Saat aku, Abiyan, dan Mas Dewangga sudah rapi berpakaian, kami bertiga keluar dari kamar menuju ruang makan. Abiyan terlihat bersemangat, matanya berbinar-binar seperti hendak bertualang di tempat baru. Mas Dewangga menggandeng tanganku dengan erat, sementara Abiyan berlari kecil di depan kami, sesekali menoleh untuk memastikan kami mengikutinya.Sesampainya di ruang makan, aku terpana melihat meja panjang yang sudah tertata rapi dengan piring, gelas kristal, dan serbet putih berlipat anggun. Namun, belum ada makanan yang tersaji di atasnya."Zoya, duduklah," ucap Mas Dewangga sambil menarik kursi untukku. Dia pun menyuruh Abiyan duduk di kursi sebelahku, lalu mengambil tempat di sampingku hingga aku berada di tengah-tengah mereka.Kami mengobrol ringan untuk mengisi waktu, mendengarkan celoteh Abiyan yang menceritakan betapa empuknya tempat tidur tadi. Tawanya yang polos membuat suasana menjadi hangat.Tak lama kemudian, suara langkah lembut mendekat. Aku menoleh dan melihat Ibu da
Pagi itu, aku terbangun. Langit di luar masih remang-remang, cahaya matahari belum sepenuhnya menguasai ruangan. Jam dinding menunjukkan pukul enam. Dengan perlahan aku mendudukkan diri, merasa bingung harus melakukan apa.Suara lembut Mas Dewangga terdengar di sampingku, membuatku sedikit tersentak. "Kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Mas Dewangga dengan nada serak khas orang yang baru saja bangun tidur.Aku langsung menoleh. "Kamu terbangun, Mas? Maafkan aku."Suamiku tersenyum tipis, lalu mengusap wajahnya sebelum duduk di sampingku. "Kenapa bangun sepagi ini?"Aku menghela napas pelan, mencoba menjelaskan. "Biasanya jam segini aku sudah mulai menyiapkan sarapan atau bersih-bersih di rumah. Rasanya aneh kalau hanya duduk diam saja."Mas Dewangga terkekeh mendengar jawabanku. "Sayang, sudah ada pelayan yang akan melakukannya. Jadi kamu tidak perlu repot-repot seperti dulu. Sekarang kembali tidur saja, ya.""Aku tidak mengantuk, Mas," kataku lirih, meski tetap membiarkan Mas Dewangga
Setelah kami bertiga siap, kami segera turun ke ruang makan. Di sana, Ayah dan Ibu sudah lebih dulu datang. Begitu melihat kedatangan kami, Ibu berdiri dengan senyum lebar, lalu berjongkok sambil merentangkan tangannya."Cucu kesayangan nenek, sini peluk nenek dulu," serunya dengan nada penuh kehangatan.Abiyan langsung berlari kecil dan memeluk neneknya dengan antusias. Ayah yang duduk di samping ibu tampak tidak mau kalah. Dia ikut berjongkok dan mengulurkan tangannya sambil berkata, "Apa nenek saja yang kamu peluk? Kakek tidak, hm?"Abiyan tertawa kecil lalu berpaling ke arah Ayah, melingkarkan tangannya ke tubuh kakeknya juga. Melihat pemandangan itu, aku tak bisa menahan senyum. Setelahnya, Ayah memberi isyarat kepada pelayan untuk mulai menghidangkan makanan. Aku dan Mas Dewangga duduk bersebelahan, sementara Abiyan sudah mengisi tempat di antara kakek dan neneknya.Tak butuh waktu lama, makanan mulai dihidangkan di atas meja. Aku tertegun melihat menu yang disajikan. Croissan
"Cantik-cantik, kok, suaminya tukang parkir. Kasihan sekali ya Zoya.""Mungkin takdirnya memang begitu, Bu. Mau bagaimana lagi?"Aku berhenti sejenak, mataku menyipit ke arah tiga ibu-ibu yang tengah berdiri di depan rumah besar, salah satunya ada Bu Ida, si pemilik rumah yang gemar bergosip. Mereka berbicara tanpa berusaha merendahkan suara, seolah ingin aku mendengar."Capek-capek berjualan, hanya dapat untung sekadarnya. Mana suaminya hanya tukang parkir.""Jujur saja, suaminya memang tampan, tapi pekerjaannya sangat tidak level, iyyuuh," kata Bu Ida dengan nada jijik, lalu setelahnya diikuti oleh suara tawa ibu-ibu yang lain.Aku yang sudah terbiasa dengan hinaan ini awalnya mencoba bersikap tenang. Namun, ketika Bu Ida mulai menyeret suamiku dalam hinaannya, aku tidak bisa lagi menahan diri. Akhirnya terjadi adu mulut singkat di antara kami, tetapi kali ini aku memutuskan untuk tidak melanjutkan lebih jauh. Aku sadar bahwa setiap perdebatan hanya akan membuat diriku lelah. Aku
Pagi itu aku terbangun dengan perasaan gelisah yang masih tersisa dari malam sebelumnya. Mataku terasa berat, pertanda bahwa tidurku tidak benar-benar nyenyak. Saat melihat jam di dinding, jantungku berdegup kencang."Ya ampun, sudah hampir pukul tujuh!" seruku panik.Aku teringat betapa lama diriku terjaga semalam, memikirkan percakapan suamiku di telepon dan juga uang yang diberikan Mas Dewangga. Pikiran itu membayangi tidurku hingga aku terlambat bangun pagi ini. Dengan cepat, aku bangkit dari tempat tidur dan bergegas ke luar.Suara lembut Mas Dewangga terdengar dari pintu depan. Suamiku sudah rapi dengan seragam tukang parkirnya, sementara Abiyan berdiri di sampingnya, siap untuk berangkat sekolah."Maaf, Mas ... aku terlambat bangun," ucapku terburu-buru, merasa bersalah karena tidak menyiapkan sarapan seperti biasanya.Mas Dewangga tersenyum menenangkan. "Tidak apa-apa. Aku sudah siapkan bekal untuk Abiyan. Sekarang, kami harus berangkat. Jangan khawatir, istirahat saja."Aku m
Karena merasa tidak nyaman, aku segera menyelesaikan transaksi dan cepat-cepat pulang ke rumah.Namun, ketika kami hampir tiba di rumah, beberapa tetangga sudah menunggu dengan tatapan tajam. Aku juga bisa mendengar ucapan mereka. "Ekhem, ada yang baru pulang shopping, nih." Suara seorang wanita memecah keheningan. Aku langsung mendongak dan menoleh ke arah suara itu.Aku menghentikan langkah, mengangguk dan tersenyum pada mereka. "Iya, Bu. Belanja bahan-bahan untuk jualan gorengan besok."Namun, ekspresi mereka yang sinis membuatku bingung. Apa yang salah dengan belanjaanku?"Belanja dari uang hasil mencuri ternyata beda, ya. Belanjanya lebih banyak dari biasanya," cibir salah satu dari mereka.Aku mengerutkan dahi mendengar tuduhan itu. Mereka bilang aku belanja dari uang hasil mencuri? Yang benar saja!"Mama tidak pernah mencuri!" Teriakan Abiyan membuatku tersentak. Aku hampir lupa jika anakku ada di sebelahku, mendengar semua ini."Hei, Abiyan. Ibumu memang tidak mencuri, tapi a
Setelah mendengar ada yang ingin bertemu dengan suamiku dan raut wajah suamiku terlihat terkejut, aku punya firasat kuat bahwa orang itu adalah seseorang yang kemarin menelepon Mas Dewangga.Mas Dewangga meraih tanganku dengan lembut, matanya menatapku penuh dengan kasih sayang. "Zoya, sayang ... pulanglah. Aku tidak mau kamu khawatir di sini," bisiknya pelan, suaranya begitu lembut."Aku tidak bisa, Mas," balasku pelan. "Aku ingin tetap di sini menemanimu. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama."Suamiku tersenyum tipis, meski aku bisa melihat kegelisahan di matanya. Dia membelai pipiku dengan penuh kehangatan. "Aku tahu, Zoya. Tapi tolong kali ini pulanglah dulu, ya? Aku janji semua akan baik-baik saja. Aku tidak mau kamu dan Abiyan lelah karena terlalu lama di sini."Hati kecilku menolak, tetapi sentuhannya membuatku ragu. Mas Dewangga jarang memohon seperti ini. Akhirnya, dengan berat hati aku mengangguk, meski sebenarnya aku ingin tetap di sini."Baiklah, Mas ... aku pulang.
"Ibu memang sudah mempersiapkan calon suami barumu," katanya dengan nada penuh keyakinan. "Kamu bisa melihatnya di depanmu."Jari Ibu mengarah lurus ke Kak Dirfan yang duduk dengan santai, tersenyum penuh kemenangan."A-apa maksud, Ibu?" seruku tak percaya. Mataku terbelalak, dan jantungku berdegup kencang, terpacu oleh keterkejutan yang begitu mendadak."Kamu ini cantik dan masih muda. Akan lebih cocok jika kamu—""Tidak mau! Sampai kapan pun aku tidak akan mau bercerai dengan Mas Dewangga!" potongku cepat, suaraku bergetar. Tanpa berpikir panjang, aku buru-buru berjalan keluar dari rumah.Langkahku terasa berat dan terburu-buru, sementara suara Ibu dan Kak Dirfan terus memanggilku dari belakang. Namun, aku menulikan telinga. Semua yang mereka katakan membuat hatiku semakin kacau. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh tanpa bisa kucegah."Bagaimana bisa Ibu memintaku menceraikan Mas Dewangga dan menyuruhku menikah dengan Kak Dirfan?" gumamku geram.Aku menghela napas panjan