, ingat tidak waktu dulu aku belajar masak untuk pertama kalinya?" tanyaku sambil tersenyum.Ibuku tertawa kecil dan mengangguk. "Oh, jelas ingat. Masakanmu yang gosong, tapi kamu bersikeras kalau itu en
Dengan langkah pelan, aku berjalan ke arah jendela. Aku menutup mata sejenak, membiarkan kesunyian meresap dalam pikiranku."Ayo, kita lanjutkan hidup, Zoya," bisikku dalam hati, berusaha menyemangati diri sendiri.Belum lama aku berdiri di sana, tiba-tiba ada sentuhan lembut di tanganku. Refleks aku membuka mata dan menoleh. Abiyan berdiri di sampingku dengan ekspresi khawatir yang terpancar dari wajah mungilnya. Sontak, aku menyunggingkan senyum, berusaha terlihat baik-baik saja di depannya."Mama baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan nada polos yang begitu menenangkan. Suaranya seakan menjadi pengingat bahwa aku tidak sendirian."Iya, Abiyan," jawabku pelan, meski jauh di dalam hati aku tahu jawabanku adalah sebuah kebohongan. Namun, aku tak ingin membuatnya khawatir.Abiyan lalu menarik tanganku, membimbingku ke ranjang berukuran king yang ada di kamar hotel. Dia menyuruhku duduk di tepi ranjang, dan tanpa ragu, dia memelukku erat. Rangkulan tangan kecilnya seakan menghangatkan
Mobil perlahan melaju keluar dari kota yang penuh kenangan ini. Aku memandang keluar jendela, mencoba meresapi setiap sudut yang mungkin tak akan kulihat lagi. Kota tempat aku lahir dan tumbuh, kini kutinggalkan bersama segala ingatan dan cerita yang terukir di dalamnya.Ini adalah perjalanan menuju awal yang baru, sebuah hidup yang entah akan seperti apa nanti.Di depan, pak sopir fokus mengendalikan mobil, sementara Alvin duduk di sampingnya dengan santai. Di kursi tengah, aku bersama Mas Dewangga, dan Abiyan, sedangkan bagasi dan kursi belakang penuh dengan barang-barang bawaan.Sebenarnya di tengah perjalanan ini, hatiku diliputi kecemasan. Bukan soal meninggalkan kota ini, tetapi karena perasaan gugup yang tak terbendung membayangkan pertemuan dengan mertuaku nanti. Entah mengapa, bayangan itu membuatku ingin menciut. Apa yang harus aku katakan nanti?Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diri. Namun, tentu saja, suamiku menyadari keresahan yang tak bisa kusamarkan."Kamu k
Dengan dorongan kecil itu, Abiyan yang tadinya hanya diam pun langsung mendekat ke neneknya, meskipun masih tersipu. Ibu tertawa kecil dan dengan lembut membelai rambut Abiyan."Wah, Nenek senang sekali bisa bertemu Abiyan. Di sini, kamu bisa main sepuasnya." Kemudian Ibu menggendong Abiyan dengan penuh kasih sayang, membuat hatiku tersentuh melihat kehangatan yang terpancar.Ayah pun tak mau kalah, beliau juga bergantian menggendong Abiyan. Aku bisa melihat anakku hanya tersipu malu di gendongan nenek dan kakeknya, meski bibirnya mengulum senyum kecil.Aku terhanyut dalam momen itu hingga tersentak saat Mas Dewangga merangkul pundakku."Bagaimana kalau kita masuk? Aku merindukan kamarku, Bu," katanya, nadanya setengah manja. Aku bisa melihat wajah memelas suamiku saat mengatakannya."Astaga, Ibu terlalu asyik dengan cucu sampai melupakan bahwa kalian pasti lelah. Ayo, masuk," ajak Ibu sembari melambaikan tangan dan berbalik melangkah ke dalam.Ayah pun ikut berbalik, masih menggendon
Saat aku, Abiyan, dan Mas Dewangga sudah rapi berpakaian, kami bertiga keluar dari kamar menuju ruang makan. Abiyan terlihat bersemangat, matanya berbinar-binar seperti hendak bertualang di tempat baru. Mas Dewangga menggandeng tanganku dengan erat, sementara Abiyan berlari kecil di depan kami, sesekali menoleh untuk memastikan kami mengikutinya.Sesampainya di ruang makan, aku terpana melihat meja panjang yang sudah tertata rapi dengan piring, gelas kristal, dan serbet putih berlipat anggun. Namun, belum ada makanan yang tersaji di atasnya."Zoya, duduklah," ucap Mas Dewangga sambil menarik kursi untukku. Dia pun menyuruh Abiyan duduk di kursi sebelahku, lalu mengambil tempat di sampingku hingga aku berada di tengah-tengah mereka.Kami mengobrol ringan untuk mengisi waktu, mendengarkan celoteh Abiyan yang menceritakan betapa empuknya tempat tidur tadi. Tawanya yang polos membuat suasana menjadi hangat.Tak lama kemudian, suara langkah lembut mendekat. Aku menoleh dan melihat Ibu da